dapat dilaksanakan. Namun demikian, tidak ada jaminan bahwa infrastruktur yang canggih akan senantiasa berdampak pada pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan yang tinggi DeRyk, et.al dalam Rustiadi,2007. Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur merupakan syarat perlu
dalam pembangunan, tidak terkecuali pembangunan pertanian dan perdesaan. Menurut GTZ 2003 dalam Rustiadi 2007, salah satu faktor untuk menjamin
keberhasilan dan proses pembangunan ekonomi perdesaan yang mandiri adalah berfungsinya infrastruktur secara efektif baik perangkat keras maupun lunaknya.
Infrastruktur memungkinkan bisnis perdesaan mudah mengakses input dan pasar outputnya. Infrastruktur yang dibangun haruslah mampu meminimumkan biaya
pelaksanaan bisnis dan mampu untuk memfasilitasi proses produksinya. Investasi dalam infrastruktur mendorong pertumbuhan yang berpihak pada penduduk
miskin pro-poor melalui peningkatan akses pada infrastruktur tersebut serta mengurangi resiko dan biaya transaksi yang terkait dengan produksi dan distribusi
produknya, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas usaha. Menurut GTZ 2003 dalam dokumen Guide to REED pelaku utama
dalam menjamin berfungsinya infrastruktur efektif antara lain: pemerintah pusat dan daerah, swasta dan komunitas perdesaan beserta organisasi dan asosiasi atau
lembaga lembaga yang ada di wilayah perdesaan tersebut. Namun demikian, fenomena yang terjadi di lapangan dalam
pengembangan kawasan agropolitan di lokasi-lokasi rintisan seperti pada agropolitan Cianjur adalah tidak munculnya common ownership atas sarana dan
prasarana serta fasilitas yang dibangun. Hal ini disebabkan karena masih dominannya pendekatan top down dan dominannya peran pemerintah sedangkan
partisipasi masyarakat masih sangat terbatas. Masalah lemahnya akses masyarakat lokal atas sumberdaya-sumberdaya utama khususnya lahan serta lemahnya
kapasitas kelembagaan lokal menyebabkan keadaan dimana infrastruktur dan fasilitas-fasilitas yang dibangun di perdesaan lebih dinikmati oleh orang perkotaan
dibanding masyarakat setempat Rustiadi, 2007.
2.6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan dilakukan untuk mendorong pertumbuhan. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, jika disertai dengan munculnya berbagai masalah berupa penurunan distribusi pendapatan, peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan serta
pengrusakan sumber daya alam akan sangat berbahaya bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri.
Pergeseran pemikiran pembangunan mulai terjadi dimana selain pertumbuhan, aspek pemerataankeadilan dan keberlanjutan harus ikut
diperhatikan. Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang harus dicapai maka perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya pertumbuhan,
sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan tersebut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal.
Menurut Rustiadi 2003, dalam realitanya kondisi yang optimal dan ideal ini susah untuk dirumuskan. Setiap pihak mempunyai pandangan yang masing-
masing berbeda sehingga kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif. Karena itu pendekatan yang terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan
konsensus diantara pihak-pihak yang terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang telah disepakati bersama. Sehingga dalam upaya untuk mencapai suatu
kesepakatan bersama inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi penting. Partisipasi akan mendorong terjadinya pertukaran informasi sehingga
informasi yang didapatkan menjadi lebih akurat dan komprehensif. Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan berbagai
pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya
rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses pembangunan dan menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup
tinggi. Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan
pendekatan partisipasi dijadikan mainstream dalam penyelenggaraan pembangunan di hampir semua negara. Namun sampai sekarang ternyata masih
terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Perubahan paradigma pembangunan memang merupakan suatu proses yang memerlukan
waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya harus dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu
semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di lapangan.
Dalam kerangka pembangunan pedesaan rural development, C
OHEN
dan U
PHOFF
dalam Darmawan et. al. 2003, memaknai konsep partisipasi sebagai: “keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dalam
implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama, dan menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari
keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk proses monitoring”.
Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan program, yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan eksekusi,
sampai dengan monitoring dan evaluasi. Sementara itu OECD dalam Darmawan et. al. 2003, melihat partisipasi
sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif
participatory development dari OECD adalah: “kemitraan partnership yang dibangun atas dasar dialog di antara
beragam aktor pada saat mereka menyusun agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai. Hal ini
berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externally set
project agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan bukan sekedar penerima sebuah program”.
Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:
keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program sejak perencanaan hingga evaluasi, negosiasi atau dialog komunikasi, kerjasama-kemitraan,
pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor- aktif masyarakat.
Selanjutnya Arnstein, S.R 1969 menggolongkan partisipasi masyarakat kedalam dalam 8 jenjang yaitu :
1. Manipulasi
2. Terapi
3. Menyampaikan informasi
4. Konsultasi
5. Peredaman placation
6. Kemitraan partnership
7. Pendelegasian kekuasaan
8. Pengawasan masyarakat
Dimana jenjang 1 dan 2 dikategorikan sebagai non partisipasi, jenjang 3 sampai 5 dikategorikan sebagai tingkat tokenisme dimana belum ada jaminan pendapat dan
persepsi masyarakat akan diimplementasikan. Serta jenjang 6 sampai 8 dikategorikan sebagai tingkat kekuasaan masyarakat, dimana pada tingkat ini
masyarakat memiliki mayoritas suara dalam proses pengambilan keputusan bahwa sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu obyek
kebijaksanaan. Dalam pengembangan kawasan agropolitan itu sendiri, peranan
masyarakat dapat berupa : 1
Perguruan Tinggi a.
Perguruan tinggi sebagai center of excellence akan menjadi mitra pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah dalam pengembangan
riset dibidang budidaya pertanian, peternakan, perikanan. Perguruan tinggi diharapkan akan menjadi soko guru bagi pengembangan pendidikan dan
pelatihan agribisnis kepada masyarakat petani dan dunia usaha. 2
Lembaga Swadaya Masyarakat Sebagai mitra pemerintah untuk mewujudkan good governance, serta
pemerintahan yang bersih, dan berwibawa akan selalu bersikap kooperatif dan kritis, sehingga diharapkan:
a. Akan terjadi mekanisme kontrol atas program-program pemerintah dalam
pengembangan kawasan agropolitan. b.
LSM akan memberikan masukan, kritik dan saran atas pengembangan kawasan agropolitan yang ada dan sedang berjalan, sehingga diharapkan
akan memberikan feed back yang baik untuk perbaikan di masa yang akan datang.
3 Masyarakat dan dunia usaha:
Dalam rangka mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan perlu terus didorong keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dengan pendekatan
community driven planning . Dengan pendekatan ini diharapkan:
a. Terciptanya kesadaran, kesepakatan dan ketaatan masyarakat dan dunia
usaha terhadap pengembangan kawasan agropolitan. b.
Masyarakat dan dunia usaha ikut merencanakan, menggerakkan, melaksanakan dan juga mengontrol pelaksanaan program pengembangan
kawasan agropolitan. c.
Meningkatkan legitimasi program pembangunan kawasan agropolitan. d.
Masyarakat dan dunia usaha menjadi pelaku langsung dan objek dari program pengembangan kawasan agropolitan.
2.7. Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan