Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan

Pokok Agraria. Pada Pasal 2 dikemukakan bahwa negara diberi kewenangan untuk : a. Mangatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa Undang-undang No 5 tahun 1960 menggariskan terutama ketentuan-ketentuan pokok penggunaan lahan. Adapun pengelolaannya diserahkan kepada sektor- sektor yang terlibat langsung dengan pembangunan. Penggunaan lahan merupakan hasil proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta infrastruktur perumahan, dan fasilitass publik Nasoetion 1995, diacu dalam Nugroho Dahuri 2002. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut ketersediaan lahan. Namun karena ketersediaan lahan relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam hal ini respon terhadap lahan dapat berupa : a. Ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan bersifat elastis b. Intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh teknologi c. Kombinasi keduanya Secara mendasar Nugroho dan Dahuri 2002, bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam kebijakan penggunaan lahan adalah sebagai berikut : a. Lahan hendaknya digunakan untuk sebanyak-banyaknya kemakmuran rakyat pada saat sekarang dan masa mendatang b. Lahan hendaknya digunakan seefektif dan seefisien mungkin untuk kesejahteraan masyarakat c. Kebijakan penggunaan lahan hendaknya mampu mengakomodasi atau mempertemukan berbagai aktivitas pembangunan dan lokasi sesuai peruntukannya serta meminimalkan konflik kepentingan Strategi pembangunan hutan harus mengakomodasi antara kepentingan terhadap hutan itu sendiri dan manusia. Kepentingan terhadap hutan teraktualisasikan pada tuntutan untuk terlestarikannya hutan dalam seluruh kemaslahatan ekologinya, sedangkan kepentingan manusia direfleksikan melalui terpenuhinya segala kebutuhan yang dapat diperoleh dari hutan yang lestari Taufik 2001. Berdasarkan penelitian Subarna 2011 bahwa struktur kepemilikan lahan di luar hutan yang sempit, menyebabkan pendapatan petani rendah. Dengan keterbatasan lahan garapan dan keterampilam, serta rendahnya pendapatan keluarga, maka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, masyarakat mencari peluang lain guna memperluas usaha taninya melalui garapan di hutan yang berbatasan dengan desanya. Penelitian menunjukkan variabel yang sangat berpengaruh nyata pada perambahan hutan yaitu tekanan ekonomi, sedangkan variabel lain seperti keterbatasan jumlah petugas, tenurial, dan benturan kepentingan tanaman pangan dan hortikultura dengan kebijakan pelestarian tidak berpengaruh nyata.

2.6 Konflik Perambahan Hutan

Kebijakan yang tidak sejalan dengan keinginan masyarakat sering menimbulkan konflik. Di satu sisi bahwa para pemegang konsesi menerima hak setelah membayar kewajiban kepada pemerintah berupa Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IIUPHHK dan PBB Pajak Bumi dan Bangunan dengan areal yang tidak clear and clean. Seolah-olah permasalahan sosial dibebankan kepada pemegang IUPHHK. Perbedaan sering muncul di lapangan baik dengan pemerintah daerah maupun masyarakat, antara lain menyangkut perbedaan persepsi. Peladang memperlakukan hutan sebagai areal ladang, yang mereka kelola secara turun temurun dan secara arif. Di sisi lain pemerintah menganggap sebagai pelanggaran, karena ladang itu termasuk dalam kawasan hutan negara. Hal ini juga terkait dengan perbedaan kepentingan. Negara tidak mau kawasan hutannya diokupasi oleh masyarakat, sedangkan masyarakat sangat membutuhkan kawasan itu untuk menopang kehidupannya Yuliani et al. 2006. Sebaliknya banyak pula perijinan yang saling tumpang tindih karena tidak padunya kebijakan pemerintah pusat dan daerah akibat orientasi kepentingan masing-masing Kartodihardjo 2006 Konflik antar kepentingan merupakan persoalan klasik yang tidak pernah terselesaikan. Pemerintah di satu sisi menggunakan politik kekuasaan dan hukum positif untuk mematahkan argumen masyarakat, sebaliknya masyarakat memanfaatkan kekuatan sejarah, asal usul, kebudayaan dan hukum adat untuk mempertahankan hak-hak atas sumber agrarianya. Pemerintah berkepentingan menjaga dan memperluas hutan sesuai dengan daya dukung lingkungan hidup serta kepentingan ekonomi yang lebih luas. Sebaliknya masyarakat berkepentingan dengan kegiatan pertanian pemenuhan kebutuhan sehari-hari, baik pangan maupun sandang serta ritus–ritus adat. Pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia tidak hanya menghasilkan devisa melainkan juga konflik kehutanan selama tiga dasawarsa terakhir. Selama tahun 2000 terjadi 359 peristiwa konflik kehutanan. Angka tersebut 11 kali lebih banyak dari pada tahun 1997. Beralihnya fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit berskala besar menyebabkan hilangnya lahan bagi kegiatan pertanian Yuliani et al. 2006 . Konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan pemerintah dan atau dengan pemegang konsesi terutama dipicu oleh tumpangtindih penggunaan lahan hutan dan atau pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun hasil hutan non kayu lainnya. Konflik dapat dibagi sebagai 1 konflik penggunaan lahan hutan, 2 konflik berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, 3 konflik atas aktivitas dan 4 konflik menyangkut konservasi Santoso 2008. Adanya pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mendorong akses masyarakat untuk masuk ke dalam hutan dengan semakin sempitnya areal untuk bertani. Pada kurun waktu 10 tahun sejak 2000-2009 terjadi peningkatan kebun sawit 2 kali lipat dari 4.16 juta menjadi 8.25 juta hektar. Sampai dengan 2008 terdapat 2.8 juta kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan; 5.3 juta KP di Sumatera, Kalimantan, Papua. Hal tersebut dipicu pula oleh adanya okupasi ribuan pertambangan dan perkebunan Sumargo et al. 2009. Terdapat kurang lebih 35 desakelurahan di dalam dan atau di sekitar kawasan hutan Ditjen Planologi 2010. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat sekitar dan di dalam hutan pada umumnya bercocok tanam dengan membuka hutan untuk perladangan. Peningkatan jumlah penduduk adanya perubahan kawasan hutan untuk non kehutanan telah mempersempit luasan lahan perladangan sehingga masa bero diperpendek dan lahan terdegradasi. Adanya pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mendorong akses masyarakat untuk masuk ke dalam hutan dengan semakin sempitnya areal untuk bertani Setyawan 2010. Menurut Subarna 2011 tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perambahan hutan dan luas garapan lahan hutan.

2.7 Agroforestri

Agroforestri tersusun atas dua kata agro pertanian dan forestri kehutanan merupakan penggabungan ilmu pertanian dan kehutanan, serta memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan perdesaan, atau ruang untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Agroforestri merupakan sistim dan teknologi penggunaan lahan dengan pengaturan ruang dan waktu antara tanaman pohon dengan tanaman pangan berumur pendek dan atau pakan ternak serta terjadi interaksi ekonomi dan ekologi diantara unsur-unsurnya Arifin et al. 2009. Agroforestri merujuk pada sistim penggunaan lahan dimana pohon kayu ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian, padang rumput, atau peternakan. Pengaturan tersebut dapat berupa pengaturan waktu, seperti pengaturan rotasi maupun ruang. Adanya interaksi secara ekologis maupun ekonomis antara kayu dan komponen lain dalam agroforestri. Lebih jauh bahwa klasifikasi bentuk agroforestri sangat ditentukan oleh komponen penyusunnya seperti agrosilvikultur yang terdiri dari pohon dan tanaman pertanian, silvopastur mencakup pohon dan padang rumputternak Young 2005. Agroforestri merupakan ekosistim buatan yang menggabungkan kedua unit ekosistim hutan dan pertanianperikanan dan peternakan melalui budidaya yang memasukkan unsur ekosistim tersebut ke dalam ruang dan waktu dalam ekosistim hutan Butarbutar 2009. Agroforestri dapat mengurangi tekanan terhadap hutan jika dapat mengurangi resiko lingkungan dan ekonomi bagi petani. Pertanian, khususnya yang sangat tergantung pada curah hujan sangat beresiko dan pertimbangan resiko ditanggung sendiri oleh petani Schroth et al. 2004. Oleh karena itu beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan agroforestri harus dipertimbangkan yang mencakup teknis seperti kesesuaian jenis antara tanaman pertanian dan kehutanan, model pencampuran apakah lahan pada saat yang sama atau pergiliran, sedangkan faktor non teknis antara lain sosial budaya, kebijakan, skala usaha, pemasaran, pembiayaan Butarbutar 2009. Program tumpangsari yang telah berjalan di Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani telah membuktikan bahwa hutan mampu berperan dalam menyediakan bahan makanan bagi masyarakat sekitar hutan. Widiarti 2004 mengemukakan bahwa dengan tanaman campuran maka produktivitas lahan hutan rakyat dapat ditingkatkan secara optimal. Dari pengamatan beberapa lokasi hutan rakyat produksi beberapa jenis tanaman campuran adalah padi gogo 2.5 ton ha -1 , jagung 4 ton ha -1 , singkong 7.5 ton ha -1 . Ada berbagai model