Potensi Produksi Padi di Hutan Tanaman Pulau Laut Sebagaimana telah disebut sebelumnya, jika dilihat produksi antara
kedua penanamanbercocok tanam tersebut produksi dari ladang berpindah lebih rendah daripada tumpangsari. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi
topografi lahan lokasi berladang. Di lokasi ladang hutan sekunder topografinya lebih berat baik di Senakin maupun di Pulau Laut sehingga pembukaan lahan
akan menyebabkan terkikisnya lapisan humus yang mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah. Hal ini berbeda dengan lokasi tumpangsari di hutan tanaman,
yang lokasinya relatif datar. Dengan demikian maka kegiatan tumpangsari padi di pembangunan hutan tanaman di Pulau Laut dapat menjadi peluang pengganti
kegiatan ladang berpindah. Berkaitan dengan pembangunan hutan tanaman di Pulau Laut dengan
luas konsesi seluas 48 720 hektar dan memperhatikan penataan ruang tanaman pokok A. mangium seluas 70 dan daur tanaman 8 tahun maka per tahun areal
penanaman seluas 4 263 hektar. Dengan asumsi bahwa seluruh areal berpotensi untuk ditumpangsari maka potensi produksi beras setiap tahun sekitar 7 983 ton.
Jumlah tersebut cukup signifikan untuk menutupi defisit bahan pangan beras di Kabupaten Kotabaru yang diperkirakan akan berlangsung sampai tahun 2017.
Potensi tumpangsari pada lahan hutan tanaman dari sisi tenaga kerja sangat potensial jika dilihat dari jumlah penduduk dan rumah tangga di sekitar
area. Jumlah rumah tangga pada tahun 2011 yang berlokasi berbatasan dengan area hutan tanaman mencapai 4 975 keluarga. Berdasar sampel dari beberapa
desa sekitar, jumlah penduduk bermata pencaharian petani lebih dari 25 sehngga terdapat tenaga kerja lebih dari 1.240 keluarga yang berpotensi ikut
program tumpangsari disamping adanya keluarga yang bermata pencaharian lain yang potensial. Di samping hal tersebut tumpangsari padi sangat potensial
bila diusahakan secara korporasi dengan memprtimbangkan manfaat bagi tanaman pokok dan peluang keuntungan finansial yang diperoleh.
5.5 Pola Kemitraan Pada Tumpangsari Pendapatan Petani
Biaya produksi padi gogo ditunjukkan pada Tabel 25. Biaya produksi per hektar sebesar Rp 5 932 000 atau Rp 1 779 per kilogram GKG. Sebagian
besar biaya produksi merupakan biaya untuk tenaga kerja, yaitu sekitar 71 dan sekitar 29 untuk biaya bahan dan sarana prasarana. Komposisi biaya
tenaga kerja tersebut didominasi oleh biaya persiapan lahan dan pemanenan sebesar Rp 2 960 000 per hektar atau 70 dari total biaya tenaga kerja
sebesar Rp 4 210 000. Pendapatan peserta tumpangsari per hektar sebesar Rp 10 032 000 dari penjualan gabah dengan harga sebesar Rp 3 000 per
kilogram. Pada kondisi tersebut keuntungan tumpangsari bagi petani sebesar Rp 4 100 000 per hektar atau Rp 1 230 per kilogram. RC kegiatan tumpangsari
padi sebesar 1.69. Angka RC tersebut menunjukkan bahwa usahatani tumpangsari padi di hutan tanaman menguntungkan karena lebih besar dari 1
Soekartawi et al. 1986. Dengan demikian dari sisi petani maka pelaksanaan tumpangsari di areal hutan tanaman menguntungkan terutama dari sisi:
1 kesempatan untuk bercocok tanam dalam pemenuhan bahan pangan,
2 pendapatan dari usaha produksi padi tumpangsari yang menguntungkan, 3 penyerapan tenaga kerja
Tabel 25 Biaya produksi padi tumpangsari
Kegiatan Fisik
Biaya Rp
A.Biaya tenaga kerja 1. Persiapan lahan
2 000 000 2. Penanaman
8 HOK 480 000
3. Pemeliharaan -
Penyiangan 12 HOK
660 000 -
Herbisida 2 HOK
110 000 4.Pemanenan
16 HOK 960 000
Jumlah biaya tenaga kerja 4 210 000
70.97 B. Biaya bahan
1.Benih 60 kg
300 000 2.Herbisida
3 liter 225 000
3.Insektisida 50 000
4.Sarana prasarana -
Pondok kerja 1 unit
842 000 -
Cangkul,sabit, dll set
305 000 Jumlah biaya bahan
1 722 000 29.03
C.Total Biaya 5 932 000
D.Pendapatan 10 032 000
E.Keuntungan bersih 4 100 000
F.RC ratio 1.69
Berdasar penelitian Yuliono et al.2011 biaya rata-rata ladang berpindah di desa Harutai Loksado Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan
setelah dikeluarkan biaya untuk acara ritual sebesar Rp 5 758 423 dengan RC sebesar 0.94 sehingga belum bisa dikatakan layak secara ekonomi. Meskipun
ladang berpindah tidak layak secara ekonomi tetapi tetap dilakukan karena merupakan tradisi untuk memenuhi kebutuhan pangan
. Secara tradisional sebagaimana kegiatan bertani di masyarakat,
tumpangsari padi dilakukan hanya pada satu kali musim tanam yaitu pada sekitar bulan Oktober–April. Setelah dilakukan panen lahan bekas tumpangsari
tidak diusahakan lagi oleh petani. Dari sisi potensi, baik lantai hutanlahan yang belum tertutup oleh tanaman pokok dan dari sisi ketersediaan air masih sangat
potensial untuk diusahakan lebih lanjut dengan jenis tanaman palawija lain, setidaknya pada saat umur tanaman pokok masih 1 tahun. Kondisi tersebut
didukung data hari hujan dan curah hujan beberapa tahun terakhir sebagaimana Lampiran 6. Distribusi curah hujan dan hari hujan pada tahun 2012 disajikan
pada Gambar 16.