Penanaman tanaman semusim untuk tumpangsari dilakukan bersamaan dengan penanaman tanaman pokok hutan tanaman. Secara skematis digambarkan
sebagaimana Tabel 20. Tabel 20 Jadwal penanaman tumpangsari padi gogo
Kegiatan
Bulan ke
8 9
10 11
12 1
2 3
Imas Tebang
Pembersihanbakar Tanam
Pemeliharaan Pemanenan
Penanaman Penanaman dilakukan pada awal musim hujan atau akhir kemarau,
biasanya setelah terjadi 2 atau 3 hujan turun sekitar akhir Oktober atau awal Nopember dengan cara penugalan 4-5 bijilubang dengan kedalaman sekitar
3-5 cm. Benih yang diperlukan sekitar 60 kghektar dengan jarak tanam 30x30 cm. Penanaman murni padi gogo monokultur. Selanjutnya tidak
dilakukan pemupukan. Penugalan biasanya dilakukan dengan bergotong royong. Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan mencakup pengendalian gulma, hama dan penyakit. Pemeliharaan terutama terhadap gulma berupa rumput-rumputan
dilakukan penyiangan secara manual dan dengan herbisida. Kegiatan penyiangan dilakukan 2 kali pada saat berumur 1 bulan dan 2 bulan.
Pengendalian Hama dan penyakit Pengendalian hama dan penyakit hanya dilakukan secara tidak
langsung, terutama terhadap hama babi dan tikus. Pemasangan jaring atau pagar pengaman bagi babi dan racun tikus
.
Pemanenan Pemanenan dilakukan setelah bulir padi menguning sekitar 90.
Panen dilakukan dengan menggunakan ani-ani atau sabit. Pemanenan dilakukan bersama anggota keluarga dan apabila tidak mencukupi maka diborongkan.
Secara umum pemanenan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan anggota keluarga.
Kepesertaan Tumpangsari
Pelaksanaan tumpangsari musim tanam tahun 20122013 dilakukan di Pulau Laut. Berdasar sampel peserta tumpangsari sebanyak 56 orang diperoleh
data sebagaimana Tabel 21. Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar peserta tumpangsari berumur 50 tahun ke bawah sebesar 67.8, sedangkan
berdasar pendidikan pada umumnya setingkatdi bawah Sekolah Dasar sebesar 85.7.
Tabel 21 Data peserta tumpangsari di Pulau Laut Pendidikan
Umur tahun ≤
30 31-40
41-50 51-60
60 Jumlah
SD 1.8
21.4 35.7
23.2 3.6
85.7 SMP
- 5.4
1.8 3.6
1.8 12.5
SLA -
1.8 -
- -
1.8 Jumlah
1.8 28.6
37.5 26.8
5.4 100.0
Peserta tumpangsari sebagian besar, sekitar 78.6 berjarak di bawah 6 kilometer dari hutan dan sekitar 25 berjarak kurang dari 10 kilometer lokasi
tumpangsari. Dengan demikian terdapat peserta tumpangsari yang berjarak lebih dari 10 kilometer sebanyak 75 sebagaimana ditunjukkan Tabel 22.
Tabel 22 Jarak peserta tumpangsari dari hutan dan dari lokasi tumpangsari
Jarak ke lokasi tumpangsari km 5
5-10 11-15
16-20 20 Jumlah
Jarak ke hutan 3
- -
7.1 -
- 7.1
3-6 1.8
25.0 41.1
8.9 1.8
78.6 7-10
- -
- 8.9
3.6 12.5
10 -
- -
- 1.8
1.8 Jumlah
1.8 25.0
48.2 17.9
7.1 100.0
Dari data tersebut di atas maka dilihat usia peserta kegiatan pertanian tumpangsari sangat potensial untuk dikembangkan, tetapi dari segi pendidikan
maka perlu dorongan untuk keberhasilan antara lain dengan kegiatan penyuluhan yang terus menerus. Minat untuk pelaksanaan tumpangsari di hutan
tanaman sangat besar dilihat dari adanya peserta yang mempunyai jarak yang relatif jauh. Jarak yang jauh tersebut diatasi dengan pembuatan pondok kerja di
lapangan dan sarana transportasi speda motor. Berdasar penelitian di Hutan Mawas Kalimantan Tengah Akbar 2011 jarak perladangan dengan rumah
peladang umumnya antara 0,5-1 km untuk memudahkan pengawasan.
Peserta tumpangsari pada umumnya mempunyai lahan baik sawah maupun tanah kering tetapi sebagian besar diberokan Tabel 23. Hal tersebut
dikarenakan perlu biaya persiapan lahan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk kegiatan penanaman setiap tahun. Sebaliknya pada kegiatan
tumpangsari peserta mendapat bantuan persiapan lahan dari pemegang konsesi. Sebagian besar peserta tumpangsari atau sekitar 82 tidak mengerjakan lahan
yang dimilikinya diberokan.
Tabel 23 Status pengerjaan lahan peserta tumpangsari Status pengerjaan
Sawah Ladang
Sawah ladang
Tidak punya
Jumlah Dikerjakan
1.8 12.5
3.6 -
17.9 Diberokan
3.6 46.4
19.6 12.5
82.1 Jumlah
5.4 58.9
23.2 12.5
100.0
5.4 Produksi Padi Sistim Tumpangsari dan Ladang Berpindah
Produksi padi gogo pada lahan tumpangsari di hutan tanaman dan pada perladangan berpindah di hutan sekunder disajikan pada Tabel 24. Produksi
padi tumpangsari rata-rata per hektar sebesar 3.921 ton pada tahun 2009, kemudian 3.608 ton pada tahun 2011, dan 3.344 ton pada tahun 2012. Secara
statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pelaksanaan tumpangsari di hutan tanaman pada tahun 2009, 2011, dan 2012. Pada tahun
2012 produksi paling rendah yaitu sebesar 3.344 ton ha
-1
. Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan cuaca yang tidak mendukung pada tahun 2011 dan
2012 sebagai efek lanjutan adanya musim hujan sepanjang tahun pada tahun 2010. Hal ini ditunjukkan pula dengan tidak adanya minat masyarakat untuk
melaksanakan program tumpangsari pada tahun tersebut. Pelaksanaan tumpangsari tanaman pangan di Perum Perhutani menunjukkan bahwa produksi
tanaman pangan dari kawasan hutan cenderung berfluktuasi dari tahun ke tahun dan peluang untuk meningkatkan produktivitas masih terbuka baik dengan
kebijakan strategis maupun teknis seperti introduksi varietas bibit unggul Dwiprabowo et al. 2011.
Perbedaan produktivitas pada kegiatan tumpangsari dapat pula disebabkan oleh kemungkinan zat alelopati. Berdasar penelitian alelopati
Tetelay 2003 bahwa alelopati merupakan zat yang dikeluarkan oleh tumbuhan yang seringkali memiliki sifat penghambat terhadap pertumbuhan tumbuhan
atau tanaman di sekitarnya. Alelopai Acacia mangium Wild memberikan pengaruh terhadap perkecambahan kacang hijau dan jagung dimana pengaruh
yang diberikan berupa hambatan pada perkecambahan pada kedua jenis benih, sehingga petani perlu memperhatikan saat bercocok tanam pada areal sebaiknya
padi ditanam terlebih dahulu dengan membuat jalur bebas untuk tanaman pokok A. mangium.
Produksi padi pada ladang berpindah di hutan alam sekunder sebesar masing-masing 3.173 ton di Senakin dan 3.120 ton di Pulau Laut. Berdasar uji
statistik tidak ada perbedaan produksi antara kedua produksi ladang berpindah di kedua hutan sekunder tersebut tersebut. Hal ini disebabkan pada kedua lokasi
tersebut kondisi topografi relatif sama.
Produktivitas padi di hutan tanaman lebih tinggi dibandingkan hasil padi di hutan alam sekunder pada sistim ladang berpindah. Secara statistik terdapat
perbedaan yang signifikan antara kedua sistim bercocok tanam tersebut. Hal ini dapat dipahami mengingat lokasi ladang berpindah terletak pada areal hutan
dengan topografi yang lebih berat sehingga dimungkinkan terjadi erosi zat hara. Tabel 24 Produksi padi tumpangsari dan ladang berpindah kg ha
-1
Sistim Lakosi
Tahun Produksi
Simpangan baku
Ladang berpindah Senakin
2009 3 173
905 Pulau Laut
2012 3 120
1 080 Tumpangsari
Pulau Laut 2009
3 921 1 084
Pulau Laut 2011
3 608 858
Pulau Laut 2012
3 344 654
Potensi Produksi Padi di Hutan Tanaman Pulau Laut Sebagaimana telah disebut sebelumnya, jika dilihat produksi antara
kedua penanamanbercocok tanam tersebut produksi dari ladang berpindah lebih rendah daripada tumpangsari. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi
topografi lahan lokasi berladang. Di lokasi ladang hutan sekunder topografinya lebih berat baik di Senakin maupun di Pulau Laut sehingga pembukaan lahan
akan menyebabkan terkikisnya lapisan humus yang mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah. Hal ini berbeda dengan lokasi tumpangsari di hutan tanaman,
yang lokasinya relatif datar. Dengan demikian maka kegiatan tumpangsari padi di pembangunan hutan tanaman di Pulau Laut dapat menjadi peluang pengganti
kegiatan ladang berpindah. Berkaitan dengan pembangunan hutan tanaman di Pulau Laut dengan
luas konsesi seluas 48 720 hektar dan memperhatikan penataan ruang tanaman pokok A. mangium seluas 70 dan daur tanaman 8 tahun maka per tahun areal
penanaman seluas 4 263 hektar. Dengan asumsi bahwa seluruh areal berpotensi untuk ditumpangsari maka potensi produksi beras setiap tahun sekitar 7 983 ton.
Jumlah tersebut cukup signifikan untuk menutupi defisit bahan pangan beras di Kabupaten Kotabaru yang diperkirakan akan berlangsung sampai tahun 2017.
Potensi tumpangsari pada lahan hutan tanaman dari sisi tenaga kerja sangat potensial jika dilihat dari jumlah penduduk dan rumah tangga di sekitar
area. Jumlah rumah tangga pada tahun 2011 yang berlokasi berbatasan dengan area hutan tanaman mencapai 4 975 keluarga. Berdasar sampel dari beberapa
desa sekitar, jumlah penduduk bermata pencaharian petani lebih dari 25 sehngga terdapat tenaga kerja lebih dari 1.240 keluarga yang berpotensi ikut
program tumpangsari disamping adanya keluarga yang bermata pencaharian lain yang potensial. Di samping hal tersebut tumpangsari padi sangat potensial
bila diusahakan secara korporasi dengan memprtimbangkan manfaat bagi tanaman pokok dan peluang keuntungan finansial yang diperoleh.
5.5 Pola Kemitraan Pada Tumpangsari Pendapatan Petani
Biaya produksi padi gogo ditunjukkan pada Tabel 25. Biaya produksi per hektar sebesar Rp 5 932 000 atau Rp 1 779 per kilogram GKG. Sebagian
besar biaya produksi merupakan biaya untuk tenaga kerja, yaitu sekitar 71 dan sekitar 29 untuk biaya bahan dan sarana prasarana. Komposisi biaya
tenaga kerja tersebut didominasi oleh biaya persiapan lahan dan pemanenan sebesar Rp 2 960 000 per hektar atau 70 dari total biaya tenaga kerja
sebesar Rp 4 210 000. Pendapatan peserta tumpangsari per hektar sebesar Rp 10 032 000 dari penjualan gabah dengan harga sebesar Rp 3 000 per
kilogram. Pada kondisi tersebut keuntungan tumpangsari bagi petani sebesar Rp 4 100 000 per hektar atau Rp 1 230 per kilogram. RC kegiatan tumpangsari
padi sebesar 1.69. Angka RC tersebut menunjukkan bahwa usahatani tumpangsari padi di hutan tanaman menguntungkan karena lebih besar dari 1
Soekartawi et al. 1986. Dengan demikian dari sisi petani maka pelaksanaan tumpangsari di areal hutan tanaman menguntungkan terutama dari sisi:
1 kesempatan untuk bercocok tanam dalam pemenuhan bahan pangan,