masyarakat sekitar dan di dalam hutan pada umumnya bercocok tanam dengan membuka hutan untuk perladangan. Peningkatan jumlah penduduk adanya
perubahan kawasan hutan untuk non kehutanan telah mempersempit luasan lahan perladangan sehingga masa bero diperpendek dan lahan terdegradasi.
Adanya pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan mendorong akses masyarakat untuk masuk ke dalam hutan dengan semakin sempitnya areal untuk
bertani Setyawan 2010. Menurut Subarna 2011 tekanan ekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan perambahan
hutan dan luas garapan lahan hutan.
2.7 Agroforestri
Agroforestri tersusun atas dua kata agro pertanian dan forestri kehutanan merupakan penggabungan ilmu pertanian dan kehutanan, serta
memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan perdesaan, atau ruang untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan.
Agroforestri merupakan sistim dan teknologi penggunaan lahan dengan pengaturan ruang dan waktu antara tanaman pohon dengan tanaman pangan
berumur pendek dan atau pakan ternak serta terjadi interaksi ekonomi dan ekologi diantara unsur-unsurnya Arifin et al. 2009.
Agroforestri merujuk pada sistim penggunaan lahan dimana pohon kayu ditanam secara bersamaan dengan tanaman pertanian, padang rumput, atau
peternakan. Pengaturan tersebut dapat berupa pengaturan waktu, seperti pengaturan rotasi maupun ruang. Adanya interaksi secara ekologis maupun
ekonomis antara kayu dan komponen lain dalam agroforestri. Lebih jauh bahwa klasifikasi bentuk agroforestri sangat ditentukan oleh komponen penyusunnya
seperti agrosilvikultur yang terdiri dari pohon dan tanaman pertanian, silvopastur mencakup pohon dan padang rumputternak Young 2005.
Agroforestri merupakan ekosistim buatan yang menggabungkan kedua unit ekosistim hutan dan pertanianperikanan dan peternakan melalui budidaya
yang memasukkan unsur ekosistim tersebut ke dalam ruang dan waktu dalam ekosistim hutan Butarbutar 2009.
Agroforestri dapat mengurangi tekanan terhadap hutan jika dapat mengurangi resiko lingkungan dan ekonomi bagi petani. Pertanian, khususnya
yang sangat tergantung pada curah hujan sangat beresiko dan pertimbangan resiko ditanggung sendiri oleh petani Schroth et al. 2004. Oleh karena itu
beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan agroforestri harus dipertimbangkan yang mencakup teknis seperti kesesuaian jenis antara tanaman
pertanian dan kehutanan, model pencampuran apakah lahan pada saat yang sama atau pergiliran, sedangkan faktor non teknis antara lain sosial budaya,
kebijakan, skala usaha, pemasaran, pembiayaan Butarbutar 2009.
Program tumpangsari yang telah berjalan di Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani telah membuktikan bahwa hutan mampu berperan dalam
menyediakan bahan makanan bagi masyarakat sekitar hutan. Widiarti 2004 mengemukakan bahwa dengan tanaman campuran maka produktivitas lahan
hutan rakyat dapat ditingkatkan secara optimal. Dari pengamatan beberapa lokasi hutan rakyat produksi beberapa jenis tanaman campuran adalah padi
gogo 2.5 ton ha
-1
, jagung 4 ton ha
-1
, singkong 7.5 ton ha
-1
. Ada berbagai model
agroforestri yang dapat dikembangkan menjadi pendukung ketahanan pangan nasional dan sektor kehutanan dapat berperan langsung melalui pengembangan
jenis pangan di sekitar hutan tanpa merubah fungsi kawasan hutan Butarbutar 2009.
Agroforestri banyak dilakukan oleh petani di Indonesia karena merupakan teknik penggunaan lahan yang sangat cocok untuk dilakukan di