Ketahanan Pangan TINJAUAN PUSTAKA

Disamping itu melibatkan lebih dari 21 juta keluarga petani atau sekitar 80 juta jiwa. Kondisi tersebut menyebabkan beras menjadi isu strategis yang dapat dijadikan komoditi politik sehingga dapat menjadi isu instabilitas. Perdebatan isu beras tidak hanya menyangkut ketersediaan, distribusi, konsumsi maupun kebijakan. Usaha peningkatan produksi beras masih terfokus pada padi sawah yang saat ini masih menyisakan tugas pada kemantapan kestabilan produksi padi nasional dan ketahanan pangan. Di sisi lain terdapat potensi lahan kering yang masih cukup luas yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang produksi padi nasional. Lahan kering ini dapat dimanfaatkan untuk produksi padi nasional dengan ekstensifikasi melalui budidaya padi gogo. Termasuk di dalamnya adalah melalui budidaya padi gogo di lahan hutan dengan sistim tumpangsari. Meskipun prediksi FAO bahwa peningkatan produksi pangan akan lebih besar dari prediksi pertumbuhan penduduk tetapi defisit stok pangan dunia yang menimbulkan krisis pangan dunia terjadi pada 2000, 2002, 2003, 2006, dan sejak 2007 Tambunan 2008. Dunia menghadapi krisis pangan karena laju pertumbuhan penduduk yang tetap tinggi sementara disisi lain lahan yang tersedia untuk kegiatan pertanian terbatas atau pertumbuhannya semakin kecil. Indonesia telah mencapai swasembada beras sejak tahun 2007 Kementerian Pertanian 2009. Data menunjukkan bahwa adanya perubahan iklim mengakibatkan rata-rata luas lahan sawah terkena banjir dan kekeringan sebesar 29 743 ha dan 82 472 ha. Kondisi ini kecenderungan meningkat pada tahun–tahun mendatang sehingga akan berpengaruh pada produktivitas. Perkembangan produksi padi dari 2011 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2 Perkembangan produksi padi nasional Uraian 2011 2012 2013 Luas Panen ha 13 203 643 13 445 524 13 451 211 Produktivitas kwha 49.80 51.36 51.50 Produksi ton 65 756 904 69 056 126 69 271 053

2.4 Usahatani

Petani harus membuat keputusan dari tahun ke tahun dalam hubungannya dengan ketidakpastian mengenai iklim, serangan hama dan penyakit, perkembangan harga, keragaan teknologi baru, dan sering pula status penggarapan lahan dan iklim politik di tempat berusaha. Oleh karena itu keputusan yang diambil petani kecil banyak mengandung resiko, ia tidak pernah yakin terhadap hasil yang diperoleh dari pilihannya Soekartawi et al. 1986. Terdapat empat unsur pokok usahatani yaitu tanah, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Peranan pendapatan dari usahatani dapat digolongkan menjadi pertanian subsisten atau tujuan untuk komersiil Hernanto 1996. Pertanian dengan sistim berladang berpindah merupakan tradisi turun temurun yang merupakan adaptasi terhadap kondisi tanah di Kalimantan yang kurang subur. Dalam perladangan berpindah tidak diperlukan adanya sarana produksi seperti pupuk dan pestisida. Suatu usahatani tidak menetap yang terkenal di Indonesia adalah ladang berpindah shifting cultivation atau yang dikenal pula dengan sebutan slash and burn agriculture yang mempunyai nilai R kurang dari 33. Nilai R menunjukkan perbandingan antara jumlah tahun suatu bidang tanah yang digunakan untuk usahatani dikalikan dengan 100 dan dibagi dengan lamanya siklus penggunaan tanah. Lamanya siklus penggunaan tanah adalah jumlah tahun bidang tanah tersebut digunakan untuk bercocok tanam ditambah dengan jumlah tahun bidang tanah tersebut tidak digunakan atau diberokan. Nilai R sama atau lebih besar dari 66 menunjukkan sistim usahatani menetap, sedangkan nilai R kurang dari 66 menunjukkan usahatani tidak menetap atau bera Arsyad 2010.

2.5 Akses Masyarakat terhadap Sumberdaya Hutan

Akses masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan sumberdaya hutan masih terbatas pada pemanfaatan lahan untuk berladang ladang berpindah. Akses pengelolaan hutan masih sulit dilaksanakan. Hal ini memunculkan stigma bahwa penduduk sekitar hutan identik dengan kemiskinan dan keterisolasian. BPS 2012 menyebutkan bahwa penduduk miskin di Indonesia 15.2 atau 18 485 190 jiwa dengan pendapatan dibawah garis kemiskinan Rp 229 226 kapitabulan. Alkadri et al. 1999 membagi kemiskinan dalam tiga kategori: kemiskinan alami, kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural. Kemiskinan alami adalah kemiskinan yang disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Sebagai akibatnya sistim produksi beroperasi tidak optimal dengan efisiensi rendah. Masyarakat atau petani yang tinggal di lahan kering sulit air dan jauh dari akses informasi terpencil umumnya menghasilkan produksi yang rendah. Situasi bertambah buruk akibat hambatan geografis yang berat sehingga menciptakan halangan pasar dan misalokasi dalam investasi, komoditas, maupun sumberdaya lainnya. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang langsung atau tidak langsung diakibatkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Permasalahan kemiskinan struktural dapat dilihat melalui kepemilikan sumber daya lahan. Permintaan sektor industri mendorong konversi besar-besaran lahan sawah ke penggunaan non pertanian. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan. Kebijakan makro hendaknya memberi peluang bagi investor di daerah yang “berat” dengan berbagai insentif dalam rangka mengurangi berbagai ketidakpastian dan resiko Nugroho Dahuri 2002. Sejalan dengan kemajuan pembangunan dengan mekanisme pasar yang telah mempengaruhi alokasi sumber daya, tercermin pergeseran tata nilai dan persepsi diantara anggota masyarakatnya dalam memandang alokasi sumber daya. Mereka yang tersisih dan tidak mampu memenuhi aspirasi atau kebutuhannya akan sulit dicegah untuk lebih jauh mengeksploitasi sumber daya alam sekitarnya. Upaya menarik kelompok ini untuk berpartisipasi dalam pembangunan mustahil dilakukan tanpa lebih dahulu memperbaiki kesejahteraannya. Kelembagaan dan perundangan yang terkait dengan penggunaan lahan hingga saat ini masih bersumber pada UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-