32
a. Memiliki sifat lemah lembut dan berbudi luhur.
b. Ramah dan menjauhi sifat bengis
c. Hati yang penuh kasih sayang
d. Mengambil  yang  termudah  dari  2  urusan  selama  tidak  mengandung
dosa e.
Bersifat fleksibel f.
Menjauhakn diri dari amarah Dari  pemaparan  point  pertama  dapat  simpulkan  MUI  memutuskan
persyaratan  seorang  pengasuh  harus Dapat  dipercaya  amanah  dan
berbudi  pekerti  yang  baik  karena  dalam  agama  Islam,  akhlak, perilaku  dan  dan  sikap  yang  baik  merupakan  buah  dari  pendidikan
keimanan  yang  baik  kepada  anak.  Jika  orang  tua  sudah  mampu menanamkan  pendidikan  iman  pada  anak,  niscaya  ia  akan  tumbuh
menjadi manusia yang senantiasa menjaga kemashlahatan agamanya. Seseorang anak, sejak terlahir dari Rahim Ibunya, lalu ia tumbuh di
lingkungan  yang  selalu  menanamkan  keimanan,  mendidiknya  agar bertakwa  dan  takut  kepada  Allah  yang  menginformasikan  bahwa
Allah  SWT  adalah  zat  yang  selalu  mengawasi,  menyaksikan, menolong,  dan  menerima  taubat  bagi  hamba-Nya  yang  bertaubat,
niscaya  anak  akan  mampu  mengarungi  kehidupan  dunia  ini  dengan keberhasilan  yang  berpihak  kepadanya.  Ia  akan  senantiasa
memperlihatkan  kepada  masyarakat  akhlak  yang  terpuji,  perilaku
33
dan  sikap  yang  layak  untuk  dijadikan  tauladan  bagi  umat  lainnya. Hati  dan  jiwanya  akan  senantiasa  mengintrospeksi  setiap  kesalahan
yang diperbuatnya lalu ia segera memperbaiki dirinya.
8
2. Al-Qur’an dan Hadits
Allah  telah  mengatur  hukum  tentang  pengasuhan  anak  yang menerangkan  bahwa  seorang  pengasuh  harus  cakap  akhlaknya  dan  tidak
fasik seperti firman Allah SWT:
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 Artinya:
“Para  Ibu  hendaklah  menyusukan  anak-anaknya  selama  dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.
dan kewajiban  Ayah memberi  Makan dan pakaian kepada Para Ibu  dengan  cara  maruf.  seseorang  tidak  dibebani  melainkan
menurut  kadar  kesanggupannya.  janganlah  seorang  Ibu menderita  kesengsaraan  karena  anaknya  dan  seorang  Ayah
karena  anaknya,  dan  warispun  berkewajiban  demikian.  apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan
keduanya  dan  permusyawaratan,  Maka  tidak  ada  dosa  atas keduanya.  dan  jika  kamu  ingin  anakmu  disusukan  oleh  orang
lain,  Maka  tidak  ada  dosa  bagimu  apabila  kamu  memberikan
8
Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih,  Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga, Jakarta: Akademika, 2013, h. 88-89.
34
pembayaran  menurut  yang  patut.  bertakwalah  kamu  kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.” QS. Al-Baqarah: 233 Al-Lukman ayat 13:
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya: “Dan  ingatlah  ketika  Luqman  berkata  kepada  anaknya,  di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu  mempersekutukan  Allah,  Sesungguhnya  mempersekutukan
Allah  adalah  benar-benar  kezaliman  yang  besar.  QS.  Al- Lukman: 13
Menurut  Ibnu  Kasir  ayat  di  atas  dikisahkan  bahwa  Lukman adalah seorang hamba shaleh yang dikarunia oleh Allah SWT pemahaman
di  dalam  memahami  agama.  Kemudian  lukman  mengajarkan  kepada anaknya  agar  selalu  ingat  kepada  Allah  dan  melarangnya  untuk
mensekutukan Allah.
9
B. Metode Penetapan Fatwa
MUI mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang dikenal dengan  metode  istibath  pemahaman,  penggalian,  dan  perumsan  hukum.
Metode  penetapan  fatwa  ini  berlaku  dalam  penetapan  ketiga  kategori  fatwa, yaitu  fatwa-fatwa  ekonomi  syariah,  produk  halal,  dan  keagamaan,  kecuali
apabila disebutkan secara spesifikasi.
10
9
Ibnu  Kasir,  Tafsir  Al- Qur’an  al-‘Azim,  Lebanon:  Dar  el-Kutub,  tth,  Juz  6,  h.
300.
10
Asrorun  Ni ’am Sholeh,  Metodoloi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
Jakarta: Emir, 2016,  h. 116.
35
System  dan  prosedur  yang  diterapkan  dalam  penetapan  fatwa  MUI merupakan  bagian  dari  ijtihad,  sebagaimana  telah  diperkenalakan  oleh  para
ahli  ilmu  ushul  fiqh.  Jalan  ijtihad  ditempuh  untuk  mengetahui  atau menjelaskan  hokum  Islam  yang  belumdiketahui  secara  jelas.  Para  ahli  ilmu
ushul fiqh berbeda pebdapat, sekalipun tidak begitu tajam, dalam merumuskan apa yang dimksud dengan ijtihad, antara lain, dikatakan sebagai:
غارفتسإ يعرش مطح نظ ليصحتل عسولا هيقفلا
“Ijtihad  ialah  pencurahan  segenap  kemampuan  secara  maksimal  yang dilakukan  oleh  seorang  ahli  fikih  faqih  untuk  mendapatkan  pengetahui
tingkat zhan dugaan kuat mengenai hokum syar ’i.”
11
Rumusan  ahmpir  serupa  dengan  sedikit  penambahan  di  ungkapkan oleh al-Amidi sebagai berikut:
غارفتسإ ى عسولا
زجعلا سف لا نم سح هجو ىلع ةيعرشلا ماكحأا نم ئشب نظلا بلط ف ديزما نع
هي
“Ijtihad  ialah  pencurahan  segenap  kemampuan  secara  maksimal  dalam mencari  mencari  pengetahuan  tingkat  zhan  mengenai  hokum  syar
’I,  dalam batas sampai dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya itu.
”
12
Kedua  definisi  diatas  saling  melengkapi  dari  kedua  definisi  sebut dapat difahami,  yaitu: pertama, pelaku ijtihad atau mujtahid harus ahli dalam
bidang  hukum  fiqih    hukum  Islam  faqih  bukan  yang  lain.  Kedua,  sasaran
11
Muhammad  Ibn  Ahmad  al-Mahalli,  Syarh ‘ala Matn Jam’I al-Jawami, Mesir:
Musthafa al-Babi al-Halabi, t.t, Juz II, h. 379.
12
Al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Muassasah al-Halabi wa Syirkah, t.t, Juz IV, h. 141.
36
yang  ingin  dicapai  dalam  ijtihad  adalah  hukum  syar ’i  yang  berhubungan
dengan aktifitas  dan perbuatan mukallaf. Artinya, ijtihad tidak berlaku dalam bidang  lain  seperti  akidah  dan  akhlak.
13
Ketiga,  status  hukum  syar ’I  yang
dilakukan melalui ijtihad bersifat zhani. Istilah zhani dikalangan hukum islam dimaknai sebagai salah satu yang mendekati kebenaran dianggap benar. Dari
sana  pula  dapat  disimpulkan  bahwa  hasil  ijtihad  seorang  mujtahid  bersifat relatif yang belum tentu mutlak kebenaran.
Secara  profesional  fatwa-fatwa  MUI  ditetapkan  dengan  pedoman penetapan fatwa  yang memuat empat ketentuan  dasar,
14
yaitu  pertama  setiap keputusan  fatwa  harus  dasar  di  dalam  al-Qur
’an  dan  hadits  yang  mu’tabar, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Kedua, jika fatwa  yang  akan ditetapkan hukumnya tidak terdapat di dalam  al-Qur
’an  maupun  hadits  ,  maka  fatwa  tersebut  hendaknya  tidak bertentangan  dengan  ijma
’,  qiyas,  yang  mu’tabardan  dalil-dalil  hukum  yang seperti  istihsan,  mashlahah  mursalah,  dan  sad  adz-zari
’ah.  Dalam  hal  ini, dalil  hukum  yang  berasal  dari  penalaran  mendapatkan  tempat  dalam  proses
penetapan hukum. Ketiga,  sebelum  fatwa  diputuskan,  dilakukan  penelusuran  data
dengan  merujuk  pada  pendapat-pendapat  para  imam  mazhab  terdahulu,  bik yang  berhubungan    dengan  dalil-dalil  hukum  maupun  yang  berhubungan
13
Ibrahim  Hosen, “Memecahkan  Permasalahan  Hukum  Baru”  Dalam  Haidar
Bagir Ed, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1988, h.23.
14
Pedoman  Penetapan  Fatwa  yang  ditetapkan  berdasarkan  SK.  Dewan  Pimpinan MUI Nomor U-596MUIX1997 tanggal 2 oktober 1997.