2. Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015)

(1)

(Analisis Keputusan Ijtima‘ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015) SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

OLEH:

MASRUR RAHMANSYAH NIM: 1110043100048

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2016 M / 1437 H


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdu Lillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji hanya bagi Allah Swt, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia ni’mat-Nya kepada hamba-Nya. Shalawat beriring salam tak luput selalu tercurahkan kepada Rasul pilihan Baginda Nabi Besar Muhammad SAW.

Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan untuk setiap manusia, karena menuntut ilmu dapat menghantarkan manusia menuju gerbang masa depan yang cerah. Disebabkan hal itu penulis mencoba untuk menyelesikan suatu karangan ilmiyah yang merupaka salah satu syarat demi menggapai masa depan tersebut dengan cara menyelesaikan skripsi ini. Namun penulis sadar dalam menulis skripsi ini masih banyak kekurangan didalamnya, akan tetapi penulis berharap hasil tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi orang banyak.

Perlu diketahui penulis tidaklah dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Ahmadi, S.Ag, M.Si, selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A, selaku sekertaris


(6)

v

3. Prof. Dr. H. Abdul Wahab Abd Muhaimin, Lc., M.A selaku dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan arahannya dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau senantiasa diberikan kesehatan oleh Allah SWT.

4. Para dosen Fakultas Syriah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis semasa kuliah dahulu, semoga senantiasa dimudahkan segala urusannya.

5. Ayahanda dan Ibunda penulis, Bapak Chairul Hadist dan Ibu Siti Masyitoh, yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat juga membimbing penulis, serta adik-adik tercinta Adib Adzkari, Siti Chairu Widha, dan Ahmad Haikal Asyraq semoga mereka senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

6. Adinda tercinta Rahmawati yang selalu memberikan semangat kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

7. Para sahabat seperjuangan, teman-teman bertukar pikiran, PMH Angkatan 2010, Ahmad Munir, Ahmad Fatih, Syukria, Ibnu Rusdi, Abdul Mukti, Abdul Aziz, yang selalu menyemangati penulis.

8. Adik-adik kelas, Angkatan 2011, Edi Jon, Fauzan Ocid, Syardi Hakim,

Ma’mu Siroj.

9. Dan seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT.


(7)

vi

kepada penulis senantiasa diridhoi setiap langkah kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik di akhirat kelak.

Jakarta: 12 September 2016 M 10 Zulhijjah 1437 H


(8)

vii

Masrur Rahmansyah, NIM 1110043100048, “HAK ASUH ANAK TERHADAP

ORANG TUA YANG BERCERAI KARENA BERBEDA AGAMA” (Analisis

Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia V Tahun 2015), konsenterasi Perbandingan Mazhab FIKIH, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H / 2014 M. 1-67 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hukum Islam di dalam hukum hak asuh terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama analisis

keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015, penyebab difatwakannya tentang hak hadhanah bagi orang yang bercerai beda agama adalah menyalahi kepada norma-norma agama yang saat ini banyak terjadi di Indonesia hak asuh anak jatuh kepada orang non muslim setelah bercerai, bukan itu saja penyebab lainnya yaitu banyak tindakan dikriminasi terhadap anak yang di asuh oleh orang tuanya oleh karenanya MUI mebuat suatu fatwa yang mengatur hal itu maka dalam hal ini penulis telah meneliti secara mendetail tentang keputusan fatwa dan kasus tersebut.

Hasil penelitian menunjukan Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya mutlak harus diasuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini diatur oleh

al-Qur’an dan Assunah. Adapun Metode isthinbath hukum MUI dalam memecahkan permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum Islam yang sifatnya qot’i yaitu al-Qur’an, As-sunnah dan Ijma ulama mu’tabarah dan mengambil dari pendapat -pendapat ulama yang rojih, maka sifat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat dan tidak bisa di ganggu gugat.

Adapun penelitian skripsi ini menggunakan metode kuantitatif yag menekankan pada kualitas ranah pemahaman terhadap keputusan Ijtima’ ulama komisi fatwa Se-Indonesia V tahun 2015. Pendekatan yang penulis lakukan menggunakan metode normatif dengan melihat objek hukum yang berkaitan dengan fatwa MUI. Adapun bahan yang digunakan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan sekunder kemudian bahan pengelolaan hukum dilakukan dengan cara deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang di hadapi.

Kata Kunci : Hak Asuh, Anak, Bercerai, Beda Agama

Pembimbing :Prof. Dr. Abdul Wahab Abdul Muhaimin, Lc., M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1948 sampai tahun 2013


(9)

viii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Studi Riview Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH ... 10

A. Pengertian Hadhanah ... 10

B. Hukum Hadhanah ... 11

C. Syarat-syarat Hadhanah ... 16

D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah ... 23

BAB III : KEPUTUSAN IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE- INDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK ASUH ANAK TEHADAP ORANG TUA BERCERAI SEBAB BERBEDA AGAMA ... 28

A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku .... 28


(10)

ix

BAB IV : ANALISIS TENTANG FATWA ... 44

A. Metode Istinbath MUI ... 44

B. Dalil ... 50

C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama... 56

BAB V : PENUTUP ... 62

A.Kesimpulan ... 62

B.Saran ... 63


(11)

44

BAB IV

ANALISIS TENTANG FATWA

A. Metode Istinbath MUI

Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa colonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat local, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.1

Dasar-dasar dan Prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:2

1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan

Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.

1

Mohamad Atho Mudzhar, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study

of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, (Los Angels: University of California, 1990), h. 92.

2

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,( Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003), h. 4-5


(12)

2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak

bertentangan dengan ijmă’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzarĭ’ah. 3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau

pendapat-pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.

4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya, dipertimbangkan.

Dasar-dasar penetapan istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh ulama salaf. Sikap tersebut yang digunakan dalam menetapkan fatwa MUI adalah perlunya memikirkan semua kemaslahatan umat disaat menetapkan fatwa, di samping itu pula juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama mazhab fikih, baik itu pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidaklah cenderung kepada dua pendapat, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.3

3

http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html di Akses Pada Tanggal 28 Juni 2016 Pukul 21. 00 WIB.


(13)

Dari pembahasan diatas maka penulis berkesimpulan bahwa MUI menetapkan Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail

Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun

2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai

Karena Berbeda Agama berdasarkan metode isntibath hukum yang

bersumber dari Al-quran dan As-Sunah yang kemudian dikaji lebih dalam oleh ulama salaf terdahulu. Adapun dalil yang digunakan dalam meistinbathkan hukum Hadhanah akibat bercerai karena berbeda agama adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

Surat al-Baqarah ayat 233:





















































































































































Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila


(14)

keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat

apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233) Surat at-Tahrim ayat 6:

                                       

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa

yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6) Surat an-Nisa ayat 141:

                                                                    

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)


(15)

b. As-Sunnah

َيِضَر َةَرْ يَرُه َِِأ ْنَع ،ِجَرْعَْأا َزُمْرُه ِنْب ِنَْْ رلا ِدْبَع ْنَع

" : َلاَق , َم لَسَو ِهْيَلَع ُه للا ى لَص ِه للا َلوُسَر نَأ ،ُهَْع ُه للا

ٍدوُلْوَم لُك

ِهِناَرِصَُ ي ْوَأ ،ِهِناَدِوَهُ ي ُاَوَ بَأَف ،ِةَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلوُي

ِهِناَسِجَُُ

4

Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

ُدْبَع اََ ث دَح ،َسُنوُي ُنْب ىَسيِع اََ ث دَح ،ٍرَْح ُنْب يِلَع اََ ث دَح

ُه نَأ ٍناَِس ِنْب ِعِفاَر ،يِدَج ْنَع ، َِِأ َِِرَ بْخَأ ،ٍرَفْعَج ُنْب ِديِمَْْا

ِهْيَلَع ُها ى لَص ِِ لا ِتَتَأَف ،َمِلْسُت ْنَأ ُهُتَأَرْما ْتَبَأَو َمَلْسَأ

َم لَسَو

َلاَقَ ف ، َِِْ با :ٌعِفاَر َلاَقَو ،ُهُهَ بَش ْوَأ ٌميِطَف َيِهَو ، َِِْ با :ْتَلاَقَ ف

:َم لَسَو ِهْيَلَع ُها ى لَص ِِ لا ُهَل

ًةَيِحاَن ْدُعْ قا "

" :اَََ َلاَقَو "

" : َلاَق ُُ ،اَمُهَ ْ يَ ب َة يِب صلا َدَعْ قَأَف " ًةَيِحاَن يِدُعْ قا

،" اَهاَوُعْدا

مُهللا " :َم لَسَو ِهْيَلَع ُها ى لَص ِِ لا َلاَقَ ف ،اَهِمُأ ََِإ ْتَلاَمَف

اَهَذَخَأَف اَهيِبَأ ََِإ ْتَلاَمَف " اَهِدْها

)دْأ اور( .

5

.

4

Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h. 513. 5

Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.


(16)

Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan

kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami

Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku

dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut. (HR. Ahmad)

c. Ijma’ Ulama

Ulama sepakat bahwa syarat seseorang dapat mengasuk anak adalah sebagai berikut:

1) Berakal sehat. 2) Dewasa (baligh)

3) Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak.

4) Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik. 5) Beragama Islam.

Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut diatas.


(17)

Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non muslim itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri maupun orang lain.6 Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak (mahdun). Menurut sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.7

Mazhab Syafi‘iyah dan Mazhab Hanabilah berpendapat bahwa

hādinlah yang berhak atas itu, apabila hādin tidak bersedia melaksanakan

hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya

B. Dalil

1. Al-Qur’an

Surat al-Baqarah ayat 233:

6

Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Katani, dkk:, h. 67

7

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,


(18)





















































































































































Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabilakeduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat

apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah : 233)

Pada ayat ini MUI mengambiil Istinbatul ahkam dari sepenggal ayat yaitu:



















Penulis berpendapat pada potongan ayat tersebut sudah dapat diketahui bahwa wajib bagi orang tua memberikan nafkah dari rizki yang halal. Kewajiban tersebut dapat diketahui dari lafaz ‘ala yang diantaranya memberikan faidah lilisti’la dan littaukid artinya wajib dilaksanakan


(19)

secara syar’i. Maka tidak dapat dipungkiri MUI memberikan fatwa atau syarat bahwa seorang pengasuh wajib memberikan rizki yang sifatnya halal. Jika bertolak belakang dengan fatwa ini maka tidak boleh mengasuh anak.

Surat at-Tahrim ayat 6:























Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa

yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6)

Pada ayat ini MUI memenggal potongan ayat yaitu jumlah











artinya adalah wajib bagi orang yang beriman agar menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Maksudnya adalah lafaz qû itu berbentuk amar yang memberikan artian wajib mengerjakan (Lithalab) sebagaimana qaidah ushuliyah mengatakan:

َا َْأ

ْص

ُل

ِى

َْأا

ْم ِر

ِل ْل

ُو ُج

ْو

ِب

ِإ

ل

َم

َدا

ل

دلا

ِل ْي

ُل

َع َل

ِخ ى

َا

ِف ِه

8

Asal perkara di suatu perintah itu wajib kecualai ada dalil yang memberikan prbedaannya.

8


(20)

Surat an-Nisa ayat 141:









































































Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 141)

Menurut penulis MUI mengambil ayat ini sebagai dasar seorang pengasuh tidak boleh beragama non Islam karena alasannya adalah dilihat dari lafaz lan mengandung arti meniadakan untuk zaman akan datang maka dapat difahami bahwa hubungan antara manhtûq dan

mafhum menyimpulkan pada masa akan datang non muslim tidak berhak

mengasuh anak yang beragama Islam apalagi untuk saat ini maka mutlak tidak boleh untuk mengasuh anak. Hal ini dapat difahami pula dari lafaz

sabila yang bentuk lafaznya isim mufrad sedangkan lafaz mufrad maknanya umum (tidak tertentu dan tidak dapat diketahui), maka kesimpulan pemahaman penulis MUI mengambil dasar hukum dari ayat


(21)

ini adalah hukum Islam tidak mentolelir bagi seorang non muslim untuk mengasuh anaknya yang beragama Islam dalam seluruh aspek.

2. As-sunnah

َةَرْ يَرُه َِِأ ْنَع ،ِجَرْعَْأا َزُمْرُه ِنْب ِنَْْ رلا ِدْبَع ْنَع

َيِضَر

" : َلاَق , َم لَسَو ِهْيَلَع ُه للا ى لَص ِه للا َلوُسَر نَأ ،ُهَْع ُه للا

ِهِناَرِصَُ ي ْوَأ ،ِهِناَدِوَهُ ي ُاَوَ بَأَف ،ِةَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلوُي ٍدوُلْوَم لُك

ِهِناَسِجَُُ

9

Artinya: “Dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj dari Abi Hurairah semoga Allah meridhainya bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnyamenjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Menurut MUI Hadis ini menunjukkan bahwa orang tua yang mengasuh anak sangat mempengaruhi agama yang akan dipeluk anaknya. Oleh karena itu, hendaknya pihak yang akan mengasuh anak harus beragama Islam sehingga anaknya menjadi generasi muslim, tetapi penulis memahami dari makna pemahaman MUI ialah jika pihak yang akan mengasuh anak tersebut harus beragama Islam maka pemahaman ini jika dikaji dalam ushul fikih mengandung makna Dilālah Iltizāmiyah yaitu dilalah yang mesti harus dipenuhi seacara akal, Karena dari konteks susunan kalam yang pada hadits tersebut menunjukan kedua orangtuangya harus menanamkan jiwa dan dasar-dasar syariat Islam, karena di dalam fikihpun seorang pengasuh (orangtua) wajib menananmkan dasar-dasar

9

Abu Hanifah an-Nu’man, Musnad Abu al-Hashkafi, (Mesir: tp, th), Juz 1h. 513.


(22)

pondasi Islam seperti mengenal rukun Islam dan rukun Imam sejak dini maka pemahaman MUI terhadap hadits ini menjadi sesuai dengan pendapat ulama yang terdahulu sampai saat ini.

ُدْبَع اََ ث دَح ،َسُنوُي ُنْب ىَسيِع اََ ث دَح ،ٍرَْح ُنْب يِلَع اََ ث دَح

ُه نَأ ٍناَِس ِنْب ِعِفاَر ،يِدَج ْنَع ، َِِأ َِِرَ بْخَأ ،ٍرَفْعَج ُنْب ِديِمَْْا

ْتَبَأَو َمَلْسَأ

َم لَسَو ِهْيَلَع ُها ى لَص ِِ لا ِتَتَأَف ،َمِلْسُت ْنَأ ُهُتَأَرْما

َلاَقَ ف ، َِِْ با :ٌعِفاَر َلاَقَو ،ُهُهَ بَش ْوَأ ٌميِطَف َيِهَو ، َِِْ با :ْتَلاَقَ ف

:َم لَسَو ِهْيَلَع ُها ى لَص ِِ لا ُهَل

ًةَيِحاَن ْدُعْ قا "

" :اَََ َلاَقَو "

ْ قا

،" اَهاَوُعْدا " :َلاَق ُُ ،اَمُهَ ْ يَ ب َة يِب صلا َدَعْ قَأَف " ًةَيِحاَن يِدُع

مُهللا " :َم لَسَو ِهْيَلَع ُها ى لَص ِِ لا َلاَقَ ف ،اَهِمُأ ََِإ ْتَلاَمَف

اَهَذَخَأَف اَهيِبَأ ََِإ ْتَلاَمَف " اَهِدْها

)دْأ اور (

10

.

Artinya: “Telah menceritakan kepada Ali bin Bahr telah menceritakan

kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami

Abdul hamid bin Ja’far telah mengabarkan kepadaku ayahku

dari kakekku yaitu Rafi bin Shinan bahwa ia telah masuk Islam sedangkan isterinya menolak untuk masuk Islam. Kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata; anak wanitaku ia masih menyusu -atau yang serupa dengannya. Rafi' berkata; ia adalah anak wanitaku. Beliau berkata kepada wanita tersebut; duduklah di pojok. Dan mendudukkan anak kecil tersebut diantara mereka berdua, kemudian beliau berkata; panggillah ia. Kemudian anak tersebut menuju kepada ibunya. Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdoa: "Ya Allah, berilah dia petunjuk!" kemudian anak tersebut menuju kepada ayahnya. kemudian Rafi' bin Sinan membawa anak tersebut.(HR. Ahmad)

Hadist ini menunjukkan bahwa Rasulullah menghendaki pengasuhan anak dilakukanoleh orang tua yang muslim.

10

Abu Abdillah Ahmad, Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Mesir: Muassasah ar-risalah, 2001), Juz 39, h. 168.


(23)

C. Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Tentang Hak Asuh Anak Akibat Orang Tua Bercerai Beda Agama

Allah SWT menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan sehingga Allah SWT memberikan Syariat manusia harus menikah sebagai karunia dan nikmat yang besar dari Allah SWT. Namun didalam suatu ikatan perkawinan banyak cobaan dan kesengan pula, sehingga tidak sedikit dari manusia yang runtuh rumah tangganya akibat permasalahan yang berujung perceraian.Perceraian terjadi karena ada bermacam-macam sebab diantaranya kasus ketika seseorang yang bercerai akibat perbedaan agama anatara suami isteri. Tetapi akibat setelah perceraian tersebut ialah jika pasangan suami isteri tersebut mengsilkan keturunan yang hak asuhnya belum bisa ditentukan, maka dalam hal permasalahan ini penulis ingin meneliti lebih lanjut tentang permaslahan tersebut dengan bahan penelitian hasil fatwa MUI di dalam hukum hak asuh anak akibat orang tua bercerai beda agama. Penulis sangat menyadari bahwa MUI sangat hati-hati dalam memutuskan fatwa lebih-lebih fatwa ini sifatnya untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia oleh karena itu penulis mendapatkan suatu kesimpulan tentang fatwa tersebut dan menyatakan setuju dengan keputusan tersebut bahwa seorang pengasuh harus beragana Islam. Adapun alasan penulis setuju dengan fatwa MUI adalah sebagai berikut:

Pertama, sebagaimana yang kita ketahui bahwa ulama adalah para pewaris Nabi sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:


(24)

ُةَثَرَو ءاَملعْلا

ِءاَيِبْنَْأا

نَأَو ،

َءاَيِبْنَْأا

ُمِهْيَلَع ،

ُم َا سلا

َْل ،

ُ ي َو ِر

ُ ث ْو

ًراَيِد ا

ِد َلَو ا

ْر ًَه

َو اَ َِإَو ،ا

ر ُث

ْاو

ِعْلا

ْل َم

َمَف

ْن

َخَأ

َذ ُ

َخَأ

َذ

َِح

ظ

َو ِفا

ٍر

11

Artinya:“Ulama adalah pewaris para Nabi dan bahwasannya para Nabi mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula hanya saja mereka mewarisi ilmu maka siapapun yang mengambil ilmu maka dapatkanlah dengan tulisan (ilmu) dengan wadah yang

luas”.

Dari hadits tersebut dapat diambil pemahaman bahwa didalam diri ulama membawa kemaslahatan untuk umat karena ulamalah yang menerusakan risalah para Nabi-Nabi. Maka dari hadits ini dapat diambil kesimpulan apa yang sudah diputuskan oleh MUI sudah benar kebenarannya terlebih lagi penulis membaca dan mendapatkan pendapat-pendapat ulama terdahulu seperti mazhab 4 mu’tabarah yang menyinggung tentang hak asuh anak bagi pengasuh yang non muslim sehingga dari istinbath hukum yang diputusakan oleh mujtahid mutlak tersebut sesuai dengan fatwa yang sudah diputuskan oleh MUI. Sebab dikatakan oleh imam nawawi al-Bantani dalam kitab an-Nihayatu az-Zain bahwa mazhab 4 salah satunya al-Imam Syafi’I di juluki sebagai hudatul ummah Fil Furu’.

Dari pendapat penulis pada alasan pertama disana terdapat perbedaan pendapat antara MUI dan penulis. Adapun perbedaan tersebut ialah penulis lebih menjelaskan kepada sifat yang melekat pada ulama yaitu sifat

11

Abu Muhammad Mahmud, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari,


(25)

kepercayaan yang mana pasti benar apapun yang di tetapkan oleh ulama. Sedangkan MUI tidak menjelaskan tentang hal tersbut, tetapi mereka lebih cenderung kepada inti istinbath hukum.

Kedua,MUI mensyaratkan wajibnya pengasuh harus beragama Islam

alasannya menurut penulis adalah ketika seseorang mengasuh anaknya wajib bagi ia mengenalkan arkanu al-Islam dan arkanu al-Imam. Alasan penulis ini berdasarkan perkataan Imam zainuddin Malibari didalam kitab Qurratu

al-‘Ain:

َو َأ و

ُل

َو

ِجا

ٍب

َع َل

ْأا ى

َب ِءا

َ ت ْع

ِل ْي ُم

ُه َأ

ن

َن ِب

ي َ

َُم ا

م

ًد

ص ا

ملسو هيلع ها ىل

ُب ِع

َث

َِب

ك

َة

َو ُد ِف

َن

ِب ْلا

َم ِد

ْ ي َ ِة

.

12

Artinya: “Wajib bagi para orang tua mengajarkan anaknya bahwa Nabi kita Muhammad SAW diutus di Makkah dan dikuburkan di Madinah.”

Imam an-Nawawi al-Bantani berpendapat bahwa mengajarkan anak tentang arkanu al-Islam adalah hukumnya fardu al-Kifayah.Dari perkataan imam Zainuddin dapat diambil faham bahwa bukan hanya mengenal Nabi Muhammad SAW saja tetapi wajib mengajarkan dan mengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya. Dari alasan penulis ini maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh hendaklah beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non Muslim dikawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman

12Abu Bakar ‘Utsman, I’anah

at-Thalibin, (Lebanon: Dar El-Kutub Islamiyah, 2012), Jilid 1, h. 44.


(26)

dan yang dikhawartikan pula bahwa anak tersebut akan pindah akidahnya kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan didalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh beragama Islam tidak berhak mendapatkan hak asuh.

Adapun perbedaan pendapat didalam pemikiran antara penulis dan MUI yaitu penulis ingin menunjukan tahap pertama yang harus dilalui atau dipenuhi oleh seorang pengasuh secara mendetail. Tahap tersebut ialah agar seorang pengasuh untuk memperkenalkan pendidikan agama Islam kepada si anak. Sedangkan MUI hanya menjelaskan beragama Islam adalah syarat pertama yang harus penuhi tetapi tidak secara mendetail seperti MUI tidak menyebutkan pendapat ulama bahwa seorang pengasuh harus memperkenalkan arkanu al-Islam atau arkanu al-Iman.

Ketiga, ketika hak asuh anak jatuh kepada pengasuh yang beragama non Islam maka hal ini menyalahi aturan firman Allah:









































































Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah


(27)

Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”

(QS. An-Nisa: 141)

Ayat diatas menyatakan bahwa Allah tidaklah Allah memberikan jalan bagi orang kafir dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam hal mengasuh anak yang beragama Islam dan sabda Nabi yang mengatakan

ُاَوَ بَأَف

،ِهِناَدِوَهُ ي

ْوَأ

ِهِناَرِصَُ ي

merupakan dilalah lazimiyah yang artinya wajib seorang pengasuh beragama Islam. MUI memfatwakan syarat seorang pengasuh harus beragama Islam faidahnya adalah agar anak tersebut dapat membuat Islam menjadi kuat karena jika banyak pengikut Islam maka agama Islam menjadi kokoh dan tidak dapat tergoyahkan oleh sesuatu apapun. MUI mengharuskan seorang pengasuh bergama Islam gunanya juga adalah agar ia dapat mecetak generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya dengan dibekali al-Quran dan hadits.

Di dalam pendapat yang ketiga ini penulis ingin mencoba membedakan pola fikir antara penulis dan MUI dari segi dilalah lazimiyah. Menurut penulis firman Allah SWT        dan


(28)

artinya harus dipenuhi oleh seluruh manusia menjalakan perintah Allah SWT, seperti manusia harus tahu dan menanamkan dihatinya bahwa Allah SWT tidak meridhai bagi orang kafir, yahudi, nasrani dan majusi untuk mendapatkan posisi sedikitpun didalam agama Islam sekalipun ia mendapatkan posisi didalam agama Islam seperti ia mendidik anak atau mengasuh maka semua itu dimata Allah SWT merupakan sesuatu hal yang sia-sia karena di dalam firman Allah tersebut terdapat kalimat “lan” yang

makna kata tersebut ialah “tidak akan”. Alasan inilah yang membedakan pola pemikiran anatara MUI dengan penulis.


(29)

1

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam hukum Islam banyak aturan-aturan yang sudah diatur oleh Allah SWT baik itu dari hal terkecil sampai hal yang terbesar. Semua aturan tersebut berasal dari kalamullah dan hadits Nabi Muhammad SAW baik yang bersifat qauliyah, fi’liyah maupun takririyah. Maka se bagai aturan yang harus ditaati ulama membuat suatu sistem disiplin ilmu yang kemudian di kelompok-kelompokan pada tempatnya masing-masing. Seperti salah satu hukum syariat Islam yang sudah diatur secara sistematis yaitu tentang perkawinan. Allah mensyariatkan pernikahan bertujuan agar manusia tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji dan yang Allah murkai, bukan hanya itu saja, Allah SWT mensyariatkan pernikahan karena Allah menciptakan makhluk-Nya dalam keadaan berpasang-pasangan sebagai rasa kasih sayang Allah SWT kepada umatnya dan sebagai rahmat untuk alam semesta ini.

Membicarakan pernikahan, Hukum pernikahan didalam Islam diatur pada firman Allah SWT surat An-Nisā ayat 3:























































Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak -hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,


(30)

Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

(QS. An-Nisā :3)

Kemudian hadits nabi Muhammad SAW mengatur pula tentang hukum pernikahan:

طتسا نم ,بابشلا رشعم اي

عا

,رصبلل ضغأ هنإف ,جوزتيلف ةءابلا مك م

)هيلع قفتم( .ءاجو هل هنإف ,موصلاب هيلعف عطتسي ل نمو ,جرفلل نصحأو

1

Artinya:“Wahai para pemuda barang siapa diantara kamu yang sudah

mampu maka menikahlah, sesungguhnya pernikahan itu mencegah penglihatan dan menjaga kemaluan, dan barang siapa yang belum mampu menikah maka wajib bagi kamu berpuasa. Sesungguhnya

puasa itu dapat mencegah nafsu (zina) untuk kamu” (HR. Al-Bukhari dan Musim)

Pada firman Allah SWT dan hadits Nabi Muhammad SAW jelas bahwa hukum pernikahan mandub apabila seseorang telah mampu untuk menikah. Menurut ulama menikah mempunya itujuan-tujuan antara lain menjadikan seseorang sempurna dalam kehidupannya, terhin dari perbuatan zina, dan mendapatkan keturunan.

Di dalam Islam mendapatkan seorang keturunan dari pernikahan adalah suatu karunia yang besar karena anak adalah buah dari rasa cinta antara kedua orang tua yang akan membawanya kesurga.

Namun kita tidak dapat dipungkiri bahwa di dunia ini banyak permasalahan-permasalahan dalam perkawinan seperti ketika seseorang menikah yang setatus asal keduanya beragama Islam kemudian bercerai disebabkan istri telah murtad, sedangkan dari perkawinan tersebut menghasilkan anak yang belum mumayyiz, maka dari hal ini timbul

1

Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Shohih al- Bukhori, (Lebanon: Dar el Fikri, 1981), Juz III, h. 116-117.


(31)

permasalahan baru tetang hak mengasuh anak tersebut. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa dalam hal-hal mendidik anak mempunyai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang tua sebagaimana yang telah tercantum dalam hasil Fatwa Majelis Ulama Indonesia Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer tentang” Hak Pengasuhan Anak Karena Orang Tua Yang

Bercerai Berbeda Agama”, yang berisikan mengenai persyaratan orang yang akan mengasuh anak :

a. Berakal Sehat. b. Dewasa (baligh)

c. Memiliki kemampuan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak. d. Dapat dipercaya (amanah) dan berbudi pekerti yang baik.

e. Beragama Islam.

Apabila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka yang bersangkutan tidak berhak untuk mengasuh anak dan hak asuh berpindah pada anggota keluarga yang muslim dan memenuhi ketentuan persyaratan orang yang akan mengasuh anak tersebut diatas.2

Selanjutnya penulis mendapatkan pemahaman dari fatwa tersebut bahwa hak asuh anak jatuh kepada orang tua yang beragama Islam. Namun hadits nabi yang mengatakan:

َقا

َل

َأ ُ ب

ْو

َد ُوا

َد

َح :

َد ث

َ

َْم ا

ُم ْو

ُد

ْب ُن

َخ

ِلا

ٍد

ِسلا

ْل ِم

ْي

َح

د َ ث

َ

ْلا ا

َو ِل ْي

ُد

ْنَع ،

َأ

ِِْ

َع ْم

ٍر

ْعَ ي ،و

ِْن

َأا

ْو َز

ِعا

ْي

َح

د َث

ِْن

َع ْم

ٌر

ْب و

ُن

ُش َع

ْي

َب

َع

ْن

َأ ِب ْي

ِه

َع ْن

َج

ِد ِ

َع ْب

ِد

ِها

ْب ِن

َع

ْم ٍر

نأ و

ْما

َر َأ ًة

َق

َلا

ْت

َي

َر ا

ُس ْو

َل

ِها

ِإ

ن

ْبا

ِْن

َذه

َناك ا

َب

ْط

ِْن

َل ُه

ِو

َع

ٌءا

2


(32)

َثو

َد ِي

ْي

َل ُه

َس َق

ٌءا

َو َح

ْج ِ

ر

ْي

َل ُه

َح َو

ٌءا

َو ِإ ن

َأ

ُاب

َط َل

َق

ِْن

َو َأ َر

َدا

َأ ْن

َ ي ْ

َت ِز

َع ُه

ِم

ِْن

،

َفاق

ل

َََ

َر ا

ُس ْو

ُل

ِها

َأ ملسو هيلع ها ىلص

ْن

َت

َأ

َح

ق

ِب ِه

َم

َْل ا

َ ت ْ

ِك

ِح

ْي

اور(

)دواد وبأ

.

3

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al-Auza’I, telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata: Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan

pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah

mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemuadian

Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. (HR. Abu Daud)

Hadits tersebut tidak mencantumkan bahwa agama bukan hak tetap untuk menjadikan dasar berhaknya mendidik anak. Sedangkan dari kasus diatas anak tersebut lebih memilih Ibunya yang telah murtad, dikarenakan sang Ayah dinilai tidak pantas untuk mendidik anak. Dengan kata lain, ia tidak cakap hukum dalam pandangan ajaran agama Islam.

Dari uraian diatas penulis masih ingin meneliti lebih lajut tentang permasalahan mendidik anak dalam prerspektif fatwa MUI dengan memilih judul“Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang BerceraiI Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

a. Pembatasan Masalah

Dalam penulisan ini penulis akan mengemukakan seputar permasalahan hak asuh anak bagi orang tua yang bercerai akibat berbeda

3

Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, (Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah, 1932),


(33)

agama. Mengingat luasnya pembahasan mengenai hak asuh anak maka penulis hanya fokus pada analisa kasus metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama dan pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015.

b. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, setidaknya terdapat permasalahan yang dapat dicari kemudian diteliti dan ditemukan jawabannya didalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut dapat dirumuskan oleh penulis sebagai berikut:

1. Bagaimanakah metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak Terhadap

Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil Keputusan

Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015” ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan ini mempunyai tujuan untuk mengkaji secara mendalam dengan mengharapkan bahwa hasil tulis skripsi ini dapat memberikan suatu pengetahuan dan bernilai terhadap pemahaman lebih lanjut tengan hukum hak asuh anak hasil keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disamping itu untuk menambah wawasan bagi penulis dan dapat diambil suatu pelajaran


(34)

yang berharga bagi pembaca. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan skripsi ini sebgai berikut:

1. Untuk mengetahui metode MUI dalam mengistinbatkan hukum hak pengasuhan anak tehadap orang tua yang bercerai sebab berbeda agama.

2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Hak Asuh Anak

Terhadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama” Analisis Hasil

Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-indonesia V tahun 2015

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah berharap agar memberikan suatu kajian yang bermanfaat mengenai hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama, yang di tunjukkan untuk para pembaca dan kepada mahasiswa yang berkecimpung dibidang ilmu hukum Islam.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Penelitian ini merupakan suatu penelitian yang dilakukan diruang perpustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku, priodikal-priodikal, seperti majalah-majlah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen dari materi perpustakaan lainnya yang dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah. 4

Penelitian ini juga berpedoman dan mengacu pada: 1. Sumber Data

Yaitu data yang bersumber dari Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se- Indonesia V Tahun 2015tentang hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama.

4

Abdurrahman Fathoni, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), h. 95.


(35)

2. Teknik Pengumpulan Data

Penggunaan penilitian bahan dilapangan seperti buku, kitan-kitab, dokumen-dokumen, internet dan sebagainya dengan cara dibeca kemudian dikaji dan disimpulkan sesuai dengan kelompok masalah-masalah yang terdapat dalam skripsi ini.

3. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data diolah dengan menggunakan cara dikumpulkan, kemudian di kaji dan dikelompokkan, lalu penulis menganalisanya dengan metode-metode sebagai berikut:

a. Metode komperatif yaitu metode perbandingan antara hukum Islam dan fatwa MUI yang membahas tentang pembahasan yang ada

b. Metode Induktif yaitu suatu cara dalam menganalisis datanya yang bertitik tolak dari data-data yang mana data tersebut bersifat umum kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat khusus, atau data yang bersifat khusus kemudian ditarik dan diambil dengan bersifat umum.

Teknik penulisan skripsi ini berpacu kepada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

E. Study Refiew Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama, penulis menemukan sejumlah skripsi yang


(36)

membahas masalah hak asuh anak akibat orang tua yang bercerai beda agama. Adapun daftar skripsi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ibrohim, Moh. Anas Maulana. Dengan judul skripsi Pelimpahan Hak

AsuhAnak Kepada Bapak Kandung, PerkaraNomor:

345/Pdt.G/2007/PA.Bks.

Skripsi ini berisi tentang tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelimpahan hak asuh anak kepada bapak Perkara Nomor: 345/Pdt.G/2007/PA.Bks. pada skripsi ini penulis memilih Pengadilan Agama Bekasi yang mana penulis ingin mengetahui hal-hal yang menyebabkan pelimpahan anak kepada bapak kandungnya sebagai akibat peceraian, yang seharusnya hak asuh anak itujatuh kepada Ibu kandungnya.

2. Muawanah. Dengan judul skripsi Penetapan Hak Asuh Anak oleh Bapak: Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Perkara Nomor : 171/Pdt.G/2010/PAJT.

Skripsi ini berisikan tentang cara Hakim memutuskan hak asuh anak kepada Bapak padahal Ibunya mampu mendidik dan mengasuh anak tersebut.

3. Nahrowi. Dengan judul skripsi Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Menurut Undah-Undang No.23 th 2002 Tentang Perlindungan Anak: ( Analisis Putusan Perkara Mahkamah Agung no.349 K/AG/2006) .

Skripsi ini berisikan tentang Hadhanah atau pemeliharaan anak dalam hokum perkawinan di Indonesia pada dasarnya tidak menentukan siapa


(37)

yang lebih berhak dalam mendapatkan hak pemeliharaan anak, hal tersebut kembali kepada kepentingan anak yang didasari pada putusan pengadilan.

Dari beberapa judul tersebut, maka jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Penulis akan mencoba membahas Hukum Hak Asuh Anak Tehadap Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Asuh Anak.

F. Sistematika Penulisan

Agar dapat mempermudah pada penulisan skripsi ini, maka penulis membagi pembahasan skripsi menjadi beberapa bab yang dapat diuraikan sistematikanya sebagai berikut:

Bab I. Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, study riview terdahulu, dan sistematika penulisan.

Bab II. Berisikan tentang tinjauan umum yang meliputi pembahasan,pengertian, hukum Hadhanah, Syarat-syarat Hadhanah

dan Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah

Bab III. Berisikan tentang Hadhanah bagi orang tua yang tidak cakap perilaku dan HasilFatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Tentang Hak Hadhanah Akibat Perceraian Beda Agama.

Bab IV. Berisikan tentang pembahasan metode istinbath MUI, dalil-dalil, dan analisi Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI.

Bab V. Bab ini berisi tentang penutup, kesimpulan dan saran dari isi penulisan skripsi ini.


(38)

10

TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH

A. Pengertian Hadhanah

Hak asuh anak menurut Hukum Islam dikenal dengan istilah

hadhanah. Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, mendidik anak hingga ia dewasa atau mampu menjaga dirinya sendiri.1

Sayyid Sabiq memberikan definisi Hadhanah adalah berasal dari

kata hidnan yaitu lambung. Seperti susunan kalimat bahasa Arab “hadhana ath-thaairu baidhahu”, burung itu menghimpit telur dibawah sayapnya, maka dari kalimat ini bias dipahami bahwa seorang Ibu menhimpit anaknya.2 Adapun menurut Abdurrahman Ghazaly yang dimaksud dengan hadhanah

yaitu merawat dan mendidik anak kecil yang belum mumayyiz sampai ia mampu mengatur dirinya sendiri.3

Ulama fikih mendefinisikan hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang merusak dan menyakitinya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar kelak mampu berdiri sendiri mengahadi hidup dan memikul tanggung jawabnya.4

1

Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: tp, 1996), h.4 2

As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunah, (Jakarta: Dar as-Saqafah, tth), Jilid 2, h. 218. 3

Abdrahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175. 4

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: kencana Pranada Media Group, 2009). h. 326.


(39)

Hadhanah dalam Ensiklopedi Hukum Islam adalah mengasuh anak yang belum mumayyiz hal keadaan ia belum mampu mengurus dirinya sendiri (belum mandiri).5 Menurut Sa’ani, hadhanah adalah memelihara anak yang belum mampu mandiri. Pendidikannya dan pemeliharaannya dari segi sesuatu yang membinasakannya atau membahayakannya.6

Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah merangkap kepada seluruh keperluan-keperluan anak, baik itu yang bersifat jasmani ataupun rohani. Ulama mazhab fikih berbeda pendapat mengenai masa pengasuhan anak. Imam Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Imam Hanbali bahwa masa asuhan untuk ank laki-laki dan perepuan adalah 7 tahun dan setelah ia telah mumyayiz dibebaskan untuk

memilih. Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa asuh itu 7 tahun dan 8 tahun. Sedangkan Imam Malik berpendapat batas usia anak mumayyiz adalah 7 tahun.7

B. Hukum Hadhanah

Memelihara, merawat, dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran, kebijaksaan, pengertian, kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan mengeluh dalam menghadapai berbagai persoalan anak tersebut, bahkan Rasulullah SAW sangat mengancam orang-orang yang merasa bosan

5

Abdul Azziz Dahlan, Dkk, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1992), h. 137

6Sa’ani,

Subulu as-Salam, (Surabaya: al-Ikhlas, 1995), h. 37.

7

Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 45.


(1)

62 A. Kesimpulan

Berdasarkan dari penelitian dan pembahasan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama terhadap Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama dapat di simpulkan bahwa:

1. Metode istinbat hhukum MUI dalam memecahkan permasalahan mengenai Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang Bercerai Karena Berbeda Agama terhadap Keputusan Komisi B1 Masalah Fikih Kontemporer (Masail Fiqhiyah Mu’ashiroh) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Bagi Orang Tua Yang Bercerai Karena Berbeda Agama memakai sumber hukum slam yang sifatnya qatht’iyaitu Al-Qur’an, Assunah dan Ijma ulama terdahulu yang sifatnya mu’tabarah danmengambildari pendapat-pendapat ulama yang rojih makasi fat fatwa yang dikeluarkan MUI sangat kuat dan tidakbisa di ganggu gugat.

2. Pandangan MUI berdasarkan hukum Islam tentang hak hadhanah terhadap orang tua yang bercerai karena berbeda agama hukumnya mutlak harus di asuh oleh pengasuh yang beragama Islam hal ini di atur di dalam


(2)

al-63

Qur’an dan As-Sunah. Adapun manfaat MUI mensyaratkan pengasuh harus beragama Islam yaitu sebagai berikut:

a. Agar pengasuh dapat mencetak generasi yang bebudi pekerti yang baik karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi tentang akhlak dan tatakrama yang luhur, dapat melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangannya dengan di bekali al-Quran dan hadits. b. Menjadikan pengasuh agar sadar bahwa wajib menafkahi anak dan

mengajarka nmengenal Allah SWT dan yang lain sebagainya, dari alas an ini maka tepat keputusan MUI mensyaratkan bahwa seorang pengasuh beragama Islam sebab jika seorang pengasuh beragama non Muslim di khawatirkan ia tidak kenal kepada rukun Islam dan rukun iman dan yang dikhawatirkan pula yaitu anak tersebut akan pindah akidahnya kepada agama non Islam. Maka dari hal itu MUI sangat menegaskan di dalam fatwa tersebut apabila tidak memenuhi persyaratan pengasuh beragama Islam tidak berhak mendapatakan hak asuh.

B. Saran

Seyogyanya MUI bisa lebih mempublikasikan atau mensosialisasikan atas fatwa-fatwa yang sudah di terbitkann karena masih banyak permasalahan kontemporer yang masyarakat belum mengetahui solusinya agar tidak terjadi kesalahfahaman berfikir di lingkungan masyarakat. Bagi para Da’i dan Da’iyah untuk lebih mensosialisasikannya.


(3)

64 Muassasah ar-risalah, 2001.

Abdul Hafizh, Muhammad Nur, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Al-Bayan, 199.

Abu al-Hasan, Al-Mahamili, , Al-lubab Fi Fiqh As-syafi’I, Juz I, Madinah Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998.

Ad-Din, Badru, Al-binayah Syarh al-Hidayah, Juz, 5,Lebanon: Dar El-Kutub Al- ‘alamiyah, 2000.

al-Andalusi, al-Kurtubi al-Baji, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, Juz 6, Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H.

al-Hanafi, Abu al-Fadhil, Al-Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, Juz 4, Beirut: Dar El- Kutub Alamiyah, 1937.

Al-jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri, th.

Al-Jundi, Anwar, Mabadi al-Qadha al-Syar’I, Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi, 1978.

Al-Khatabi, Ma’alimu As-sunan, Juz 3, Lebanon: Al-mathba’ah Al-alamiyah, 1932.

Al-Makhruzi, Tafsir Mujahid, Beirut: Dar el-Fikri, 1989.

Al-Mawardhi, Al-hawi Al-kabir, Juz 1, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999. Al-mawardi, Al-iqna fi fiqh As-syafi’I, Jilid I, Ttp: Tp, tth.

an-Nu’man, Abu Hanifah, Musnad Abu al-Hashkafi juz 1, Mesir: tp, th. As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, Juz 5, Beirut: dar El-Ma’rifah, 1993.

As-syirazi, Al-Muhazab fi Fiqh Imam As-syafi’I, Juz 2, Lebanon: Dar El-Kutub Alamiyah, tth.

at-Thabari, Abu Ja’far, Tafsir at-Tabari juz 3, Mesir: Muassasah ar-Risalah, 2000. Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.


(4)

65

1322 H.

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar El-Fikr, 1997. Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al- Qadha, Jakarta: Rajawali Pres, 2012.

Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta, 1996.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983.

Dkk, Abdul Azziz Dahlan, , Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1992.

Fakhru ad-din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah As- syilbi, Juz 3,Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth.

Fathoni, Abdurrahman, Methodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006.

Fauzan, Andi Syamsul Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008.

Ghazali, Abdrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2013. Ibn Ahmad, Mahfuz, Al-hidayah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad Jilid 1, Ttp:

Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At-tauzi’, 2004.

Ibn Hurairah, Yahya, al-Ifshah ‘an Ma’ani as-Shahah, jilid 6, ttp: Dar El-wathan, 1417 H.

Ibn Ibrahim, Abdurrahman, Al-iddah Syarh ‘Umdah Jilid 1, Beirut: Dar El- Hadits, 2003.

Ibn Wahab, Muhammad, Zad Al-Ma’ad Jilid 5, Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah, 1987.

Ismail Ibn Ibrahim, Abu Abdillah Muhammad Ibn, Shohih al- Bukhori, Juz III, Bab al- Nikah Lebanon: Dar el Fikri, 1981.

Mahmud, Muhammad, Tafsir Wadhi, juz 3, Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H. Mudzhar, Mohamad Atho, “Fatwas of The Council of Indonesian Ulama: A Study

of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975 -1988”, Disertasi, Los Angels: University of California, 1990.


(5)

Muhammad al-Maliki, Abu Abdullah, al-Mu’alim bi Fawaidi al-Muslim, Juz 3, Ttp: dar El-taunisiyah an-Nasyr, 1998.

Muhammad Mahmud, Abu, ‘Umdatu al-Qari Syarh as-Shahih al-Bukhari Jilid 2, Lebanon: Dar el-Tsurus, th.

Mustafa al-Maraghi, Ahmad, Tafsir al-Maragi Juz 5, Mesir: Musthafa al-Babi, 1946.

Quthub, Syahid Sayid, Tafsir Fi Zilali Al-qur’an. (Beirut: Dar Syuruq: 1992) penerjemah As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Sa’ani, Subulu As-salam, Surabaya: Al-ikhlas, 1995.

Sabiq, As-sayid, Fiqh As-sunah Jilid 2, Jakarta: Dar As-saqafah, tth.

Syamsu Alam, Andi, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak Perspektif

Islam, Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008.

Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Juz 5, Beirut: Dar El-kutub Al-‘alamiyah, 1994. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih

Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: kencana Pranada

Media Group, 2009.

Syuja, Abi’, Al-ghayah Wa At-taqrib, Surabaya: Alim Al-Kutub, tth.

Zakariya, Abu, Raudhatu At-thalibin Wa Umdatu Al-Mutaqin, Juz 9, Beirut: Al- Maktab Al-Islami, 1991.

Al- Fauzan, Saleh Fiqih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006.

Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989. Al-Abbadi, ‘Aunu al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud Juz 6, Beirut: dar El-Kutub

al-Alamiyah, 1998.

An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazab, juz 18, Lebanon: Dar El-Fikri, tth. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Ilmu Fiqih, Jilid 2, Jakarta: IAIN, 1983.

http://zaenul-mahmudi.blogspot.co.id/2008/11/metode-istinbath-hukum-mui.html Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta:Al-Hidayah, 1968. Mahmud, Heri Gunawan dan Yuyun Yulianingsih, Pendidikan Agama Islam


(6)

67

Dalam Keluarga, Jakarta: Akademika, 2013.

Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan Imam Ghazali Said, Jakarta:Pustaka Amani, 2007.