TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH

13                                                                           Artinya:͆Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban Ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara maruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang Ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. QS. Al-baqarah : 233 Ayat diatas menjelaskan mengenai hukum penyusuan anak ketika terjadinya talak, dapat diartikan bahwa keluarga mengandung arti hubungan yang tidak dapat lepas dari kedua suami dan siteri yang bersangkutan yaitu, tentang anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya. Apabila dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtua itu bubar, maka si kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua orangtuanya dalam setiap keadaannya. Kemudian seorang Ibu yang telah diceraikan itu mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang msih menyusui, 14 hal tersebut merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Alah SWT dan tidak dibiarkan oleh Allah meskipun fitrah dan kasih sayang untuk anak berkurang akibat perceraian kedua orangtuanya, sehingga Allah SWT mewajibakan bagi seorang Ibu untuk menyusui anaknya selama sua tahun penuh. Karena Ibu mengetahui bahwa masa usia anak ketika dua tahaun merupakan waktu yang paling ideal ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa anak dan pada masa usia tersebut merupakan kebutuhan yang vital bagi pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya. 10 Kemudian Allah SWT berfirman di dalam surat At-tahrim Ayat 6:                        Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.͇ QS. At- Tahrim: 6 Pada ayat ini orangtua diperintahakan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan memberitahaukan kepada keluarganya untuk selalu taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, termasuk anggota keluarga disini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya belaku selama Ayah dan Ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun berlanjut setelah perceraian. 11 10 Sayid Quthub, Tafsir Fi Z hilāli Al-qur’an. Beirut: Dar Syuruq: 1992 penerjemah As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, h. 301-302. 11 Al-Makhrûzi, Tafsir Mujahid, Beirut: Dar el-Fikri, 1989, h. 237. 15 Didalam Tafsir Wādhih dijelaskn bahwa ayat tersebut menjelaskan Allah SWT memerintahkan agar menjaga diri manusia meninggalkan dari segala kemaksiatan melaksanakan ketaan, meninggalkan segala larangan yang dibenci oleh Allah SWT dan rasul-rasul-Nya. Menjaga pula keluarga kita dari segala kemaksiatan, larangan dan melaksanakan perintah Allah SWT, mengerjakan amal baik, dan menjalankan syariat sesuai dengan tuntunan al- Qur’an. Adapun yang dimaksud dengan keluarga disini adalah anak dan orang-orang yang terdekat. Allah benar-benar telah tegas mengatakan: 12 َيِبَرْ قَْأا َكَتَرِشَع ْرِذْنَأَو ، اهْيَلَع َِِْطْصاَو ِةا صلاِب َكَلْهَأ ْرُمْأَو Kemudian hadits Nabi: َقا َل َأ ُ ب ْو َد ُوا َد َح : َد ث َ َْم ا ُم ْو ُد ْب ُن َخ ِلا ٍد ِسلا ْل ِم ْي َح د َ ث َ ْلا ا َو ِل ْي ُد ْنَع ، َأ ِِْ َع ْم ٍر ،و ْعَ ي ِْن َأا ْو َز ِعا ْي َح د َث ِْن َع ْم ٌر ْب و ُن ُش َع ْي َب َع ْن َأ ِب ْي ِه َع ْن َج ِد ِ َع ْب ِد ِها ْب ِن َع ْم ٍر نأ و ْما َر َأ ًة َق َلا ْت َي َر ا ُس ْو َل ِها ِإ ن ْبا ِْن َذه َناك ا َب ْط ِْن َل ُه ِو َع ٌءا َثو َد ِي ْي َل ُه َس َق ٌءا َو َح ْج ِ ر ْي َل ُه َح َو ٌءا َو ِإ ن َأ ُاب َط َل َق ِْن َو َأ َر َدا َأ ْن َ ي ْ َت ِز َع ُه ِم ِْن ، َفاق ل َََ َر ا ُس ْو ُل ِها َأ ملسو هيلع ها ىلص ْن ِت َأ َح ق ِب ِه َم َْل ا َ ت ْ ِك ِح ْي. 13 Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari abu Amr Al- Auza’I, telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari Ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin Amr bahwa seorang wanita berkata: Whai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan Ayahnya telah mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. HR. Abu Daud 12 Muhammad Mahmud, Tafsir Wadhi, Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H, Juz 3 h. 705. 13 Al-Khatabi , Ma’alimu As-sunan, Lebanon: Al-Mathba’ah Al-alamiyah, 1932, Juz 3, h. 282. 16 Dari hadits ini bependapat imam al-Qurtubi al-Baji al-Andalusi, bahwa anak kecil tidak mampu mengurus dirinya sendiri maka butuh pengasuh, sedangkan pengasuh untuk anak yang lebih utama adalah Ibunya karena seorang Ibu lebih benar, lebih sabar, lebih menjaga dan mengerti kepada kebutuhan anaknya, sedangkan Ayahnya tidak ampu melakukan hal itu. Maka Ibulah yang lebih berhak mengasuh anaknya selam ia belum mencapai umur 7 tahun. 14 Kemudian I mam Māwardĭ yang menjelaskan alasan Ibu tidak mendapatkan hak asuh dengan alasan sebagai berikut : 15 1. Pernikahan mencegah mendapatkan hak asuh karena dikhawatirkan jkia si Ibu menyibukkan diri mengurus anak maka hak suami tidak terpenuhi. 2. Karena pernikahan menceah untuk sibuk mendidik anak yang bukan berasal dari suaminya. 3. Karena anak tersebut tidak dianggap oleh suami baru Ibunya. Imam Nawawi berkata ketika seorang Ibu tidak mendapatkan hak asuh anak karena ia menikah lagi, maka ia akan di sibukkan beristimta dengan suaminya, sehingga tugas penting dari hadhanah terabaikan. 16

C. Syarat-syarat Hadhanah

Syarat-syarat hadhanah menurut Imam Taqiyuddin didalam kitabnya Kifayatu Al-akhyar menyebutkan ada 7 syarat: 14 al-Kurtubi al-Baji al-Andalusi, Al-Muntahi Syarh al-Muatha, Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H, Juz 6, h. 186. 15 Al- Māwardhĭ, Al-hawi Al-kabir, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999, Juz 1, h. 505. 16 An-Nawawi, Al- Majmu’ Syarh al-Muhazab, Lebanon: Dar El-Fikri, tth, Juz 18, h. 321. 17 1. Berakal Berakal merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi bagi orang yang ingin mendidik anaknya, karena berakal merupakan salah satu indikasi seseorang dapat dikenakan hukum syariat, maka tidak berhak bagi orang yang gila baik itu gila dari lahir atau gilanya orang tersebut dapat mungkin sadar dengan memakan waktu yang lama. Tetapi Imam Taqiyuddin berpendapat lain yaitu jika gilanya tersebut tidak lama sebentar seperti sehari maka tidaklah menggugurkan hak hadhanah tersebut, seperti halnya orang yang sakit kemudian sembuh dengan waktu yang sesaat. Adapun alasan seseorang yang gila tidak boleh mendidik anak hadhanah karena tidak mungkin seorang yang gila menjaga anak sedangkan ia sendiri membutuhkan kepada penjagaan bagaimana mungkin ia dapat menjaga mendidik anak. 2. Merdeka Tidaklah boleh bagi seorang budak mendidik anak sekalipun ia di izinkan oleh tuannya, sedangkan alasan tidak dibolehkannya bagi seorang budak mendidik anak: pertama, budak haknya adalah melayani tuannya kemanfaatan bagi tuannya bagaimana mungkin ia melayani tuannya dan tuannya dapat mengambil kemanfaatan darinya sedangkan ia disIbukkan untuk mendidik anak. Kedua, tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak untuk mendidik anak. 18 3. Beragama Islam Keadaan perempuan tersebut beragama islam tetapi jka ada anak yang di didik tersebut beragama islam yang mengikuti agama bapaknya maka bagi seorang perempuan yang kafir tidak boleh mendidiknya. 4. Cakap akhlaknya, terpercaya, tidak bersuami. 5. Mampu Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah hadhanah. Namun berbeda dengan imam Husain al-hanafiy mengatakan bahwa seorang Ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengsuh karena tidak ada perbedaan dari segi agama, 17 maka hadhanah lebih berhak didapatkan oleh seorang isteri sebagaimana dijelaskan didalam kitab raudhatu At- Thālibĭn: 18 اَ َِإ ًاْصَأ ُهَل َزيِيََْ َل ْنَم ِقَح ِِ ِبَْأا َنِم ِةَناَضَْْاِب قَحَأ مُْأا نَأِب ُمَكُْح Artinya: “Hanyalah ibu yang lebih berhak untuk mengash anaknya dibandingkan dengan Ayahnya selama anak tersebut belum tamyyiz sedikitpun” Imam Fakhruddin berpendapat apabila tidak ada keluarga yang mengasuh dengan bahwa ada Ibunya itu seorang yang fasik, atau ia sering keluar rumah kemudian ia meninggalkan anak asuhannya dan tak kembali kerumah atau ia seorang budak atau anak budak perempuan atau yang mengatur kehidupan anak asuhan atau Ibunya seorang budak mukatabah yang 17 Badru ad-Din, Al-InAyah Syarh al-HidAyah, Lebanon: Dar El-Kutub Al- ‘alamiyah, 2000, Juz, 5, h. 644. 18 Abu Zakariya, Raudhatu at- Thālibĭn Wa Umdatu Al-Mutaqin, Beirut: Al- Maktab Al-Islami, 1991, Juz 9, h.103. 19 ia melahirkan seorang anak sebelum menjadi budak mukatabah atau ia menikah dengan seseorang yang bukan mahramnya, sedangkan dilain sisi bapaknya sulit dan Ibunya pergi tidak mau mengasuh anaknya jika tidak diberi upah sedangkan ada seorang budak yang ingin mengasuhnya tanpa harus dibayar maka budak perempuan tersebut lebih baik dibandingkan Ibunya. Pendapat ini lebih baik menurut mazhab Hanafi. 19 Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab al- Iqna’: 20 َا َْْ َض َنا ُة َو ِه َي َس ْ ب َع ٌة َا ْل َع ْق ُل َو ُْْا ِ ر َي ُة َو ِدلا ْي ُن َو ْلا ِع ف ُة َو َْأا َم َنا ُة َو ِْلا َق َما ُة َو ُْلا ُل و ِم ْن َز ْو ٍج Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam, terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan” Abi Suja’ mengatakan: َو َش َر ِئا ُط َْْا َض َنا ِة َس ْب ٌع َا ْل َع ْق ُل َو ُْْا ِ ر ي ُة َو ِدلا ْي ُن َو ْلا ِع ف ُة َو َْأا َم َنا ُة َو ِْلا َق َما ُة َو ُْلا ُل و ِم ْن َز ْو ٍج َف ِإ ِن ْخا َت ل ِم ْ َه َش ا ْر ٌط َس َق َط ْت . Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam, terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan jika cacat satu syarat dari 7 tersebut maka gugurlah” 21 َش ْر ُط َْْا ِضا ِن ِس ت َع ، ْق ٌل َو ، ُح ِر ي ٌة َو ِإ ْس َا ٌم ِل ْل ُم ْس ِل ِم َو ، َأ َم َنا ٌة َو ، ِإ ْر َض ُعا َرلا ِض ْي ِع َو َب َص ٌر َو ِإ ْن َن َك َح ْت َم ْن َل َح ق َل ُه ِِْ َْْا َض َنا ِة َب ، َط َل َح ق َه َو ،ا ِإ ْن َط َل َق ْت َع َدا َك َع ْو ِد َش ْر ِط َها. 19 Fakhru ad-Din, Tabyiinu al-Haqaiq syarh kanzu ad-Daqaiq Wa Hasyiyah As- syilbi, Juz 3,Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth, h.46. 20 Al-mawardi, al-Iqna fi fiqh as-S yafi’I, Ttp: Tp, tth, Jilid I, h. 160. 21 Abi Syuja’, al-Ghayah Wa At-taqrib, Surabaya: Alim Al-Kutub, tth, h. 36. 20 Artinya: “Syarat bagi orang yang mengasuh anknya itu ada 6: berakal, merdeka, beragama Islam, terpercaya, baik budi pekertinya ibu sesusuan dan mengerti. Jika ibunya menikah lagi maka tidak ada hak asuhan bagi ibunya, dan jika ia tertalak lagi maka kembalilah haknya jika anak tersebut belum mumayyiz ” Maka dari syarat yang disebutkan diatas hak hadhanah lebih pantas jatuh kepada Ibu sebagaimana di dalam kitab Al-lubab dijelaskan: 22 َأ ُْأ م َأ ْو ََ ِب َْْا َض َنا ِة ِم َن َْأا ِب َم َْل ا َ ي ْ ب ُل ْغ ْلا َو َل ُد َس ْب َع ِس ِ َْي ِإ ل َِْ ََث ِنا َم َس ِئا َل َأ َح ُد َه َأ ا ْن َ ي ُق ْ و َل ُك ُل َو ِحا ٍد ِم ْ ُه َم َأ :ا ْن َأ ا ْم ِس ُك ْلا َو َل َد َف َْأا ُب َأ ْو ََ ثلاو ِنا َي ُة َأ : ْن َي ُك ْو َن َْأا ُب َم ْأ ُم ْو ًن ُد ا ْو َن ُْأا ِم َو ثلا ِلا َث ُة َأ : ْن َل َت ْك ُم َل ُْْا ِ ر َي ُة ِِْ ُْأا ِم َو َي ُك ْو َن َْأا ُب ُح را َو رلا ِبا َع ُة ِإ َذ ْ فا ا َ ت َر َق دلا ُرا ِِب َم َف ا َْأا ب َأ ْو ََ . َو َْلا ِما َس ُة ِإ : َذ َ ت ا َز و َج ْت ُأا م َف ُْأا ب َأ ْو ََ . َو سلا ِدا َس ُة ِإ : َذ َك ا َنا َْأا ب ُم ْس ِل ًم َو ا ُْأا م ِذ ِم َي ًة. َو سلا ِبا َع ُة ِإ َذ َك ا َنا َْأا ب ُم ْس ِل ًم َو ا ُْأا م ُم ْر َت د ٌة . َو ثلا ِما َ ُة َأ ْن َت ُك ْو َن ُْأا م َْ ُه ْو َل َة لا َس ِب َف َأ َ ق ر ْت ِب ِرلا ِق ِِل ْن َس ٍنا . َو ِإ َذ ْجا ا َت َم َع ْت ُقلا َر َ با َت ِنا َف ِ َس ُءا ُْأا ِم َأ ْو ََ ِم ْن ِن َس ِءا َْأا ِب ِإ ل َأ ْن َت ُك ْو َن ُأ ْخ ًت ُِأ ا م َم َع ُأ ْخ ٍت َِأ ب َو ُأ م َك ، َنا ِت ُْأا ْخ ُت ِل َْل ِب َو ُْأا م َأ ْو ََ Artinya: “Adapun ibu lebih utama kepada hak hadhanah selama anak belum sampai kepada umur 7 tahun kecuali dalam 8 perkara: 1. Mengatakan setiap dari keduanya “aku mengambil anakku” maka yang lebih utama adalah bapaknya. 2. Bahwa Ayahnya lebih terjaga dibandingankan dengan ibunya. 3. Bahwa tidak sempurna kemerdekaan ibunya sedangakan Ayahnya lebih merdeka ketimbang ibunya. 4. Jika berbeda tempat yang sangat jauh antara keduanya maka Ayahlah yang lebih berhak 5. Jika ibunya telah menikah maka yang lebih berhak bapaknya 6. Jika bapaknya muslim dan ibunya kafir zimmi maka yang berhak Ayahnya 22 Abu al-Hasan Al-Mahamili, al-Lubab Fi Fiqh As- syafi’I, Juz I, Madinah Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998, h. 347. 21 7. Jika Ayahnya muslim dan ibunya murtad 8. Jika ibunya tidak mempunyai kerabat lagi sedangkan ia merupakan budak seseorang maka Ayahnya yang lebih berhak. Adapun syarat bagi anak yang diasuh: 23 1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat mengurus dirinya sendiri. 2. Si anak sempurna akalnya. Akan tetapi dari persyaratan diatas ulama fikih berbeda pendapat mengenai syarat seseorang yang mengasuh beragama Islam. Berpendapat kalangan dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah tidak disyaratkan orang yang memelihara anak harus beragama Islam akan tetapi jika non-muslim itu kitabiyah atau ghairu kitabiyah boleh menjadi hadhanah baik itu sendiri maupun orang lain. 24 Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan ketika hak itu merupakan hak anak mahdun. Menurut sebagian mazhab Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya tentulah itu baik, jika ia tidak ingin dipelihara oleh hadhin maka hadin tidak boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak. 25 Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa hadhin yang berhak atas itu, apabila hadin tidak bersedia melaksanakan hadhanah, maka ia tidak dapat dipaksa untuk melakukan atau tidak. Oleh karena itu apabila mengasuh seorang anak dilakukannya dengan secara paksa, maka 23 Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Jilid 2, h. 242. 24 Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jlid 10, Penerjemah Abdul Hayyie Al-Katani, dkk, h. 67. 25 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fikih, Jakarta: IAIN, 1983, Jilid 2, h.212. 22 dikhawatirkan anak akan terlantar pendidikan dan pemeliharaannya. Pada hakikatnya hadhanah berkaitan dengan tiga hak terpadu, hak Ibu, hak anak dan hak Ayah, maka ketiganya harus terwujud jika saling bertentanagn yang didahulukan adalah hak si anak. 26 Imam Syarbini mengatakan apabila si hadhin tidak mempunyai harta maka wajib bagi orang yang wajib menafkahkan harus menafkahkan si mahdun, jika tidak maka wajib bagi orang Islam untuk menafkahkannya. Dari perkataan imam Syarbini dapat difahamibahwa menafkahkan anak yang diasuh itu wajib untuk semua orang Islam tetapi tentu dengan catatan yang tertentu. 27 Menurut imam al-Sarkhisi apabila seorang Ibu merasa anak tidak butuh kepada hadhanah maka tetaplah berlaku bagi seorang yang mempunyai hak mengasuh untuk membiayai ia dalam pendidikan, kebutuhan makannya, dan menyucikan bajunya, karena semua itu dIbutuhkan bagi si anak. 28 Adapun urutan orang-orang yang berhak menerima hadhanah menurut Abu Al-Fadhil Al-Hanafi yaitu: Ibu kandung, Ibu sebapak, Saudara perempuan seIbu sebapak, Saudara perempuan seibu, Saudara perempuan sebapak, Bibi, Ponakan perempuan dari saudara perempuan lebih bagus dari pada anak ponakan perempuan dari saudara laki-laki. Apabila yang disebutkan diatas menikah maka gugurlah hak asuhan baginya. 29 26 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, Jakarta: Rajawali Pres, 2012, h.210. 27 Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Beirut: Dar El-kutub Al- ‘alamiyah, 1994, Juz 5, h. 196. 28 As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, Beirut: dar El- Ma’rifah, 1993, Juz 5, h. 207. 29 Abu al-Fadhil al-Hanafi, Al- Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1937, Juz 4, h. 15. 23 Muhammad al-Hadadi al- ‘Ubadiy az-Zabidiy mengatakan apabila Ibu kandung tidak ada atu telah menikah maka yang lebih utama mengasuh anak tersebut adalah nenek Ibu kandung lebih utama di banding dengan Ibu sebapak, dan jika jauh dari nasab keturunan maka Ibu sebapak lebih utama daripada saudara perempuan. Maka apabila Ibu kandung tidak mempunyai nenek maka saudara perempuanlah yang lebih utama daripada bibi. 30 D. Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah Pada dasarnya pelaksana hadhanah dalam keluarga adalah suami isteri atas hadhanah anak-anaknya. Apabila karena adanya sesuatu hal yang menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga yang sekiranya mampu dan memenuhi syarat untuk melaksanakan hadhanah tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan kelemah lembutan bukan dengan dasar kekuatan perwalian, seperti nikah, mawali, wala’, walad dan warisan. 31 Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan Ayah, adik perempuan Ibu, anak saudara laki-laki dan anak saudara perempuan. Sementara menurut Al Hamdani bahwa orang yang berhak pengasuhan anak adalah orang yang lebih mampu mengasuh dan mendidik anak tersebut, karena orang yang mengabaikan pemeliharaan anak atau tidak bertanggungjawab terhadap anak tidak layak mendapatkan hak pengasuhan anak. 32 30 Muhammad Az-zabidi, Al-jauharah an-Nirah, Lebanon: mathba’ah Khirah, 1322 H, Juz 2, h. 90. 31 Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemahan Imam Ghazali Said, Jakarta:Pustaka Amani, 2007, Jilid II, h. 526. 32 Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, h. 265. 24 Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak hadhanah atas anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Menurut mereka naluri keIbuan lebih sesuai untuk merawat dan mendidik anak, serta adanya kesabaran dalam menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding kesabaran seorang laki-laki. Selanjutnya ulama fikih juga mengemukan bahwa apabila anak tesebut telah mencapai usia tertentu, maka pihak laki-laki dapat dianggap lebih sesuai dan lebih mampu untuk merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai pelindung. Oleh sebab itu maka ulama fikih lebih mendahulukan kaum wanita daripada kaum pria. 33 Urutan mereka yang berhak melaksanakan tugas hadhanah anak, menurut ulama fikih adalah sabagai berikut: 1. Ibu dari si anak, Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian atau meninggalnya suaminya, sebab ia merupakan orang yang paling sayang dan lembut terhadap si anak daripada orang lain. 34 2. Jika hak hadhanah seorang Ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak pindah kepada Ibunya istri nenek si anak. Selain itu, seorang nenek adalah keluarga terdekat setelah Ibu. Selanjutnya biasanya nenek lebih menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya. 35 3. Selanjtunya setelah hak asuh Ibu dan nenek Ibu dari Ibu tiada, maka hak tersebut di ambil alih oleh nenek Ibu dari Ayah dari anak tersebut. 33 Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011 h. 61. 34 Wahbah Az-Zuhaili, Fikih Islam Wa Adillatuhu Hak-Hak Anak, Wasiat, Wakaf, Warisan Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011 h. 61 35 Al- Fauzan Saleh Fikih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006, h.750. 25 Penyebab nenek dari Ibu Ibu dari Ibu lebih diutamakan dari pada nenek dari Ayah Ibu dari Ayah, meskipun kedua-duanya sama-sama dekat namun karena nenek dari Ibu merupakan kerabat dari Ibu si anak, sedangkan hak hadhanah atas anak lebih diutamakan pada garis keturunan Ibu, sehingga kerabat dari Ibu lebih diutamakan 4. dibanding kerabat dari pihak Ayah. Namun hal yang berbeda dikemukan oleh Saleh al- Fauzan, menurutnya jika setelah hak asuh Ibu dan nenek Ibu dari Ibu tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh Ayah kandung si anak. Hal ini karena Ayah juga memiliki kedekatan dengan anaknya di banding yang lain setelah Ibu dan nenek. Setelah orang-orang telah di sebutkan di atas gugur haknya, maka yang seterusnya yang melaksanakan tugas hadhanah adalah saudara kandung perempuan dari Ibu si anak. Sebab, mereka memiliki hubungan yang lebih kuat dengannya dalam masalah warisan. Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap keibuan, sebab Ibu lebih diutamakan dibandingkan Ayah, baru kemudian saudara perempuan seayah. 5. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah anak perempuan dari saudara seayah. 6. Bibi yang sekandung dengan Ayah 7. Bibi yang seibu dengan Ayah 8. Bibi yang seayah dengan Ayah 9. Bibinya Ibu dari pihak Ibunya 10. Bibinya Ayah dari pihak Ibunya 26 11. Bibinya Ibu dari pihak Ayahnya 12. Bibinya Ayah dari pihak Ayah. 13. Kakek dari pihak Ayah dan terus ke atas Ayah dari Ayah si anak 14. Saudara laki-laki sekandung 15. Saudara laki-laki seayah 16. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 17. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah 18. Paman yang sekandung dengan Ayah 19. Paman yang seayah dengan Ayah 20. Pamannya Ayah yang sekandung 21. Pamannya Ayah yang seayah dengan Ayah 22. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas maka hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat yaitu diantaranya: 23. Ayah Ibu kakek 24. Saudara laki-laki seibu 25. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu 26. Paman yang seibu dengan Ayah 27. Paman yang sekandung dengan Ibu Paman yang seayah dengan Ibu 28. Paman yang seayah dengan Ayah 27 Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi Ibu maupun sisi Ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya. 36 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang berhak mendapatkan hak asuh anak itu berjumlah 28 pihak. Akan tetapi yang paling utama yang berhak adalah jalur dari sanak keluarga dari si Ibu. 36 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta:Al-HidAyah, 1968, h.395. 28

BAB III KEPUTUSAN

IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK PENGASUHAN ANAK TEHADAP ORA NG TUA BERCERAI SEBAB BERBEDA AGAMA

A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku

Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang mengadung nilai- nilai bagus didalamnya sehingga banyak aturan-aturan dan persyaratan yang harus dipenuhi. Didalam pernikahan apabila terjadi perceraian antara suami istri maka butuh pengasuhan anak yang layak agar menjadikan anak tersebut berguna bagi agama dan negaranya, oleh karena itu lembaga fatwa MUI Majelis Ulama Indonesia membuat aturan tentang kepengasuhan anak. Adapun aturan tersebut di sebutkan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Hak Pengasuhan Anak Tehadap Orang Tua Bercerai Sebab Berbeda Agama diantara persyaratan tersebut MUI menyebutkan bahwa seorang pengasuh harus dapat dipercaya amanah dan berbudi pekerti yang baik. Hasil persyaratan pengsuh yaitu dapat dipercaya amanah dan berbudi pekerti yang baik jika dianalisa MUI mengambil dari berbagai sumber hukum Islam di antaranya: 29

1. Pandangan Ulama Fikih

Pada umumnya fukaha sepakat bahwa Ibu mempunyai keutamaan hak hadhanah. Namun hak hadhanah dapat dicabut dengan sebab murtad, berperilaku tidak terpuji seperti berzinah, mencuri, tidak dapat dipercaya, sering keluar rumah dan mengabaikan anak yang diasuhnya. Tujuan dari adanya sifat-sifat tersebut adalah dalam upaya memelihara dan menjamin kesehatan, pertumbuhan moral dan perkembangan psikologis anak. 1 Sejalan dengan pendapat diatas, Ibnu Qudamah mengemukakan, bahwa pencabutan hak hadhanah sebagaimana pendapat al-Jundi bahwa perinsip dasar yang dapat dijadikan alasan pencabutan hak hadhanah Ibu adalah adanya situasi dan kondisi pada Ibu yang dapat merugikan kepentingan dan kesejahteraan serta membahayakan agama anak. Dasar dan orientasi dalam hadhanah adalah kemashlahatan dan kemanfaatan bagi anak tanpa memperhatikan hak Ibu atau Ayahnya. Hak hadhanah Ibu atau Ayah dapat gugur apabila anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya. 2 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fikih klasik tidak mengatur secara rinci tentang hal yang dapat mengugurkan dan pencabutan terhadap hak-hak hadhanah. Namun pencabutan hak hadhanah dapat difahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang hak hadhanah. Adapun alasan-alasan digugurkan dan dicabutnya hadhanah seseorang antara lain: 3 1 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar El-Fikr, 1997, h. 7306. 2 Anwar Al-Jundi, Mabadi al-Qadha al- Syar’I, Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi, 1978, h. 373-374. 3 Andi Syamsu Alam, Muhammad Fauzan, Hukum Pengankatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008, h. 132. 30 1. Hal-hal yang disepakati yaitu: a. Tidak bisa dipercaya b. Berperilaku tidak terpuji c. Membahayakan kepentingan anak 2. Hal-hal yang masih diperdebatkan yaitu: a. Kafir dan murtad b. Isteri menikah lagi dengan laki-laki lain. Di dalam kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi Al-Imami Ahmad memberikan keterangan bahwa bagi orang tua yang tidak cakap perilaku tidak berhak mendidik anaknya kecuali telah kembali sifat akhlaknya yang bagus dan tidak fasik maka berhak medapatkan kembali hak sebagai pengasuh. 4 Alasan hak tersebut kembali ialah hilangnya pencegah yang menyebabkan pengasuh tidak berhak mengasuh anak tersebut seperti fasik, kafir dan tidak merdeka, 5 Dari pemaparan pengarang kitab Al-HidAyah ‘Ala Mazhabi Al- Imami Ahmad dapat difahami wanita pengasuh harus memiliki sifat adil dan tidak fasik. Tidak ada alasan untuk memasukan sifat adil dan tidak fasik sebagai salah satu syarat mendapatkan hak mengasuh anak jika kedua hal ini menjadi syarat pengasuhan anak, maka pastilah ada keterangan dan perbuatan yang dinukil tentang maslah ini. Sebab, sejak Allah SWT mengutus Rasulullah SAW sampai hari kiamat kelak anak- 4 Mahfuz Ibn Ahmad, Al-hidAyah ‘Ala Mazhab al-Imam Ahmad, Ttp: Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At- tauzi’, 2004, Jilid 1, h. 500. 5 Abdurrahman Ibn Ibrahim, Al- iddah Syarh ‘Umdah,, Beirut: Dar El- Hadits, 2003, Jilid 1, h. 479. 31 anak kalangan fasik dirawat oleh mereka dan tidak ada seorang pun yang menghalangi mereka meskipun mereka berjumlah banyak. Kemudian, dalam sejarah juga tidak pernah disebutkan ada anak yang dicabut urutan keturunannya dari kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya lantaran kefasikannya fenomena sehari-hari juga menunjukan bahwa orang yang fasik sekalipun akan selalu berhati-hati merawat anaknya dan tidak mau menyia-yiakannya, dan selalu berusaha sekuat tenaga demi kebaikan si anak. Dengan demikian apabila ada seorang yang fasik merawat anak maka batal hak asuhnya seklipun ia berhati-hati merawat anaknya. 6 Muhammad Nur Abdul Hafiz menjelaskan ada beberapa sifat mendasar yang diupayakan untuk bisa dimiliki oleh setiap pengasuh.Semakin banyak sifat dibawah ini yang bisa dimiliki, maka semakin besar pula kemungkinan bisa mengasuh anak sesuai dengan metode yang dijalankan oleh para rasul yang memang hanya para Rasulullah yang memang memilki sifat kesempurnaan. Walaupun seorang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki sifat para rasul namun mereka dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin agar mampu mendekati sifat-sifat mereka. Dengan adanya akhlak seorang pengasuh yang baik ini, insya Allah setiap generasi baru akan melihat contoh yang baik dalam diri pengasuhnya sehingga merekapun akan mengikutinya dengan penuh kesadaran. Adapun sifat tersebut sebagai berikut: 7 6 Muhammad Ibn Wahab, Zad Al- Ma’ad, Beirut: Dar Al-rayan al-Qahirah, 1987, Jilid 5, h. 461. 7 Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Bandung: Al-Bayan, 1997, h. 52.