13
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya:͆Para  ibu  hendaklah  menyusukan  anak-anaknya  selama  dua  tahun penuh,  yaitu  bagi  yang  ingin  menyempurnakan  penyusuan.  dan
kewajiban  Ayah  memberi  makan  dan  Pakaian  kepada  para  ibu dengan  cara  maruf.  seseorang  tidak  dibebani  melainkan  menurut
kadar
kesanggupannya. janganlah
seorang ibu
menderita kesengsaraan  Karena  anaknya  dan  seorang  Ayah  Karena  anaknya,
dan  warispun  berkewajiban  demikian.  apabila  keduanya  ingin menyapih  sebelum  dua  tahun  dengan  kerelaan  keduanya  dan
permusyawaratan,  Maka  tidak  ada  dosa  atas  keduanya.  dan  jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. QS. Al-baqarah : 233
Ayat  diatas  menjelaskan  mengenai  hukum  penyusuan  anak  ketika terjadinya  talak,  dapat  diartikan  bahwa  keluarga  mengandung  arti  hubungan
yang  tidak  dapat  lepas  dari  kedua  suami  dan  siteri  yang  bersangkutan  yaitu, tentang anak yang masing-masing punya andil padanya dan terikat dengannya.
Apabila  dalam  kehidupan  rumah  tangga  kedua  orangtua  itu  bubar,  maka  si kecil ini harus diberi jaminan secara terperinci yang harus dipenuhi oleh kedua
orangtuanya  dalam  setiap  keadaannya.  Kemudian  seorang  Ibu  yang  telah diceraikan itu mempunyai  kewajiban terhadap  anaknya  yang msih menyusui,
14
hal  tersebut  merupakan  kewajiban  yang  telah  ditetapkan  oleh  Alah  SWT  dan tidak  dibiarkan  oleh  Allah  meskipun  fitrah  dan  kasih  sayang  untuk  anak
berkurang  akibat  perceraian  kedua  orangtuanya,  sehingga  Allah  SWT mewajibakan  bagi  seorang  Ibu  untuk  menyusui  anaknya  selama  sua  tahun
penuh.  Karena  Ibu  mengetahui  bahwa  masa  usia  anak  ketika  dua  tahaun merupakan  waktu  yang  paling  ideal  ditinjau  dari  segi  kesehatan  maupun  jiwa
anak  dan  pada  masa  usia  tersebut  merupakan  kebutuhan  yang  vital  bagi pertumbuhan anak baik mengenai kesehatan maupun mentalnya.
10
Kemudian Allah SWT berfirman di dalam surat At-tahrim Ayat 6: 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari  api  neraka  yang  bahan  bakarnya  adalah  manusia  dan  batu; penjaganya  malaikat-malaikat  yang  kasar,  keras,  dan  tidak
mendurhakai  Allah  terhadap  apa  yang  diperintahkan-Nya  kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.͇ QS. At-
Tahrim: 6
Pada ayat ini orangtua diperintahakan Allah SWT untuk memelihara keluarganya  dari  api  neraka,  dengan  memberitahaukan  kepada  keluarganya
untuk selalu taat kepada Allah SWT dan menjauhi segala yang dilarang-Nya, termasuk  anggota  keluarga  disini  adalah  anak.  Kewajiban  membiayai  anak
yang  masih  kecil  bukan  hanya  belaku  selama  Ayah  dan  Ibu  masih  terikat dalam tali perkawinan saja, namun berlanjut setelah perceraian.
11
10
Sayid  Quthub,  Tafsir  Fi  Z hilāli  Al-qur’an.  Beirut:  Dar  Syuruq:  1992
penerjemah As’ad Yasin, dkk, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, h. 301-302.
11
Al-Makhrûzi, Tafsir Mujahid, Beirut: Dar el-Fikri, 1989, h. 237.
15
Didalam Tafsir  Wādhih  dijelaskn  bahwa  ayat  tersebut  menjelaskan
Allah  SWT  memerintahkan  agar  menjaga  diri  manusia  meninggalkan  dari segala kemaksiatan melaksanakan ketaan, meninggalkan segala larangan yang
dibenci oleh Allah SWT dan rasul-rasul-Nya. Menjaga pula keluarga kita dari segala  kemaksiatan,  larangan  dan  melaksanakan  perintah  Allah  SWT,
mengerjakan  amal  baik,  dan  menjalankan  syariat  sesuai  dengan  tuntunan  al- Qur’an.  Adapun  yang  dimaksud  dengan  keluarga  disini  adalah  anak  dan
orang-orang yang terdekat. Allah benar-benar telah tegas  mengatakan:
12
َيِبَرْ قَْأا َكَتَرِشَع ْرِذْنَأَو ،  اهْيَلَع َِِْطْصاَو ِةا صلاِب َكَلْهَأ ْرُمْأَو
Kemudian hadits Nabi:
َقا َل
َأ ُ ب ْو
َد ُوا َد
َح : َد   ث
َ َْم ا
ُم ْو ُد
ْب ُن َخ
ِلا ٍد
ِسلا ْل ِم
ْي َح
د َ ث َ
ْلا ا َو ِل ْي
ُد ْنَع ،
َأ ِِْ
َع ْم ٍر
،و ْعَ ي
ِْن َأا
ْو َز ِعا
ْي َح
د َث ِْن
َع ْم ٌر
ْب و ُن
ُش َع ْي
َب َع
ْن َأ ِب ْي
ِه َع ْن
َج ِد ِ
َع ْب ِد
ِها ْب ِن
َع ْم ٍر
نأ و ْما
َر َأ ًة َق
َلا ْت
َي َر ا
ُس ْو َل
ِها ِإ
ن ْبا
ِْن َذه
َناك ا َب
ْط ِْن
َل ُه ِو
َع ٌءا
َثو َد ِي
ْي َل ُه
َس َق ٌءا
َو َح ْج ِ
ر ْي
َل ُه َح َو
ٌءا َو ِإ  ن
َأ ُاب
َط َل َق
ِْن َو َأ َر
َدا َأ ْن
َ ي ْ َت ِز
َع ُه ِم
ِْن ،
َفاق ل
َََ َر ا
ُس ْو ُل
ِها َأ ملسو هيلع ها ىلص
ْن ِت
َأ َح
ق ِب ِه
َم َْل ا
َ ت ْ ِك
ِح ْي.
13
Artinya:  “Telah  menceritakan  kepada  kami  Mahmud  bin  Khalid  As-sulami, telah  menceritakan  kepada  kami  Al-Walid  dari  abu  Amr  Al-
Auza’I, telah menceritakan kepada kami Amr bin Syuaib, dari Ayahnya dari
kakeknya  yaitu  Abdullah  bin  Amr  bahwa  seorang  wanita  berkata: Whai  Rasulullah,  sesungguhnya  anakku  ini,  perutku  adalah
tempatnya,  dan  putting  susuku  adalah  tempat  minumnya,  dan pangkuanku
adalah rumahnya,
sedangkan Ayahnya
telah mecraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah
SAW  bersabda:  “Engkau  lebih  berhak  terhadapnya  selama  engkau belum menikah. HR. Abu Daud
12
Muhammad Mahmud, Tafsir Wadhi,  Beirut: Dar Jil al-Jadidi, 1413 H,  Juz 3 h. 705.
13
Al-Khatabi ,  Ma’alimu  As-sunan,  Lebanon:  Al-Mathba’ah  Al-alamiyah,  1932,
Juz 3, h. 282.
16
Dari  hadits  ini  bependapat  imam  al-Qurtubi  al-Baji  al-Andalusi, bahwa  anak  kecil  tidak  mampu  mengurus  dirinya  sendiri  maka  butuh
pengasuh,  sedangkan  pengasuh  untuk  anak  yang  lebih  utama  adalah  Ibunya karena  seorang  Ibu  lebih  benar,  lebih  sabar,  lebih  menjaga  dan  mengerti
kepada  kebutuhan  anaknya,  sedangkan  Ayahnya  tidak  ampu  melakukan  hal itu.  Maka  Ibulah  yang  lebih  berhak  mengasuh  anaknya  selam  ia  belum
mencapai umur 7 tahun.
14
Kemudian  I mam  Māwardĭ  yang  menjelaskan  alasan  Ibu  tidak
mendapatkan hak asuh dengan alasan sebagai berikut :
15
1. Pernikahan mencegah mendapatkan hak asuh karena dikhawatirkan jkia si
Ibu menyibukkan diri mengurus anak maka hak suami tidak terpenuhi. 2.
Karena  pernikahan  menceah  untuk  sibuk  mendidik  anak  yang  bukan berasal dari suaminya.
3. Karena anak tersebut tidak dianggap oleh suami baru Ibunya.
Imam  Nawawi  berkata  ketika  seorang  Ibu  tidak  mendapatkan  hak asuh anak karena ia menikah lagi, maka ia akan di sibukkan beristimta dengan
suaminya, sehingga tugas penting dari hadhanah terabaikan.
16
C. Syarat-syarat Hadhanah
Syarat-syarat hadhanah menurut Imam Taqiyuddin didalam kitabnya Kifayatu Al-akhyar menyebutkan ada 7 syarat:
14
al-Kurtubi  al-Baji  al-Andalusi,  Al-Muntahi  Syarh  al-Muatha,  Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1332 H, Juz 6, h. 186.
15
Al- Māwardhĭ, Al-hawi Al-kabir, Beirut: Dar El-Kutub Alamiyah, 1999, Juz 1,
h. 505.
16
An-Nawawi, Al- Majmu’ Syarh al-Muhazab, Lebanon: Dar El-Fikri, tth,
Juz 18, h. 321.
17
1. Berakal
Berakal  merupakan  syarat  pertama  yang  harus  dipenuhi  bagi  orang yang ingin mendidik anaknya, karena berakal merupakan salah satu indikasi
seseorang  dapat  dikenakan  hukum  syariat,  maka  tidak  berhak  bagi  orang yang gila baik itu gila dari lahir atau gilanya orang tersebut dapat mungkin
sadar  dengan  memakan  waktu  yang  lama.  Tetapi  Imam  Taqiyuddin berpendapat  lain  yaitu  jika  gilanya  tersebut  tidak  lama  sebentar  seperti
sehari maka tidaklah menggugurkan hak  hadhanah tersebut, seperti halnya orang  yang  sakit  kemudian  sembuh  dengan  waktu  yang  sesaat.  Adapun
alasan  seseorang  yang  gila  tidak  boleh  mendidik  anak  hadhanah  karena tidak  mungkin  seorang  yang  gila  menjaga  anak  sedangkan  ia  sendiri
membutuhkan  kepada  penjagaan  bagaimana  mungkin  ia  dapat  menjaga mendidik anak.
2. Merdeka
Tidaklah  boleh  bagi  seorang  budak  mendidik  anak  sekalipun  ia  di izinkan  oleh  tuannya,  sedangkan  alasan  tidak  dibolehkannya  bagi  seorang
budak  mendidik  anak:  pertama,    budak  haknya  adalah  melayani  tuannya kemanfaatan  bagi  tuannya  bagaimana  mungkin  ia  melayani  tuannya  dan
tuannya  dapat  mengambil  kemanfaatan  darinya  sedangkan  ia  disIbukkan untuk mendidik anak. Kedua, tidak ada hak sama sekali bagi seorang budak
untuk mendidik anak.
18
3. Beragama Islam
Keadaan  perempuan  tersebut  beragama  islam  tetapi  jka  ada  anak  yang  di didik tersebut  beragama  islam  yang mengikuti  agama bapaknya maka bagi
seorang perempuan yang kafir tidak boleh mendidiknya. 4.
Cakap akhlaknya, terpercaya, tidak bersuami.
5. Mampu
Apabila  salah  satu  syarat  tersebut  tidak  terpenuhi  maka  gugurlah hadhanah.  Namun  berbeda  dengan  imam  Husain  al-hanafiy  mengatakan
bahwa seorang  Ibu majusi dan kitabiyah berhak mendapatkan hak pengsuh karena tidak ada perbedaan dari segi agama,
17
maka hadhanah lebih berhak didapatkan  oleh  seorang  isteri  sebagaimana  dijelaskan  didalam  kitab
raudhatu At- Thālibĭn:
18
اَ َِإ ًاْصَأ ُهَل َزيِيََْ  َل ْنَم ِقَح  ِِ  ِبَْأا َنِم ِةَناَضَْْاِب  قَحَأ  مُْأا  نَأِب ُمَكُْح
Artinya: “Hanyalah  ibu  yang  lebih  berhak  untuk  mengash  anaknya
dibandingkan  dengan  Ayahnya  selama  anak  tersebut  belum tamyyiz
sedikitpun” Imam  Fakhruddin  berpendapat  apabila  tidak  ada  keluarga  yang
mengasuh  dengan  bahwa  ada  Ibunya  itu  seorang  yang  fasik,  atau  ia  sering keluar  rumah  kemudian  ia  meninggalkan  anak  asuhannya  dan  tak  kembali
kerumah  atau  ia  seorang  budak  atau  anak  budak  perempuan  atau  yang mengatur kehidupan anak asuhan atau Ibunya seorang budak mukatabah yang
17
Badru  ad-Din,  Al-InAyah  Syarh  al-HidAyah,  Lebanon:  Dar  El-Kutub  Al- ‘alamiyah, 2000, Juz, 5, h. 644.
18
Abu  Zakariya,  Raudhatu  at- Thālibĭn  Wa  Umdatu  Al-Mutaqin,  Beirut:  Al-
Maktab Al-Islami, 1991, Juz 9, h.103.
19
ia  melahirkan  seorang  anak  sebelum  menjadi  budak  mukatabah  atau  ia menikah  dengan  seseorang  yang  bukan  mahramnya,  sedangkan  dilain  sisi
bapaknya sulit dan Ibunya pergi tidak mau mengasuh anaknya jika tidak diberi upah  sedangkan  ada  seorang  budak  yang  ingin  mengasuhnya  tanpa  harus
dibayar  maka  budak  perempuan  tersebut  lebih  baik  dibandingkan  Ibunya. Pendapat ini lebih baik menurut mazhab Hanafi.
19
Syarat hadhanah disebutkan pula didalam kitab al- Iqna’:
20
َا َْْ َض
َنا ُة َو ِه
َي َس ْ ب
َع ٌة َا ْل
َع ْق ُل
َو ُْْا ِ
ر َي ُة َو
ِدلا ْي ُن
َو ْلا ِع  ف
ُة َو
َْأا َم َنا
ُة َو ِْلا
َق َما ُة
َو ُْلا
ُل  و ِم
ْن َز ْو
ٍج
Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,
terjaga, terpercaya, dan tidak ada ikatan dalam pernikahan” Abi Suja’ mengatakan:
َو َش َر ِئا
ُط َْْا
َض َنا ِة
َس ْب ٌع
َا ْل َع ْق ُل
َو ُْْا ِ
ر  ي ُة َو
ِدلا ْي ُن
َو ْلا ِع  ف
ُة َو
َْأا َم َنا
ُة َو ِْلا
َق َما ُة
َو ُْلا
ُل  و ِم
ْن َز ْو
ٍج َف ِإ
ِن ْخا
َت  ل ِم
ْ  َه َش ا
ْر ٌط َس َق
َط ْت
.
Artinya: “Hadhanah itu ada tujuh syarat: berakal, merdeka, beragama Islam,
terjaga,  terpercaya,  dan  tidak  ada  ikatan  dalam  pernikahan  jika cacat satu syarat dari 7 tersebut maka gugurlah”
21
َش ْر ُط
َْْا ِضا
ِن ِس
ت َع  ،
ْق ٌل َو  ،
ُح ِر ي ٌة
َو ِإ ْس
َا ٌم
ِل ْل ُم
ْس ِل ِم
َو  ، َأ َم
َنا ٌة َو  ،
ِإ ْر َض
ُعا َرلا
ِض ْي ِع
َو َب َص
ٌر َو ِإ
ْن َن َك
َح ْت
َم ْن
َل َح
ق َل ُه
ِِْ َْْا
َض َنا ِة
َب ، َط
َل َح  ق
َه َو ،ا
ِإ ْن َط َل
َق ْت
َع َدا
َك َع ْو ِد
َش ْر ِط
َها.
19
Fakhru  ad-Din,  Tabyiinu  al-Haqaiq  syarh  kanzu  ad-Daqaiq  Wa  Hasyiyah  As- syilbi, Juz 3,Lebanon: Dar El-Kutub al-Alamiyah, tth,  h.46.
20
Al-mawardi, al-Iqna fi fiqh as-S yafi’I, Ttp: Tp, tth, Jilid I, h. 160.
21
Abi Syuja’, al-Ghayah Wa At-taqrib, Surabaya: Alim Al-Kutub, tth, h. 36.
20
Artinya: “Syarat  bagi  orang  yang  mengasuh  anknya  itu  ada  6:  berakal,
merdeka,  beragama  Islam,  terpercaya,  baik  budi  pekertinya  ibu sesusuan  dan  mengerti.  Jika  ibunya  menikah  lagi  maka  tidak  ada
hak  asuhan  bagi  ibunya,  dan  jika  ia  tertalak  lagi  maka  kembalilah haknya jika anak tersebut belum mumayyiz
” Maka dari syarat  yang disebutkan diatas hak  hadhanah lebih pantas
jatuh kepada Ibu sebagaimana di dalam kitab Al-lubab dijelaskan:
22
َأ ُْأ
م َأ ْو
ََ ِب
َْْا َض
َنا ِة ِم
َن َْأا
ِب َم
َْل ا َ ي ْ ب
ُل ْغ ْلا
َو َل ُد َس ْب
َع ِس ِ
َْي ِإ
ل َِْ
ََث ِنا
َم َس
ِئا َل
َأ َح ُد َه
َأ ا ْن
َ ي ُق ْ و
َل ُك
ُل َو
ِحا ٍد
ِم ْ ُه َم
َأ :ا ْن
َأ ا ْم ِس
ُك ْلا
َو َل َد َف
َْأا ُب
َأ ْو ََ
ثلاو ِنا َي
ُة َأ :
ْن َي ُك
ْو َن َْأا
ُب َم ْأ
ُم ْو ًن ُد ا
ْو َن ُْأا
ِم َو  ثلا
ِلا َث ُة
َأ : ْن
َل َت
ْك ُم َل
ُْْا ِ ر َي ُة
ِِْ ُْأا
ِم َو َي
ُك ْو َن
َْأا ُب
ُح  را َو
رلا ِبا َع
ُة  ِإ َذ
ْ فا ا َ ت َر
َق دلا
ُرا ِِب
َم َف  ا
َْأا ب
َأ ْو ََ
. َو
َْلا ِما
َس ُة ِإ  :
َذ َ ت  ا
َز  و َج
ْت ُأا
م َف
ُْأا ب
َأ ْو ََ
. َو
سلا ِدا
َس ُة ِإ :
َذ َك ا
َنا َْأا
ب ُم
ْس ِل ًم
َو ا ُْأا
م ِذ ِم
َي ًة. َو
سلا ِبا َع
ُة ِإ َذ
َك ا َنا
َْأا ب
ُم ْس ِل
ًم َو ا
ُْأا م
ُم ْر َت د ٌة
. َو  ثلا
ِما َ ُة
َأ ْن
َت ُك
ْو َن ُْأا
م َْ ُه
ْو َل َة لا
َس ِب
َف َأ َ ق ر
ْت ِب
ِرلا ِق
ِِل ْن َس
ٍنا .
َو ِإ َذ ْجا ا
َت َم َع
ْت ُقلا
َر َ با َت ِنا
َف ِ َس
ُءا ُْأا
ِم َأ ْو
ََ ِم
ْن ِن
َس ِءا
َْأا ِب
ِإ ل
َأ ْن
َت ُك
ْو َن ُأ
ْخ ًت ُِأ ا
م َم َع
ُأ ْخ
ٍت َِأ
ب َو ُأ
م َك ،
َنا ِت
ُْأا ْخ
ُت ِل
َْل ِب
َو ُْأا
م َأ ْو
ََ
Artinya: “Adapun ibu lebih utama kepada hak hadhanah selama anak belum
sampai kepada umur 7 tahun kecuali dalam 8 perkara: 1.
Mengatakan  setiap  dari  keduanya  “aku  mengambil  anakku”  maka  yang lebih utama adalah bapaknya.
2. Bahwa Ayahnya lebih terjaga dibandingankan dengan ibunya.
3. Bahwa  tidak  sempurna  kemerdekaan  ibunya  sedangakan  Ayahnya  lebih
merdeka ketimbang ibunya. 4.
Jika  berbeda  tempat  yang  sangat  jauh  antara  keduanya  maka  Ayahlah yang lebih berhak
5. Jika ibunya telah menikah maka yang lebih berhak bapaknya
6. Jika bapaknya muslim dan ibunya kafir zimmi maka yang berhak Ayahnya
22
Abu  al-Hasan  Al-Mahamili,  al-Lubab  Fi  Fiqh  As- syafi’I,  Juz  I,  Madinah
Munawarah, Dar Al-Bukhar, 1998, h. 347.
21
7. Jika Ayahnya muslim dan ibunya murtad
8. Jika ibunya tidak mempunyai kerabat lagi sedangkan ia merupakan budak
seseorang maka Ayahnya yang lebih berhak. Adapun syarat bagi anak yang diasuh:
23
1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat mengurus dirinya
sendiri. 2.
Si anak sempurna akalnya. Akan  tetapi  dari  persyaratan  diatas  ulama  fikih  berbeda  pendapat
mengenai  syarat  seseorang  yang  mengasuh  beragama  Islam.  Berpendapat kalangan  dari  ulama  Hanafiyah  dan  Malikiyah  tidak  disyaratkan  orang  yang
memelihara  anak  harus  beragama  Islam  akan  tetapi  jika  non-muslim  itu kitabiyah  atau  ghairu  kitabiyah  boleh  menjadi  hadhanah  baik  itu  sendiri
maupun orang lain.
24
Kemudian ulama berbeda pendapat juga dipemasalahan ketika  hak  itu  merupakan  hak  anak  mahdun.  Menurut  sebagian  mazhab
Hanafi hadhanah adalah hak anak karena anak dapat menentukan pilihannya ia akan di didik dan dipelihara dengan baik  atau tidak. Jika ia menginginkannya
tentulah  itu  baik,  jika  ia  tidak  ingin  dipelihara  oleh  hadhin  maka  hadin  tidak boleh untuk memaksanya karena hak hadhanah itu milik si anak.
25
Mazhab Syafi’i  dan  Mazhab  Hambali  berpendapat  bahwa  hadhin
yang  berhak  atas  itu,  apabila  hadin  tidak  bersedia  melaksanakan  hadhanah, maka  ia  tidak  dapat  dipaksa  untuk  melakukan  atau  tidak.  Oleh  karena  itu
apabila  mengasuh  seorang  anak  dilakukannya  dengan  secara  paksa,  maka
23
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah Jilid 2, h. 242.
24
Wahbah  Az-zuhaili,  Fiqh  Islam  Wa  Adillatuhu,  Jlid  10,  Penerjemah  Abdul Hayyie Al-Katani, dkk, h. 67.
25
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fikih, Jakarta: IAIN, 1983, Jilid 2, h.212.
22
dikhawatirkan  anak  akan  terlantar  pendidikan  dan  pemeliharaannya.  Pada hakikatnya  hadhanah  berkaitan  dengan  tiga  hak  terpadu,  hak  Ibu,  hak  anak
dan  hak  Ayah,  maka  ketiganya  harus  terwujud  jika  saling  bertentanagn  yang didahulukan adalah hak si anak.
26
Imam Syarbini mengatakan apabila si hadhin tidak mempunyai harta maka  wajib  bagi  orang  yang  wajib  menafkahkan  harus  menafkahkan  si
mahdun, jika tidak maka wajib bagi orang Islam untuk menafkahkannya. Dari perkataan  imam  Syarbini  dapat  difahamibahwa  menafkahkan  anak  yang
diasuh  itu  wajib  untuk  semua  orang  Islam  tetapi  tentu  dengan  catatan  yang tertentu.
27
Menurut  imam  al-Sarkhisi  apabila  seorang  Ibu  merasa  anak  tidak butuh kepada hadhanah maka tetaplah berlaku bagi seorang yang mempunyai
hak  mengasuh  untuk  membiayai  ia  dalam  pendidikan,  kebutuhan  makannya, dan menyucikan bajunya, karena semua itu dIbutuhkan bagi si anak.
28
Adapun  urutan  orang-orang  yang  berhak  menerima  hadhanah menurut  Abu  Al-Fadhil  Al-Hanafi  yaitu:  Ibu  kandung,  Ibu  sebapak,  Saudara
perempuan  seIbu  sebapak,  Saudara  perempuan  seibu,  Saudara  perempuan sebapak,  Bibi,  Ponakan  perempuan  dari  saudara  perempuan  lebih  bagus  dari
pada anak ponakan perempuan dari saudara laki-laki. Apabila yang disebutkan diatas menikah maka gugurlah hak asuhan baginya.
29
26
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha, Jakarta: Rajawali Pres, 2012, h.210.
27
Syarbini, Mugni Al-Muhtaj, Beirut: Dar El-kutub Al- ‘alamiyah, 1994, Juz 5, h.
196.
28
As-Sarkhisi, Al-Mabsuth, Beirut: dar El- Ma’rifah, 1993, Juz 5, h. 207.
29
Abu al-Fadhil al-Hanafi, Al- Ikhtiyaru Lita’li Al-Mukhtar, Beirut: Dar El-Kutub
Alamiyah, 1937, Juz 4, h. 15.
23
Muhammad  al-Hadadi  al- ‘Ubadiy  az-Zabidiy  mengatakan  apabila
Ibu  kandung  tidak  ada  atu  telah  menikah  maka  yang  lebih  utama  mengasuh anak  tersebut  adalah  nenek  Ibu  kandung  lebih  utama  di  banding  dengan  Ibu
sebapak,  dan  jika  jauh  dari  nasab  keturunan  maka  Ibu  sebapak  lebih  utama daripada  saudara  perempuan.  Maka  apabila  Ibu  kandung  tidak  mempunyai
nenek maka saudara perempuanlah yang lebih utama daripada bibi.
30
D.
Orang-orang yang Berhak Melakukan Hadhanah
Pada  dasarnya  pelaksana  hadhanah  dalam  keluarga  adalah  suami isteri  atas  hadhanah  anak-anaknya.  Apabila  karena  adanya  sesuatu  hal  yang
menyebabkan orang tua tidak dapat melaksanakan hadhanah, maka hadhanah terhadap anaknya itu diserahkan kepada orang lain dalam lingkungan keluarga
yang  sekiranya  mampu  dan  memenuhi  syarat  untuk  melaksanakan  hadhanah tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, hadhanah diberikan berdasarkan kedekatan dan
kelemah  lembutan  bukan  dengan  dasar  kekuatan  perwalian,  seperti  nikah, mawali,
wala’, walad dan warisan.
31
Bisa saja orang tidak mewarisi tetapi berhak hadhanah seperti orang yang diberi wasiat, adik perempuan Ayah, adik perempuan Ibu, anak saudara
laki-laki dan anak saudara perempuan. Sementara menurut Al Hamdani bahwa orang  yang  berhak  pengasuhan  anak  adalah  orang  yang  lebih  mampu
mengasuh  dan  mendidik  anak  tersebut,  karena  orang  yang  mengabaikan pemeliharaan  anak  atau  tidak  bertanggungjawab  terhadap  anak  tidak  layak
mendapatkan hak pengasuhan anak.
32
30
Muhammad  Az-zabidi,  Al-jauharah  an-Nirah, Lebanon:  mathba’ah  Khirah,
1322 H, Juz 2, h. 90.
31
Rusyd,  Bidayatul  Mujtahid,  Terjemahan  Imam  Ghazali  Said,  Jakarta:Pustaka Amani, 2007, Jilid II, h. 526.
32
Al Hamdani, Risalah Nikah, Terjemahan Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, h. 265.
24
Ulama  memberikan  urutan  dan  skala  prioritas  hak  hadhanah  atas anak  bagi  para  wanita,  sesuai  dengan  kemaslahatan  anak  tersebut.  Menurut
mereka  naluri  keIbuan  lebih  sesuai  untuk  merawat  dan  mendidik  anak,  serta adanya  kesabaran  dalam  menghadapi  permasalahan  kehidupan  anak-anak
lebih  tinggi  dibanding  kesabaran  seorang  laki-laki.  Selanjutnya  ulama  fikih juga  mengemukan  bahwa  apabila  anak  tesebut  telah  mencapai  usia  tertentu,
maka  pihak  laki-laki  dapat  dianggap  lebih  sesuai  dan  lebih  mampu  untuk merawat, mendidik, dan menghadapi berbagai persoalan anak tersebut sebagai
pelindung. Oleh sebab itu maka ulama fikih lebih mendahulukan kaum wanita daripada kaum pria.
33
Urutan  mereka  yang  berhak  melaksanakan  tugas  hadhanah  anak, menurut ulama fikih adalah sabagai berikut:
1. Ibu dari si anak, Ibu lebih berhak mengasuh anak apabila terjadi perceraian
atau  meninggalnya  suaminya,  sebab  ia  merupakan  orang  yang  paling sayang dan lembut terhadap si anak daripada orang lain.
34
2. Jika hak  hadhanah  seorang  Ibu  telah  gugur, maka hak pengasuhan anak
pindah  kepada  Ibunya  istri  nenek  si  anak.  Selain  itu,  seorang  nenek adalah  keluarga  terdekat  setelah  Ibu.  Selanjutnya  biasanya  nenek  lebih
menjaga dan menyayangi anak yang diasuhnya dibanding yang lainnya.
35
3. Selanjtunya setelah hak asuh Ibu dan nenek Ibu dari Ibu tiada, maka hak
tersebut  di  ambil  alih  oleh  nenek  Ibu  dari  Ayah  dari  anak  tersebut.
33
Wahbah  Az-Zuhaili,  Fikih  Islam  Wa  Adillatuhu  Hak-Hak  Anak,  Wasiat,  Wakaf, Warisan Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011 h. 61.
34
Wahbah  Az-Zuhaili,  Fikih  Islam  Wa  Adillatuhu  Hak-Hak  Anak,  Wasiat,  Wakaf, Warisan Jilid 10, Terjemahan Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta:Darul fikir, 2011 h. 61
35
Al- Fauzan Saleh Fikih Sehari-hari, Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2006, h.750.
25
Penyebab nenek dari Ibu Ibu dari Ibu lebih diutamakan dari pada nenek dari  Ayah  Ibu  dari  Ayah,  meskipun  kedua-duanya  sama-sama  dekat
namun  karena  nenek  dari  Ibu  merupakan  kerabat  dari  Ibu  si  anak, sedangkan hak hadhanah atas anak lebih diutamakan pada garis keturunan
Ibu, sehingga kerabat dari Ibu lebih diutamakan 4.
dibanding kerabat dari pihak Ayah. Namun hal yang berbeda dikemukan oleh  Saleh  al-  Fauzan,  menurutnya  jika  setelah  hak  asuh  Ibu  dan  nenek
Ibu dari Ibu tiada, maka hak tersebut diambil ahli oleh Ayah kandung si anak.  Hal  ini  karena  Ayah  juga  memiliki  kedekatan  dengan  anaknya  di
banding  yang  lain  setelah  Ibu  dan  nenek.  Setelah  orang-orang  telah  di sebutkan di atas gugur haknya, maka yang seterusnya yang melaksanakan
tugas  hadhanah  adalah  saudara  kandung  perempuan  dari  Ibu  si  anak. Sebab,  mereka  memiliki  hubungan  yang  lebih  kuat  dengannya  dalam
masalah warisan. Kemudian baru saudara perempuan seibu, yang dianggap keibuan,  sebab  Ibu  lebih  diutamakan  dibandingkan  Ayah,  baru  kemudian
saudara perempuan seayah. 5.
Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung selanjutnya barulah anak perempuan dari saudara seayah.
6. Bibi yang sekandung dengan Ayah
7. Bibi yang seibu dengan Ayah
8. Bibi yang seayah dengan Ayah
9. Bibinya Ibu dari pihak Ibunya
10. Bibinya Ayah dari pihak Ibunya
26
11. Bibinya Ibu dari pihak Ayahnya
12. Bibinya Ayah dari pihak Ayah.
13. Kakek dari pihak Ayah dan terus ke atas  Ayah dari Ayah si anak
14. Saudara laki-laki sekandung
15. Saudara laki-laki seayah
16. Saudara laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
17. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
18. Paman yang sekandung dengan Ayah
19. Paman yang seayah dengan Ayah
20. Pamannya Ayah yang sekandung
21. Pamannya Ayah yang seayah dengan Ayah
22. Jika tidak ada seorangpun kerabat dari muhrim laki-laki tersebut di atas
maka hak hadhanah beralih pada muhrim-muhrimnya yang laki-laki selain kerabat dekat yaitu diantaranya:
23. Ayah Ibu kakek
24. Saudara laki-laki seibu
25. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
26. Paman yang seibu dengan Ayah
27. Paman yang sekandung dengan Ibu Paman yang seayah dengan Ibu
28. Paman yang seayah dengan Ayah
27
Akan tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat baik dari sisi Ibu maupun sisi Ayah, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang
sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya.
36
Dari  uraian  di  atas  dapat  disimpulkan  bahwa  orang-orang  yang berhak mendapatkan hak asuh anak itu berjumlah 28 pihak. Akan tetapi yang
paling utama yang berhak adalah jalur dari sanak keluarga dari si Ibu.
36
Mahmud  Yunus,  Hukum  Perkawinan  dalam  Islam,  Jakarta:Al-HidAyah,  1968, h.395.
28
BAB III KEPUTUSAN
IJTIMA’ ULAMA KOMISI FATWA SE-INDONESIA V TAHUN 2015 TENTANG HAK
PENGASUHAN ANAK TEHADAP
ORA
NG TUA BERCERAI SEBAB
BERBEDA AGAMA
A. Hadhanah Bagi Orang Tua Yang Tidak Cakap Perilaku
Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang mengadung nilai-
nilai  bagus  didalamnya  sehingga  banyak  aturan-aturan  dan  persyaratan  yang harus  dipenuhi.  Didalam  pernikahan  apabila  terjadi  perceraian  antara  suami
istri maka  butuh  pengasuhan  anak  yang layak agar menjadikan anak tersebut berguna  bagi  agama  dan  negaranya,  oleh  karena  itu  lembaga  fatwa  MUI
Majelis  Ulama  Indonesia  membuat  aturan  tentang  kepengasuhan  anak. Adapun aturan tersebut di sebutkan dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi
Fatwa  Se-Indonesia  V  Tahun  2015  Tentang  Hak  Pengasuhan  Anak  Tehadap Orang Tua Bercerai Sebab Berbeda Agama diantara persyaratan tersebut MUI
menyebutkan bahwa seorang pengasuh harus dapat dipercaya amanah dan
berbudi pekerti yang baik. Hasil  persyaratan  pengsuh  yaitu  dapat  dipercaya  amanah  dan
berbudi pekerti yang baik jika dianalisa MUI mengambil dari berbagai sumber hukum Islam di antaranya:
29
1. Pandangan Ulama Fikih
Pada  umumnya  fukaha  sepakat  bahwa  Ibu  mempunyai  keutamaan hak hadhanah. Namun hak hadhanah dapat dicabut dengan sebab murtad,
berperilaku tidak terpuji seperti berzinah, mencuri,  tidak dapat  dipercaya, sering  keluar  rumah  dan  mengabaikan  anak  yang  diasuhnya.  Tujuan  dari
adanya sifat-sifat  tersebut  adalah dalam upaya memelihara dan menjamin kesehatan,  pertumbuhan  moral  dan  perkembangan  psikologis  anak.
1
Sejalan    dengan  pendapat  diatas,  Ibnu  Qudamah  mengemukakan,  bahwa pencabutan hak hadhanah sebagaimana pendapat al-Jundi bahwa perinsip
dasar  yang  dapat  dijadikan  alasan  pencabutan  hak  hadhanah  Ibu  adalah adanya  situasi  dan  kondisi  pada  Ibu  yang  dapat  merugikan  kepentingan
dan  kesejahteraan  serta  membahayakan  agama  anak.  Dasar  dan  orientasi dalam hadhanah adalah  kemashlahatan dan kemanfaatan bagi  anak tanpa
memperhatikan hak Ibu atau Ayahnya. Hak hadhanah Ibu atau Ayah dapat gugur apabila anak dikumpulkan dengan orang yang dibencinya.
2
Dari  uraian  diatas  dapat  disimpulkan  bahwa  fikih  klasik  tidak mengatur  secara  rinci  tentang  hal  yang  dapat  mengugurkan  dan
pencabutan  terhadap    hak-hak  hadhanah.  Namun  pencabutan  hak hadhanah dapat difahami dari persyaratan-persyaratan terhadap pemegang
hak  hadhanah.  Adapun  alasan-alasan  digugurkan  dan  dicabutnya hadhanah seseorang antara lain:
3
1
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar El-Fikr, 1997, h. 7306.
2
Anwar Al-Jundi, Mabadi al-Qadha al- Syar’I, Kairo: Dar El-Fikri Al-Arabi,
1978, h. 373-374.
3
Andi  Syamsu  Alam,  Muhammad  Fauzan,  Hukum  Pengankatan  Anak Perspektif Islam, Jakarta: KENCANA PREDANA MEDIA, 2008, h. 132.
30
1. Hal-hal yang disepakati yaitu:
a. Tidak bisa dipercaya
b. Berperilaku tidak terpuji
c. Membahayakan kepentingan anak
2. Hal-hal yang masih diperdebatkan yaitu: a.
Kafir dan murtad b.
Isteri menikah lagi dengan laki-laki lain. Di  dalam  kitab  Al-HidAyah
‘Ala  Mazhabi  Al-Imami  Ahmad memberikan  keterangan  bahwa bagi orang tua yang  tidak cakap  perilaku
tidak berhak mendidik anaknya kecuali telah kembali sifat akhlaknya yang bagus  dan  tidak  fasik  maka  berhak  medapatkan  kembali  hak  sebagai
pengasuh.
4
Alasan  hak  tersebut  kembali  ialah  hilangnya  pencegah  yang menyebabkan pengasuh tidak berhak mengasuh anak tersebut seperti fasik,
kafir dan tidak merdeka,
5
Dari  pemaparan  pengarang  kitab  Al-HidAyah ‘Ala  Mazhabi  Al-
Imami  Ahmad    dapat  difahami  wanita  pengasuh  harus  memiliki  sifat  adil dan  tidak  fasik.  Tidak  ada  alasan  untuk  memasukan  sifat  adil  dan  tidak
fasik  sebagai  salah  satu  syarat  mendapatkan  hak  mengasuh  anak  jika kedua  hal  ini  menjadi  syarat  pengasuhan  anak,  maka  pastilah  ada
keterangan  dan  perbuatan  yang  dinukil  tentang  maslah  ini.  Sebab,  sejak Allah  SWT  mengutus  Rasulullah  SAW  sampai  hari  kiamat  kelak  anak-
4
Mahfuz  Ibn  Ahmad,  Al-hidAyah ‘Ala  Mazhab  al-Imam  Ahmad,  Ttp:
Muassasah Gharas li An-nasyr Wa At- tauzi’, 2004, Jilid 1, h. 500.
5
Abdurrahman  Ibn  Ibrahim,  Al- iddah    Syarh  ‘Umdah,,  Beirut:  Dar  El-
Hadits, 2003, Jilid 1, h. 479.
31
anak kalangan fasik dirawat oleh mereka dan tidak ada seorang pun yang menghalangi  mereka  meskipun  mereka  berjumlah  banyak.  Kemudian,
dalam sejarah juga tidak pernah disebutkan ada anak yang dicabut urutan keturunannya  dari  kedua  orang  tuanya  atau  salah  satu  dari  keduanya
lantaran kefasikannya fenomena sehari-hari juga menunjukan bahwa orang yang  fasik  sekalipun  akan  selalu  berhati-hati  merawat  anaknya  dan  tidak
mau menyia-yiakannya, dan selalu berusaha sekuat tenaga demi kebaikan si  anak.  Dengan  demikian  apabila  ada  seorang  yang  fasik  merawat  anak
maka batal hak asuhnya seklipun ia berhati-hati merawat anaknya.
6
Muhammad  Nur  Abdul  Hafiz  menjelaskan  ada  beberapa  sifat mendasar
yang diupayakan
untuk bisa
dimiliki oleh
setiap pengasuh.Semakin  banyak  sifat  dibawah  ini  yang  bisa  dimiliki,  maka
semakin  besar  pula  kemungkinan  bisa  mengasuh  anak  sesuai  dengan metode  yang  dijalankan  oleh  para  rasul  yang  memang  hanya  para
Rasulullah yang memang memilki sifat kesempurnaan. Walaupun seorang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki sifat para rasul namun mereka
dituntut  untuk  berupaya  semaksimal  mungkin  agar  mampu  mendekati sifat-sifat mereka. Dengan adanya akhlak seorang pengasuh yang baik ini,
insya Allah setiap generasi baru akan melihat contoh yang baik dalam diri pengasuhnya  sehingga  merekapun  akan  mengikutinya  dengan  penuh
kesadaran. Adapun sifat tersebut sebagai berikut:
7
6
Muhammad  Ibn  Wahab,  Zad  Al- Ma’ad,  Beirut:  Dar  Al-rayan  al-Qahirah,
1987, Jilid 5, h. 461.
7
Muhammad  Nur  Abdul  Hafizh,  Mendidik  Anak  Bersama  Rasulullah, Bandung: Al-Bayan, 1997, h. 52.