Penyelenggaraan dan Pengelolaan Retribusi Tempat Khusus Parkir TKP oleh Swakelola

Cibinong dan RSUD Ciawi berada di bawah UPTD Tengah Kabupaten Bogor. Dengan mengacu pada penyelenggaraan dan pengelolaan parkir TKP di kedua titik parkir TKP tersebut, akan diuraikan bentuk penyelenggaraan dan pengelolaan parkir TKP oleh swakelola dan penyelenggaraan dan pengelolaan parkir TKP oleh pihak swasta.

5.1 Penyelenggaraan dan Pengelolaan Retribusi Tempat Khusus Parkir TKP oleh Swakelola

5.1.1. Sistem Perparkiran

Kabupaten Bogor memiliki pembangunan yang berkembang pesat dengan pertambahan jumlah penduduk membawa konsekuensi terhadap meningkatnya kepadatan lalu lintas. Oleh karena itu pemerintah perlu memperhatikan masalah lalu lintas darat terutama yang berkaitan penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran. Sistem penyelenggaraan dan pengelolaan TKP swakelola umumnya masih menggunakan sistem secara manual, belum menggunakan komputer sebagai alat penyelenggaran perparkiran. Pengelola tidak menerapkan pengelolaan dengan sistem komputerisasi dikarenakan beberapa hal diantaranya 1 masih rendahnya permodalan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan TKP tersebut 2 masih rendahnya kualitas SDM pelaksana di lapangan, sehingga efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan parkir tidak dapat tercapai. Rendahnya tingkat modal dalam penyelenggaraan parkir swakelola secara tidak langsung mencirikan rendahnya tingkat pengeluran Pemerintah Daerah terhadap penyelenggaraan perparkiran TKP. Tingkat modal yang rendah pada bentuk pengelolaan swakelola disebabkan oleh kondisi dimana pengelola hanya mengandalkan modal dari pemerintah. Tingkat modal yang rendah selain berimplikasi pada ketidakmampuan menerapkan sisten komputerisasi juga berimplikasi pada luasan lahan parkir. Dimana pada pengelolaan parkir TKP secara swakelola luasan lahan parkir relatif kecil sehingga daya tampung kendaraan juga relatif rendah. Hal ini akan menyebabkan potensi parkir pada titik parkir tersebut menjadi relatif rendah. Luas lahan yang relatif rendah mempengaruhi preferensi pengguna jasa parkir untuk menggunakan perparkiran tersebut. Namun dalam kajian ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengenai hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi preferensi pengguna jasa parkir terhadap suatu titik parkir, walaupun dalam aplikasinya hal tersebut akan mempengaruhi potensi retribusi parkir yang ada. Hingga saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor masih berorientasi ada sistem manual yang minimalis dari sisi modal dalam penyelenggaraan parkir TKP sehingga wajar jika hasil yang diperoleh dari sektor parkir TKP juga cenderung minimalis. Sistem manual dalam penyelenggaraan parkir TKP menyebabkan sulitnya meminimalisasi kebocoran. Besarnya retribusi yang diterima pengelola parkir tidak tercatat secara akurat. Dengan adanya kebocoran tersebut menyebabkan rendahnya retribusi yang disetorkan pengelola parkir kepada Pemerintah Daerah. Sehingga menyebabkan rendahnya kontribusi retribusi parkir terhadap PAD Kabupaten Bogor. Gambar 4. Penggunaan Sistem Manual pada Bentuk Penyelenggaraan Parkir TKP oleh Swakelola 5.1.2. Retrbusi Parkir 5.1.2.1. Tarif Retribusi Parkir TKP Salah satu potensi yang dapat digali dari kegiatan perparkiran adalah penerimaan retribusi bagi pemerintah daerah, yaitu dalam rangka peningkatan PAD. Untuk merealisasikan penyelenggaraan dan pengelolaan perparkiran tersebut, Pemerintah Kabupaten Bogor memberlakukan Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2003 Mengenai Pengelolaan Parkir pada Tempat Khusus Parkir TKP. Berdasarkan Perda tersebut pengenaan tarif TKP dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Penetapan Tarif Retribusi Parkir Kabupaten Bogor No Jenis kendaraan Tarif Rp 2 jam pertama 1 jam berikutnya 1 Bus, Truk Besar, ruk Gandeng, tronton dan Kontainer 2.500 1000 2 Bus Sedang Truk Sedang 34 1500 1000 3 Sedan, Minibus, Jeep an Pick up 1000 500 4 Sepeda Motor 500 200 Sumber: Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 12 Tahun 2003 Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa besarnya tarif retribusi parkir yang ditetapkan Pemerintah Daerah masih relatif rendah. Hingga saat ini Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor tidak melakukan revisi terhadap Perda tersebut. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, dalam penarikan retribusi parkir pengelola parkir tidak lagi memungut retribusi parkir sesuai dengan tarif yang tercantum dalam Perda Nomor 24 tahun 2003 tersebut. Dalam hal ini Kabupaten Bogor sangat tertinggal oleh daerah-daerah lain yang telah menetapkan tarif parkir TKP lebih tinggi diantaranya wilayah Kota Bogor, Jakarta, Tanggerang dan Bekasi. Berdasarkan informasi di lapangan besaran tarif yang dipungut para juru parkir RSUD Ciawi pada saat pengelolaan secara swakelola, untuk setiap sepeda motor yang diparkir di TKP minimal membayar sebesar Rp 1.000 dan Rp 2.000 untuk mobil pada satu jam pertama. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan tarif retribusi yang ada. Dari sisi masyarakat, dalam hal ini terlihat bahwa masyarakat sebagai pengguna parkir TKP cenderung menerima tarif yang ditetapkan pengelola. Kondisi ini menunjukkan adanya potensi yang besar dalam penyelenggaraan parkir TKP yang tidak tergali oleh Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah seharusnya dapat lebih mengoptimalkan penerimaan dari sektor retribusi parkir TKP dengan cara menetapkan tarif yang optimal. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor seharusnya lebih realistis dalam penetapan tarif retribusi parkir TKP. Mengingat adanya faktor inflasi yaitu terkait dengan tingkat suku bunga saat ini berbeda dengan tahun 2003, sudah selayaknya besaran tarif retribusi mengalami penyesuaian. Dari sisi pengelola, jika pengelola tetap menggunakan tarif yang sesuai dengan Perda No 12 Tahun 2003 mereka akan cenderung mengalami kerugian. Karena biaya opersional yang ada lebih tinggi dari pada penerimaan pengelola. 5.1.2.2. Penentuan Target Retribusi Parkir TKP Untuk mencapai tujuan retribusi parkir Pemerintah Daerah menetapkan target retribusi yang harus dicapai dalam pengelolaan perparkiran. Pada bagian ini akan digambarkan mekanisme penentuan target parkir di Kabupaten Bogor. Nilai Awal Retribusi Parkir TKP Kab. Bogor Potensi di Lapangan Penetapan Target Retribusi ParkirTKP per hari, per bulan, dan per tahun UPTD Wil. Timur UPTD Wil Tengah UPTD Wil Barat Potensi di Lapangan Target Retribusi ParkirTKP per hari, per bulan, dan per tahun Dinas Perhubungan Legislatif Anggota DPRD Kab. Bogor Target Retribusi ParkirTKP per hari, per bulan, dan per tahun Sumber : Hasil Data Primer Diolah Gambar 5. Mekanisme Penentuan Target Retribusi TKP Kabupaten Bogor Gambar 5 menggambarkan mekanisme penentuan target retribusi parkir secara keseluruhan, yaitu baik untuk TKP maupun TJU. Pada gambar terlihat terlihat bahwa penentuan target retribusi parkir Kabupaten Bogor berasal dari pengajuan target oleh dua pihak. Pihak pertama, berasal dari Dinas Perhubungan, dimana target pada Dishub ini berasal dari uji petik pada potensi retribusi di lapangan pada masing-masing wilayah Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD. Sedangkan di pihak kedua adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD Kabupaten Bogor. Dimana anggota DPRD melakukan uji petik juga terhadap wilayah pemilihan anggota Dewan tersebut masing-masing, kemudian berdasarkan nilai awal retribusi pada titik parkir TKP dan hasil uji petik dari potensi yang ada maka anggota DPRD mengajukan target retribusi parkir yang dipandang layak. Kedua pihak menyajikan hasil temuan di lapang, yang pada akhirnya akan diperoleh satu kesepakatan mengenai besarnya target retribusi parkir dalam satu tahun. Dalam penentuan target retribusi parkir, proses seperti ini terjadi tiap tahun. Berdasarkan mekanisme penentuan target retribusi parkir tersebut, terlihat bahwa terdapat adanya ketidakefektian dalam penentuan target retribusi parkir sehingga perlukan adanya perbaikan dari mekanisme yang selama ini ada.

5.1.2.3. Mekanisme Pungutan Tarif Retribusi Parkir TKP

Pada awalnya pungutan retribusi parkir dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Dispenda, kemudian selanjutnya diserahkan pelaksanaannya pada kewenangan Dinas Perhubungan Dishub. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Dishub lebih tepat melaksanakan kewenangan tersebut sebagai instansi yang berwenang pada kebijakan transportasi. Dalam pengelolan retribusi parkir, Dishub menyerahkan pelaksanaan di lapangan kepada masing-masing Unit Pelaksana Teknis Dinas UPTD. Dalam pelaksanaan tugas di lapangan tersebut UPTD dibantu oleh koordinator sebagai pelaksanaan di lapangan. Kemudian koordinator memberikan tugas dan tanggung jawab kepada juru parkir. Upaya ini dilakukan Dishub terkait dengan keterbatasan tenaga kerja yang dimiliki. Proses pungutan retribusi parkir dari pengguna jasa hingga menjadi penerimaan kas daerah dapat dilihat pada Gambar 3. Kas Daerah DPRD Kabupaten Bogor Koordinator Juru Parkir UPTD Parkir Bagian Keuangan Sekda Sub Bagian Pembukuan Pengguna Jasa Parkir Bendahara Penerima Dishub Dispenda Rekonsiliasi Pelaporan Laporan Bupati Kabupaten Bogor Pelaporan Cross Cek Sumber : Hasil Data Primer Diolah Gambar 6. Mekanisme Pungutan Retribusi TKP oleh Swakelola di Kabupaten Bogor Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa retribusi parkir yang terkumpul oleh koordinator diserahkan kepada Bendahara UPTD sesuai dengan target yang telah ditentukan. Bendahara UPTD menyetorkan uang retribusi kepada Sub-Bendahara Penerima Dinas Perhubungan, kemudian Bendahara Penerima tersebut menyetor ke kas daerah. Kas daerah merupakan rekening Pemerintah Daerah, yaitu melalui Bank Jabar. Kas Daerah akan melakukan pelaporan kepada dua bagian yaitu: Dinas Pendapatan Daerah Dispenda dan Bagian Keuangan Sekda pada Sub Bagian Pembukuan, untuk pencatatan realisasi penerimaaan setiap bulan. Selanjutnya Dispenda dan Bagian Keuangan Sekda pada Sub Bagian Pembukuan saling melakukan cross cek terhadap hasil laporan Kas Daerah tersebut. Selain itu, Kas Daerah juga akan dilakukan pelaporan kepada Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, selanjutnya akan dituangkan dalam laporan Bupati Kabupaten Bogor, pada akhir tahun. Dalam pelaksanaannya Dishub dapat melakukan rekonsiliasi kepada Dispenda. Berdasarkan diagram alur mekanisme pungutan retribusi TKP oleh swakelola sebagaimana yang tergambar di atas, terdapat adanya inefisiensi dalam pengelolaan retribusi parkir. Selain adanya kemungkinan penyelewengan, juga adanya kesempatan yang hilang bagi pemerintah terhadap penerimaan retribusi yang sebenarnya. Karena dalam merealisasikan penerimaan Dinas Perhubungan hanya dapat berharap dari setoran yang dibayarkan oleh koordinator berdasarkan target yang ditetapkan, maka jika terdapat potensi retribusi yang jauh lebih besar melebihi target yang ditetapkan akan menjadi keuntungan mutlak bagi pengelola. Dengan demikian berapapun potensi yang ada di lapangan tidak akan berpengaruh terhadap penerimaan Dinas Perhubungan Kabupaten Bogor. Pada pengelolaan TKP oleh pemerintah proses penarikan retribusi didasarkan pada karcis yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan. Karcis dapat dijadikan sebagai alat pengawasan pemerintah terhadap pelaksanaan perparkiran. Namun fungsi karcis sebagai alat pengawasan tersebut masih sangat rendah. Karcis parkir berfungsi sebagai buktikwitansi bagi pelanggan atas pembayaran retribusi. Berdasarkan hasil pengamatan dan informasi di lapangan, dalam penyelenggaraan retribusi parkir TKP oleh swakelo penggunaan karcis sering diabaikan. Hal ini biasa terjadi karena ketidakdisiplinan para juru parkir dan juga ketidakpedulian pengguna jasa parkir, sehingga menghilangkan potensi yang ada dari titik parkir tersebut. Jika karcis dapat difungsikan secara maksimal, maka penggunaan karcis dapat memaksimalkan potensi retribusi yang ada di lapangan. Titik parkir yang merupakan pengelolaan oleh pemerintah mendapatkan hambatan-hambatan lain di lapangan diantaranya adanya kelompok-kelompok tertentu yang secara tidak resmi memungut uang mingguan atau bulanan kepada pengelola titik parkir. Pemerintah Daerah hingga saat ini belum dapat menetapkan aturan yang tegas untuk mengatasi masalah tersebut. 5.1.3. Sumberdaya Manusia Berdasarkan pengamatan di lapangan bentuk pengelolaan parkir TKP oleh pemerintah yaitu dalam hal ini di RSUD Cibinong mempekerjakan sebanyak 10 orang petugas, terdiri dari satu orang koordinator, dua orang penjaga loket loket masuk dan loket keluar kendaraan dan tujuh orang juru parkir lapangan. Dalam prakteknya dua loket yang tersedia berjalan tidak optimal. Dimana hanya satu loket saja yang berfungsi baik. Terkait dengan pembagian waktu kerja, maka masing-masing petugas dibagi ke dalam dua kelompok jam kerja, yaitu shift satu mulai pukul 07.00 WIB hingga 17.00 WIB terdiri dari lima orang petugas. Shift dua mulai pukul 17.00 WIB hingga 07.00 WIB juga terdiri dari lima orang petugas. Kuantitas SDM relatif banyak mengakibatkan adanya ketidakefisienan dalam pengelolaan perparkiran. Status tenaga kerja adalah sebagai pekerja yang dipekerjakan oleh koordinator lapangan, bukan pegawai pemerintah. Berdasarkan informasi di lapangan besar gaji tenaga kerja per orang adalah Rp 700.000 per bulan. Sedangkan seorang koordinator memiliki gaji sebesar Rp 800.000. dengan jumlah pekerja yang cukup besar menyebabkan besarnya pengeluaran untuk tenaga kerja tersebut. Dari sisi jumlah gaji yang diterima cenderung relatif kecil, hal ini akan berdampak buruk terhadap pengelolaan parkir. Karena dapat menimbulkan potensi adanya kebocoran retribusi parkir yang dikelola. Selain itu tingkat gaji yang memadai akan dapat meningkatkan produktivitas pekerja itu sendiri, sehingga untuk ke depannya pihak pengelola diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Terkait dengan kualitas tenaga kerja, pada pengelolaan swakelola tenaga kerja berpendidikan rendah sehingga sulit untuk mengefektifkan pengelolaan parkir TKP. Pada pekerja umumnya tidak memiliki keahlian mengoperasikan komputer, sehingga sistem komputerisasi sulit berkembang pada bentuk pengalolaan swakelola ini.

5.2. Penyelenggaraan dan Pengelolaan Retribusi Tempat Khusus parkir TKP oleh Swasta