Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

(1)

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan,

Kabupaten Dairi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

DISUSUN OLEH:

Irma Junita Sinurat

100901061

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, kasih dan rahmay yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi saya ini adalah membehas tentang Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan. (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dari).

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penyampaian isi maupun pembahasan masalah. Untuk itu penulis mengharapkan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya pada pihak terkait. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada:

1. Orang Tua saya yaitu Ayah dan Ibu saya yang merupakan sumber inspirasi yang begitu luar biasa bagi hidup saya, sumber motivasi saya dengan dukungan doa, kasih sayang yang tiada henti hentinya yang telah diberikan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 2. Bapak Dekan FISIP USU Prof. Dr.badaruddin,M.Si atas dukungan yang

telah diberikan.

3. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku ketua Departemen Sosiologi FISIP USU


(3)

4. Bapak Prof. Rizabuana, M.Phil.,Ph.D selaku Dosen Pembimbing atas segala waktu, bantuan, bimbingannya dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak Drs. Sismudjito, M.Si selaku dosen penguji yang telah banyak

memberi saran, pendapat dan kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini

6. Bapak, Drs, Muba Manihuruk M.Si selaku sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

7. Kak Fenni, S.Sos.,M.Si selaku Staf Administrasi di Departemen Sosiologi 8. Kak Nurbaiti, selaku Pegawai Pendidikan bagian Departemen Sosiologi 9. Seluruh Dosen dan staf pengajar di FISIP USU yang telah memberikan

materi kuliah selama penulis berkuliah

10.Para informan saya yang telah banyak memberikan informasi terkait penelitian saya.

11.Keluarga saya yaitu Abang saya Felly Hawer Sinurat, Brando Fitwiter Sinurat, Alfon Winardo Sinurat, Darwin Sinurat Tante Ani,Namboru-namboru saya, Kakak saya Yusnita Sitanggang dan seluruh keluarga saya yang lain atas segala dukungan dan doanya.

12.Sahabat-sahabat saya Juli Tampubolon, Ester Lavenia Siringoringo, Devi Sinaga, Han Kelsen Aritonang, Dian Raesita Sitio, Chintya Siregar, Jesica Gultom, Nova Aritonang, Olan Siahaan, Kak Christin Tampubolon

13.Rekan-rekan Guru Sekolah Minggu, Kak Helena Siahaan, Bang Ivan Lumbanraja, Kak Maristella Simbolon, Kak Della Napitupulu, Kak


(4)

Rentina Siahaan, Bang Jubel Simanjuntak, Bang Maruli Siahaan, Fretty Situmorang, Rivandi Sitorus atas segala dukungan dan doanya.

14.Anak-Anak Sekolah Minggu saya gereja HKI Melanthon Siregar yang telah banyak mendukung saya dalam doa.

15.Teman teman sosiologi stambuk 2010 yaitu, Marlina Sianturi, Elisabeth Turnip, Hesti, Terangta, Hot Rina Siburian,Devi Ayuni dan seluruh teman-teman Sosiologi stambuk 2010 yang telah banyak membantu menyelesaikan skripsi ini.

16.Seluruh pihak yang terkait yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu atas segala dukungan dan doanya.

Semoga skripsi saya ini banyak bermanfaat untuk semua pihak yang membacanya.

Medan, Juli 2014 Penulis


(5)

ABSTRAKSI

Pomparan /keturunan Raja Silahisabungan termasuk masyarakat yang majemuk. Terdiri dari beberapa etnis yang berbeda seperti Batak Toba, Pak-Pak, Karo, dan agama yang berbeda-beda pula, namun Pomparan Raja Silahisabungan tetap mampu mempertahankan keutuhan kelompoknya dari berbagai serangan konflik. Keutuhan dan ketahanan pomparan Raja Silahisabungan ini membunyai benih integrasi sosial yang diwujudkan dalam pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya dan diikuti seluruh pomparan Raja Silahisabungan diseluruh dunia. Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul “ Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Makam Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan”, adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini dalam mempertahankan Integrasi sosial pomparan raja Silahisabungan.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Coser, menunjukkan tentang bagaimana konflik pomparan raja Silahisabungan dengan Silahi Raja dapat secara positif fungsional memperkuat kelompok keturunan Raja Silahisabungan melalui pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan, dan konflik dengan silahi Raja dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan kelompok keturunan Raja Silahisabungan dalam mempertahankan kelangsungan kelompok mereka. Kekuatan solidaritas internal keturunan Raja Silahisabungan dan integrasi kelompok keturunan Raja Silahisabungan dapat bertambah tinggi ketika tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok Silahi Raja bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Silahisabungan lewat pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini membantu memperkuat solidaritas antara kelompok. Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan ini pada intinya mampu sebagai alat integrasi sosial bagi pomparan Raja Silahisabungan

Jenis penelitian yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini menunjukkan gambaran tentang latar belakang dari pengadaan pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan dan bagaiman fungsi dari pesta luhutan bolon Tugu makam Raja Silahisabungan mampu sebagai alat integrasi pomparan raja Silahisabungan.


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ... i

ABSTRAK ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 11

1.3Tujuan Penelitian... 12

1.4Manfaat Penelitian... 12

1.5Defenisi Konsep ... 12

1.6Kerangka Teori ... 21

1.6.1 Perspektif Konflik Coser ... 21

1.6.2 Isu Fungsionalita Konflik ... 25

1.6.3 Konflik Kelompok Antar kelompok dan Solidaritas Kelompok dalam ... 26

1.6.4 Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok ... 28

1.6.5 Konflik Sebagai Stimulus Integrasi Antar Kelompok ... 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 32

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ... 32


(7)

3.1Jenis Penelitian ... 56

3.2Lokasi Penelitian ... 56

3.3 Deskripsi Umum Lokasi penelitian ... 57

3.3.1 Sejarah Singkat Desa Silalahi Nabolak ... 57

3.3.2 Letak Geografis ... 61

3.3.3 Komposisi Penduduk ... 63

3.3.4 Sarana/Fasilitas ... 67

3.4 Unit Analisis dan Informan ... 73

3.4.1 Unit Analisis ... 73

3.4.2 Informan ... 74

3.5 Populasi dan Sampel ... 74

3.5.1 Populasi ... 74

3.5.2 Sampel ... 74

3.5 Identitas Responden ... 75

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 77

3.7 Interpretasi Data ... 79

3.8 Jadwal Pelaksanaan ... 80

BAB IV ANALISIS DATA ... 81

4.1 Latar Belakang Pesta Tugu ... 81

4.2 Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Makam Raja Silahisabungan 89 4.2.1 Mempererat Ikatan Keluarga... 89

4.2.2 Sebagai Tanda penghormatan pada Raja Silahisabungan 95 4.2.3 Memungkinkan Proses Interaksi Sosial ... 98


(8)

4.2.4 Menghormati dan Menghargai Perbedaan ... 101

4.2.5 Menjaga Ketahanan/ Keutuhan PPRS ... 107

4.2.6 Membangun Sikap Loyal terhadap Budaya & Adat ... 113

4.2.7 Menciptakan Ikatan Solidaritas ... 120

BAB V PENUTUP ... 128

5.1 Kesimpulan ... 128

5.2 Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 132


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nama Desa ... 62

Tabel 2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin... 63

Tabel 3 Komposisi penduduk Menurut Tingkat pendidikan ... 64

Tabel 4 Komposisi penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 65

Tabel 5 Luas Lahan Menurut Penggunaannya ... 65

Tabel 6 Komposisi Penduduk Menurut Agama ... 66

Tabel 7 Sarana Kesehatan Masyarakat Kecamatan Silahisabungan Tahun2013 ... 67

Tabel 8 Sarana Pendidikan ... 68

Tabel 9 Sarana Ibadah ... 69

Tabel 10 Sarana dan Prasarana ... 70

Tabel 11 Sarana dan Prasarana ... 70

Tabel 12 Sarana Perekonomian ... 72

Tabel 13 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 75

Tabel 14 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 76

Tabel 15 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 76

Tabel 16 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 77

Tabel 17 Distribusi jawaban tentang kegiatan yang mempunyai makna untuk mempersatukan PPRS ... 87

Tabel 18 Distribusi Responden tentang frekuensi kehadiran responden ... 88

Tabel 19 Distribusi jawaban tentang fungsi pesta tugu memperkuat Tali persaudaraan ... 89


(10)

Tabel 20 Distribusi jawaban responden tentang tujuan

pengelompokan inter marga ... 92 Tabel 21 Distribusi jawaban responden tentang pengelompokkan

Berdasarkan status sosial, golongan, kesamaan daerah ... 101 Tabel 22 Distribusi jawaban responden tentang pesta tugu

mampu membuat PPRS berbaur tanpa melihat status sosial ... 103 Tabel 23 Distribusi jawaban responden tentang apakah perbedaan agama

Mempengaruhi jalannya proses integrasi sosial ... 104 Tabel 24 Distribusi jawaban responden tentang pernah tidaknya

terjadi konflik inter marga ... 107 Tabel 25 Distribusi jawaban responden tentang pernah tidaknya PPRS

Berkonflik dengan kelompok luar ... 108 Tabel 26 Distribusi jawaban responden tentang Poda Sagu-Sagu

Marlangan telah diterapkan oleh PPRS ... 114 Tabel 27 Distribusi jawaban responden tentang setuju tidakya Poda

Sagu-Sagu Marlangan digunakan dalam

mempertahankankeutuhan PPRS ... 117 Tabel 28 Distribusi jawaban responden tentang kegiatan-kegiatan


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Ulos Silalahisabungan ... 58

Gambar 2 Gordang Sitolupulu-tolu ... 59

Gambar 3 Jabu Parsaktian ... 59 64 Gambar 4 Tao Silalahi ... 60

Gambar 5 Peta Kabupaten Dairi ... 62

Gambar 6 Tugu Makam Raja Silalahisabungan ... 85

Gambar 7 Spanduk & Logo Loho Raja... 94

Gambar 8 Keturunan Raja Silahsabunagn yang sedang Berjiarah ... 96

Gambar 9 Sesaji yang diberikan Ketruunan Raja Silahisabungan ... 97

Gambar 10 Keturunan Raja Silahisabungan yang sedang Manortor ... 100

Gambar 11 Keturunan Raja Silahisabungan Saat Makan Bersama ... 102

Gambar 12 Keturunan Raja Silahisabungan sedang Berdiskusi ... 102

Gambar 13 Relief Silsilah Raja Silahisabungan ... 110

Gambar 14 Tokoh-Tokoh Adat Raja Silahisabungan ... 112

Gambar 15 Relief Poda Sagu Sagu Marlangan ... 118

Gambar 16 Relief Isi Poda Sagu Sagu Marlangan ... 120


(12)

ABSTRAKSI

Pomparan /keturunan Raja Silahisabungan termasuk masyarakat yang majemuk. Terdiri dari beberapa etnis yang berbeda seperti Batak Toba, Pak-Pak, Karo, dan agama yang berbeda-beda pula, namun Pomparan Raja Silahisabungan tetap mampu mempertahankan keutuhan kelompoknya dari berbagai serangan konflik. Keutuhan dan ketahanan pomparan Raja Silahisabungan ini membunyai benih integrasi sosial yang diwujudkan dalam pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya dan diikuti seluruh pomparan Raja Silahisabungan diseluruh dunia. Tujuan dari penulisan skripsi yang berjudul “ Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Makam Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan”, adalah untuk mengetahui bagaimana fungsi pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini dalam mempertahankan Integrasi sosial pomparan raja Silahisabungan.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Coser, menunjukkan tentang bagaimana konflik pomparan raja Silahisabungan dengan Silahi Raja dapat secara positif fungsional memperkuat kelompok keturunan Raja Silahisabungan melalui pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan, dan konflik dengan silahi Raja dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan kelompok keturunan Raja Silahisabungan dalam mempertahankan kelangsungan kelompok mereka. Kekuatan solidaritas internal keturunan Raja Silahisabungan dan integrasi kelompok keturunan Raja Silahisabungan dapat bertambah tinggi ketika tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok Silahi Raja bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi yang ditunjukkan oleh keturunan Raja Silahisabungan lewat pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan ini membantu memperkuat solidaritas antara kelompok. Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan ini pada intinya mampu sebagai alat integrasi sosial bagi pomparan Raja Silahisabungan

Jenis penelitian yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian ini menunjukkan gambaran tentang latar belakang dari pengadaan pesta luhutan bolon tugu makam Raja Silahisabungan dan bagaiman fungsi dari pesta luhutan bolon Tugu makam Raja Silahisabungan mampu sebagai alat integrasi pomparan raja Silahisabungan.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagai sebuah negara, Indonesia terbentuk dengan tingkat ragam budaya yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat .Keragaman tersebut seharusnya menjadi kekuatan dan modal sosial bagi negara ini, akan tetapi realitasnya, konflik sosial yang berbau SARA berulang-ulang terjadi. Menurut Gemawan 2013, mencatat tahun 2010 telah terjadi peristiwa konflik. Sementara pada tahun 2011 terjadi 77 peristiwa dan tahun 2012 terjadi 128 peristiwa. Di tahun 2013 hingga awal September Kemendagri mencatat telah terjadi 53 peristiwa konflik. Jadi dari tahun 2010 hingga September 2013, telah tercatat 351 peristiwa konflik. Baik konflik yang bernuansa SARA, bentrokan warga dengan organisasi kemasyarakatan, aksi kekerasan menolak kenaikan bahan bakar minyak, bentrokan antar massa pendukung calon kepala daerah hinggga pada aksi / bentrokan massa terkait sengketa pertahanan.

Menurut Wajiran (2013), Berbagai macam konflik sosial yang terjadi dipicu oleh berbagai faktor seperti misalnya kerentanan pada masyarakat, adanya perbedaan kepentingan antar kelompok. Pemicu adanya konflik ada yang bersifat sederhana, tetapi ada juga yang bersifat sangat kompleks. Konflik yang bersifat sederhana umumnya disebabkan karena adanya kesalahpahaman antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan konflik yang kompleks memiliki sifat politis karena dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan yang lebih besar daripada


(14)

isu-isu yang menjadi sumber konflik itu sendiri. Seperti isu-isu-isu-isu yang berkaitan dengan konflik agama di beberapa daerah mungkin saja hanya sebagai sumbu penyulut saja, tetapi di belakang terjadinya konflik itu ada suatu kepentingan politik yang melatari terjadinya konflik itu. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kecenderungan membuat kelompok-kelompok sesuai dengan kepentingan mereka. Kelompok-kelompok juga ditentukan oleh adanya kesamaan ciri-ciri tertentu; seperti warna kulit, persamaan paham (keagamaan/kepercayaan), teritori (bangsa), umur, profesi, dan lain sebagainya. Masing-masing kelompok ini pun bersifat sangat resisten terhadap kelompok lain agar kepentingan mereka tidak diganggu. Itu sebabnya konflik mudah sekali menjalar menjadi besar karena adanya kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan tersebut. Konflik karena perbedaan-perbedaan inilah sebenarnya yang disebut dengan perang identitas.

Berdasarkan situasi di atas, Indonesia harus berusaha keras menciptakan suatu Integrasi sosial untuk mencegah terjadinya konflik sosial, khususnya konflik yang berbau SARA. Nilai integrasi Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika yang tertuang kedalam Dasar Negara dan merupakan modal dasar dari peningkatan integrasi sosial bangsa. Kebangsaan Indonesia adalah adanya persatuan antara orang dan tempat , persatuan antara manusia dan tanahnya , mempunyai persamaan nasib dan persatuan watak serta mempunyai cita-cita untuk bersatu sebagai suatu bangsa. Integrasi keserasian satuan satuan yang terdapat dalam suatu sistem (bukan penyeragaman , tetapi hubungan satuan-satuan demikian rupa


(15)

dan tidak merugikan masing-masing satuan) yang saling mendukung satuan dan masih memiliki identitas, dan saling mendukung.

Terjadinya integrasi sosial juga di karenakan anggota masyarakat berhasil mengisi kebutuhan kebutuhan mereka, berhasil menciptakan nilai dan norma sebagai tuntunan dalam melakukan hubungan sosial antar individu, termasuk menyepakati untuk melakukan apa yang dilarang oleh kebudayaan mereka, dan norma dan nilai yang diciptakan berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan bersifat konsisten. Integrasi sosial sangat dibutuhkan , tidak hanya mengikat antar etnik di Indonesia yang berbeda beda agar terhindar dari berbagai bentuk perpecahan dan konflik-konflik sosial , termasuk konflik SARA, yang berujung pada kerusuhan massal yang diwarnai aksi kekerasan, yang tentunya menimbulkan kerugian yang cukup besar baik dari segi materiil maupun non materiil. Kebudayaan daan adat istiadat yang dipakai merupakan salah satu kebutuhan pada nilai-nilai integrasi yang merupakan dasar atas pengendalian masyarakat duna menjaga kesatuan masyarakat. Dalam mewujudkan integrasi sosial diperlukan nilai, norma, tatanan hukum sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan sosial sehingga menciptakan keharmonisan dan kedamaian.

Berangkat dari pernyataan di atas, masyarakat Batak Toba juga memiliki cara untuk mempertahankan integrasi satu kelompok marganya . Menurut Vergouwen dalam Togar Nainggolan 2006, kesatuan marga ini dijamin oleh hubungan mereka dengan nenek moyang mereka sebagai satu keluarga. Dalam pergaulan sehari hari mereka lebih mengutamakan kepentingan marga daripada


(16)

kepentingan pribadi, misalnya dalam hal ritus famili. Orang-orang semarga memegang prinsip satu kurban (sisada somba), satu kesatuan makan bersama (sisada sipanganon), satu dalam kemakmuran (sisada sinamot), satu dalam kemulian (sisada hasangapon), dan satu dalam kenistaan (sisada hailaon). Kesatuan antara orang- orang semarga begitu kuat sehingga mereka diumpamakan seperti orang yang memotong air tak bisa putus (tumpulon aek do na marsabutuha). Tetapi serentak dengan itu mereka harus berhati hati dan hormat kepada teman semarganya ( manat mardongan tubu) karena urusan Marga sangat kompleks. Cunningham mengatakan, bahwa marga merupakan kuasa tertinggi atas kesadaran dan kesatuan kelompok marga. (Togar Nainggolan 2006 : 69). Menurut Bungaran Antonius Simanjuntak (2009) dalam Barndo, di dalam hubungan sosial, marga adalah unsur dasar yang menetukan hubungan sosial. Setelah saling memberitahukan marga, masing masing mengingat latar belakang silsilah dan analogi internal dan eksternal. Latar belakang silsilah dan analogi itu antara lain tingkatan kedudukan dalam silsilah. Dengan cara ini Orang Batak Toba dapat menentukan referensi panggilan apakah orang itu kedudukannya sebagai adik atau abang, bapak tua atau bapak muda, saudara perempuan (ito), dan yang lainnya. Untuk lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya , mengikat hubungan marga mereka dan menambah keakraban diantara mereka maka orang Batak akan membentuk suatu perkumpulan berupa kelompok kelompok sosial atau kelompok marga, tentunya didasarkan dengan anggota anggotanya yang terdiri dari marga yang sama. Jadi tidak mengherankan jika organisasi organisasi


(17)

yang terbentuk dikalangan Batak toba adalah Perkumpulan marga- marga.( Brando, 2010:2)

Dalam masyarakat Batak Toba banyak sekali perkumpulan marga. Tujuan perkumpulan marga-marga dalam etnik Batak Toba diciptakann salah satunya adalah mempertahankan keutuhan kelompok marga itu sendiri. Marga merupakan dasar untuk menentukan “partuturan” atau hubungan persaudaraan baik untuk kalangan semarga atau untuk kalangan marga-marga yang lain dalam lingkup etnik Batak Toba. Marga juga merupakan nama persekutuan dari orang-orang bersaudara (sedarah), seketurunan menurut garis keturunan dari laki-laki (bapak) yang mempunyai tanah sebagai milik bersama ditanah asal atau tanah leluhurnya. Dengan adanya marga hubungan kekerabatan menjadi jelas dan setidak-tidaknya dapat memperkecil terjadinya perkawinan satu marga. Sebagai landasan pokok, marga mempunyai fungsi untuk mengatur ketertiban dalam suku Batak agar tidak terjadi perkawianan antara satu marga. Selain itu juga untuk mengatur hubungan-hubungan antara berbagai pihak akibat kompleksnya hubungan-hubungan antar keturunan serta untuk mengurangi konflik. Dengan adanya marga, hubungan kekerabatan terjalin secara teratur dan menunjukkan tali pengikat untuk mempersatukan antara seorang dengan orang lain, khususnya dalam satu keturunan yang cukup besar dan mengikat, mempersatukan keturnan dalam satu kelompok marga Batak.

Salah satu perkumpulan marga dalam Batak Toba adalah Punguan marga Silahisabungan Dohot Boru. Punguan marga Silahisabungan ini, yang terdiri dari 8 kelompok marga, diantaranya Haloho, Situngkir, Rumah Sondi, Sidabutar, Dabariba, Debang, Pintu Batu, Raja Tambun. Ke-8 kelompok marga ini


(18)

dahulunya adalah nama dari anak-anak seorang raja yang bernama Silahisabungan. Tujuh anaknya dilahirkan oleh Pinggan Matio boru Padangbatanghari, yaitu loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, Batu Raja sementara dari isteri kedua boru Nailing Nairasaon, hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Tambun Raja. Raja Silahisabungan juga mempunyai seorang puteri dari hasil perkawinannya dengan Pinggan Matio boru Padangbatanghari bernama Deang namora yang tidak berkeluarga hingga akhir hidupnya. Hubungan ke delapan anak dari Silahisabungan dulu sering diwarnai konflik. Konflik dilatarbelakangi rasa kecemburuan yang dialami ketujuh anak dari Silahisabungan dengan Pinggan Matio, yang sangat iri melihat Raja Tambun yang sangat dikasihi oleh kedua orangtua mereka bahkan adik perempuan mereka, Deang Namora. Melihat keirian ketujuh anaknya, Raja Silahisabungan kemudian membuat “Poda Sagu-sagu marlangan” yang merupakan nasihat dan hukum atau norma bagi ke delapan anaknya yang berintikan bahwa mereka adalah satu keturunan dan harus saling mengasihi. Adapun isi dari poda sagu-sagu marlangan ini adalah :

1. Saling mengasihi, penuh persaudaraan yang langgeng bagi seluruh turunan Raja Silahisabungan mulai saat ini hingga generasi demi generasi.

2. Tidak boleh turunan si Abang yang tujuh (loho raja, tungkir raja, sondi raja, dabariba raja, butar raja, debang raja, batu raja) menyebut bahwa mereka bukan satu ayah satu ibu dengan turunan adiknya tambun raja, demikian juga sebaliknya, tambun raja, tidak boleh menyebut bahwa mereka tidak seibu dan seayah dengan turunan abangnya yang tujuh


(19)

3. Seluruh turunan abangnya yang tujuh harus mengasihi saudara perempuan mereka turunan dari tambun raja, dan demikian dengan tambun raja harus mengasihi saudara perempuan dari turunan abngya yang tujuh

4. Pantang saling mengawini antara turunan abannya yang tujuh dengan turunan adiknya tambun raja.

5. Pantang memulai pertikaian dan perselisihan bagi segenap turunan Silahisabungan.

Poda sagu-sagu marlangan ini juga memberikan sanksi yang tegas bagi setiap keturunan Silahisabungan yang melanggarnya. Semenjak ditetapkannya poda sagu-sagu marlangan sebagi norma di kalangan keturunan Silahisabungan hubungan persaudaraan pun semakin erat bagi keturunan Silahisabungan. (Eli Silalahi, dkk 2008:23)

Awal abad ke-20, orang Batak Toba banyak yang meninggalkan tanah kelahirannya di Tapanuli Utara, dan bermigrasi ke kota-kota besar dengan alasan mencari pekerjaan dan melanjutkan pendidikan mereka. Demikian pula dengan para keturunan Silahisabungan yang ada di kampung induk di Silalahi Nabolak saat itu, banyak yang merantau bahkan bermigrasi ke kota-kota besar. Setelah sukses di daerah perantauan dan mapan, banyak dari mereka juga memilih untuk tinggal dan menetap di daerah perantauan daripada pulang ke kampung induk mereka di Silalahi Nabolak, karena mereka melihat peluang hidup yang besar di tanah perantauan. Di tanah perantauan, kelompok-kelompok migran Batak banyak mempertahankan identitas mereka dengan mendirikan organisasi-organisasi etnis mereka sendiri berdasarkan marga . Demikian pula yang dilakukan oleh delapan


(20)

keturunan dari Silahisabungan. Mereka membentuk kelompok kelompok etnis berdasarkan marga mereka. Misalnya punguan marga Sihaloho, punguan marga Situngkir, punguan marga Sondi raja, punguan marga Sidabutar (hanya dipakai dikampung induk saja) atau jika di tanah perantauan disebut Sinabutar, punguan marga Sidabariaba, punguan marga Sidebang, punguan marga pintu Batu dan punguan marga Tambunan. Punguan-punguan marga ini mempunyai cabang disetiap daerah di Indonesia dan pusat sekretariat Punguan Pomparan Silahisabungan ini di Indonesia berada di Jakarta. Selain dengan membuat punguan marga di tanah perantauan, ke delapan keturunan Raja Silahisabungan ini berusaha menciptakan integrasi sosial diantara sesama keturunan Silahisabungan dengan membuat Tugu/makam sebagai monumen untuk memperingati leluhur mereka Raja Silahisabungan yang dahulu telah menyatukan kedalapan anaknya. Dalam budaya Batak Toba, sebenarnya tidak mengenal tugu, artinya tugu tidak merupakan bagian yang hakiki dari kebudayaan Batak. Oleh sebab itu dalam kamus bahasa batak ttidak ditemukan kata Tugu, namun yang ada adalah batu Partinandaan, pungu-pungu partinandaan Partinandaan sian batu, Tambak, partinandaan diiatas tanoman. Masyarakat Batak mengenal kuburan tua yang ditinggikan atau disebut batu na pir. Batu na pir merupakan tempat mayat atau berupa tulang belulang (dapat berupa simbolis tanah/ tempat tersebut digunakan sebagai tempat tulang belulang ) karena tidak ditemukan lagi kakek/ nenek moyang bersama dari marga inti atau dari cabang marga dalam satu keluarga bersama. Oleh sebab itu tugu bermakna sebagai lambang atau simbol persatuan dan kesatuan serta kebersamaan dari masyarakat yang semarga, baik


(21)

kelompok satu marga induk,(kakek moyang bersama satu marga atau cabang marga dari satu keturunan dari satu bapak leluhur), oleh sebab itu juga ada upacara memasukkan tulang belulang kakek moyang bersama kedalam batu na pir (Panangkokhon saring-saring tu pbatu na pir). Sampai sekarang menjadi bagian hakiki dari kebudayaaan batak, dan masih tetap berlangsung , dan upacara ini dimaknai sebagai penghormatan kepada para leluluhur.

Pada umumnya bahwa kebanyakan orang Batak Toba diperantauan setuju dengan adanya pembuatan Tugu ini dengan alasan ,untuk menjaga tradisi suku, mencari berkat dan pertolongan dari nenek moyang, membangun kesatuan famili. Keturunan Raja Silahisabungan ini tersebar dipelosok tanah air dengan berbagai tingkat kehidupan pendidikan dan profesi antara lain, pengusaha, petani, bahkan ada juga yang duduk dibangku pemerintahan dan sebagai pejabat pemerintahan. Keberhasilan dan kebesaran keturunan raja Silahisabungan seperti ini dalam masyarakat Batak tergambar dalam bingkai kesuksesan yang disebut sebagai Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon. Dalam rangka memelihara serta melestarikan Hamoraon, Hagabeon, Hasangapon atau nilai yang sudah berhasil diraih sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu yang patut disyukuri maka diperlukan upaya untuk terpeliharanya rasa persaudaraan diantara seluruh keturunan / Pomparan raja Silahisabunagan. Salah satu wujud persaudaraan dan persatuan adalah pembangunan Tugu Makam raja Silahisabungan yang terletak di Desa Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, kabupaten dairi, Sumatera Utara


(22)

Pembangunan tugu ini didasari pada Raja silahisabungan sebagai cikal bakal marga Silalahi, yang diperkirakan keturunnannya mencapai 18-23 generasi yang tersebar didaerah Toba Samosir, Tapanuli utara, Pak-pak- Dairi, Simalungun, tanah karo, langkat dan Deli Serdang. Dalam kurun waktu yang begitu lama telah terjadi perubahan berita keagungan Raja Silahisabunagan di berbagai daerah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat sesama warga Silahisabungan. Dalam berbagai perubahan pandangan ini, keturunan Raja Silahisabungan yang terdiri dari delapan marga tersebut mencoba mencari persamaan atas informasi yang beredar sehingga dapat menyatukan persepsi yang berbeda-beda. Pembuktian tersebut dilihat dari dibentuknya panitia Tarombo Raja Silahisabungan tahun 1963 di Medan yang merupakan salah satu usaha yang menyatukan persepsi yang berbeda sehingga dapat tersusun tarombo kelompok marga Silahisabungan yang dapat diterima semua pihak yang terkait. Pembentukan panitia tugu/tambak dan tarombo Raja Silahi sabungan tahun 1967 di Silalahi Nabolak adalah merupakan puncak usaha menyatukan beragam perbedaan persepsi yang ada sehingga dapat tersusun tarombo Raja Silahisabungan yang dapat diterima semua pihak. Pembentukan panitia tugu/ tambak dan tarombo Raja Silahisabunagan tahun 1967 di Silalahi Nabolak merupakan puncak usaha menyusun tarombo Raja Silahisabungan dengan motto ‘rap renta pomparan ni raja Silahisabungan’. Tentu saja penyusunan tarombo ini didasari pada buku-buku tarombo suku batak yang diteliti. Tahun 1968 setelah meneliti buku-buku tarombo, dan mengumpulkan beragam informasi dari hasil


(23)

musyawarah besar warga Silahisabungan telah diambil kesimpulan tarombo Raja Silahisabungan.

Pada tahun 1981 tertanggal dari 23 hingga 27 November, Tugu makam Raja Silahisabungan di maras Silalahi Nabolak diresmikan. Pembangunan tugu ini sendiri memakan waktu yang cukup lama dimulai dari tahun 1969 hingga tahun 1980, kurang lebih 29 tahun lamanya. Sejak diresmikannya Tugu Makam raja Silahisabungan tahun 1981, maka tiap tahun dilakukan pesta tahunan yang dilaksanakan secara bergiliran oleh delapan kelompok keturunan raja Silahi Sabungan dalam bentuk kegiatan adat, budaya, rohani, sosial, sebagai wujud ucapan terimakasih dan pujian kepada Tuhan serta media saling mengasihi sesama keturunan / Pomparan raja Silahisabungan. Atas dasar hal ini lah peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana proses integrasi sosial dalam kelompok marga Silahisabungan yang tersebar di seluruh indonesia dengan tingkat perbedaan yang kompleks dapat bertahan melalui Pesta Luhutan Bolon Tugu/ Makam Raja Silahisabungan yang diadakan setiap tahunnya.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. (Usman dan Purnomo, 2004:26). Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, yang menjadi rumusan masalah adalah Bagaimana Fungsi Pesta Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahi Sabungan.


(24)

1.2Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka yang menjadi tujuan penulis dalam meneliti permasalahan ini adalah untuk menganalisa atau mengamati fungsi pesta tugu luhutan bolon dalam mempertahankan integrasi pomparan Raja Silahisabungan.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang ada, terutama bagi mahasiswa sosiologi dan bagi siapa saja yang membaca penelitian ini yang tertarik dengan ilmu sosiologi.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi yang ada dan menambah wawasan bagi penulis, dan pemahaman penulis tentang Fungsi Pesta Tugu Luhutan Bolon dalam Mempertahankan Integrasi pomparan Raja Silahisabungan.

1.5 Defenisi konsep

1. Adat

Adat adalah tatanan hidup rakyat Indonesia yang bersumber pada rasa susila. Susila ini dimengerti dalam konteks harmoni spiritual, dimana kedamaian meneluruh ada karena kesepakatan bersama. Karena itu adat adalah suatu cara pikir bangsa Indonesia , dimana mereka membentuk dunianya. Adat mencakup seluruh kehidupan. Manusia dengan kematiannya tidak mungkin kehilangan


(25)

adatnya. Orang-orang mati memelihara dan menjaga adat melalui tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Dengan perantaraan adat, mereka tetap berehubungan dengan orang orang hidup. Yang merupakan inti pokok persekutuan antara orang-orang mati dan orang-orang hidup ialah justru adat bapa-bapa leleuhur sebagai tata tertib kehidupan anak-cucu mereka. Dalam persekutuan hidup dengan nenek moyang persekutuan adat itu menyatakan diri sebagai persekutuan religi. Suatu ciri yang menentukan dari religi ini ialah menyangkut kepada kesatuan etnis dan oleh sebab itu disebut religi etnis. Dari suatu sisi, tradisi nenek moyang , adat mempunyai sifat yang religius yang kuat. Adat mempunyai fungsi kultural dan fungsi sosial. Alasan mengapa adat begitu kuat melekat pada diri pemiliknya ialah karena adat sebagai patokan dan tata cara hidup tetapi meresapi kehidupan secara aktif. Adat mewujudkan suatu religionitas atau kepercayaan alamiah yang timbul dari dalam diri manusia itu sendiri. Dari hasil studinya Batak Toba ternyata cukup kuat dalam mempertahankan adatnya. Contohnya pendirian tugu (monumen nenek moyang) yang kini masih hidup di daerah Batak toba merupakan bukti bahwa penyembahan nenek moyang masih terus berlanjut pada mayarakat Batak Toba.

2. Tugu

Tugu secara terminologi dapat diartikan dengan monumen. Bagi masyarakat Batak dapat dijadikan sebagai segala sesuatu yang telah melalui ketahanan yang sangat lama dipakai untuk mengenang seseorang yang notabene seseorang tersebut adalah kakek moyang bersama satu marga induk atau satu cabang marga atau satu tuirunan dari kakek / nenek moyang (sa ompu). Pembangunan tugu di


(26)

kalangan orang batak adalah berupa suatu kerangka yang berkaitan dengan adat batak dan merupakan peringatan atau penghormatan bagi nenek moyang atau seorang motivasi Raja sehingga penafsiran arti , motivasi Raja, sehingga penafsiran arti, motifvasi pendirian suatu Tugu tersebut perlu dipahami dari berbagai sudut. Dalam Togar Nainggolan ( 2006:242), menyatakan, ada berbagai keteranagn yang diberikan dalam literatur oleh informannya terkait tentang pendirian tugu-tugu modern ini

a. Alasan politik

Orang Batak makin banyak jumlahnya dan kaya di komunitas urban pada tahun 1960-an, tetapi pada saat yang sama mereka merasa tidak aman. Kekalahan pemberontakan PRRI tahun 1958 sampai 1959 memunculkan goncangan yang cukup kuat akan peranan tetap orang batak Toba dalam militer Sumatera utara. Penarikan diri kembali para pemberontak dibawah komando Kolonel Simbolon dari Medan ke Tapanuli Utara pada awal pemberontakan mengingatkan secara simbolis akan pentingnya kampung halaman sebagai pangkalan keamanan untuk masyarakat Batak Toba, meski mereka sudah menjadi masyarakat urban. Pada bulan Novenber 1961 Sisingamangaraja XII diakui secra resmi sebagai pahlawan nasional dari suku Batak atas perjuangannya melawan penjajah Belanda, atas dasar ini jugalah Soekarno mendorong pendirian tugu-tugu pahlawan nasional,. Hal ini membangkitkan keinginan orang Batak untuk mendirikan Tugu Sisingamangaraja XII dibeberapa kota di Sumatera Utara.


(27)

Umumnya tugu-tugu yang besar dan megah yang terdapat di Tapanuli Utara dibangun oleh para Orang Batak yang ada ditanah perantauan yang telah meninggalkan kampung induk , dan mereka adalah yang mempunyai hidup berkecukupan, kaya dan elit. Perlombaan status jelas merupakan satu faktor dalam kemegahan tugu dan kemewahan pesta pada saat peresmiannya. Tugu yang didirikan oleh kelompok satu marga dapat memprovokasi kecemburuan pada kelompok marga lain sampai mereka dapat merealisasikan tugu tersebut pada marga mereka sendiri. Dalam bruner tahun 1987 mengatakan kebanyakan dari pengkritik pendirian tugu mengatakan bahwa orang yang sudah berhasil di daerah perantauan ingin mempertontonkan kesusksesan mereka kembali dikampung induk mereka. Motifnya adalah kesombongan dan kecongkakan. Sementara Reid (2002) dalam Togar (2006), mengatakan, kelompok yang mendukung akan berkomentar bahwa kelompok keturunan mendirikan tugu untuk penegenalan diri mereka sebagai kelompok dari satu garis keturunan.

c. Alasan religius

Tugu didirikan dan pesta mangongkal holi (pemakaman kembali) dilaksanakan sehingga para orangtua dihormati (asa sangap natua-tua i). Hal ini adalah cara orang batak untuk melaksanakan perintah kekristenan, yakni hormatilah bapa dan ibumu dan hormat umum kepada orang yang sudah meninggal. Hal ini jika dilihat dari sisi lain dapat diartikan sebagai pembelaan , kebanyakan mereka yang melakukan pesan diatas ada kemungkinan secara tulus mendukung pesta-pesta ini menyadari bahwa praktek masyarakat batak Toba saat ini jauh dari pengertian kekristenan. Sebenarnya penyembahan nenk moyang lebih


(28)

menonjol daripada mengikut perintah kekristenan “ hormatilah bapa dan ibumu”. Para nenek moyang disembah untuk mendapat berkat dari mereka. Berkat nenek koyang ini bagi mereka nyata dalam hal kesehatan, kekayaan, kuasa dan banyak keturunan. Ini merupakan satu hukti bahwa penyembahan nenek moyang masih kuat pada masyarakat Batak Toba, yang lebih mengherankan lagi yang menghidupkan kembali praktek ini adalah orang Batak Urban di kota-kota modern yang pemikirannya bisa dianggap sudah lebih realistis , kaya , terpelajar dan tidak meyakini praktek-praktek seperti ini

d. Alasan komunitas klen

Pembangunan tugu mengahadirkan sejenis kontark antara anggota kelompok marga yang kaya denganyang miskin, mereka yang merantau dan yang tinggal dikampung induk, yang muda dan tua. Ide dari pendirian tugu dan pelaksanaan pesta, meskipun biasanya didanai oleh orang Batak yang migran urban, sering diawali mereka yang tua dan tinggal dikampung induk. Bangunan dan pesta tentu mentransfer kekayaan orang kaya kepada mereka yang miskin dari daerah perantauan yang ada di kota ke desa. Hal ini pun membuat orang desa mendapat bantuan memperbaiki rumah rumah mereka untuk menampung orang kota saat akan berkunjung ke kampung induk atau saat melakukan pesta besar terhaqdap nenek moyang atau perkumpulan satu kelompok marga dari berbagai penjuru. Pengertian yang lebih fundamentalnya ialah bahwa orang kaya dan miskin bersama-sama dapat menghormati nenk moyang mereka. dengan demikian ikatan klen (marga) dikuatkan.


(29)

Pembangunan tugu dan khususnya pesta ritus, yang menemaninya menguatkan ikatan garis keturunan yang barangkali sudah mulai terkikis karena adanya migrasi. Hal ini menjembatani ketidakcocokan yang dirasakan anatara gambaran yang ideal akan masyarakat batak dan situasi masyarakat yang dialami secara aktual. Ini membawa ketegangan bagi masyarakat batak berbicara tentang adat mereka yang dianggap sakral dan tidak terikat ruang dan waktu sementara batin mereka mengalami keterasingan karena hidup di perantauan. Tugu, seperti halnya semua monumen, merupakan jembatan antara masa sekarang dan masa lampau. Melalui pesta tugu orang-orang menangkap kembali masa lalu mereka, sejarah nenek moyang dan asal usul mereka. Ritus tugu menjadi suatu cermin diri bagi mereka yang lalu. Para migran masyarat Batak yang hidup di kota-kota besar untuk beberapa waktu meninggalkan dunia urban yang sekular lalu masuk ke dunia adat yang magis dikampung induk mereka. bersama sama dengan kelompok marga yang se-klen, dan keluarga karena peerkawinan, mereka merayakan genealoginya. Ritus tugu menguatkan kebatakan para migran. Kesatuan klen (marga) ini dapat disimbolakn melalui suatu patung dari nenek moyang . pada saat ini sponsor untuk mendirikan tugu datang dari keturunan satu klen yang migran yang mungkin semakin sadar akan identitas mereka ditengah suku-suku lain di daerah perantauan. Pendirian tugu modern oleh masyarakat batak toba yang berada di daerah rantau, menjadi sarana bagi klen mereka untuk menguatkan identitas mereka. Jikalau dahulu pemujaan nenek moyang ini dilakukan dengan memasukkan tulang belulang kedalam sorkefage, sekarang hal itu dilakukan dengan memasukkan tulang belualng nenek moyang kedalam tugu. Maknanya


(30)

tetap sama untuk penujaan nenek moyang. Ritus tugu ini bermakna peristiwa yang kultural, yang mempersatuakan aspek-aspek identitas batak dalam hal ini adalah klen (marga), huta (kampung induk), dalihan na tolu, dan adat yang menguatkan solidaritas diantara anggota klen. Untuk mengerti diri mereka yang sekarang, mereka masuk ke masa lalu. Identitas Batak Toba bagi migran Batak Toba dikuatkan dengan sikap mereka yang kembali kepada tradisi lama. Identitas batak Toba didaerah perantauan hadir dengan bentuk network/jaringan, tetangga, famili, rite de passage, dan kumpulan organisasi-organisasi Batak Toba yang lain.(Togar Nainggolan , 2006: 246) Raja Parmahan Silalahi merupakan cabang marga induk yang memiliki kampung induk berada di hinalang Silalahi, balige. Ada juga istilah tugu berukuran kecil sebagai tempat tulang belulang dari satu ranting marga induk disebutlah kakek bersama dari ranting marga yaitu (saompu) biasanya lima sampai dengan tujuh generasi atau sundut. Demikian halnya pembangunan Tugu pada kelompok marga Silahisabungan. Tugu makam Raja Silahisabungan, dan Ruma parsantian oleh keturunan raja parmahan Silalahi oleh semangat (Pasangapma natorasmu asa leleng ho mangolu di tano ma nilehon ni Jahowa debatam di ho”. Motto dari pada keturunan nya harus menghindar dari teal / toal dan makna hasipele beguon. Dalam pembuatan tugu Raja Parmahan ini dan Ruma Parsantian, para keturunanya dituntut bersatu dalam satu kesatuan .

3. Integrasi sosial

Integrasi Sosial adalah suatu proses dari unsur-unsur dalam suatu masyarakat (kelompok sosial) yang saling berhubungan secara intensif, dan harmonis dalam kehidupan sosial sehari-hari dan dalam interaksi diberbagai bidang (sosial,


(31)

ekonomi, politik, dan sebagainya, dengan kata lain Integrasi sosial lebih bersifat sosiologis. Hess (1988) dan Federico (1979) dalam eriyanti (2013) mengemukakan bahwa proses integrasi sosial pada umumnya melalui beberapa tahap, yaitu tahap-tahap segregasi atau separatisme, akomodasi, akulturasi, asimilasi dan amalgamasi. Disamping itu, McLemore (1998) mengemukakan ada empat tingkat tahap integrasi sosial. Pertama, integrasi primer, yaitu adanya persamaan agama. Kedua, integrasi sekunder, yakni adanya kebebasan untuk bekerja dan berniaga. Ketiga, integrasi budaya, ialah terciptanya pembauran dalam hal makanan dan pakaian. Keempat, integrasi perkawinan, yang terlihat dengan terjadinya perkawinan antara pendatang (minoritas) dengan masyarakat setempat (mayoritas). Konsep integrasi sosial dibedakan kedalam tiga sifat. Integrasi normatif, adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya nilai , norma, cita-cita bersama atau adanya rasa solidaritas. Integrasi normatif pada dasarnya memiliki kesamaan dengan sifat-sifat solidaritas mekanik yang ditandai dengan suatu masyarakat yang sederhana yang anggotanya memperoleh sosialisasi yang sama sehingga memiliki suatu kesepakatan nilai-nilai dasar. Integrasi normatif ini merupakan alat untuk melihat sejauh mana masyarakat masih memiliki ikatan yang bersifat solidaritas mekanis. Integrasi fungsional merupakan kerangka perspektif fungsional yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi antara unsurnya. Masyarakat sebagai sistem memiliki unsur-unsur yang dipersatukan oleh adanya kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi melalui interaksi diantara unsur-unsur yang ada (ketergantungan fungsional). Integrasi fungsional ini mengarah pada hubungan vertikal dan horizontal.


(32)

Hubungan vertikal mengarah pada warga masyarakat dengan negara sedangkan hubungan horizontal mengarah pada warga atau kelompok dalam masyarakat, apakah warga masyarakat secara individu, kelompok , golongan, maupun antar daerah masing-masing memiliki fungsi yang khas dan bisa mereka pertahankan sehingga ada saling ketergantungan. Integrasi koersif merupakan integrasi yang terjadi bsebagai hasil dari kekuatan yang sanggup mengikat kekuatan-kekuatan individu atau unsur-unsur masyarakat secara paksa. Singkatnya, integrasi dapat terjalin secara paksa oleh pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar dengan menggunakan berbagai pranata sosial serta alat yang memiliki kekuatan untuk mengikat dan memaksa anggota-anggota kelompok sosial. Dasar pemikiran integrasi koersif ini adalah teori paksaan . Dahrendorf mengatakan bahwa semua unit sosial selalu disatukan atau diintegrasikan melalui kekuatan yang menguasai dan memaksa

4. Pomparan Silahisabungan

Pomparan Silahisabungan adalah keturunan Raja Silahisabungan yang terdiri dari Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi raja, Sidabariba, Sinabutar, Sidebang Raja, Pintu Batu, dan Tambun Raja. Pomparan Silahisabungan ini merupakan satu kelompok marga dalam Batak Toba yang mempunyai tradisi dan budaya yang sedikit berbeda dengan kelompok marga lainnya. Dari wilayah daerahnya yang berada di Tolping, kabupaten Dairi, yang mana pada umumnya kelompok-kelompok marga dalam suku Batak Toba mempunyai wilayah di kabupaten Tobasa. Wilayah Silalahi yang kecil di Paropo, disudut sebelah utara danau toba yang hanya dihuni oleh beberapa ribu orang , dapat dianggap sebagai kawasan leluhur, tempat


(33)

moyangnya pertama kali bermukim dan menurunkan sejumlah besar anak laki-laki dari dua orang isteri. (Vergouwen 1986:16) Dari Isteri pertama yang bernama Pinggan matio, lahirlah tujuh putra dan satu putri. Anak laki-laki pertama dinamkan Loho Raja, anak kedua dinamakan Tungkir Raja, anak ketiga dinamakan Sondi Raja, anak Keempat perempuan dinamakn Deang Namora sedangkan anak ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 bernama Butar Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, dan Batu Raja.Sedangkan dari isteri kedua, Boru Nairasaon, Silahisabungan hanya dikaruniai seorang putera bernama Tambun Raja.

5. Pesta Tugu Luhutan Bolon Raja Silahisabungan

Pesta tugu luhutan bolon Raja Silahisabungan merupakan adalah suatu kegiatan sebagai ucapan syukur para keturunan Raja Silahisabungan yang mempunyai makna untuk mengikat persaudaraan antar marga kelompok keturunan Raja Silahisabungan. Upacara pelaksanaan pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabunagn ini dilaksanakan oleh seluruh keturunan Raja Silahisabungan diseluruh dunia sebagai ungkapan terimakasih kepada nenek moyang, Raja Silahisabungan, atas keberhasilan yang keturunannya capai didaerah rantau ataupun dikampung induk. Inilah yang dinamakan mereka sebagai rahmat nenek moyang mereka, Raja Silahisabungan.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Perspektif KonflikCoser

Coser dalam Poloma (2010), menyatakan konflik sebagai kesadaran yang tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat. Coser menunjukkan sumbangan konflik yang scara potensial positif untuk membentuk dan


(34)

mempertahankan struktur. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur kedalam dunia sosial sekelilingnya. Seluruh fungsi konflik itu (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat stuktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out-group. Konflik yang sedang berlangsung dengan out-groups dapat memperkuat identitas para anggota kelompok.

Coser juga memakai istilah katup penyelamat (savety-value), yaang merupakan salah satu mekanisme khusus yang dapat dipaki untuk memeprtahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “Katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik dan membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok yang sedang kacau. Coser melihat katup-penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan yang tanpa katup-penyelamat ini hubungan-hubungan diantara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam.Institusi katup-penyelamat ini juga memungkinkan pengungkapan rasa tidak puas terhadap stuktur.

Lembaga ‘savety-velve’ ini, disamping menjalankan ungsi positif untuk mengatur konflik, juga mencakup masalah pembiayaan. Katup penyelamat tidak ditujukan untuk menghasilkan perubahan struktural, maka masalah dasar daari konflik itu sendiri tidak terpecahkan. Artinya, semuanya berfungsi sebagai


(35)

mekanisme untuk mengatur kemungkinan konflik dan secara tidak langsung merintangi perkembangan kelompok-kelompok yang sedang bertikaiyang bisa menimbulkan perubahan melalui konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser (1956 : 48) lewat katup penyelamat (safety-velve) itu permusushan dihambat agartidak berpaling melawan objek aslinya . Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun individu : mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.

Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realitis dari yang tidak realistis. Konflik yang realitis adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Konflik yang tidak realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan antagonistis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Konflik non realistis ini adalah hasil dari berbagai kekecewaan dan kerugian, sebagai pengganti pengganti antagonisme realistis semula yang tidak terungkapkan. Dalam suatu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis biasanya diikuti oleh sentimen-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain.


(36)

Menurut Coser dalam Poloma (2010), terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Contoh-contoh di mana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya banyak terdapat pada hubungan-hubungan yang lebih bersifat parsial atau segmented. Akan tetapi bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realistis dan konflik non realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Coser (1956:62) menyatakan :Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan-hubungan sekunder , seperti misalnya pada rekan bisnis, rasa permusuhan dapat ralitif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubunganprimer di mana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut, yang bersifat paradoks ialah, semakin dekat hubungan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. .

Tetapi semikin lama perasaan demikian ditekan, maka semakin penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat, maka konflik itu ketika benar-benar meledak, mungkin sekali akan sangat keras. Coser menegaskan bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan yang demikian, ketika konflik meledak dalam hubungan-hubungan yang intim. Konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-tanda dari hubungan-hubungan yang hidup, sedang tidak adanya


(37)

konflik itu dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan ada suasana yang benar-benar kacau.

1.6.2 Isu Fungsionalitas Konflik

Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur. Mengutip hasil pengamatan Simmel, Coser (1956) dalam Poloma (2010), menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok dengan memantapkan keutuhan dan keseimbangan. Konflik fungsional positif berfungsi bilamana tidak mempertanyakan dasar-dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. Coser juga menyatakan , orang dapat berharap bahwa tipe konflik ini barangkali akan memiliki dampak yang lebih besar pada hubungan-hubungan daripada konflik. Masyarakat yang terbuka dan berstruktur longgar membangun benteng untuk membendung tipe konflik yang akan membahayakan konsensus dasar dari kelompok itu dari serangan terhadap nilai intinya dengan membiarkan konflik tersebut berkembang di sekitar masalah-masalah yang tidak mendasar. Konflik antar dua kelompok dan antara berbagai kelompok antagonistis yang demikian itu saling menetralisir dan sesungguhnya berfungsi mempersatukan sistem sosial. Di dalam mempertentangkan nilai-nilai yang berada didaerah pinggiran, kelompok-kelompok yang saling bermusuhan tidak pernah sampai pada situasi yang menyebabkan perpeacahan. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group dapat merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam


(38)

pandangan negatif saja . masyarakat atau kelompok yang memperbolehkan konflik sebenarnya adalah masyarakat atau kelompok yang memiliki kemungkinan yang rendah dari ancaman ledakan-ledakan yang akan menghancurkan struktur sosial. Dalam situasi demikian konflik biasanya tidak berkembang disekitar nilai-nilai inti dan dengan demikian dapat memperkuat struktur. Di dalam kelompok-kelompok totaliter konflik ditekan dan bila telah meledak akan menghancurkan kesatuan kelompok. Ada beberapa kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi konflik dengan kelompok luar (out-Groups) dan struktur kelompok, antara lain, Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser (1956:92-93) berpendapat bahwa tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi merupakan hubungan timabal balik yang penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok. Coser juga menyatakan ,bilamana konsensus dasar suatu kelompok lemah, maka ancaman dari luar menjurus bukan pada peningkatan kohesi tetapi pada apati umum, dan akibatnya kelompok terancam perpecahan. Coser juga menunjukkan bahwa konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan , dan lewat sarana yang demikian kelompok-kelompok kepentingan mempertahankan kelangsungan masyarakat.

1.6.3 Konflik Kelompok Antarkelompok dan Solidaritas Kelompok Dalam

Fungsi konflik yang positif dalam dinamika kelompol dalam (In-group) versus hubungan kelompok luar (out-group). Kekuatan solidaritas internal dan


(39)

integrasi kelompok dalam bertambah tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar. Kekompakan yang semakin tinggi dari suatu kelompok yang terlibat dalam konflik membantu memperkuat batas antara kelompok satu dengan kelompok-kelompok yang lainnya dalam suatu lingkungan, khususnnya kelompok yang bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan permusuhan. Didalam kelompok itu ada kemungkinan berkurangnya toleransi akan perpecahan atau pengkotakan, dan semakin tingginya konsensus dan konformitas. Para penyimpang dalam kelompok itu tidak lagi ditoleransi. Sebaliknya apabila kelompok itu tidak terancam konflikdengan kelompok luar yang bermusuhan tekanan yang kuat pada kekompakan, konformitas, dan komitmen terhadap kelompok tersebut makin berkurang. Ketidaksepakatan internal mungkin dapat muncul kepermukaan, dan para penyimpang mungkin akan lebih ditoleransi.

Fungsi konflik eksternal untuk memperkuat kekompakan internal dan meningktkan moral kelompoknya, sehingga kelompok-kelompok dapat berusaha memancing antagonisme dengan kelompok luar supaya mempertahankan atau meningkatkan solidaritas internal. Ancaman dari luar membantu meningkatkan atau mempertahankan solidaritas internal. Ketegangan dalam suatu kelompok dapat dihindarkan untuk tidak merugikan kelompok lain jika ketegangan tersebut dapat diproyeksikan ke suatu sumber lain yang ada di luar. Ikatan-ikatan sosial dengan kelompok luar juga dapat muncul karena beberapa alasan seperti keinginan untuk berdamai dengan musuh daripada aktif berjuang melawannya. Tetapi kelompok yang ingin berdamai dengan kelompok luar ini dianggap sebagai


(40)

pengkhianat. Coser mengemukakan jika konflik dapat menyebabkan perang, atau jika kelompok itu memeliki pembagian kerja yang tinggi, maka sentralisasi kekuasaan kemungkinan akan naik, namun kondisi seperti ini bisa dihindari jika ada koordinasi. (Doyle 1990: 196)

1.6.4 Konflik dan Solidaritas dalam Kelompok

Coser mengemukakankonflik internal dapat menguntungkan secara positif. Hal ini didasari oleh pernyataannya yang mengatakan bahwa semua hubungan sosial pasti memiliki hubungan sosial tertentu, ketegangan-ketegangan, dan perasaan-perasaan negatif. Hal ini ditujukan terhadap hubungan kelompok dalam yaitu hubungan yang intim dan segmental dan sekunder. Ketegangan dan perasaan-perasaan negatif yang tidak dapat dielakkan ini merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau penghargaan-penghargaan lainnya, karena banyak dari penghargaan-penghargaan merupakan sumber daya yang langka dan mempunyai tingkat kompetisi tertentu yang harus dihadapi. Ketegangan yang ada dalam semua hubungan sosial dikarenakan individu-individu berbeda satu sama lain dalam kebutuhan, tujuan pribadi, keterampilan, kemampuan.Bentuk ketegangan atau konflik pada tingkatan yang lebih besar akan mencerminkan apakah konflik itu diketahui secara eksplisist dan dirembukkan atau apakah konflik itu menyangkut prinsip-prinsip dasar atau isu-isu yang sekunder dalam hubungan tersebut.

Menekan konflik merupakan hal yang biasa khususnya dalam kelompok seperti keluarga, yang diharapkan untuk hidup rukun secara emosional dan


(41)

dukung mendukung dalam hubungannya. Menekan berarti bahwa kepentingan para anggota yang saling bertentang itu dilihat sebagai hal yang ganjil dan karena itu harus ditekan, tidak dibicarakan secara terbuka. Menekan konflik tidak menghilangkan kepentingan-kepentingan yang bertolak belakang . Meskipun bersifat tertutup, konflik dasar yang ditekan akan benar-benar mempengaruhi hubungan dalam kelompok dalan tersebut yang merusakkan solidaritas dan akhirnya dalam bebrapa hal menimbulkan kebencian yang sangat sulit dihadapi.

Fungsi konflik yang bersifat integratif dalam suatu kelompok atau organisasi dimana ada suatu kerangka konsensus yang lebih luas mengenai ketidaksepakatan yang terjadi. Kerangka konsensus umum mengenai masalah pokok tersebut hancur, maka tidak ada dasar lagi bagi kesatuan kelompok, konflik internal dapat mengakibatkan disintegrasi atau perpecahan kelompok. Ada tidaknya konflik terbuka dapat merupakan indikator yang menyesatkan mengenai solidaritas kelompok tersebut. Kelompok dimana sering terjadi konflik terbuka sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar daripada kelompok dimana tidak ada konflik sama sekali. Persatuan yang utuh dalam kelompok tersebut biasanya diselimuti ketegangan dan permusushan. Jika ketegangan ini meledak, maka integrasi kelompok dapat menjadi rusak. Coser menekankan semskin erat suatu hubungan semakin besar kemungkinan munculnya sifat antagonistik maupun keteganga. Coser juga mengungkapkan semakin intim hubungan semakin besar pula perasaan yang dicurahkan , semakin besar pula kecenderungan untuk menekan perasaan bermusuhan.(Doyle, 1990:199).


(42)

1.6.5 Konflik Sebagai Suatu Stimulus Integrasi Antarkelompok

Perubahan sering terjadi dalam sifat hubungan antar kelompok dalam dan kelompok-kelompok lainnyansebagai hasil dari konflik. Konflik sering memeperkuat batas antar kelompok dalam dan kelompok luar dan meningkatkan solidaritas kelompok dalam. Jika konflik tersebut berlarut-larut , ikatan-ikatan sosial secara perlahan dapat berkembang diantara pihak-pihak yang bertentangan tersebut. Salah satu iktan seperti itu adalah dibuatnya norma dan prosedur untuk mengatur cara-cara berkonflik.

Konflik juga sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan dengan kelompok-kelompok lain. Dalam beberapa hal, antagonisme antara kelompok-kelompok yang berlainan dapat diatasi jika kelompok-kelompok ini bersatu dalam suatu koalisi untuk melawan musish. Koalisi seperti ini tergantung pada persamaan kebudayaan diantara , jumlah kepentingan bersama dan tingkat perlawanan yang menekan perubahan yang dihadapi kelompok lain. Munculnya perpecahan antara kelompok-kelompok yang bermusushan berakhir apabila banyak kepentingan dan nilai sama dalam masing-masing kelompok dan apabila kepentingankepentingan yang lain bertentangan maka kelompok kelompok yang bersangkutan harus ditekan. Jika kepentingan dan nilai yang terdapat dalam suatu koalisi dan jika kelompok-kelompok yang bertentangan tersebut bersedia menerima dan merundingkan kepentingan-kepentingan yang dikonflikkan itu maka perpecahan tidak akan begitu tajam dan isu-isu konflik lebih cenderung meliputi tujuan-tujuan tertentu yang realistik.


(43)

Kepentingan-kepentingan yang saling berkonflik dapat secara eksplisit dihadapi secara terbuka. Konflik-konflik ini terbatas sifatnyadan tidak menghasilkan permusushan antara kelompok-kelompok konflik. Meskipun konflik-konflik terdapat dalam banyak macam kelompok kepentingan dan asosiasi, keterlibatan individual dalam organisasi yang sama biasanya terbatas atau sementara sifatnya. Hasilnya adalah konflik tidak merusak solidaritas masyarakat keseluruhan, malah membantu meningkatkan solidaritas.( Doyle, 1990 :204)


(44)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis dengan perspektif konflik dan mengaitkannya dengan integrasi sosial yang dilakukan diberbagai daerah, dan etnis di Indonesia, Eka Hrendry, dkk (2013) mengungkapkan bahwa masyarakat yang tinggal di Sei Kelambu merupakan daerah yang ikut menjadi korban kerusuhan yang terjadi di Sambas, menyimpan benih integrasi sosial, dan menjadi embrio pada penguatan potensi integrasi sosial di Kalimantan Barat. Eka (2013), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terbentuknya integrasi dikarenakan oleh

1. Adanya pola pemukiman suku yang menyebar memudahkan pembauran antar suku dalam masyarakat tidak ada yang mengkonsentrasikan rumah-rumah dalam satu titik

2. kuantitas jarak fisik (tetangga) sebanding dengan kualitas jarak sosial (harmoni) hal ini bisa menghalang halangi faktor pengentalan ekslusivisme suku.

3. Ikatan kekerabatan antar warga masyarakat lewat pola perkawinan campur juga sangat mempengaruhi terbangunnya integrasi dalam masyarakat. 4. Menghilangkan perkumpulan / orgnisasi-organisasi yang berbasis suku,

karean dapat membuat masyarakat terbelah

5. Terkait modal sosial yaang dapat mempercepat atau memperluat integrasi sosial seperti persamaan historis masyarakat yang berdampak pada


(45)

kebangaan asal-usul dan sebagai penanda identitas , selain itu juga modal sosial integrasi sosial lainnya adalah kearifan lokal

6. Adanya peranan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi secara efektif dalam menjaga haarmoni dalam masyarakat. Modal budaya ini sangat penting tumbuh ditengah-tengah masyarakat yang terjadi secara sporadis sebagai tradisi yang diwariskan sehingga ketika terjadi konflik sosial, maka terjadi upaya penguatan atau revitalisasi modal budaya tersebut menjadi modal sosial terjadinya integrasi sosial dalam masyrakat.

Sejalan dengan penelitian Eka dkk (2009), dalam penelitiannya Anwar (2013), juga menemukan beberapa faktor yang dapat mempertahankan integrasi sosial dilingkungan masyarakat

1. intensitas gotongroyong antar suku yang kental diberbagai kegiatan masyarakat desa seperti panggelan (selamatan), perkawinan, peringatan hari keagamaan. Dalam kegiatan gotong-royong, masyarakat desa tak sekedar menyumbangkan tanaga, tetapi juga menyumbangkan bantuan material dalam pesta perkawinan, guna memenuhi kebutuhan pokok pesta perkawinan,

2. selain itu adanya toleransi antar umat beragama sangat ditekankan.

Dalam penelitian Sakti (2012) terkait dengan orientasi nilai budaya dan potensi konflik batak toba muslim dan kristen di Sumatera Utara Kabupaten Asahan, menemukan bahwa Toba Muslim dan Toba Kristen di daerah tersebut diwarnaai konflik pada tahun 2010. Migrasi yang dilakukan Toba Kristen dari


(46)

kampung induk ke kabupaten Asahan, umumnya mengalami penolakan dari Toba Muslim , Batak Melayu

1. Sikap dan kebiasaan hidup sehari-hari.

Toba muslim sangat antipati pada hewan peliharaan anjing dan babi milik Toba Kristen.

2. Pola hidup dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.

Toba Kristen hidup dengan cara yang kurang dan tidak peduli dengan persoalan kebersihan dan kenyamanan.

Integrasi sosial yang terbangun berdasarkan ikatan primordialisme kesukuan dan kesamaan budaya kelihatannya mulai mengalami perubahan. Perasaan emosional sebagai sebuah kelompok dengan identitas budaya yang sama mulai digantikan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. Pada tataran empiris ternyata kesamaan entitas budaya semata belum memastikan bahwa konflik sosial tidak akan terjadi. Konflik sosial seperti pelemparan rumah rumah ibadat, pengrusakan barang barang antar masyarakat setempat serta tindakan tindakan seperti pengrampasan yang terjadi menunjukkan bahwa meskipun diyakini nilai-nilai budaya dan kearifan lokal orang Batak dianggap efektif meredam konflik sosial sesama orang Batak yang berbeda agama, namun sebagian nilai budayanya juga berpotensi memunculkan konflik sosial. Meskipun secara konsepsi kebudayaan, dikarenakan kesamaan latar belakang sosio-kultural orang Batak diikat oleh perasaan persaudaraan yang erat.

Pemicu konflik sosial yang terjadi di tahun 2010 dikarenakan oleh beberapa faktor:


(47)

a. Adanya perbedaan agama

Perbedaan agama sampai level tertentu telah menjadikan sekat-sekat komunikasi dan interaksi sosial antara warga meskipun memiliki latar belakang budaya sama.

Perbedaan agama dan keyakinan, pada tataran empiris ternyata berdampak pada konsepsi mereka tentang halak kita. Meski sama-sama orang Batak, variabel agama tetap menjadi bagian yang sangat menentukan dalam proses interaksi sosial sesama orang Toba. Perbedaan agama sampai tingkat tertentu telah membatasi interaksi sosial mereka yang berlatar belakang keyakinan keagamaan yang berbeda. Kesaamaan agama juga menentukan suatu hubungan sosial, hal ini dilihat dari pengelompokan marga marga batak toba yang berdasarkan agama. Walaupun sama-sama etnis batak toba yang semarga, namun jika berbeda agama, etnis toba yang bergama non muslim tidak bisa ikut bergabung dalam perkumpulan marga tersebut, demikian juga sebaliknya. selain itu perbedaan agama dalam hal ini menjadi faktor penting dalam persaingan antar kelompok sosial dan konflik.

b. Adanya perubahan kebudayaan dan pola interaksi antara sesama orang batak

Munculnya konflik antarwarga bersumber dari adanya perubahan kebudayaan dan pola interaksi sesama orang Batak. Penyebabnya adalah perubahan kebudayaan pada orang-orang Batak. Partuturan sudah tidak lagi ditanamkan, yang dengan partuturan ini akan muncul sopan santun


(48)

dan sikap saling menghargai.Informasi ini menggambarkan bahwa komunikasi dan interaksi sosial yang berlangsung sangat terbatas. Terbatasnya interaksi tersebut memang sengaja dilakukan oleh kelompok pemuda Islam di Haunapitu. Sebab tidak banyak di antara mereka yang tertarik melakukan kebiasaan kumpul dan minum tuak di kedai-kedai pakter tuak

c. Pada masyarakat primordial, suku dan agama dianggap sebagai dasar utama dalam pengelompokan sosial. Karena itu tidak dapat dihindari bahwa pembentukan komunitas-komunitas di dalam masyarakat selalu mengacu pada kesamaan atau perbedaan suku dan agama.

d. Konsepsi persaudaraan yang awalnya berdasarkan kesamaan budaya berubah menjadi kesamaan agama.

e. Adanya streotype dan prasangka terhadap sesama etnis yang berbeda agama.

Di daerah rantaunya, meskipun hidup berdampingan, wilayah segragasi desa dan variabel sosial lainnya seperti ekonomi dan pola komunikasi sosial yang cenderung tertutup secara tidak terduga telah mendorong munculnya stereotipe dan praduga-praduga negatif yang secara tersembunyi berpotensi menimbulkan konflik sosial.

Orang Toba Kristen memandang Toba Muslim tidak memiliki komitmen dan kesetiaan terhadap nilai-nilai budayanya, dikarenakan Toba Muslim menganggap sebagian dari nilai-nilai kebudayaan Batak Toba Syirik menurut Toba Muslim, sementara itu Toba muslim melebelkan Toba


(49)

Kristen merupakan batak gingging (orang batak yang mempunyai watak keras kepala). Label negatif ini menunjukkan sikap keras dan mau menang sendiri yang ditujukan pada mereka. Tidak hanya itu, mereka juga dicap ambisius dan rakus serta menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuan, terutama ekonomi dan keuntungan individu.

f. Proses interaksi sosial antar etnis di dalam desa masih sangat tertutup, tidak hanya terbatas dalam interaksi sosial sehari-hari kedua kelompok yang sama-sama berlatar etnis Batak tersebutpun sangat terbatas. Perbedaan agama sampai level tertentu telah menjadikan sekat-sekat komunikasi dan interaksi sosial antara warga meskipun memiliki latar belakang budaya sama. Tingkat keterikatan pada nilai-nilai primordialisme kesukuan serta budaya berkurang.

g. Adanya wilayah pemukiman yang tersegregasi berdasarkan agama, pola pemukiman yang demikian membuat proses interaksi sosial sangat terbatas.

h. Konflik lebih dominan dikarenakan adanya persaingan dalam bidang ekonomi, yaitu persaingan dalam mendapatkan harta kekayaan atau hamoraon., karena orang Batak Toba memiliki pandangan bahwa daerah perantauan merupakan perluasan dari kampung halaman. Dengan pandangan yang demikian, orang Toba memiliki misi perluasan kampung halaman dengan mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi (sahala harajaon) di perantauan. Pertimbangan halal-haram dalam membangun kekayaan bukan menjadi pertimbangan utama. Sebab itu kompetisi dan persaingan


(50)

ekonomi merupakan unsur yang sangat potensial dalam memicu konflik antar kelompok sosial. Orientasi nilai budaya yang terlalu tinggi dalam memperoleh hamoraon ini pada Toba Kristen dikuatkan pula dengan pandangan mereka tentang konflik. Individu Toba Kristen cenderung lebih berani menghadapi konflik dan tidak menghindarinya. Adapun individu Toba Muslim cenderung menghindarkan diri dari konflik. Tetapi jika tidak terpecahkan konflik sesuatu yang harus dihadapi juga. Dalam konteks ini individu Toba sama-sama berpotensi untuk memunculkan konflik.

Sementara itu,Eriyanti (2013) dalam penelitiannya mengenai aspek sosio budaya, kebijakan pemerintah, mentalitas terhadap integrasi sosial pada masyarakat Sumatera Barat, juga menemukan bahwa satu-satunya potensi konflik di bidang sosio budaya pada masyarakat minangkabau adalah perbedaan agama, apalagi kalau pendatang itu menyebarkan agama mereka kepada orang Minangkabau dan/atau mendirikan tempat ibadah selain masjid di tengah-tengah masyarakat Minangkabau.

Terkait disintegrasi sosial / disorganisasi sosial, dalam penelitian Ria manurung (2005), menemukan bahwa terjadinya disintegrasi sosial / disorganisasi sosial antara etnis Tionghoa dan Pribumi, dipicu oleh:

1. Masih terdapat jarak sosial objektif antara etnik 2. Kurang positifnya persepsi antar etnik

3. Adanya sentimen kebudayaan leluhur dengan cara tetap memegang teguh tradisi leluhurnya yang ekstrim dan cenderung bersifat anti pati. Hal ini tercermin dalam Chiness culturalism, yaitu rasa kesatuan dan keterikatan


(51)

pada pola-pola kehidupan dan tanah leluhur yang menunjukkan tingginya etnosentrisme etnis Cina serta kurang memperdulikan norma-norma kehidupan sosial kultur pihak lain

Banyak studi membuktikan bahwa konflik nyaris tidak pernahdapat terselesaikan secara tuntas, sekalipun kelompok yang berbeda tersebut sebagian diantaranya telah terjadi asimilasi dan hubungan personal yang akrab. Secara teoritis pada tingkat individu, konflik memang dapat dieliminasi dengan adanya proses interaksi sosial yang intens dan mekanisme cross cutting-affilation. Tetapi pada tingkat kelompok yang namanya prasangka, streotip, dendam akan tetap ada. Perseteruan seperti yang dikatakan Paul Spencer dalam Narwoko dan Suyato (2004) pada dasarnya dampak dari terjadinya suatu kematian yang menimbulkan perasaan dendam berdarah antar kelompok yang berseteru. Perseteruan biasanya hanya dapat diredam melalui aksi kekerasan yang diwarnai dengan pertumpahan darah yang dianggap sebagai bentuk penyelesaian yang rasional. Jika dalam kurun waktu tertentu konflik antar-etnis belum meledak, maka itu semua hanyalah jeda sosial yang fungsinya sekadar menunda konflik terbuka yang sesungguhnya. (Narwoko dan Suyanto 2004: 201)

Diferensiasi sosial di satu sisi memang mudah tergelincir dan dimanipulasi hingga melahirkan disorganisasi sosial atau disintegrasi sosial. Tetapi disisi yang bersamaan, adanya diferensiasi sosial sebenarnya tidak selalu berubah menjadi konflik jika masyarakat dapat menjaga dan mengelola konflik. Studi yang dilakukan Nasikun (1984), menemukan ada dua faktor yang menyebabkan konflik di masyarakat pluralis meletup menjadi konflik terbuka, yakni:


(52)

1. cross-cutting affilation 2. cross-cutting loyalities

Menurut Nasikun, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affilation). Karena dengan demikian, setiap konflik yang terjadi diantara kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities)dari para anggota masyarakat terhadap berbagai anggota masyarakat terhadap berbagai kelompok sosial. Konflik antar suku bangsa, misalnya akan segera diredusir oleh bertemunya loyalitas agama atau daerah. Perselisishan golongan yang berbeda etnis. Dalam banyak kasus bisa diredam atau bahkan dihilangkan bila pihak-pihak yang berselisih memiliki persamaan dalam agama yang dianut atau berasal dari wilayah yang sama. Tanpa adanya keanggotaan dan loyalitas yang bersifat silang-menyilang, maka diferensiasi sosial akan menjadi benih yang cepat atau lambat bisa menyebabkan disorganisasi sosial. . (Narwoko dan Suyanto 2004: 205)

Terlepas dari penelitian-penelitian diatas, sebuah studi yang dilakukan FISIP Universitas Airlangga, menemukan paling tidak ada tiga faktor sosial yang berfungsi positif mengeliminasi agar perbedaan etnis, kelompok sosial yang ada tidak meruncing menjadi pergesekan sosial yang manifest. Pertama, karena adanya pola hubungan yang bersifat “simboiosis-mutualisme” antar satuan unit sosial yang berbeda dalam kegiatan produksi. Seorang etnis madura yang bekerja pada jurangan Cina, misalnya ia tidak akan mempersoalkan status dan peran sosialnya sepanjang dalam soal upah dapat disepakati oleh kedua belah pihak, dan


(53)

satu sama lain saling bertoleransi dengan caranya masing-masing. Dengan kata lain, tanpa harus melakukan dan terjadi asimilasi kultural, asalnya dalam hubungan produksi yang berjalan terbangun pola hubungan yang patront-client yang adil, maka konflik pun relatif dapat ternetralisir, bahkan dapat menumbuhkan hubungan sosial yang erat dan saling membutuhkan. Kedua, karena adanya forum dan zona netral yang dapat dijadikan pertemuan antar-etnis yang secara kultural berbeda- yang berfungsi dalam melahirkan cross-cutting loyalitie. Dengan menjalin hubungan sosial dan komunikasi yang intensif, antar etnis satu dan yang lain, ataupun antar kelompok sosial bukan saja semakin mengenal karakter masing-masing, tetapi disana secara perlahan akan mulai tumbuh kesadaran bahwa antar satu kelompok sosial atau etnis dengan kelompok sosial atau etnis yang lain memang berbeda namun tidak harus saling mensubordinasi. Empati dan toleransi adalah dua hal yang tumbuh bersamaan dengan makin intensifnya kegiatan yang saling menyapa antar-individu, kelompok sosial, bahkan etnis yang berbeda dalam sebuah titik pertemuan yang netral. Interaksi sosial suatu kelompok sosial yang berbeda tidak selalu berlangsung tulus, namun masing-masing pihak harus menyadari perlunya kerja sama dan sikap saling menoleransi, maka perselisihan yang frontal pun dapat dihindari. Ketiga, karena sense of belonging yang tinggi dari tokoh masyarakat dan agama serta lembaga sosial untuk tetap menjaga dan mencegah kemungkinan terjadinya konflik horizontal yang terbuka. (Narwoko dan Suyanto 2004 :203)

Dalam penelitian Saputra (2010) terkait integrasi sosial multietnik di desa gerokgak, menemukan adanya harmonisasi yang tercipta diantara masyarakat


(54)

tersebut sekalipun desa tersebut terdiri dari beragam etnis dan agama. Integrasi sosial semacam ini yang terdapat pada daerah tersebut menurut Saputra (2010) dalam penelitiannya kendala,yang kerap kali terjadi sebagai penghalang terjadinya suatu integrasi yakni di desa Gerokgak adalahsebagai berikut :

a. Lemahnya komunikasi yang terjadi antar masyarakat sehingga menimbulkan suatu miss communication yang dapat menimbulkan suatu kesalahpahaman baik dalam menerima informasi maupun yang lainnya. b. Adanya suatu sifat egoisme dari masyarakat itu sendiri sehingga lebih

menonjolkan sikap individualis yang berlebihan. Dari data dan fakta yang ada, hal ini memang benar adanya. Sikap egois dan individualis serta kurangnya informasi yang ada sangat membahayakan serta sangat menghambat terjadinya suatu integrasi. konflik yang kerap kali terjadi pada masyarakat khususnya terjadi karena mereka mementingkan individu mereka sendiri atau biasanya disebut dengan sifat Egoisme. Tidak dapat dipungkiri bahwa keegoisan seseorang akan dapat menimbulkan dampak khususnya dampak yang tidak baik bagi keberlangsungan hidupnya disebabkan kita adalah makhluk sosial. Dari penelitian Saputra (2010), menemukan bahwa fakta yang ada diatas memang benar adanya. Sikap egois dan individualis serta kurangnya informasiyang ada sangat membahayakan serta sangat menghambat terjadinya suatu integrasi

Dari studi kepustakaan yang dilakukan peneliti dari jurnal-jurnal terkait integrasi sosial , menemukan berbagai bentuk terciptanya Integrasi sosial. Integrasi sosial juga dikarenakan adanya media integrasi. Hidayat


(55)

mengungkapkan (2012), mengungkapkan bahwa terjadinya Integrasi sosial dikareknakan adanya media, 3 media integrasi tersebut , antara lain

a. Agama dan aktivitas ritual bersama merupakan media integrasi.

Agama merupakan salah satu alat pengintegrasi antara Etnis Banjar dengan Etnis Madura. Melalui berbagai kegiatan ritual-ritual keagamaan, masyarakat yang berbeda budaya ini berbaur menjadi satu. Kedua suku ini dapat terintegrasi oleh kesamaan agama (Islam). Melalui acara-acara ritual keagamaan, mereka berbaur dan saling bersilaturrahmi sehingga bisa dijadikan sebagai media untuk saling memahami antar dua kebudayaan yang berbeda Walau berbeda etnis, etnis Banjar dan etnis memiliki kesamaan yaitu agama. Beberapa ajaran agama Islam yang mengajarkan bahwa antara laki-laki dan perempuan adalah saudara. Persaudaraan yang dibangun atas jalinan kesamaan agama telah menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda baik dalam garis keturunan atau darah maupun dalam berbudaya. Nilai persaudaraan inilah yang dapat meredam potensi konflik yang muncul dalam proses interaksi.

b. Hukum, penegakan hukum dalam masyarakat telah menimbulkan rasa hormat masyarakat terhadap hak orang lain. Selain itu penegakan hukum jelas menghindarkan adanya dominasi kekuatan antara dua kelompok, karena dalam hal ini, yang memiliki kekuatan tertinggi adalah hukum yang berlaku. Intinya, Penegakan hukum merupakan salah satu alat di dalam menangkal terjadinya konflik antar kelompok masyarakat.


(56)

c. Sikap saling mengormati. Sikap saling menghormati yang ditunjukkan oleh etnis Madura yang menghormati budaya lokal mampu menumbuhkan pemahaman yang baik pada masyarakat etnis Banjar.

d. Adanya posisi sejajar antara Etnis Banjar dan Etnis Madura dalam proses perdagangan mengingat keduanya sama-sama mempunyai tradisi berdagang menciptakan posisi yang berimbang di antara keduanya

e. Selain itu faktor pertahanan juga patut diperimbangkan, karena rapinya masalah pertanahan ini telah meredam kemungkinan konflik karena faktor pertanahan yang banyak terjadi di berbagai tempat

Hampir sama dengan Hidayat (2010), Eriyanti (2013), dalam penelitiannya menyangkut aspes sosio-budaya, kebijakan pemerintah dan mentalitas yang berpanguruh dalam integrasi sosial masyarakat Sumatera barat menemukan bahwa Sumatera Barat satu dari wilayah Indonesia, juga memiliki masyarakat yang beragam dari segi suku dan agama. Penduduk asli adalah etnik Minangkabau dan memeluk agama Islam. Sejauh ini masyarakat pendatang hidup aman dan damai dengan masyarakat Minangkabau, bahkan ada yang masuk dalam struktur sosial Minangkabau. Meskipun terjadi konflik, namun tidak menjadi konflik yang berkepanjangan dan mendalam. Konflik di Sumatera Barat yang pernah terjadi pun hanya sebatas pertikaian antar kelompok, tidak sampai dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk kepentingannya dan bersifat berlarut-larut. Eriyanti (2013) menyatakan bahwa masyarakat Minangkabau adalah masyarakat bersifat terbuka karena terbiasa hidup berdampingan dengan “orang lain” baik di perantauan atau di daerah sendiri. Eriyanti (2013) juga dalam penelitannya


(1)

LAMPIRAN II

KUESIONER

Petunjuk-petunjuk pengisian kuesioner

1. Bacalah pertanyaan dengan baik dan teliti

2. Pilihlah jawaban yang menurut Bapak/Ibu, saudara/saudari anggap paling tepat, yakni dengan cara memberi tanda silang (x) pada pilihan huruf yang telah disediakan

3. Diharapkan pada pengisisan angket hendaknya diisi dengan jujur karena penulis berani menjamin bahwa hasil jawaban yang diterima hanyalah untuk kepentingan penelitian saja

A. Identitas Responden Nama Lengkap :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan

Agama :

Pekerjaan :

No.Telp / HP :

1. Sejak pertama kali diadakannya pesta tugu luhutan bolon hingga yang ke-32 kalinya, apakah bapak/Ibu senantiasa hadir dalam pesta tersebut? a. Ya, saya selalu hadir setiap tahunnya

b. Saya tidak terlalu sering hadir c. Saya tidak pernah hadir

2. Dalam pesta tugu luhutan bolon, tujuan dibuatnya pengelompokkan sesama marga berdasarkan 7 marga dari keturunan Raja Silahisabungan bertujuan untuk...

a. Mempererat tali persaudaraan/ silahturahmi sesama marga

b. Mengenal lebih jauh anggota sesama marga yang berasal dari daerah yang berbeda


(2)

c. Sebagai ajang pamer terhadap marga lain bahwa marga mereka yg paling sukses

3. Apakah bapak/ibu jika pesta tugu luhutan bolon mempunyai fungsi untuk memperkuat tali persaudaraan diantara pomparan Raja Silahi Sabungan yang tersebar diseluruh Indonesia?

a. Setuju

b. Kurang setuju c. Sangat setuju d. Tidak setuju

4. Dalam pesta tugu luhutan bolon, dari berbagai rentetan kegiatan, kegiatan mana yang menurut bapak/ibu mampu menjaga ikatan solidaritas dan tali persaudaraan?

a. Kegiatan di penghujung acara yaitu menari/ manortor bersama semua pomparan RajaSilahisabungan

b. Kegiatan makan bersama dengan keturunan/ pomparan Raja Silahisabungan

c. Kegiatan berziarah bersama kemakam Raja Silahisabungan d. Kegiatan beribadah menurut agama masing-masing

5. Menurut Bapak/ Ibu, Apakah anda setuju bahwa setiap rentetan kegiatan dari pesta tugu luhutan bolon ini mempunyai tujuan untuk mempersatukan setaip keturunan/pomparan Raja Silahisabungan?

a. Setuju b. Sangat setuju c. Kurang setuju d. Tidak setuju

6. Menurut bapak/Ibu, mampukah pesta tugu luhutan bolon ini menjadikan setiap pompran/ keturunan raja Silahisabungan berbaur satu sama lain tanpa melihat latar belakang, status sosial, dan agama?

a. Mampu

b. Sangat mampu c. Kurang mampu


(3)

d. Tidak mampu

7. Apakah faktor perbedaan agama sangat mempengaruhi berjalannya integrasi sosial dalam pelaksanaan pesta Raja silahisabungan?

a. Sangat mempengaruhi b. Mempengaruhi

c. Kurang mempengaruhi d. Tidak mempengaruhi

8. Menurut bapak/ ibu, apakah pomparan/ keturunan raja silahisabungan ini sudah mampu menjalin tali persaudaraan lewat pesta tugu luhutan bolon ini?

a. mampu

b. Sangat mampu c. Kurang mampu d. Tidak mampu

9. Apakah setiap pomparan/keturunan Raja Silahisabungan mampu menghormati dan menghargai setiap perbedaan agama yang ada saat pesta tugu luhutan bolon berlangsung?

a. Sangat mampu b. Mampu

c. Kurang mampu d. Tidak mampu

10.Setujukah bapak/ibu selaku popmparan/ keturunan Raja Silahisabungan bahwa poda sagu-sagu marlangan dianggap sebagai norma hukum yang harus ditaati oleh pomparan Raja Silahisabungan?

a. setuju

b. kurang setuju c. sangat setuju d. tidak setuju


(4)

11.Menurut Bapak/Ibu apakah aplikasi dari isi Poda Sagu-Sagu Marlangan terlihat jelas diterapkan oleh setiap pomparan keturunan Raja Silahisabungan?

a. Ya, terlihat jelas

b. Tidak ada penerapan sama sekali c. Kurang diterapkan

d. Sangat diterapkan

12.Dari dahulu kala hingga sampai saat ini keturunan Raja Silahisabungan masih tetap utuh dan tidak tercerai berai. apa faktor terbesar yang mendukung terjaganya keutuhan keturunan Raja Silahisabungan ini... a. Adanya hukum poda sagu-sagu marlangan

b. pesta tugu upacara luhutan bolon

c. Adanya cabang organisasi punguan marga Silahisabungan yang tersebar diberbagai daerah di Indonesia


(5)

LAMPIRAN III

Profil Informan

Nama :

Usia :

Marga :

Pendidikan :

Agama :

Jenis Kelamin : Suku Bangsa :

Alamat :

Daftar Interview Guide

1. Sebutkan dan jelaskan, kegiatan apa saja yang mendukung hubungan antar pomparan/keturunan Raja Silahisabungan dapat terjalin secara intens!

2. Bagaimana bentuk kerjasama yang diadakan setiap panitia pesta tuguluhutan bolon yang terpilih dalam melaksanakan berjalannya Pesata Tugu Luhutan Bolon ini dengan baik?

3. Apa yang melatar belakangi diadakannya pesta tugu luhutan Bolon setiap tahunnya?

4. Sejauh manakah pesta tugu luhutan bolon mampu mempertahankan integrasi sosial (satu kesatuan) pomparan Raja Silahisabungan?

5. Apakah setiap rentetan kegiatan dari setiap Pesa Tugu luhutan Bolon ini mampu mengintegrasi ( mempersatukan ) setiap Pomparan/ketruanan Raja Silahisabungan?

6. Jika terjadi konflik inter kelompok marga maupun antar kelompok marga dari pomparan/keturunan Raja Silahisabungan, apakah menurut Bapak/Ibu ada peranan dari tokoh / lembaga masyarakat yang turut ambil bagian dalam penyelesaian konflik?


(6)

7. Jika terjadi konflik/masalah dalam keturunan/pomparan Raja Silahisabungan , langkah langkah apa saja yang diambil untuk mendamaikan pihak yang berkonflik?

8. Bagaimana bentuk unsur-unsur lokal dari aspek kebijakan para tokoh dan penatua pomparan Raja Silahisabungan yang menjadi potensi integrasi sosial dalam keturunan Raja Silahisabungan?

9. Terkait masalah silahiraja yang mengaku anak pertama dari Raja Silahisabungan, bagaimana para tokoh dari pomparan raja Silahisabungan menyikapi hal tersebut?

10.Apakah yang dilakukan para tokoh untuk mengantisipasi agar keturunan/pomparan Raja Silahisabungan tidak ikut bergabung dan mendukung kelompok silahiraja untuk masuk dan mengakui kelompok tersebut menjadi Pomparan Raja Silahisabungan?

11.Bagaimana Poda sagu-sagu marlangan sebagai norma hukum pomparan Raja Silahisabungan, dalam mengatur atau menyelesaikan konflik antar pomparan / keturunan Raja Silahisabungan pada masa sekarang ini?

12.Norma hukum Pomparan/keturunan Raja Silahisabungan adalh Poda Sagu-sagu marlangan. Mampukah Poda Sagu-sagu marlangan ini mengikat dan mengatur perilaku setiap keturunan Raja silahisabungan untuk tetap bersatu dan saling mengasihi satu dengan yang lain?

13.Sejauh manakah Poda-sagu sagu marlangan ini sudah mampu mempertahankan kesatuan yang terjalin antar Kelompok marga Silahisabungan?


Dokumen yang terkait

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

6 104 155

KEPERCAYAAN KETURUNAN RAJA SILAHISABUNGAN TERHADAP BATU SIGADAP DI DESA SILALAHI NABOLAK KECAMATAN SILAHISABUNGAN KABUPATEN DAIRI.

1 8 21

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 1 31

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi) SKRIPSI

0 0 11

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 10

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Ka

0 1 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi)

0 0 31

Fungsi Pesta Luhutan Bolon Tugu Raja Silahisabungan dalam Mempertahankan Integrasi Sosial Pomparan Raja Silahisabungan (Studi Kasus pada Masyarakat Silalahi Nabolak, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi) SKRIPSI

0 0 11