Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Pemerintah Indonesia
saat ini
berusaha mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih sebagai upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga
menimbulkan kewibawaan di sektor lainnya terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu upaya mewujudkan keinginan tersebut,
pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan BarangJasa Pemerintah
selanjutnya disebut Keppres No. 80 Tahun 2003. Pembentukan peraturan ini bertujuan agar pengadaan barangjasa
instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan
layak bagi pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas
Pemerintah dan pelayanan masyarakat. Istilah manipulasi sering dipersamakan dengan persekongkolan
dalam ranah kegiatan tender di Indonesia. Hal tersebut manipulasi atau persekongkolan oleh masyarakat hampir selalu berkonotasi negatif. Hal
ini terlihat dari berbagai kamus, salah satunya Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang mengartikan kata ‘persekongkolan’ sebagai permufakatan atau kesepakatan untuk melakukan kejahatan.
3
Hal serupa juga disebutkan dalam Black’s Law Dictionary, persekongkolan atau conspiracy didefinisikan sebagai penyatuan maksud
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, h. 893.
antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama.
4
Manipulasi atau persekongkolan penawaran tender bid rigging termasuk salah satu
perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran, dan cenderung menguntungkan pihak yang
terlibat dalam persekongkolan. Persekongkolan tender sendiri di Indonesia akan mengakibatkan
kegiatan pembangunan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab dan
pemenang tender yang bersekongkol mendapatkan keuntungan jauh di atas harga normal, namun kerugian tersebut dibebankan kepada masyarakat
luas. Dalam cabang ilmu Sosiologi, tipe kejahatan ini merupakan ekses dari perkembangan ekonomi yang terlalu cepat dan hanya menekankan
pada aspek material-finansial belaka.
5
Penegakan hukum persaingan usaha salah satunya dapat dilakukan oleh lembaga yang berwenang di bidang persaingan usaha, yaitu Komisi
Pengawas Persaingan Usaha KPPU. KPPU memiliki kewenangan yang setara dengan penegak hukum lainnya Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan
Mahkamah Agung akan tetapi KPPU hanya dapat menjatuhkan sanksi administratif. Hal tersebut disebutkan pada Pasal 47 UU No. 5 Tahun
1999, bahwa KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
4
Black’s Law Dictionary, Fifth Edition St. Paul Minn.: West Publishing, 1979, p. 280.
5
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke- 29, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, h. 409.
administratif. Walaupun KPPU hanya memiliki otoritas menjatuhkan sanksi
administratif terhadap para pihak akan tetapi UU No. 5 Tahun 1999 mengatur mengenai pemberian sanksi berupa denda administratif yang
dicantumkan dalam diktum atau amar putusan.
6
Hal tersebut diatur dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:
―Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 dua
puluh miliar rupiah.‖ KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda
administratif tersebut secara kumulatif ataupun alternatif. Namun demikian terdapat ketidakjelasan mengenai sanksi tersebut sehingga pada
tanggal 31 Juli 2008, KPPU menerbitkan aturan teknis soal denda dan ganti
rugi yang
diatur dalam
Keputusan KPPU
Nomor 252KPPUKepVII2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal
47 UU No. 5 Tahun 1999 selanjutnya disebut Pedoman Pelaksanaan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999.
7
Namun mengenai besaran pembebanan sanksi denda tersebut belum ada standar yang secara baku menjadi rujukan oleh Majelis
Komisioner di KPPU meskipun telah ada Pedoman Pelaksanaan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999. Sehingga memerlukan pedoman pelaksanaan yang
lebih rinci karena tidak cukup jika hanya dibentuk pedoman untuk
6
Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, tanpa cetakan, Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Lechnische Zusammenarbeit GTZ GMBH, 2009, h. 343.
7
Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, h. 343.
menetapkan ukuran mengenai besaran nilai sanksi denda tersebut. Kaitannya dengan hal tersebut, penjatuhan sanksi denda administratif
merupakan suatu upaya penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU selaku lembaga yang berwenang melakukan
pemeriksaan dan memberi putusan awal. Berkaitan dengan hal itu, maka penulis memfokuskan pada aspek
sanksi denda administratif dalam pelanggaran terhadap persekongkolan tender. Sebab menurut penulis terjadi suatu disparitas atas putusan sanksi
denda adminsitratif tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’disparitas’ berarti perbedaan atau jarak.
8
Sedangkan menurut Black’s Law
Dictionary, kata ‘disparitas’ diartikan sebagai ketidaksetaraan atau
perbedaan kuantitas atau kualitas antara dua atau lebih dari sesuatu.
9
Secara yuridis formal, kondisi ini diparitas tidak dapat dianggap telah melanggar hukum, meskipun demikian seringkali orang melupakan
bahwa elemen ‘keadilan’ pada dasarnya harus melekat pada putusan yang
diberikan oleh hakim.
10
Pada kasus yang coba penulis angkat adalah disparitas atas penjatuhan sanksi denda administratif pada persekongkolan tender. Hal ini menjadi
sesuatu yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sebab beberapa
8
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, h. 270.
9
Black’s Law Dictionary, Fifth Edition St. Paul Minn.: West Publishing, 1979, P. 482.
10
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003,
Jakarta: KHN, 2003, h. 28.
putusan KPPU pada kasus persekongkolan tender diputus dan dijatuhkan sanksi denda administratif yang bervariasi disparitas. Sehingga
disparitas putusan sanksi denda yang dilakukan KPPU perlu dikaji agar memperoleh suatu kepastian hukum bagi para pihak serta sejalan dengan
tujuan penjatuhan sanksi denda administratif. Selain itu berdasarkan Laporan Tahunan KPPU Tahun 2013,
sebanyak 150 laporan 78,5 yang masukdi KPPU merupakan kasus persekongkolan tender. Sisanya sebesar 41 laporan 21,5 dari total 191
laporan yang ditangani KPPU adalah laporan non-tender.
11
Sehingga aspek persekongkolan tender begitu menarik untuk dibahas dan dilakukan
penelitian lebih mendalam. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penulis tertarik untuk
melakukan kajian mendalam terkait dengan disparitas penjatuhan sanksi administratif berupa sanksi denda pada kasus persekongkolan tender di
Indonesia yang ditangani oleh KPPU dengan menerapkan dalam kasus persekongkolan tender yang diputus oleh Mahkamah Agung, yakni
Putusan MA Nomor 118 KPdt.Sus-KPPU2013. Penelitian ini diberi judul sebagai berikut:
“DISPARITAS PUTUSAN
SANKSI DENDA
PADA PERSEKONGKOLAN TENDER Studi Putusan MA Nomor 118
KPdt.Sus-KPPU2013 ”
11
KPPU RI, Laporan Tahunan Tahun 2013, Jakarta: KPPU, 2013, h. 3.