Eksekusi Putusan Upaya Hukum Keberatan, Kasasi, dan Eksekusi Putusan

a Apabila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU dalam tenggang waktu yang diberikan undang-undang Pasal 46 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999; atau b Apabila Pengadilan Negeri menolak alasan-alasan keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dan tidak ada permohonan Kasasi dalam tenggang waktu yang ditentukan undang-undang Pasal 45 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1999; atau c Apabila Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi menolak alasan-alasan Keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha. Putusan KPPU yang berisi sanksi administratif disebut dengan condemnatoir atau putusan yang bersifat menghukum. Sedangkan putusan yang isinya menyatakan bahwa pelaku usaha tertentu secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 disebut putusan declaratoir atau bersifat menerangkan. 23 Setiap putusan condemnatoir mengandung kekuatan eksekusi. 24 Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan bersifat condemnatoir wajib dilaksanakan oleh pelaku usaha. Ada dua cara melaksanakan putusan, yaitu: a Secara sukarela; atau b Dengan cara upaya paksa. Pelaksaan putusan secara sukarela berarti pelaku usaha memenuhi sendiri dengan sempurnya segala kewajibannya sesuai dengan amar putusan KPPU. Dalam tenggang waktu 30 tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan putusan, pelaku usaha wajib 23 Anna Maria, Sanksi Dalam Perkara Persekongkolan Tender Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: KPPU, 2007, h. 30. 24 Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, h. 109. melaksanakan putusan tersebut dan melaporkan pelaksanaannya kepada KPPU. 2 Pelaksanaan Secara Perdata Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan putusan secara sukarela, maka berdasarkan Pasal 44 ayat 4 dan Pasal 46 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999, KPPU dapat menempuh dua upaya hukum, yaitu: a KPPU meminta penetapak eksekusi kepada Pengadilan Negeri Pasal 46 ayat 2; b KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyelidikan. Permintaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri merupakan aspek perdata dimana untuk melaksanakan sanksi administratif yang dikenakan oleh KPPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999. Eksekusi perdata terbagi atas dua jenis, yaitu: a Eksekusi riil; dan b Eksekusi pembayaran sejumlah uang. Eksekusi riil adalah jenis eksekusi putusan yang menghukum pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu yang bukan berupa pembayaran sejumlah uang. 25 Sedangkan eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah jenis eksekusi yang menghukum pelaku usaha untuk membayar sejumlah uang tertentu. Oleh karena dalam penelitian ini penulis fokus terhadap 25 Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, h. 110. sanksi denda sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 ayat 2 huruf g, maka prosedur eksekusi pembayaran sejumlah uang dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut: a Penyampaian peringatan aanmaning kepada pelaku usaha; b Perintah ekseksusi; c Penjualan lelang. Pelaksanaan peringatan ini dilaksanakan dengan cara pemanggilan pihak yang dihukum pelaku usaha untuk menghadap Ketua Pengadilan Negeri. Apabila peringatan tersebut tidak dipenuhi, Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan yang berisi perintah kepada Panitera atau Juru Sita untuk menjalankan eksekusi. Dalam UU No. 5 Tahun 1999, KPPU tidak memiliki kewenangan meletakan sita jaminan conservatoir beslag terhadap harta benda pelaku usaha. Oleh karena itu, Ketua Pengadilan Negeri –atas permintaan KPPU— meletakan sita eksekusi terhadap harta benda pelaku usaha sebagai jaminan. 26 Setelah sita eksekusi, tahap selanjutnya adalah penjualan di depan umum lelang. Pengadilan Negeri yang berwenang melaksanakan Putusan KPPU dibedakan atas Pengadilan Negeri yang memutuskan keberatan atau tempat kedudukan hukum pelaku usaha. 3 Pelaksanaan Secara Pidana KPPU dapat menyerahkan putusannya kepada penyidik 26 Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, h. 113. untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku. Penyerahan itu dilakukan karena KPPU tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku usaha. Tujuan penyerahan kepada penyidik adalah untuk menerapkan sanksi pidana, yaitu: a Pidana pokok Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu pidana denda atau pidana kurungan pengganti denda; b Pidana tambahan Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu: i. Pencabutan izin usaha; atau ii. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 dua tahun dan selama-lamanya 5 lima tahun; atau iii. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pihak lain. Dalam hal Putusan KPPU telah mempunyai kekuatan hukum tetap, artinya tidak diajukan upaya hukum Keberatan atau jika diajukan upaya hukum Keberatan atau Kasasi atas putusan tersebut Majelis Hakim mengabulkan dan berakibat putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut. Namun, jika pelaku usaha tidak melaksanakannya secara sukarela, maka KPPU memiliki hak menyerahkan putusan tersebut kepada Penyidik untuk dilakukan penyidikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 ayat 4 UU No. 5 Tahun 1999. Sehingga pada akhirnya hakim pidana menjatuhkan hukum pidana kepada pelaku usaha berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1999. 44

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI SANKSI DALAM HUKUM

PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

A. Sanksi dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Seperti halnya dalam bidang hukum lainnya, maka dalam bidang Hukum Persaingan Usaha berlaku prinsip bahwa tidak ada gunanya sebagus dan sesempurna apa pun peraturan tertulis jika hal tersebut tidak bisa diwujudkan ke dalam praktek. 1 Agar praktek sesuai dengan yang dikehendaki oleh peraturan tertulis, maka aspek pelaksanaan hukum law enforcement juga harus diatur, diarahkan, dan dilaksanakan secara rapi. Jika tidak, ketentuan tertulis hanya menjadi macan kertas yang sia-sia. 2 Dalam UU No. 5 Tahun 1999 mengenal sanksi administratif dan pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, Pasal 4 Sherman Act dan Pasal 15 Clayton Act ditetapkan bahwa jika yang melakukan tuntutan itu adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah, maka dapat dituntut equitable sanction dan criminal sanction. Sedangkan jika yang menuntut adalah perseorangan atau class action, Pasal 9 Sherman Act dan Pasal 19 Clayton Act disebutkan dapat menuntut 1 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, Cet. Ke-1 Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, h. 117. 2 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, h. 117. secara injunctive relief dan treble damages. 3 Selain itu dalam UU No. 5 Tahun 1999 dibentuk suatu komisi yang menegakkan hukum persaingan usaha, bernama Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU. KPPU dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999 Tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. secara kewenangan, KPPU hanya diberikan oleh UU No. 5 Tahun 1999 sebatas sanksi administratif karena pada prinsipnya KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi-sanksi pidana atau perdata. 4

B. Sanksi Denda Administratif

Selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU No. 5 Tahun 1999, in casu KPPU berwenang melakukan tindakan administratif. Sanksi administrasiadministratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif. Pada umumnya sanksi administrasiadministratif berupa: 1 Denda misalnya yang diatur dalam PP No. 28 Tahun 2008, 2 Pembekuan hingga Pencabutan sertifikat danatau izin misalnya yang diatur dalam Permenhub No. KM 26 Tahun 2009; 3 Penghentian sementara pelayanan administrasi hingga pengurangan jatah produksi misalnya yang diatur dalam Permenhut No. P.39MENHUT-II2008 Tahun 2008; 4 Tindakan administratif misalnya yang diatur dalam Keputusan KPPU No. 252KPPUKEPVII2008 Tahun 2008 Pengenaan denda administratif ditujukan kepada mereka yang 3 Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Analisis dan Perbandingan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Cet. Ke-1, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, h. 113. 4 Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, h. 117.