Disparatis putusan sanksi denda pada persekongkolan tender (studi putusan MA perkara Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH :

NANDA NARENDRA PUTRA NIM : 1111048000045

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Nanda Narendra Putra Nim : 1111048000045

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Nur Habibi, S.HI., M.H. NIP. 196509081995031001 NIP.197608172009121005

K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

(4)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Februari 2015


(5)

Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1436H/ 2015M. xii + 87 halaman + 5 halaman Daftar Pustaka + Lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang disparitas sanksi denda administratif pada kasus persekongkolan tender di Indonesia, khususnya pada upaya hukum Keberatan pada Pengadilan Negeri hingga Kasasi pada Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013. Dalam penelitian ini akan dibahas faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya disparitas dalam menjatuhkan sanksi denda administratif mulai dari penanganan perkara oleh Komisi Pengawas Perasaingan Usaha (KPPU), upaya Keberatan pada Pengadilan Negeri, dan upaya Kasasi pada Mahkamah Agung.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Yuridis Normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, diantaranya Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), Pendekatan Sejarah (Historycal Approach) dan Pendekatan Kasus (Case

Approach). Undang-undang yang digunakan, diantaranya Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama ini disparitas besaran nilai sanksi denda administratif dalam kasus Persekongkolan Tender terjadi karena perbedaan pendapat Majelis Komisoner KPPU dan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung dalam memberikan pertimbangan . Selain itu juga secara yuridis rumusan norma dalam Pasal 47 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 tentang sanksi denda administratif membuat potensi penjatuhan sanksi denda yang bervariasi (disparitas).

Kata kunci : Disparitas, Sanksi Denda, Persekongkolan Tender, KPPU, Putusan Mahkamah Agung.

Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum. Nur Habibi, SH.I., MH.


(6)

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan semesta alam yang hanya dengan hidayah dan nikmat dari-Nya lah skripsi penulis yang berjudul ”DISPARITAS PUTUSAN SANKSI DENDA PADA PERSEKONGKOLAN TENDER (Studi Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013)” dapat terselesaikan dengan baik. Ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan pada Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Tidak mudah bagi penulis untuk membuat membuat karya seperti ini dikarenakan berbagai keterbatasan yang dimiliki, namun hal ini penulis jadikan motivasi rangkaian pengalaman hidup yang berharga. Selesainya penelitian ini tidak terlepas dari elaborasi keilmuan yang penulis dapatkan dari kontribusi banyak pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin sampaikan setulus hati ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode tahun 2015-2018 dan Dr. J.M. Muslimin, MA., Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode tahun 2014-2015.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Arip Purkon, MA., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan waktu luang, saran, dan masukan dalam kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

3. Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum., Dosen Pembimbing I dan Nur Habibi, SH.I., MH., Dosen Pembimbing II yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, arahan, saran, kritik dan masukan serta persetujuan terhadap skripsi ini dan dalam proses penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak atas kesediaan meluangkan waktu, tenaga, dan perhatiannya kepada Penulis, semoga Allah Swt. membalas kebaikan beliau.

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah bersedia memberikan data dan juga wawancara untuk kepentingan penulisan skripsi ini.

5. Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah yang telah memudahkan Penulis dalam mencari informasi berupa buku-buku serta penelitian selama proses penulisan skripsi ini.

6. Ahmad Bahtiar, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik yang selalu ramah dan terbuka dengan Penulis. Selain itu juga selalu siap dan mempermudah Penulis dalam mengurus segala sesuatu birokrasi selama menjadi Mahasiswa di Ilmu Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

Penulis dan orang banyak serta mendapat balasa dari Allah Swt.

8. Kedua orang tua Penulis, (Almarhum) Papa Raden Mas Sudarendro Nawanto, semoga tenang disana dan Mama Nining Martiningsih agar selalu diberi kesehatan dan selalu mendoakan dan memberikan dukungan sekaligus menjadi inspirasi penulis dalam menulis tulisan ini. Tanpa mereka Penulis tidak bisa menjadi seperti sekarang ini. Tidak lupa untuk kakak dan adik penulis, (Almarhumah) Nian Rhenanda Ayu, semoga tenang disana dan Nandini Anugerah Ramadani Putri, yang semoga juga bisa menjadi sarjana. 9. Muhammad Yasin, S.H., M.H selaku Redaktur Media Hukumonline.com yang

telah banyak berkontribusi dalam penulisan skripsi ini. Mulai dari pemberian atas saran isu yang akan diteliti hingga sampai pada proses teknis penulisan skripsi ini. Berkat bimibingan, saran, dan motivasi darinya, Penulis juga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.

10.Abdul Razak Asri, S.H selaku Pemimpin Redaksi Media Hukumonline.com yang memberikan kesempatan kepada Penulis untuk belajar menjadi Reporter atau Jurnalis. Dimana atas kesempatan itu, Penulis bisa mendapatkan akses berupa kemudahan-kemudahan dalam bertemu narasumber yang terkait dengan skripsi ini. Selain itu, mendapat akses untuk memperoleh buku-buku atau daftar bacaan koleksi milik Hukumonline.com dan koleksi Daniel S Lev Law Library.

11.Mochamad Isnaeni dan Vini selaku Humas KPPU serta Pak Dendy R. Sutrisno, selaku Kepala Bagian Kerjasama Dalam Negeri yang telah membantu Penulis dalam meminta data dan wawancara ditengah kesibukan yang penulis ketahui dan masih menyempatkan untuk bisa wawancara secara pribadi di luar KPPU, terima kasih atas perhatiannya selama ini.

12.Pimpinan Perpustakaan Daniel S. Lev Law Library, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kemudahan pada Penulis dalam mengakses buku, Jurnal, dan bacaan lainnya serta membolehkan meminjam buku-buku kepada Penulis dalam waktu yang relatif lama.

13.Erista Kurnia Putri, S.H selaku teman, sahabat, terkadang rival bagi Penulis yang telah memberikan motivasi, semangat, dan dorongan agar cepat-cepat menyelesaian skripsi ini agar memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H). Penulis berjanji dengannya agar bisa menjadi Jaksa Penuntut Umum yang sukses dan bisa menjadi calon kuat the next Jaksa Agung, Amin yaa rabbal allamin. 14.Dwi Puji Apriyantok selaku teman dan sahabat dalam melakukan

persekongkolan tender. Terima kasih sejak dafar ulang, OPAK/Ospek, hingga saat ini masih menjadi teman berdebat dan bermain. Sukses bareng-bareng pak!.

15.Teman-teman yang tergabung dalam Skripsweet (group whatsapp menjelang skripsi), Azhar Nur, Dwi Puji, Ridwan Ardy, Rizky Firdaus, Ayu Eza, Ade Putra, Gari Ichsan, Mazda Hamdi, Ahmad Bustomi, dan Rizki Arisandi yang selalu update informasi-informasi terkini seputar dunia kampus yang terkait


(8)

Banun, Afwan, Andrio, Angga, Ian, Lisan, Rifki, Hambali, Nevo, Matsyah, Rudi, Syawal, dll yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Semoga kita semua menjadi lulusan yang sukses!

17.Teman-teman Redaksi di Hukumonline.com, kakak dan abang Ali, Jimi, Abon, Hasyri, Fitri, Kartini, Riri, Rofiq, Fathan, Agus, Reza, Eni, Amrie. 18.Semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang

tidak bisa Penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah Swt. memberikan berkah serta karunia dan membalas kebaikan mereka, amin yaa

raball allamin.

Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih dan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata di dalam penulisan skripsi ini yang membuat tidak berkenan bagi pihak tertentu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca. Sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, 19 Februari 2015


(9)

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERTANYAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI...ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 8

F. Kerangka Konseptual ... 10

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KAJIAN TEORI MENGENAI PERSEKONGKOLAN TENDER .. 21

A. Pemahaman Persekongkolan Tender dalam Hukum Persaingan Usaha20 1. Pengertian Tender Secara Umum dan Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 ... 20

2. Ruang Lingkup Persekongkolan Tender Secara Umum dan Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 ... 22

3. Dampak Persekongkolan Tender Pada Persaingan Usaha ... 27

B. Penanganan Persekongkolan Tender di KPPU ... 30

1. Alat Bukti Pemeriksaan di KPPU ... 30

2. Pembuktian Persekongkolan Tender di KPPU ... 33


(10)

B. Sanksi Denda Administratif ... 45

C. Sanksi Pidana Denda ... 48

D. Sanksi Pidana Tambahan ... 51

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SANKSI DENDA PADA PERSEKONGKOLAN TENDER DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ... 53

A. Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013 Kasus Lelang Pekerjaan di Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan. .. 53

1. Kasus Posisi ... 53

2. Argumen Para Pihak ... 56

3. Pendapat Majelis Hakim ... 57

B. Analisis Disparitas Sanksi Denda dalam Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013... 59

1. Eksekusi Putusan dan Sikap Para Pihak Terhadap Putusan ... 59

2. Analisis Disparitas Penerapan Sanksi Denda ... 61

BAB V PENUTUP ... 85

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 88


(11)

Persaingan Usaha (KPPU)

2. Surat Keterangan telah melakukan wawancara di KPPU 3. Hasil wawancara dengan pihak KPPU


(12)

Indonesia merupakan Negara yang berdasarkan atas hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang berbunyi: ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖. Oleh sebab itu, segala aspek kehidupan baik pada sektor pelayanan publik, pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, dan sebagainya haruslah tetap berpegang teguh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Segala bentuk atau tindakan yang melanggar atau menodai kemurnian hukum yang berlaku di Indonesia, maka disanalah ditegakkan kedaulatan hukum.

Berdasarkan pertimbangan untuk memulai penegakan hukum pada suatu sistem ekonomi yang demokratis tanpa adanya pihak yang menguasai, pada tanggal 5 Maret 1999 telah diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara 1999-33) (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 1999).1 Sejarah pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 kala itu dibentuk berdasarkan hasil inisiatif DPR Indoneisa sejak NKRI terbentuk.2

1

Tim Dosen Pengajar FHUI, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, tanpa cetakan, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008), h. 3.

2

Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, tanpa cetakan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 6.


(13)

Pemerintah Indonesia saat ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih sebagai upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga menimbulkan kewibawaan di sektor lainnya terutama dalam hal penegakan hukum. Salah satu upaya mewujudkan keinginan tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Keppres No. 80 Tahun 2003).

Pembentukan peraturan ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien, dengan prinsip persaingan sehat, transparan, terbuka, dan perlakuan yang adil dan layak bagi pihak, sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas Pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Istilah manipulasi sering dipersamakan dengan persekongkolan dalam ranah kegiatan tender di Indonesia. Hal tersebut (manipulasi atau persekongkolan) oleh masyarakat hampir selalu berkonotasi negatif. Hal ini terlihat dari berbagai kamus, salah satunya Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengartikan kata ‘persekongkolan’ sebagai permufakatan atau kesepakatan untuk melakukan kejahatan.3

Hal serupa juga disebutkan dalam Black’s Law Dictionary, persekongkolan atau conspiracy didefinisikan sebagai penyatuan (maksud)

3

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 893.


(14)

antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama.4 Manipulasi atau persekongkolan penawaran tender (bid rigging) termasuk salah satu perbuatan yang dianggap merugikan negara, karena terdapat unsur manipulasi harga penawaran, dan cenderung menguntungkan pihak yang terlibat dalam persekongkolan.

Persekongkolan tender sendiri di Indonesia akan mengakibatkan kegiatan pembangunan yang berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dikeluarkan secara tidak bertanggung jawab dan pemenang tender yang bersekongkol mendapatkan keuntungan jauh di atas harga normal, namun kerugian tersebut dibebankan kepada masyarakat luas. Dalam cabang ilmu Sosiologi, tipe kejahatan ini merupakan ekses dari perkembangan ekonomi yang terlalu cepat dan hanya menekankan pada aspek material-finansial belaka.5

Penegakan hukum persaingan usaha salah satunya dapat dilakukan oleh lembaga yang berwenang di bidang persaingan usaha, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU memiliki kewenangan yang setara dengan penegak hukum lainnya (Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung) akan tetapi KPPU hanya dapat menjatuhkan sanksi administratif. Hal tersebut disebutkan pada Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999, bahwa KPPU memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi

4Black’s Law Dictionary, Fifth Edition

(St. Paul Minn.: West Publishing, 1979), p. 280.

5

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Ke- 29, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 409.


(15)

administratif.

Walaupun KPPU hanya memiliki otoritas menjatuhkan sanksi administratif terhadap para pihak akan tetapi UU No. 5 Tahun 1999 mengatur mengenai pemberian sanksi berupa denda administratif yang dicantumkan dalam diktum atau amar putusan.6 Hal tersebut diatur dalam Pasal 47 ayat (2) huruf g UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:

―Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).‖

KPPU dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa denda administratif tersebut secara kumulatif ataupun alternatif. Namun demikian terdapat ketidakjelasan mengenai sanksi tersebut sehingga pada tanggal 31 Juli 2008, KPPU menerbitkan aturan teknis soal denda dan ganti rugi yang diatur dalam Keputusan KPPU Nomor 252/KPPU/Kep/VII/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pelaksanaan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999).7

Namun mengenai besaran pembebanan sanksi denda tersebut belum ada standar yang secara baku menjadi rujukan oleh Majelis Komisioner di KPPU meskipun telah ada Pedoman Pelaksanaan Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999. Sehingga memerlukan pedoman pelaksanaan yang lebih rinci karena tidak cukup jika hanya dibentuk pedoman untuk

6

Andi Fahmi Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Kontex, tanpa cetakan, (Jakarta: Deutsche Gesellschaft fur Lechnische Zusammenarbeit (GTZ) GMBH, 2009), h. 343.

7


(16)

menetapkan ukuran mengenai besaran nilai sanksi denda tersebut. Kaitannya dengan hal tersebut, penjatuhan sanksi denda administratif merupakan suatu upaya penegakan hukum persaingan usaha yang dilakukan oleh KPPU selaku lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan dan memberi putusan awal.

Berkaitan dengan hal itu, maka penulis memfokuskan pada aspek sanksi denda administratif dalam pelanggaran terhadap persekongkolan tender. Sebab menurut penulis terjadi suatu disparitas atas putusan sanksi denda adminsitratif tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’disparitas’ berarti perbedaan atau jarak.8 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, kata ‘disparitas’ diartikan sebagai ketidaksetaraan atau perbedaan kuantitas atau kualitas antara dua atau lebih dari sesuatu.9 Secara yuridis formal, kondisi ini (diparitas) tidak dapat dianggap telah melanggar hukum, meskipun demikian seringkali orang melupakan bahwa elemen ‘keadilan’ pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.10

Pada kasus yang coba penulis angkat adalah disparitas atas penjatuhan sanksi denda administratif pada persekongkolan tender. Hal ini menjadi sesuatu yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sebab beberapa

8

Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 270.

9Black’s L

aw Dictionary, Fifth Edition (St. Paul Minn.: West Publishing, 1979), P. 482.

10

Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta: KHN, 2003), h. 28.


(17)

putusan KPPU pada kasus persekongkolan tender diputus dan dijatuhkan sanksi denda administratif yang bervariasi (disparitas). Sehingga disparitas putusan sanksi denda yang dilakukan KPPU perlu dikaji agar memperoleh suatu kepastian hukum bagi para pihak serta sejalan dengan tujuan penjatuhan sanksi denda administratif.

Selain itu berdasarkan Laporan Tahunan KPPU Tahun 2013, sebanyak 150 laporan (78,5%) yang masukdi KPPU merupakan kasus persekongkolan tender. Sisanya sebesar 41 laporan (21,5%) dari total 191 laporan yang ditangani KPPU adalah laporan non-tender.11 Sehingga aspek persekongkolan tender begitu menarik untuk dibahas dan dilakukan penelitian lebih mendalam.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian mendalam terkait dengan disparitas penjatuhan sanksi administratif berupa sanksi denda pada kasus persekongkolan tender di Indonesia yang ditangani oleh KPPU dengan menerapkan dalam kasus persekongkolan tender yang diputus oleh Mahkamah Agung, yakni Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013. Penelitian ini diberi judul sebagai berikut:

“DISPARITAS PUTUSAN SANKSI DENDA PADA

PERSEKONGKOLAN TENDER (Studi Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013)”

11


(18)

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Penelitian ini tidak membahas aspek Hukum Persaingan Usaha secara umum melainkan hanya membahas pada salah satu aspek, yaitu Persekongkolan Tender. Kemudian pada aspek Persekongkolan Tender ini yang digali oleh penulis juga menyempit kepada ranah penegakan hukum pada penegakan Hukum Persaingan Usaha, yaitu fokus terhadap penjatuhan sanksi berupa sanksi denda administratif. Sebagai bahan penelitian juga penulis hanya berfokus melakukan analisis pada Putusan Mahkamah Agung terkait dengan kegiatan Persekongkolan Tender pada tahun 2010, yaitu Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013.

2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah dan pembatasan masalah sebagaimana diuraikan di atas, maka rumusan permasalahan yang

dibahas dalam proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana KPPU menerapkan dan merumuskan sanksi denda serta melaksanakan eksekusi pada kasus persekongkolan tender? b. Apakah disparitas sanksi denda administratif pada Putusan

Mahkamah Agung Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013 telah sesuai dengan tujuan penjatuhan sanksi denda dan memenuhi kepastian hukum?


(19)

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian:

a. Untuk mengetahui KPPU menerapkan sanksi denda dan melaksankan eksekusi dalam Persekongkolan Tender.

b. Untuk mengetahui disparitas sanksi denda pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013.

2. Manfaat

a. Memberikan sumbangan pikiran bagi keilmuan khususnya ilmu yang berkaitan dengan Hukum Persaingan Usaha.

b. Untuk memberikan masukan kepada lembaga-lembaga Negara dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah

Agung dalam menegakkan hukum berkaitan dengan persaingan usaha.

c. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi positif terhadap upaya-upaya penegakkan terhadap persaingan usaha yang baik dan berkeadilan.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penelitian yang terkait dengan skripsi ini berjudul ‖Analisis Yuridis Putusan KPPU Nomor 16/KPPU-L/2009 Tentang Persekongkolan Tender Jasa Kebersihan (Cleaning Service) di Bandara Soekarno Hatta‖,


(20)

yang disusun oleh Maulana Ichsan Setiadi, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi tersebut memberikan penjelasan mengenai prakek persekongkolan tender dalam pengadaan jasa kebersihan di lingkungan Bandara Soekarno Hatta. Skripsi tersebut lebih menitik beratkan pada aspek undang-undang, yaitu dengan melihat rumusan pasal-pasal terhadap kasus yang terjadi di lapangan.

Adapun skripsi lainnya yang berjudul ‖Analisis Perilaku Conscious

Parallelism dalam Pembuktian Persekongkolan Tender‖, yang disusun

oleh Kristiono Utomo, Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Skripsi tersebut menjelaskan tentang doktrin Conscious

Pararllelism yang membantu proses pembuktian pelanggaran dalam

praktek persekongkolan tender yang ditangani oleh KPPU. Skripsi tersebut lebih menitik beratkan pada aspek pelaksanaan doktrin hukum, yaitu melakukan pembuktian dengan melihat fakta hukum yang dikaitkan juga dengan doktrin hukum.

Adapun buku terkait yang berjudul ‖Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha)‖, yang ditulis oleh L. Budi Kagramanto yang dicetak oleh Penerbit Srikandi tahun 2008. Buku tersebut membahas aspek persekongkolan tender yang dilihat dari perspektif hukum persaingan usaha di Indonesia. Sehingga yang membedakan skripsi dan buku tersebut dengan skripsi yang sedang penulis angkat adalah dalam skripsi ini penulis fokus membahas mengenai aspek


(21)

sanksi denda yang akan dijatuhi apabila tindakan persekongkolan tender terbukti, sehingga penulis merasa tidak ada kesamaan antara skripsi dan buku tersebut dengan skripsi yang penulis sedang teliti.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah pedoman yang lebih konkrit dari teori, yang berisikan definisi operasional yang menjadi pegangan dalam proses penelitian yaitu pengumpulan, pengelolaan, analisis dan kontruksi data dalam skripsi ini. Adapun beberapa pengertian yang menjadi konseptual skripsi ini akan dijabarkan dalam uraian dibawah ini:

a. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha ekonomi.

b. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang, dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

c. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi


(22)

kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Konsep persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. Pembentuk UU memberi tujuan persekongkolan secara limitatif, yaitu untuk menguasai pasar bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol.

d. Pasar bersangkutan adalah pasar yang terkait dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang, dan atau jasa tersebut. Penguasaan pasar merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan, termasuk dalam kegiatan tender.12

e. Persekongkolan dalam kegiatan tender menurut pengertian di beberapa Negara merupakan perjanjian beberapa pihak untuk memenangkan pesaing dalam suatu kegiatan tender.

f. Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Pengertian tender mencakup tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan, mengadakan barang dan atau jasa, membeli suatu barang dan atau jasa, menjual suatu barang dan atau jasa.13

12Yakub Adi Krisanto, ―Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik

Putusan tentang Persekongkolan Tender‖, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 24 No. 2, 2005, h. 42.

13

KPPU RI, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, (Jakarta:KPPU, 2005), h. 7.


(23)

g. Barang adalah setiap benda, baik berujud maupun tidak berujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sedangkan barang tidak berujud diartikan sebagai jasa.

h. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.

F. Metode Penelitian

Penulis memperhatikan metode penulisan penelitian dengan berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dirancang oleh Pusat Pengembangan dan Penjaminan Mutu (PPJM) pada tahun 2012.

1. Tipe Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu karangan tertentu.14

Adapun penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang

14

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), h. 42.


(24)

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yang bersifat yuridis-normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengacu pada norma hukum dalam ketentuan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.15

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan tipe penelitian yang bersifat yuridis-normatif.

Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan persekongkolan tender pada hukum persaingan usaha. Sedangkan pendekatan normatif digunakan untuk permasalahan berdasarkan konsep-konsep hukum.

Untuk lebih tajam dalam megupas teori-teori terkait dengan judul yang diangkat, maka penulis memakai beberapa bentuk pendeketan, diantaranya:

a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Dengan pendekatan perundang-undangan ini, penulis dapat mengupas permasalahan dengan menggunakan peraturan

15

Soerjono Soekanto, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Universitas Indonesia, 1979), h. 18.


(25)

perundang-undangan yang berlaku.16 Diantaranya UU Nomor 5 Tahun 1999, Keppres Nomor 80 Tahun 2003, dsb. b. Pendekatan Sejarah (Historycal Approach)

Dengan pendekatan sejarah, penulis dapat membandingkan penanganan kasus serupa yang telah lampau.17 Diharapkan dengan mengetahui sejarah penanganan kasus pada masa lalu, dapat ditemukannya suatu gagasan baru yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa dengan judul yang diangkat.

c. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Dengan pendekatan kasus, penulis dapat mengetahui putusan-putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap untuk dianalisis. Dan kemudian dikembangkan serta dikolaborasikan dengan permasalahan kekinian yang mungkin dapat dilakukan dengan berpedoman kepada putusan-putusan.18 Dalam hal ini putusan yang dimaksud tidak hanya berupa putusan pengadilan melainkan berupa putusan dari lembaga KPPU, yakni Putusan KPPU Perkara Nomor 26/LKPPU-L/2010 dan Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013.

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009 Ed. 1. Cet.5), h. 96.

17

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 126

18


(26)

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian

Mengenai sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Data Primer

Data primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data hasil wawancara dengan pejabat pemerintah yang terkait dengan masalah persaingan usaha, yaitu Humas KPPU. b. Data Sekunder

Menurut kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat digolongkan

menjadi tiga golongan, yaitu: a. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat19 seperti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keppres No. 80 Tahun 2003, Putusan Perkara Nomor 26/LKPPU-L/2010 dan Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan mengenai Persaingan usaha.

b. Sumber Bahan Hukum Sekunder

19


(27)

Sumber bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu bahan-bahan yang membahas atau menjelaskan sumber bahan hukum primer yang berupa buku teks, jurnal hukum, majalah hukum, pendapat para pakar serta berbagai macam referensi yang berkaitan mengenai Persaingan usaha. c. Sumber Bahan Hukum Tersier

Sumber bahan hukum tersier yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan dan memberikan informasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus hukum, media internet, buku petunjuk atau buku pegangan, ensiklopedia serta buku mengenai istilah-istilah yang sering dipergunakan mengenai hukum persaingan usaha.

4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka dan wawancara atau

interview.20 Penulis mencoba menggabungkan kedua alat

pengumpulan data tersebut dalam menganalisis suatu kasus yang hendak dilakukan penelitian. Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan

20


(28)

mempergunakan ‖content analysis‖. Sedangkan wawancara digunakan oleh penulis sebagai deskripsi tambahan dengan mengeksplorasi dari hasil wawancara dengan pihak-pihak terkait, yaitu Humas KPPU.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun setelah bahan hukum terkumpul, bahan hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dengan mempergunakan ‖content

analysis‖.

Content Analysis adalah teknik untuk menganalisa tulisan atau

dokumen dengan cara mengidentifikasi secara sistematis ciri atau karakter dan pesan atau maksud yang terkandung dalam tulisan dalam suatu dokumen. Selain itu menganalisis dengan content analysis membantu penulis dalam membaca serta memahami gagasan dalam suatu tulisan. Selain itu cara mengolah data dilakukan dengan cara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalhan konkret yang dihadapi.21

7. Sistematika Penulisan

Adapun dalam penulisan proposal skripsi ini, Penulis membaginya ke

21

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. Ke-2, (Malang:Bayumedia Publishing, 2006), h. 393.


(29)

dalam lima bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab I ini terdiri dari uraian mengenai latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, maksud dan tujuan penulisan, manfaat penulisan, kerangka teori dan kerangka konseptual, metodologi penulisan dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : KAJIAN TEORI MENGENAI HUKUM

PERSAINGAN USAHA

Dalam Bab II ini terdiri dari uraian yang menjelaskan kajian konsepsi yang merupakan dasar dari Persekongkolan tender.

BAB III : TINJAUAN UMUM MENGENAI SANKSI

DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA

Dalam Bab III ini terdiri dari uraian mengenai sanksi hukum denda dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Uraian tentang Sanksi-sanksi denda yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999.

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN SANKSI DENDA PADA PERSEKONGKOLAN TENDER DI PROVINSI SUMATERA SELATAN.


(30)

Dalam Bab IV ini terdiri dari uraian hasil analisis yang dikembangkan serta berkaitan dengan teori pada Bab II dan Bab III. Kemudian analisis atas Putusan MA Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013 dikaitkan dengan sanksi denda dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.

BAB V : PENUTUP

Dalam Bab V ini penulis akan menyimpulkan materi karya ilmiah dari pokok permasalahan dan memberikan saran-saran yang berguna bagi negara Indonesia, lembaga atau instansi terkait serta masyarakat luas.


(31)

A. Pemahaman Persekongkolan Tender dalam Hukum Persaingan Usaha 1. Pengertian Tender Secara Umum dan Berdasarkan UU Nomor 5

Tahun 1999

Tender dalam hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai pengertian tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Pengertian tender mencakup tawaran untuk mengajukan harga untuk memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan, mengadakan barang dan atau jasa, membeli suatu barang dan atau jasa, menjual suatu barang dan atau jasa.1 Tawaran dilakukan oleh pemilik kegiatan atau proyek, dimana pemilik dengan alasan keefektifan dan keefisienan apabila proyek dilaksanakan sendiri maka lebih baik diserahkan pihak lain yang mempunyai kapabilitas untuk melaksanakan proyek atau kegiatan.

Permasalahan Tender merupakan salah satu hal yang menjadi objek dalam Hukum Persaingan Usaha. Tender atau lelang itu sendiri menurut peraturan perundang-undangan, yaitu:

1) Perpres No. 95 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketujuh Atas Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah

1

KPPU RI, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, (Jakarta:KPPU, 2005), h. 7.


(32)

Tender atau Pengadaan Barang / Jasa adalah kegiatan pengadaan barang / jasa yang dibiayai dengan APBN atau APBD, baik yang diselenggarakan secara swakelola

maupun oleh penyedia barang / jasa.

2) Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tender adalah mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau menyediakan jasa.

Jika pengertian tender atau lelang tersebut disimpulkan, maka tender sendiri memiliki cakupan yang lebih luas karena tender merupakan serangkaian kegiatan berupa penawaran mengajukan harga untuk:

1) Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan; 2) Mengadakan atau menyediakan barang dan atau jasa; 3) Membeli barang dan atau jasa;

4) Menjual barang dan/atau jasa, menyediakan kebutuhan barang dan/atau jasa secara seimbang dengan berbagai dengan syarat yang harus dipenuhi, berdasarkan peraturan tertentu yang ditetapkan pihak terkait.

Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dasar penerapan Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 adalah tender atau tawaran mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui:

1) tender terbuka; 2) tender terbatas; 3) pelelangan umum; 4) pelelangan terbatas.

Mekanisme yang diberikan oleh UU Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 merupakan ketentuan normatif yang melarang pelaku usaha bersekongkol dengan


(33)

pihak lain guna mengatur dan atau menentukan pemenang tender yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Larangan tersebut mencakup proses pelaksanaan tender secara keseluruhan yang diawali dari prosedur perencanaan, pembukaan penawaran, sampai dengan penetapan pemenang tender. Mekanisme tersebut merupakan payung hukum UU Nomor 5 Tahun 1999 terhadap Keppres Nomor 80 Tahun 2003, meskipun Keppres tersebut tidak menempatkan UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai salah satu landasan hukumnya.

2. Ruang Lingkup Persekongkolan Tender Secara Umum dan

Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999

Persekongkolan (conspiracy) dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai berikut:

“A combination or confederacy between two or persons formed for the purpose of commiting by their joint efforts, some unlawful or criminal act or some act, which is innocent itself, but becomes unlawful when done concerted action of the conspirators or for the purpose of using criminal or unlawful means to be commision of an act not in itself unlawful”.2

Definisi tersebut menegaskan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan kriminal atau melawan hukum secara bersama-sama. Termasuk dalam hal ini adalah persekongkolan dalam penawaran tender, baik untuk pengadaan barang dan atau jasa di sektor

2Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 5th

Editon., (Minesota: West Publising, 1998), h. 382.


(34)

publik maupun di perusahaan swasta, karena dianggap dapat menghambat upaya pembangunan suatu negara.

Istilah persekongkolan selalu berkonotasi negatif. Hal ini terlihat dari berbagai kamus yang selalu mengartikan sebagai permufakatan atau kesepakatan untuk melakukan kejahatan.3Demikian pula menurut Black’s Law Dictionary, kata ’persekongkolan’ atau conspiracy didefinisikan sebagai penyatuan (maksud) antara dua orang atau lebih yang bertujuan untuk menyepakati tindakan melanggar hukum atau kriminal melalui upaya kerjasama.4

Hal tersebut terbukti melalui perumusan-perumusan dalam berbagai kamus yang selalu mengartikan sebagai permufakatan atau kesepakatan melakukan kejahatan. Berikut merupakan pengertian tentang persekongkolan, yaitu:

Dalam kamus Dictionary of Law – L.B. Curzon, persekongkolan diartikan sebagai conspiracy, yakni:

conspiracy is if person agrees with any other person that a course

of conduct shall be pursued which if the agreement is carried out in accordance with their intentions, either can will necessarily amount to or involve the commision af any offences by one or more of the parties to the agreement or be would do so but for the existence of the facts which render any of the offences impossible, he is guilty of conspiracy to commit the offence or offence question.‖5

3Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 893.

4Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, (St. Paul Minn.: West Publishing, 1979), p. 280. 5

L.B Curzon, Conspiracy, sixth edition, (England: Pearson Education Limited, 2002), p. 88.


(35)

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan tujuan melakukan tindakan atau kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku yang melawan hukum. Sehingga terdapat dua unsur persekongkolan, yaitu: Pertama, adanya dua pihak atau lebih yang secara bersama-sama (in

concert) melakukan perbuatan tertentu, kedua, perbuatan yang dilakukan

tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.6

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Persekongkolan berasal dari kata ‘sekongkol’. Kata ‘sekongkol’ diartikan sebagai orang-orang yang bersama-sama melakukan kejahatan.7 Dari pengertian tersebut, unsur ‘sekongkol’, yang pertama adalah ada dua pihak atau lebih; kedua, bersama-sama melakukan kejahatan. Hal ini terdapat dalam Al-quran Surat An-Nisaa ayat 29, Allah Swt. berfirman:

ً ﺮ ﺠﺘ ﻜﺘ ﱠﻻ ﻞﻄ ﻠ ﻢﻜ ﻴ ﻢﻜﻠ ﻤ ﻠﻜ ﺘﻻ ﻤٰ ﻴﺬﻠ ﻴ ٰﻴ

ﻤﻴﺤﺮ ﻢﻜ ﻜ ﷲ ﺇ ۚﻢﻜﺴﻔ ﻠﺘﻘﺘﻻ ۚ ﻢﻜ ﻤ ﺾ ﺮﺘ ﻋ

۝

“ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta kamu di antara kamu dengan jalan yang bathil kecuali dengan jalan perniagaan yang berdasarkan kerelaan di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang Kepadamu.”(Q.S. An Nisa [4]:29).

6 Yakub Adi Krisanto, ―Analisis Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Karakteristik

Putusan tentang Persekongkolan Tender‖, Jurnal Hukum Bisnis, vol. 24 No. 2, 2005, h. 41.

7


(36)

Persekongkolan kerap kali dipersamakan dengan Kolusi

(collusion), yaitu sebagai ―A secret agreement between two or more people

for deceitful or produlent purpose‖, diartikan bahwa dalam hal Kolusi ini

ada suatu perjanjian rahasia yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih dengan tujuan penipuan atau penggelapan yang serupa dengan istilah konspirasi yang cenderung memiliki konotasi negatif.8

Pasal 1 angka 8 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Dalam persekongkolan selalu melibatkan dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1

The Sherman Act 1890 menyatakan bahwa, ―Every contract, combination

in the form of trust or otherwise, or conspiracy in restraint of trade commerce among the several states or with foreign nations, is declared to

be illegal…‖.9

UU No. 5 Tahun 1999 membagi 3 bentuk persekongkolan yaitu:

1) Persekongkolan untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender;

2) Persekongkolan untuk memperoleh informasi yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan;

8

Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h. 31.

9Lihat Pasal 1 The Sherman Act: ―

Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy in restraint of trade commerce among the several states or with foreign nations, is declared to be illegal…‖


(37)

3) Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang/jasa.

Persekongkolan tender diatur pada Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999, yang selengkapnya berbunyi:

‖Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.‖

KPPU memberikan definisi persekongkolan tender ketika memeriksa perkara Tender PT. Indomobil Sukses Internasional, Tbk – Putusan No. 03/KPPU-I/2003 – yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian

(concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum

penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.10

Dalam Pedoman Tentang Larangan Persekongolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dikemukakan bentuk-bentuk persengkongkolan antara lain:

10

Yakub Adi Krisanto, Pelaksanaan Keppres No. 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dan Indikasi Persekongkolan Tender Di Kota Salatiga, Jurnal Studi Pembangunan Interdisplin, (Volume XVIII No. 1 April – Juni 2006).


(38)

1) Melakukan pendekatan dan kesepakatan-kesepakatan dengan penyelenggara sebelum pelaksanaan tender;

2) Tindakan saling memperlihatkan harga penawaran yang akan diajukan dalam pembukaan tender di antara peserta;

3) Saling melakukan pertukaran informasi;

4) Pemberian kesempatan secara eksklusif oleh panitia atau pihak terkait;

5) secara langsung maupun tidak langsung kepada peserta tertentu; 6) Menciptakan persaingan semu antarpeserta;

7) Tindakan saling menyesuaikan antarpeserta; 8) Menciptakan pergiliran waktu pemenang;

9) Melakukan manipulasi persyaratan teknis dan administratif.

3. Dampak Persekongkolan Tender Pada Persaingan Usaha

Pada hakikatnya keberadaan hukum persaingan usaha adalah mengupayaka secara optimal persaingan usaha yang sehat dan efektif pada suatu pasar tertentu yang mendorong agar pelaku usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan pesaingnya. UU No. 5 Tahun 1999 dibentuk dengan tujuan memelihara pasar agar kompetitif dan terhindar dari kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan.

Secara teori, dengan berjalannya prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat pada suatu pasar akan membawa dampak yang positif kepada baik bagi produsen atau pelaku usaha maupun konsumen pada pasar yang bersangkutan. Secara langsung dengan adanya persaingan usaha yang sehat antar pelaku usaha akan memaksa pelaku usaha untuk dapat menjual produk barang atau jasanya dengan harga serendah mungkin dengan tetap mempertahankan mutu atau bahkan meningkatkan mutu dari produk barang dan jasanya.


(39)

Hal ini tentunya akan menguntungkan bagi konsumen disamping itu konsumen juga akan memperoleh keuntungan berupa kemampuan untuk memilih barang atau jasa yang dipasarkan karena banyaknya pelaku usaha yang menawarkan produk sejenis yang dipasarkan. Sehingga secara tidak langsung dalam kondisi pasar persaingan murni, pelaku usaha agar tetap bertahan harus mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya agar mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Pelaku usaha pada konteks ini dituntut untuk dapat berinovasi dalam menciptakan poduk yang memiliki kualitas pembeda atau nilai lebih dengan produk sejenisnya.

Eksistensi dan orientasi dari undang-undang antimonopoli adalah jelas menciptakan persaingan usaha yang sehat dengan cara mencegah monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat serta menciptakan ekonomi pasar yang efektif dan efisien demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain itu, undang-undang antimonopoli juga memastikan bahwa sistem ekonomi yang berdasarkan persaingan usaha dapat memotivasi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan harga yang terjangkau oleh konsumen dengan memanfaatkan sumber-sumber produksi seminimal mungkin.

Persekongkolan tender adalah suatu hambatan bagi terciptanya persaingan usaha yang sehat, sehingga dapat menimbulkan kerugian yang signifikan dalam kegiatan usaha terutama bagi para pihak yang berkaitan langsung dengan bidang-bidang usaha bersangkutan. Terhadap persaingan


(40)

usaha, persekongkolan tender menciptakan hambatan masuk (barrier to

entry) ke pasar bagi peserta tender lainnya. Persoalan ini merupakan

persoalan serius yang dihadapi dalam rangka melakukan kegiatan usahanya secara lancar.

Barrier to entry merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha

pesaing tidak dapat memasuki bidang usaha tertentu pada pasar bersangkutan karena adanya penguasaan dan kekuatan pasar yang lebih besar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki kedudukan lebih kuat. Sehingga bagi para pelaku usaha, hal tersebut merupakan masalah serius yang akan dihadapi dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Pada hakikatnya setiap pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan usahanya tanpa adanya persaingan usaha yang tidak sehat, berupa praktek monopoli, tindakan diskrimintaif dan halangan dari siapapun untuk menjalankan kegiatan usaha. Padahal dengan adanya persaingan usaha yang sehat, membuat barang dan/ atau jasa yang tersedia di pasar semakin beraneka ragam dan membuat konsumen memiliki alternatif pilihan barang dan/atau jasa.

Tanpa adanya barrier to entry yang diciptakan oleh pemerintah, maka perusahaan besar pada pasar yang terkonsentrasi terpaksa harus melakukan efisiensi terhadap perubahan yang terjadi dalam pasar karena


(41)

kehadiran pelaku usaha baru yang mampu menembus pasar tersebut.11 Dalam proses tender, para peserta tender mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi pemenang tender. Persekongkolan tender yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam proses tender akan mengakibatkan peserta tender lainnya menjadi terhalang untuk menjadi pemenang tender karena pemenangnya sudah diatur oleh pihak tertentu yang melakukan persekongkolan.

B. Penanganan Persekongkolan Tender di KPPU 1. Alat Bukti Pemeriksaan di KPPU

Prosedur penegakan hukum persaingan usaha dalam UU No. 5 Tahun 1999 yang

dilakukan oleh komisi memiliki beberapa tahap.12 Tahapan prosedur penanganan perkara dalam persaingan usaha terutama kegiatan persekongkolan tender tercakup dalam UU No. 5 Tahun 1999, Bab VII pada Pasal 38 sampai Pasal 46 mengatur tentang tata cara penanganan perkara termasuk alat bukti dalam pembuktian dugaan pelanggaran. Komisi dalam rangka membuktikan dapat menggunakan alat bukti yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999. Pada Pasal tersebut, alat-alat bukti yang digunakan oleh KPPU dalam

11

L Budi Kagramanto, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha, Cet-ke-1, (Jakarta: Srikandi, 2007), h. 203.

12

Hikmahanto Juwana, Peran Lembaga Peradilan dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha, (Jakarta: Partnership for Business Competition (PBC), 2003), h. 13.


(42)

melakukan permeriksaan, adalah:13 1) Keterangan saksi

Yang dimaksud saksi adalah setiap orang atau pihak yang mengetahui terjadinya pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan.

2) Keterangan ahli

Yang dimaksud saksi ahli adalah orang yang memiliki keahlian dibidang terkait dengan dugaan pelanggaran dan memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan.

3) Surat atau dokumen

Sebagai pembanding dalam hukum acara pidana, surat menurut Pasal 187 KUHAP dinyatakan bahwa surat sebagaimana dalam Pasal 187 ayat (1) huruf c, dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yaitu:

a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum

yang berwenang atau dibuat dihadapannya, yang dimuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-

13

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tanpa cetakan, (Medan: Pustaka Bangsa, 2004), h. 123.


(43)

undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat umum mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal/ sesuatu keadaan;

c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. Surat lain yang hanya dapat diperlakukan jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4) Petunjuk

Bandingan dengan hukum acara pidana, petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.14 Pasal 188 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari: (a) keterangan saksi; (b) surat; (c) keterangan terdakwa. Keterangan terdakwa dalam UU Nomor 5Tahun 1999 digantikan menjadi keterangan terlapor.

5) Keterangan pelaku usaha

Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang

14

Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 49.


(44)

perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam bidang ekonomi. Pembuktian termasuk juga pada suatu dugaan yang belum tentu dilakukan dan dapat cara melakukan monitoring pasar, harga, ataupun perjanjian dengan pihak ketiga. Ada suatu pendekatan yang komprehensif untuk memutuskan apakah suatu perusahaan melakukan tindakan yang rasional dalam menghadapi pasar atau dalam rangka menghadapi persaingan atau sebagai konsekuensi keikutsertaan dalam konspirasi yang bersifat anti-persaingan.15

Komisi memusatkan perhatian ketika melakukan penyelidikan pada dokumen usaha yang bersifat objektif dan memiliki kekuatan pembuktian yang khusus. Dalam melihat kebenaran dan menentukan sah atau tidaknya suatu alat bukti dengan memperhatikan perseuaian antara alat butki yang satu dengan alat bukti lainnya yang ditentukan oleh Majelis Komisi.

2. Pembuktian Persekongkolan Tender di KPPU

Dalam memutuskan perkara persekongkolan tender, KPPU menggunakan dasar hukum Pasal 22 UU Nomor 5/1999. Berdasarkan

15

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h. 123


(45)

Pasal 22 tersebut, ketentuan tentang persekongkolan tender terdiri atas beberapa unsur, yakni unsur pelaku usaha, bersekongkol, adanya pihak lain, mengatur dan menentukan pemenang tender, serta persaingan usaha tidak sehat.

Istilah ―pelaku usaha‖ diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun1999. Adapun istilah ―bersekongkol‖ diartikan sebagai kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu.16Di samping itu, unsur ―bersekongkol‖

dapat pula berupa:

1) kerjasama antara dua pihak atau lebih;

2) secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lainnya;

3) membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; 4) menciptakan persaingan semu;

5) menyetujui dan atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; 6) tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui

atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu;

7) pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender, dengan cara melawan hukum.

Kerjasama antara dua pihak atau lebih dengan diam-diam biasanya dilakukan secara lisan, sehingga membutuhkan pengalaman dari lembaga pengawas persaingan guna membuktikan adanya kesepakatan yang dilakukan secara diam-diam. Adanya unsur ―pihak lain‖

16 KPPU RI, Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, (Jakarta:KPPU, 2005), h. 8.


(46)

menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horisontal maupun vertikal dalam proses penawaran tender.

Pola pertama adalah persekongkolan horisontal, yakni tindakan kerjasama yang dilakukan oleh para penawar tender, misalnya mengupayakan agar salah satu pihak ditentukan sebagai pemenang dengan cara bertukar informasi harga serta menaikkan atau menurunkan harga penawaran. Dalam kerjasama semacam ini, pihak yang kalah diperjanjikan akan mendapatkan sub kontraktor dari pihak yang menang. Namun demikian, KPPU kadangkala menemukan unsur ―pihak lain‖ yang bukan merupakan pihak yang terkait langsung dalam proses penawaran tender, seperti pemasok atau distributor barang dan atau jasa bersangkutan.

Unsur Pasal 22 selanjutnya adalah ―mengatur dan atau menentukan pemenang tender‖. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan/atau penentuan pemenang tender tersebut meliputi, antara lain menetapkan kriteria pemenang, persyaratan teknik, keuangan, spesifikasi, proses tender, dan sebagainya. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara


(47)

horisontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.

Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya ―persaingan usaha tidak sehat‖. Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat ―…sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat‖. Pendekatan rule of reason merupakan suatu pendekatan hukum yang digunakan lembaga pengawas persaingan untuk mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan mengganggu proses persaingan.17

3. Upaya Hukum Keberatan, Kasasi, dan Eksekusi Putusan a. Pengajuan Keberatan Sebagai Upaya Hukum

Terhadap Putusan KPPU yang telah dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum sebagaimana ditentukan pada Pasal 43 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dapat menentukan sikapnya, yaitu tidak menerima isi putusan tersebut dengan cara mengajukan keberatan atau menerima isi putusan tersebut, dalam arti pelaku usaha tidak mengajukan keberatan kepada

Pengadilan Negeri.

17 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications (New York: Matthew Bender & Co., 1994), p. 85.


(48)

Pengajuan keberatan kepada Pengadilan Negeri dapat diajukan oleh pelaku usaha paling lambat 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. Keberatan sendiri merupakan upaya hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Perma No. 01 Tahun 2003. Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Perma No. 01 Tahun 2003 menentukan bahwa keberatan terhadap Putusan KPPU hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri.

Terhadap upaya keberatan tersebut, berlaku hukum acara perdata yang dalam pemeriksaan keberatan berlaku terhadap Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Perma No. 01 Tahun 2003. Penggunaan hukum acara perdata dalam pemeriksaan keberatan sangat tepat karena mengingat sifat keberatan yang diajukan pelaku usaha terhadap Putusan KPPU termasuk dalam kategori peradilan kontentius

(contentieuse jurisdictie) dan merupakan perkara perdata sesuai

dengan Pasal 393 ayat (1) HIR/RBg.18

b. Alasan-alasan Kasasi

Setelah Pengadilan Negeri menjatuhkan putusannya terhadap keberatan pelaku usaha, pihak yang tidak setuju atas putusan Pengadilan Negeri berhak mengajukan langsung upaya Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1999 yang menentukan dalam

18


(49)

waktu 14 (empat belas) haru, pihak yang keberatan terhadap Putusan Pengadilan Negeri dapat mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.

Dalam tingkat Kasasi, tidak diperiksa lagi tentang duduk perkara atau fakta-fakta sehingga tentang terbukti atau tidaknya peristiwa tidak akan diperiksa. Pemeriksaan pada tingkat Kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum.19 Tidak semua putusan judex facti dapat dimohonkan Kasasi, menurut ketentuan Pasal 30 UU Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1985), permohonan Kasasi dibatasi terhadap alasan-alasan, yaitu dalam hal:

i. Judex facti tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

dan/atau;

ii. Judex facti salah menerapkan atau melanggar hukum yang

berlaku; dan/atau;

iii. Judex facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh

peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Alasan-alasan atau keberatan tersebut dituangkan dalam Memori Kasasi. Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985, pemohon Kasasi wajib menyerahkan Memori Kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan Kasasi diajukan. Dikatakan ―wajib‖ karena pemohon Kasasi yang tidak menyerahkan Memori Kasasi akan mengakibatkan permohonan Kasasi tersebut tidak memenuhi persyaratan formil sehingga permohonan Kasasi tersebut

19

Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 4275 K/Pdt/1998, tanggal 25 Oktober 1999 dan Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 30 K/Pdt/1995, tanggal 9 Februari 1998).


(50)

tidak diperiksa dan ditolak.20

c. Eksekusi Putusan

1) Sifat-sifat Putusan yang Dapat Dieksekusi

Eksekusi adalah upaya paksa untuk melaksanakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van

gewijsde). Tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap mempunyai kekuatan untuk di eksekusi. Dalam kerangka UU No. 5 Tahun 1999, Putusan KPPU yang menyatakan pelaku usaha melanggar ketentuan undang-undang tersebut, mempunyai kekuatan eksekusi. Dalam konteks ini termasuk juga Putusan KPPU yang dimintakan keberatan kepada Pengadilan Negeri atau Kasasi kepada Mahkamah Agung, tetapi terhadap Keberatan dan Kasasi tersebut ditolak, maka

juga memiliki kekuatan eksekusi.21

Karena putusan Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung yang mengabulkan keberatan pelaku usaha tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Sehingga KPPU serta merta tidak dapat meminta pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri (fiat eksekusi). Pada prinsipnya, ada tiga faktor yang mengakibatkan suatu Putusan KPPU mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu:22

20

Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, h. 104.

21

Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha, h. 106.

22


(1)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

5. Bahwa dalam Pasal 47 (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sanksi yang

diberikan bersifat limitatif sehingga Termohon Kasasi V (KPPU) maupun

Judex Facti tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi di luar ketentuan pasal 47 (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut termasuk larangan untuk mengikuti lelang tersebut;

6. Bahwa diktum putusan Judex Facti tersebut jelas bertentangan dengan pertimbangan hukum Judex Facti sendiri pada halaman16 alinea 1, dan 2 dari putusan a quo bahwa penjatuhan sanksi berupa larangan untuk mengikuti lelang yang menggunakan APBN dan APBD di seluruh Indonesia menurut

Judex Facti tidak beralasan karena KPPU hanya diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi yang secara limitatif disebut dalam Pasal 47 (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999;

7. Bahwa akan tetapi pertimbangan hukum dan pendapat Judex Facti tersebut secara diskriminatif diberlakukan dalam putusan aquo untuk kepentingan Para Termohon Kasasi I, II, III dan IV dan tidak berlaku bagi Para Pemohon Kasasi I, Il, Ill, IV dan V karena Para Pemohon Kasasi Il, IV dan V tetap dilarang untuk mengikuti lelang yang menggunakan dana APBN dan APBD diseluruh Indonesia selama 12 bulan dan bagi Pemohon Kasasi I dan Ill;

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

mengenai keberatan-keberatan Para Pemohon Kasasi I, II, III dan IV:

Bahwa keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi masing-masing pada tanggal 21 Juli 2011, tanggal 22 Juli 2011, tanggal 25 Juli 2011 dan tanggal 9 Agustus 2011 dan kontra memori kasasi tanggal tanggal 7 Februari 2012, tanggal 29 Mei 2012 dan tanggal 25 Juni 2012, dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti, dalam hal ini Pengadilan Negeri Palembang telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:

-- Bahwa perkara Keberatan a quo diperiksa dalam register perkara tersendiri, yaitu Perkara Nomor 16/Pdt.G/2011/PN.Plg., sehingga terpisah dari Perkara Keberatan yang sama yaitu Keberatan terhadap putusan KPPU (Pemohon Kasasi II) Nomor 26/ KPPU-L/2010, dalam perkara register Nomor 24/Pdt.G/2011/PN/Plg., sehingga untuk perkara yang sama di daftar dengan nomor yang berbeda, dan oleh karena itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Perma Nomor 3 Tahun 2005;

-- Bahwa selain itu dalam putusan Judex Facti terdapat pertimbangan yang tidak konsisten yaitu bahwa hukuman terhadap Para Pemohon Keberatan (Terlapor IX, X, Hal. 51 dari 56 hal Put. Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(2)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

XI dan Terlapor XX) berupa denda perlu diperbaiki, dan sanksi berupa larangan

untuk mengikuti tender dinyatakan tidak berdasar secara hukum sehingga harus dibatalkan, namun terhadap para Turut Termohon Keberatan yang juga sebagai Terlapor bersama-sama Para Pemohon Kasasi, sanksi-sanksi tersebut tetap berlaku sehingga menimbulkan ketidak pastian hukum;

-- Bahwa Judex Facti dalam pertimbangannya menyatakan sependapat dengan KPPU bahwa terbukti telah terjadi persekongkolan horizontal dan vertikal, kecuali mengenai besarnya denda yang dijatuhkan adalah tidak logis apabila dihubungkan dengan nilai proyek;

-- Bahwa hal ini tidak dapat dibenarkan, karena menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) angka 2 huruf g Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berwenang menjatuhkan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000,00 setinggi-tingginya Rp25.000.000.000,00, oleh karenanya penentuan besarnya denda sebagaimana ditentukan dalam putusan KPPU a quo adalah dapat dibenarkan;

-- Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, putusan Judex Facti tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dibatalkan, serta Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan dan Putusan KPPU dalam perkara a quo;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: PT. SURYA EKA LESTARIdan kawan-kawan, tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 16/Pdt.G/KPPU/2011/PN/ Plg., tanggal 28 Juni 2011 yang membatalkan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 26/KPPU-L/2010, tanggal 15 November 2010, serta Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara a quo dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi/ Para Turut Termohon Keberatan dikabulkan, maka Para Termohon Kasasi/Para Pemohon Keberatan harus dihukum untuk membayar biaya perkara;

Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I

Hal. 52 dari 56 hal Put. Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(3)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mengabulkan permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi:

I. 1. PT. SURYA EKA LESTARI, 2. PT. WAHYU WIDE, 3. PT. SENTOSA RAYA;

II. 1. PT. BUNGA MULIA INDAH, 2. PT. GADING CEMPAKA GRAHA, 3. PT. DUA SEPAKAT;

III. KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA; IV. 1. PT. NUSANTARA MEMBANGUN, 2. PT. BINTANG SELATAN AGUNG,

3. PT. ARGA MAKMUR MANDIRI, 4. PT. ALAM BARU PERSADA, 5. PT. MAHALINI JAYA MANGGALA tersebut;

Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 16/Pdt.G/ KPPU/2011/PN.Plg., tanggal 28 Juni 2011;

MENGADILI SENDIRI

1. Menyatakan Terlapor I: PT. Surya Eka Lestari, Terlapor II: PT. Wahyu Wide, Terlapor III: PT. Sentosa Raya, Terlapor IV: PT. Nusantara Membangun, Terlapor V: PT. Cinta Famili, Terlapor VI: PT. Bintang Selatan Agung, Terlapor VII: PT. Arga Makmur Mandiri, Terlapor VIII: PT. Alam Baru Persada, Terlapor IX: PT. Surya Prima Abadi, Terlapor X: PT. Dwi Perkasa Mandiri, Terlapor XI: PT. Nugraha Adi Taruna, Terlapor XII: PT. Mahalini Jaya Manggala, Terlapor XIII: PT. Gemilang Permai, Terlapor XIV: PT. Medika Jaya Utama, Terlapor XV: PT. Bunga Mulia Indah, Terlapor XVI: PT Gading Cempaka Graha, Terlapor XVII: PT. Alam Permai lndah Mandiri, Terlapor XVIII: PT. Dua Sepakat, Terlapor XIX: Panitia Pengadaan Barang/Jasa Konstruksi di Dinas PU Bina Marga Kabupaten Ogan Komering Ulu APBD Tahun Anggaran 2009, dan Terlapor XX: PT. Sekawan Maju Bersama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

2. Menghukum Terlapor I: PT. Surya Eka Lestari untuk membayar denda sebesar Rp59.743.000,00 (lima puluh sembilan juta tujuh ratus empat puluh tiga ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

3. Menghukum Terlapor II: PT. Wahyu Wide untuk membayar denda sebesar Rp226.782.000,00 (dua ratus dua puluh enam juta tujuh ratus delapan puluh dua

Hal. 53 dari 56 hal Put. Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(4)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda

pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

4. Menghukum Terlapor III: PT. Sentosa Raya untuk membayar denda sebesar Rp659.123.000,00 (enam ratus lima puluh sembilan juta seratus dua puluh tiga ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

5. Menghukum Terlapor V: PT. Cinta Famili untuk membayar denda sebesar Rp187.275.000,00 (seratus delapan puluh tujuh juta dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

6. Menghukum Terlapor VIII: PT. Alam Baru untuk membayar denda sebesar Rp52.428.000,00 (lima puluh dua juta empat ratus dua puluh delapan ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

7. Menghukum Terlapor IX: PT. Surya Prima Abadi untuk membayar denda sebesar Rp599.499.000,00 (lima ratus sembilan puluh sembilan juta empat ratus sembilan puluh sembilan rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

8. Menghukum Terlapor XV: PT. Bunga Mulia membayar denda sebesar Rp449.844.000,00 (empat ratus empat puluh sembilan juta delapan ratus empat puluh empat ribu rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang Persaingan Usaha, Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

Hal. 54 dari 56 hal Put. Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(5)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

9. Melarang Terlapor I: PT. Surya Eka Lestari, Terlapor II: PT. Wahyu Wide, Terlapor

III: PT. Sentosa Raya, Terlapor VI: PT. Bintang SeIatan Agung, Terlapor Vlll : PT. Alam Baru Persada, Terlapor IX: PT. Surya Prima Abadi, Terlapor X: PT. Dwi Perkasa, Terlapor Xll: PT. Mahalini Jaya Manggala, Terlapor XV: PT. Bunga MuIia lndah, Terlapor XVlll: PT. Dua Sepakat, dan Terlapor XX: PT. Sekawan Maju Bersama untuk mengikuti lelang yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) diseluruh lndonesia selama 12 (dua belas) bulan sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap;

10. Melarang, Terlapor IV: PT. Nusantara Membangun, Terlapor V: PT. Cinta Famili, Terlapor VIl : PT. Arga Makmur Mandiri, Terlapor Xl: PT. Nugraha Adi Taruna, Terlapor XlII: PT. Gemilang Permai, Terlapor XlV: Medika Jaya Utama, Terlapor XVI: PT. Gading Cempaka Graha, Terlapor XVII: PT. Alam Permai Indah Mandiri, untuk mengikuti lelang yang menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di seluruh Indonesia selama 18 (delapan belas) bulan sejak putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap;

Menghukum Para Termohon Kasasi/Para Pemohon Keberatan untuk membayar biaya perkara, yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 24 Desember 2013 oleh Prof.Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, SH.,MA., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Syamsul Ma’arif, SH.,LLM.,Ph.D., dan H. Djafni Djamal, SH.,MH., Hakim-Hakim Agung, masing-masing sebagai Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua dengan dihadiri oleh Anggota-anggota tersebut dan oleh Endang Wahyu utami, SH.,MH., Panitera Pengganti tanpa dihadiri oleh para pihak; .

Anggota-anggota, Ketua,

ttd/ ttd/

Syamsul Ma’arif, SH.,LLM.,Ph.D. Prof.Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, SH.,MA. ttd/

H. Djafni Djamal, SH.,MH.

Hal. 55 dari 56 hal Put. Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id


(6)

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Panitera Pengganti,

Biaya-biaya: ttd/

1. Meterai : Rp 6.000,00 Endang Wahyu utami, SH.,MH. 2. Redaksi : Rp 5.000,00

3. Administrasi Kasasi : Rp489.000,00 + Jumlah : Rp500.000,00

Untuk Salinan Mahkamah Agung RI

an Panitera

Panitera Muda Perdata Khusus

Rahmi Mulyati, SH.MH. NIP 19591207.1985.12.2.002

Hal. 56 dari 56 hal Put. Nomor 118 K/Pdt.Sus-KPPU/2013

Disclaimer

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu. Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id