Hidup dan Karya Kuntowijoyo

A. Hidup dan Karya Kuntowijoyo

  Lahir di Bantul, Yogyakarta, pada 18 September 1943, Kuntowijoyo adalah anak kedua dari sembilan bersaudara pasangan Sosro Martoyo dan

  Warasti. 1 Sosro Martoyo adalah seorang pegawai PN. Garam dan merupakan seorang anggota Muhammadiyah.

  1 Hajar NS dan Nining Anita, “Hikayat Si Pembuat Nama,” dalam Zen Rachmat Sugito, ed, Muslim Tanpa Mitos: Dunia Kuntowijoyo, (Yogyakarta: Ekspresi Buku, 2005), hal. 232.

  Nama Kuntowijoyo sendiri sesungguhnya adalah pemberian kakeknya, Marto Sumo. Semasa hidup, Marto Sumo adalah Lurah Desa Ngawonggo, Ceper, Klaten, yang mendapat gelar Raden Demang Marto Sumo dari keraton sebagai penghargaan untuk lurah yang dianggap sebagai lurah terbaik. Menjelang usianya

  menginjak dua tahun, Kuntowijoyo 2 dibawa hijrah ke Ngawonggo dan dibesarkan di desa tersebut dalam asuhan sang kakek hingga menginjak masa SMA. 3

  Tahun 1950, Kuntowijoyo mulai menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat Negeri (SRN) Ngawonggo yang waktu itu lebih populer dengan sebutan Sekolah Jawa. Sepulang sekolah, sehabis Zuhur sampai selepas Asar, Kunto biasanya langsung pergi ke surau untuk belajar agama yang oleh Kunto dan teman-temannya disebut Sekolah Arab. Malamnya, setelah Maghrib hingga Isya,

  ia bersama teman-teman sebayanya kemudian belajar mengaji di surau tersebut. 4

  Sejak kecil Kuntowijoyo memang sudah gemar membaca. Waktu itu Kunto selalu mengunjungi perpustakaan Masyumi yang ada di Desa Ngawonggo, dan melahap hampir semua bacaan yang tersedia di sana. Di antara sekian banyak bahan bacaan, yang paling disenangi Kunto adalah Abadi. Berkat harian Abadi

  inilah Kunto menjadi anak yang banyak bertanya dan selalu berpikir kritis. 5

  Semasa di SRN Kuntowijoyo mulai mengenal dunia kesenian, karena Di SRN itu, Kuntowijoyo berkenalan dengan PII (Pelajar Islam Indonesia), yang selain mengajarkannya berdeklamasi, di sana juga ia menimba ilmu bermain

  2 Mengenai nama Kuntowijoyo dan nama Desa Ngawonggo, dalam pewayangan disebutkan bahwa wilayah Ngawonggo adalah tanah yang diberikan Duryodana kepada Adipati

  Karna sebagai tanda penghargaan atas kesetiaan Karna. Dan Karna adalah ksatria yang dikenal memiliki senjata pamungkas yang dinamai Kuntowijayandanu.

  3 Hajar dan Anita, “Hikayat Si Pembuat Nama,” hal. 233.

  4 Arief Subhan, “Dr Kuntowijoyo: Alquran Sebagai Paradigma,” Ulumul Qur’an, no. 4 (1994), hal. 93. Lihat pula Sudaryanto, “Memulangkan Jati Diri Pendidikan ke Asalnya,” dalam

  Sugito, Muslim Tanpa Mitos, hal, 137.

  5 Ibid., hal. 93.

  drama. Tentu saja, darah seni juga diwarisi dari sang ayah yang, meski seorang Muhammadiyah, namun suka mendalang. Sementara puisi dipelajarinya di surau

  dari dua orang guru bernama M. Saribi Arifin dan M. Yusmanam. 6

  Dalam masa yang masih belia ini juga Kuntowijoyo telah mengenal Muhammadiyah, karena surau tempat dia belajar dan beraktivitas secara kebetulan adalah milik Muhammadiyah. Sejak itulah dia ikut terlibat dalam Hizbul Wathon

  (HW), sebuah organisasi kepanduan milik Muhammadiyah. 7 Ketertarikan pada sejarah juga didapatkannya di surau tersebut. Ketika belajar di sana, Kunto kecil

  kagum kepada Ustad Mustajab, guru mengajinya yang juga pimpinan pandu, pemain sandiwara, dagelan, dan suka berpidato mengenai agama dan politik, yang menurutnya bisa menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik dan menghanyutkan sehingga para murid seolah ikut mengalami peristiwa

  tersebut. 8

  Setamat SRN, tahun 1956, Kuntowijoyo masuk ke SMP 1 Klaten. Sejak itulah kehidupan baru Kuntowijoyo dimulai, yaitu mulai bersekolah di kota dan merasakan menjadi orang kota. Serta, di SMP inilah Kuntowijoyo mulai mengenal dunia tulis-menulis, termasuk cerita pendek. “Saya mulai belajar menulis ketika

  duduk di kelas tiga, tepat sehabis ujian,” katanya. 9 Selesai SMP (1959), Kuntowijoyo masuk SMAN 2 Surakarta dan selesai tahun 1962. 10

  Setamat SMA, pada 1962, Kunto masuk Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Pilihan masuk jurusan sejarah ini betul-betul didasarkan pada kesadaran Kunto sendiri, tanpa pengaruh maupun

  6 Ibid., hal. 94. 7 Sudaryanto, “Memulangkan Jati Diri,” hal. 138. 8 Subhan, “Dr Kuntowijoyo,” hal. 94. 9 Ibid., hal. 94-95.

  10 Sudaryanto, “Memulangkan Jati Diri,” hal. 139.

  arahan dari orang tua, dan bukan pula suatu ketidaksengajaan. Pilihan tersebut rupanya benar-benar berdasarkan atas minat besarnya pada sejarah yang tertanam sejak kecil. Apalagi, sedari kecil Kunto juga banyak mendengarkan dongeng mengenai desanya dari sang kakek, dan dia juga sering menonton kesenian

  ketoprak. 11 Hal-hal seperti ini agaknya yang telah memupuk ketertarikannya pada sejarah.

  Semasa menjadi mahasiswa ini, jiwa seni dan aktivisme Kuntowijoyo semakin tumbuh dan berkembang. Tahun 1963, bersama teman-temannya ia mendirikan Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (LEKSI) yang—seperti lazimnya organisasi kesenian pada masa itu—bernaung di bawah Perti. Lembaga ini, Kunto mengakui, banyak sekali manfaatnya bagi perkembangan pribadi, intelektualitas, dan keseniannya. Bersama teman-temannya dari Fakultas Sastra dan ASRI, Kunto juga mendirikan ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah). Selain itu, dalam kegiatan-kegiatan sastra dan kebudayaan Leksi bekerja sama dengan Lesbumi (Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslimin

  Indonesia, milik NU), sebab Leksi punya ketoprak dan Lesbumi punya ludruk. 12

  Kemudian di tahun 1969 bersama teman-temannya, seperti M. Dawam Rahardjo, Syu’bah Asa, Chairul Umam, Ikranegara, Arifin C. Noer, Abdul Hadi WM, dan Amri Yahya, Kuntowijoyo juga membentuk Studi Grup Mantika, sebuah lembaga kesenian yang bermarkas di Malioboro, dan dia menjadi ketuanya

  11 Subhan, “Dr Kuntowijoyo,” hal. 95. 12 Ibid., hal. 95.

  sampai tahun 1971. 13 Selain itu, saat mahasiswa Kuntowijoyo juga aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islam). 14

  Meski kuliah di Fakultas Sastra UGM diselesaikannya tahun 1969, namun sejak 1965 Kuntowijoyo telah menjadi asisten dosen di fakultasnya hingga tahun 1970, ketika secara resmi ia diangkat menjadi dosen jurusan sejarah Fakultas Sastra UGM.

  Selanjutnya, pada 1973 hingga 1974, dengan beasiswa Fullbright, Kuntowijoyo melanjutkan studinya ke Universitas Connenecticut, Amerika Serikat, hingga meraih gelar MA dengan tesis American Diplomacy and Indonesian Revolution, 1945-1949: A Broken Image. Di tahun 1975, Kuntowijoyo memperoleh beasiswa dari The Rockefeller Foundation untuk melanjutkan studi S3 di Universitas Columbia. Tahun 1980, akhirnya Kuntowijoyo berhasil menyelesaikan pendidikannya dan meraih gelar doktor di bidang ilmu sejarah dengan disertasi berjudul Social Change in an Agrarian Sosiety: Madura 1850-

  1940. 15 Mengenai alasan memilih tema ini, Kunto berujar bahwa “paling tidak karena tempat ini belum dikerjakan orang. Tetapi alasan emosional saya ialah

  karena banyak teman berasal dari Madura dan daerah ini tempat tinggal orang Islam. Saya berharap dari sejarah Madura akan bisa belajar banyak.” 16 Di tahun

  itu pula Kuntowijoyo kembali ke Indonesia dan mengajar di almamaternya.

  Jika tesis master Kuntowijoyo lebih dekat dengan sejarah politik, maka disertasi Ph.D-nya justru lebih dekat dengan kategori sejarah sosial. Pokok

  13 Sudaryanto, “Memulangkan Jati Diri,” hal. 139-140. 14 Chairil Anwar, “Jika Seorang Seniman Mangkat,” dalam Sugito, Muslim Tanpa Mitos,

  hal. 225.

  15 Zen Rachmat Sugito, “Menjajal Tiga Kitab: Antara Relevansi Intelektual dan Relevansi Sosial,” dalam Sugito, Muslim Tanpa Mitos, hal. 164.

  16 Subhan, “Dr Kuntowijoyo,” hal. 95.

  penting yang diajukan dalam disertasi tersebut adalah: sejarah dan masyarakat Madura ditentukan oleh faktor ekologi (tegalan) dan faktor manusia (pemerintah

  kolonial dan struktur kepribadian masyarakat Madura sendiri). 17

  Sepulangnya dari menuntut ilmu di Amerika, Kuntowijoyo langsung terjun dan ikut meramaikan dunia intelektual Indonesia lewat tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media massa maupun yang dibuatnya dalam setiap diskusi dan seminar yang diikutinya. Kumpulan artikel makalah, penelitian, dan opininya di media massa inilah yang kemudian diterbitkan menjadi buku, seperti Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Budaya dan Masyarakat (1987), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), dan buku-buku lainnya.

  Tahun 1969, Kuntowijoyo menikah dengan Susilaningsih, perempuan kelahiran Karanganyar, 27 Nopember 1947. Dari penikahannya tersebut,

  Kuntowijoyo dikaruniai dua orang putra, Punang Amaripuja dan Alun Paradipta. 18

  Beberapa kali Kuntowijoyo menjadi dosen tamu di universitas luar negeri, seperti di Universitas Filipina tahun 1984 dan Universitas Michigan, Amerika Serikat, tahun 1985. Sejak tahun 1989 sampai 1992, Kuntowijoyo diangkat menjadi Ketua Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UGM. Sementara jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya UGM diterimanya pada tahun 2001, melalui pidato pengukuhan pada 21 Juli 2001 yang berjudul “Periodisasi Sejarah Kesadaran Keagamaan Umat Islam Indonesia: Mitos, Ideologi, dan

  Ilmu.” 19 Dalam kapasitasnya sebagai intelektual dan sejarawan, Kuntowijoyo juga menjadi anggota MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), HIPIIS (Himpunan

  17 Sugito, “Menjajal Tiga Kitab,” hal. 165. 18 Wawancara Pribadi dengan Susilaningsih, Yogyakarta, 13 Juli 2007.

  19 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), Edisi

  Paripurna, hal. 217.

  Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial), dan KITLV (Koninklijk Instituut voor de Tall, Land, en Volkenkunde) Belanda. 20

  Penulis produktif ini terus berkarya, baik karya ilmiah maupun fiksi (puisi, cerpen, novel, dan drama) sampai ketika tiba-tiba penyakit misterius menyerangnya pada 6 Januari 1992 dan memaksanya berbaring koma dan dirawat di ICU RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta. Dia dirawat di bangsal rumah sakit itu selama tiga bulan. Secara medis, Kuntowijoyo terserang virus bernama meningo

  encephalistis. 21 Virus ini menyerang bagian otak, sehingga bisa melumpuhkan sebagian memori yang ada di sana. Penyakit yang dialami Kuntowijoyo ini

  tergolong langka.

  Sejak itu, hingga berselang dua tahun kemudian, Kuntowijoyo terbaring sakit di rumahnya. Namun, sejak April 1994, Kuntowijoyo secara tak terduga mampu menghadirkan kembali tulisan-tulisan tajamnya lewat cerpen, dunia yang memang pernah membesarkannya. Diawali Ada Pencuri Di Dalam Rumah (Republika, 14 April 1994), disusul Laki-laki Yang Kawin Dengan Peri (Kompas,

  24 April 1994), dan Hampir Sebuah Subversi (Minggu Pagi, 8 Mei 94). Dan sejak itu, berbarengan dengan ikhtiar pengobatan fisiknya yang memang belum pulih benar, Kuntowijoyo kembali menerjunkan diri ke dalam dunia intelektual dan kepenulisan.

  Selama 13 tahun Kuntowijoyo terus berjuang melawan penyakitnya, di samping aktivitasnya mengajar dan menulis. Akhirnya, pada hari Selasa, 22

  20 Subhan, “Dr Kuntowijoyo,” hal. 97.

  21 A. Adaby Darban, “Guru Kunto,” dalam Sugito, Muslim Tanpa Mitos, hal. 212.

  Februari 2005, pukul 16.00, Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta. 22

  Sebagai sosok multitalenta atau cendekiawan multidimensi, Kuntowijoyo tidak bisa kita lepaskan dari dua bidang pokok keterlibatannya, yaitu intelektual dan seni. Dari kedua bidang tersebut, Kuntowijoyo piawai dan sanggup melahirkan karya-karya yang berbobot yang memberinya banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri.

  Oleh karena itu, sebelum memasuki karya-karya Kuntowijoyo di bidang intelektual dan pemikiran, kita akan sejenak menengok karya-karyanya dalam bidang seni, khususnya sastra. Di bidang ini, karya-karya Kuntowijoyo mencakup empat medium ungkap sekaligus: puisi, cerpen, drama, dan novel. Karya-karya puisinya adalah: Suluk Awang-Uwung (1975), Isyarat (1976), dan Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977). Sedangkan karya-karya cerita pendeknya yang ditulis antara tahun 1960-1970-an telah dikumpulkan dalam Dilarang Mencintai Bunga- bunga (1992), dan cerpen-cerpennya antara 1980-1990-an dikumpulkan dalam Hampir Sebuah Subversi (1997). Cerpen-cerpennya yang berjudul Pistol Perdamaian, Laki-laki yang Kawin dengan Peri, dan Anjing-anjing Menyerbu Kuburan, secara berturut-turut mendapatkan penghargaan sebagai cerpen terbaik

  Kompas pada 1995, 1996, dan 1997. 23

  Sementara karya novelnya adalah Kereta Api Yang Berangkat Pagi Hari (1966), Pasar (1972), Khutbah Di Atas Bukit (1976), Impian Amerika (1998), Mantra Penjinak Ular (2000), dan Wasripin dan Satinah (2003). Sementara

  22 "Sejarawan dan Budayawan Meninggal Dunia," Artikel diakses pada 7 Desember 2006 dari http:www.henry.gultom.or.idindeks.phparchives20050224.

  23 Hamdy Salad, “Semesta Budaya, Semesta Sastra Indonesia,” dalam Sugito, Muslim

  Tanpa Mitos, hal. 126.

  karya-karya drama dan fabelnya adalah: Rumput-Rumput Danau Bento (1968), Tidak Ada Waktu Bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas (1972), Topeng Kayu

  (1975), dan Mengusir Matahari (fabel, 1999). 24 Dalam bidang sastra ini, Kuntowijoyo meneguhkan pandangannya dalam sebuah buku Maklumat Sastra

  Profetik (2006), 25 yang merupakan buku kumpulan esai sastranya.

  Wujud apresiasi terhadap karya-karya sastra Kuntowijoyo tersebut dapat kita lihat melalui berbagai penghargaan yang diperolehnya. Di antara yang terpenting adalah Penghargaan Dewan Kesenian Jakarta untuk drama Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas dan Topeng Kayu, masing-masing di tahun 1972 dan 1973. Kemudian penghargaan Asean Award on Culture 1997, S.E.A Write Award dari Pemerintah Thailand tahun 1999, Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1999, serta dari Majelis

  Sastra Asia Tenggara. 26

  Berkenaan dengan kecenderungan tema dan landasan kepengarangannya, Kuntowijoyo memperkenalkan gagasan Sastra Transendental dalam Temu Sastra 1982 melalui makalahnya “Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra

  Transendental.” 27 Dalam sastra transendental, menurut Kunto, pertama-tama pengarang harus membebaskan diri dari aktualitas, agar pengarang bisa

  mendapatkan gagasan murni tentang dunia dan manusia; dan kedua, membebaskan diri dari peralatan inderawi, agar pengarang mampu mengungkapkan gejala yang berada di balik gejala tangkapan indera. Karena

  24 Ibid., hal. 126. 25 Kuntowijoyo, Maklumat Sastra Profetik, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2006). 26 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta:

  Tiara Wacana, 2006), hal. 135-136.

  27 Abdul Hadi W.M., “Kembali Ke Akar Tradisi: Sastra Transendental Dan

  Kecenderungan Sufistik Kepengarangan di Indonesia,” Ulumul Qur’an, no. 3, 1992, hal. 12.

  untuk sebuah sastra transendental yang terpenting ialah makna, bukan semata- mata bentuk; abstrak, bukan kongkret; spiritual, bukan empiris; dan yang di dalam bukan yang di permukaan. Abdul Hadi W.M. menyebutnya sebagai Sastra Sufistik, karena berikhtiar menggali kemungkinan-kemungkinan estetik dari pandangan ahli-ahli sufi. Atau, lebih tegasnya, demikian Sutardji Calzoum Bachri, bertujuan memadukan dimensi sosial dan dimensi transendental, yang zahir dan yang batin, yang tampak di hadapan mata dan yang tersembunyi dalam hakikat

  kejadian. 28

  Berdasarkan gagasan Kuntowijoyo tentang paradigma Ilmu Sosial Profetik—suatu penafsiran sistematis terhadap Alquran, surat Ali-Imran (3): 110—yang berisi muatan nilai-nilai humanisasiemansipasi (amar makruf), liberasi (nahi munkar), dan transendensi (tu’minu billah), Hamdy Salad mencoba mengkarakterisasi karya-karya sastra Kuntowijoyo berdasarkan cita-cita etik profetik tersebut. Menurutnya, dimensi transendensi dapat dijumpai dalam karya-

  karya puisi Kuntowijoyo yang bernafaskan religius dan spiritual. 29 Sementara dimensi humanisasi dan liberasi lebih menonjol dalam karya-karya prosanya,

  seperti kumpulan cepennya Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan naskah drama Topeng Kayu. Tak jarang pula, satu karya menampilkan dua dimensi secara beriringan. Seperti dalam novel Khutbah Di Atas Bukit, dimensi humanisasi dan

  transendensi dapat ditemukan sekaligus. 30

  Kritik dan pandangan yang berbeda datang dari Binhad Nurrohmat. Menurutnya, dalam pemilihan bentuk penciptaan cerpen-cerpennya, realisme

  28 Ibid., hal. 12-29. Menurut Abdul Hadi W.M., gagasan sastra transendental

  Kuntowijoyo paling kentara dalam novel Khotbah Di Atas Bukit.

  29 Hamdy, “Semesta Budaya, Semesta Sastra Indonesia,” hal. 123. 30 Ibid.,” hal. 126-129.

  agaknya menjadi pilihan utama Kuntowijoyo. Kecenderungan yang, demikian Binhad, boleh jadi ditularkan oleh watak ilmu sejarah yang dia geluti, sehingga cara berpikir historis menjadi cara berpikir dominan Kuntowijoyo. Akibatnya, detail peristiwa dan watak tokoh-tokoh sebagai representasi realitas menjadi ilham dalam karya-karya Kuntowijoyo. Dari segi isi, tema-tema filosofis merupakan model yang diakrabi Kuntowijoyo, seperti filsafat eksistensialisme yang kentara sekali dalam kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992). Kemudian Kuntowijoyo bergerak lebih jauh ke model cerpen sosiologis, yang lebih menampilkan gambaran sosial masyarakat pinggiran dengan segala aspek kehidupannya: keyakinan, sejarah, mitos, bahkan mistiknya, sebagaimana dapat

  ditemui dalam kumpulan cerpennya Hampir Sebuah Subversi (1999). 31

  Sementara karya-karya Kuntowijoyo yang bersifat ilmiah dan intelektual dapat dilacak sejak tahun 1980-an, yakni setelah kepulangannya menuntut ilmu di Amerika. Boleh dikatakan, setelah memperoleh gelar doktor di Amerika, Kuntowijoyo memiliki amunisi yang memadai untuk berkarya dan melakukan pengamatan mendalam terhadap sejarah Indonesia dalam berbagai aspeknya, yang merupakan pokok keahliannya.

  Secara tematik dan kronologis, karya-karya intelektual Kuntowijoyo meliputi: Dinamika Sejarah Umat Islam (1985) 32 yang, menurut sang istri,

  merupakan karya terpenting Kuntowijoyo dalam bidang sejarah. 33 Selanjutnya, Budaya dan Masyarakat (1987) 34 yang merupakan kumpulan esainya tentang

  sejarah, kebudayaan, dan sastra adalah karya penting lain Kuntowijoyo.

  31 Binhad Nurrohmat, “Realisme Udik Kuntowijoyo,” dalam Sugito, ed. Muslim Tanpa

  Mitos, hal. 72-74.

  32 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985). 33 Wawancara Pribadi dengan Susilaningsih, Yogyakarta, 13 Juli 2007. 34 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987).

  Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) 35 yang meliputi analisisnya tentang Islam dalam berbagai dimensinya: sejarah, ilmu, gerakan, perubahan

  masyarakat, dan kebudayaan boleh dibilang karya monumental Kuntowijoyo yang memperoleh sambutan luas dari masyarakat, yang tidak hanya terbatas pada kaum

  akademisi. Buku Metodologi Sejarah (1994) 36 dan Pengantar Ilmu Sejarah (1995) 37 adalah dua bukunya yang telah menjadi buku wajib mahasiswa sejarah di

  universitas-universitas di Indonesia karena mengisi kekosongan kebutuhan buku- buku pengantar bagi mahasiswa atau siapapun yang ingin mendalami sejarah.

  38 Sementara Radikalisasi Petani (1993) 39 dan Raja, Priyayi, dan Kawula (2004) adalah dua bukunya yang merupakan kumpulan tulisan hasil riset kesejarahan.

  Demokrasi dan Budaya Demokrasi (1994) 40 , Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas (2002), 41 serta Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa (2005) 42 merupakan karya-karya lainnya yang bersentuhan langsung dengan

  wilayah sosial politik dalam beragam artikulasinya.

  Khusus analisanya tentang Islam dan masyarakat kontemporer, tertuang dalam kumpulan tulisannya di buku Identitas Politik Umat Islam (1997) 43 dan

  Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental (2001). 44 Kedua buku ini bersentuhan secara

  35 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991). 36 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994). 37 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995). 38 Kuntowijoyo, Radikalisasi Petani, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1993). 39 Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, (Yogyakarta: Ombak, 2004).

  40 Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Demokrasi, (Yogyakarta: Bentang Budaya,

  41 Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, (Bandung: Mizan,

  42 Kuntowijoyo, Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa, (Yogyakarta: Mizan, 2005). 43 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997).

  44 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam

  Bingkai Strukturalisme Transendental, (Bandung: Mizan, 2001).

  langsung dengan konteks historis, sosial dan politik umat Islam Indonesia kontemporer. Tentu saja, gagasan yang dituangkannya penuh dengan kritik serta alternatif pemikiran yang diusulkan, yang tidak hanya dalam bidang etika, tetapi juga menyentuh pokok epistemologi dan metodologi.

  45 Buku Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2004) yang oleh Kunto disebut sebagai buku darurat, merupakan comotan dari beberapa

  artikelnya yang pernah dimuat di buku-buku sebelumnya dengan tambahan beberapa makalah seminar, yang terfokus pada satu tema pokok: ilmu sosial profetik, yang bersumber pada pengilmuan Islam dan paradigma Alquran untuk perumusan teori dalam kerangka transformasi sosial.

  Sementara karya Kuntowijoyo yang bisa disebut sebagai buku utuh dan merupakan hasil dari penelitian yang panjang dan mendalam adalah disertasinya yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Perubahan Sosial dalam

  Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. 46 Sebuah kajian sejarah dalam rentang waktu hampir satu abad (1850-1940) yang membuktikan kemampuan

  Kuntowijoyo dalam menerapkan ilmu-ilmu sosial dalam kajian historis. Tentang ini, jelas ia sangat dipengaruhi gurunya, Sartono Kartodirdjo, dengan pendekatan sejarah multidimensionalnya. Namun, Kuntowijoyo melangkah lebih jauh, dengan menggunakan analisis ekologi dan kependudukan (ekohistorikal) dalam kajiannya

  tentang sejarah masyarakat Madura tersebut. 47

  Dilihat dari karya-karyanya, tampak bahwa gagasan Kuntowijoyo sesungguhnya berporos pada tiga bidang pokok: sejarah, Islam, dan kebudayaan.

  45 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006).

  46 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940,

  (Yogyakarta: Matabangsa, 2002).

  47 Sugito, “Menjajal Tiga Kitab,” hal. 165-167.

  Dalam bidang sejarah, Kuntowijoyo mengikuti jejak Sartono Kartodirdjo dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam penelitian sejarah. Dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah dan Metodologi Sejarah, ia menjelaskan secara khusus tentang relasi antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, seperti

  sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, hingga demografi. 48 Sebagai wujud pertanggungjawabannya, disertasinya mengenai sejarah masyarakat Madura

  merupakan penerapan langsung penelitian sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, yang mengukuhkannya sebagai seorang sejarawan.

  Melalui kata pengantarnya dalam Metodologi Sejarah, Kunto menginginkan lulusan sejarah mempunyai sumbangsih kepada bangsa dengan menjadikan ilmunya bagian dari kecerdasan bersama bangsa ini, menjadikan

  sejarah memiliki relevansi dengan masalah kontemporer. 49 Karenanya, dalam Metodologi Sejarah Kuntowijoyo merangkum tema-tema kontemporer yang dapat

  dimasukkan ke dalam ruang lingkup penelitian sejarah, seperti tema-tema sejarah kota, sejarah lisan, sejarah pedesaaan, sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah lokal, sejarah mentalitas, dan lain sebagainya, sehingga, melalui pengembangan tema-tema tersebut, kemungkinan sejarah memiliki relevansi dan faedah sosial yang luas akan semakin terbuka.

  Tentang Islam, Kuntowijoyo berusaha melihat Islam dalam konteks sejarah. Namun, sejarah dilihatnya lebih sebagai evaluasi untuk memahami problematika umat, untuk kemudian ditemukan formula yang mampu

  48 Mengenai hal ini silakan lihat Pengantar Ilmu Sejarah bab 7, yang menjelaskan tentang hubungan timbal balik sejarah dengan ilmu-ilmu sosial beserta konsep, teori, permasalahan dan

  pendekatan, serta contoh bagaimana ilmu-ilmu sosial berguna untuk sejarah. Sementara penjelasan lebih lanjut mengenai model-model sejarah sosial beserta metodologinya dapat dilihat dalam Metodologi Sejarah bab 3.

  49 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, hal. xii.

  membawanya menuju transformasi sosial yang dicita-citakan. Gagasannya mengenai Islam sebagai suatu ide merupakan refleksi pemikiran yang didasarkan pandangannya terhadap Islam yang berwawasan historis tersebut. Kunto memandang sistem Islam sebagai budaya yang terbuka, orisinal, dan otentik,

  sekaligus 50 sebagai paradigma besar, sehingga dimungkinkan untuk

  menurunkannya menjadi teori-teori pengetahuan bagi kemaslahatan umat manusia. 51

  Tentang kebudayaan, Kuntowijoyo memandang bahwa kebudayaan terdiri dari nilai dan simbol. Nilai-nilai budaya tidak kasatmata, sementara simbol budaya yang merupakan perwujudan nilai itulah yang kasatmata. Candi, masjid, istana, rumah, kuburan, Kunto memberi contoh, adalah perwujudan dari nilai-nilai budaya masyarakatnya. Nilai-nilai budaya selalu hadir dalam setiap perwujudan. Bahkan, pada benda yang tampaknya tidak dimaksudkan sebagai simbol budaya, seperti sebuah pabrik yang mengandung nilai budaya, seperti efisiensi, pembagian

  kerja, dan hierarki sosial. 52

  Kunto membagi nilai budaya ke dalam empat hal: etika, persepsi, sensibilitas, dan estetika. Keempat nilai budaya itu adalah faktor yang memengaruhi setiap perilaku, institusi, dan semua produk ciptaan manusia. Yang patut dicatat adalah, bahwa nilai budaya itu sangat pervasive, merembes kemana- mana dan ada di mana-mana, sekalipun itu bukan simbol budaya. Kedua, nilai

  50 Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 233.

  51 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 12. 52 Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos, hal. 7.

  budaya adalah suatu proses, sedangkan simbol budaya adalah hasil. Sebagai proses, ia selalu ikut membentuk sebuah produk kebudayaan. 53

  Karena kebudayaan bukanlah faktor tunggal, maka dalam analisa dan kajian kebudayaannya, Kuntowijoyo menekankan untuk digunakannya pendekatan dengan berbagai disiplin ilmu dalam memahami gejala-gejala

  kebudayaan. 54 Selain itu, dalam setiap kajian kebudayaannya, Kuntowijoyo juga selalu melihat persoalan-persoalan budaya dalam hubungan dengan masyarakat.

  Demikianlah, tema-tema sejarah, Islam, dan kebudayaan adalah tiga arus besar yang menjiwai pemikiran Kuntowijoyo sebagaimana galib dijumpai dalam karya-karyanya. Meski terkadang tema-tema tersebut berdiri sendiri sebagai suatu bangunan analisis, namun yang kerap muncul adalah ketiga tema ini dieksplorasi dalam suatu perspektif dialektis, yang berjalin-kelindan dan saling terkait satu dengan lainnya. Dan yang paling penting, oleh Kuntowijoyo ketiganya dilihat dalam hubungannya dengan masyarakat dan perubahannya yang terus berlangsung.