Historiografi Islam Indonesia dan Pendekatan Modernisasi Kuntowijoyo
C. Historiografi Islam Indonesia dan Pendekatan Modernisasi Kuntowijoyo
Dalam pembahasan sebelumnya telah disinggung bagaimana Kuntowijoyo menjelaskan latar historis dan empiris umat Islam Indonesia. Dan, telah dilihat pula bagaimana upaya Kunto membagi sejarah umat Islam Indonesia ke dalam beberapa periode atau tahapan beserta karakteristik dan basis historisnya. Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa tema yang menjadi fokus perhatian Kuntowijoyo dalam tulisan-tulisannya, serta penulisan historiografi yang menjadi kecenderungannya.
Ada tiga tema penting yang ditemukan Kunto dalam sejarah Islam Indonesia. Pertama, adalah tema periferalisasi, dan akhirnya juga alienasi umat dari proses-proses politik dan ekonomi. Kedua, adalah oposisi Islam terhadap sistem-sistem kekuasaan. Dan ketiga, proses-proses integrasi Islam ke dalam
struktur-struktur baru. 113
112 Ibid., hal. 167-169. 113 Priyono, “Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi,” hal. 26.
Tema periferalisasi digunakan Kunto untuk menginterpretasikan pergeseran sejarah umat Islam dari negara maritim ke negara agraris yang bermula sejak kejatuhan Demak. Jatuhnya kerajaan Demak oleh Portugis, membuat kekuatan Islam yang didukung oleh basis perdagangan internasional tumbang. Islam pun mengalami periferalisasi secara politik dan ekonomi. Bersamaan dengan peminggiran kekuatan Islam tersebut, umat Islam kemudian teralienasi
dari kekuatan dan proses-proses politik maupun ekonomi. 114
Perpecahan antara agama dan politik, atau oposisi Islam terhadap negara, terjadi pada masa Mataram, sebuah negara agraris yang muncul sekitar seabad setelah kejatuhan Demak. Mataram menyibukkan diri dalam menegakkan kekuasaannya dengan menyerang kubu-kubu kaum saudagar Muslim di kota-kota pesisir. Kebijakan itu agaknya dilakukan agar Mataram dapat memegang monopoli dagang, selain untuk memperkuat dasar ekonominya sendiri. Kota-kota pesisir yang telah dilemahkan oleh hilangnya perdagangan internasional, tak mampu bertahan terhadap ekspansi Mataram dan ditaklukkan. “Maka, Islam kemudian menjadi panji pembelotan terhadap para penguasa Mataram. Para ulama menjadi pembawa ideologi Islam, melawan kebangkitan-kembali pemerintahan otokratis dan penghidupan kembali ideologi yang diilhami ajaran Hindu-pribumi
Mataram.” 115
Oposisi Islam terhadap sistem-sistem kekuasaan juga dapat dilihat pada permulaan abad 20, ketika umat memulai sejarah baru dengan memobilisasi dan mengorganisasi diri dalam gerakan sosial modern yang diartikulasikan melalui SI. Dalam beberapa tahun saja, SI telah menunjukkan watak penuhnya sebagai
114 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 147. 115 Ibid., hal. 147-148.
gerakan nasionalis, dan mulai merosot dengan terbentuknya kelompok sempalan komunis. 116 Gerakan komunis surut sesudah cita-cita kelas gagal dalam
pemberontakan tahun 1926-1927.
Setelah itu, nasionalisme menggantikan gerakan agama sebagai cita-cita yang paling dominan sampai 1945. Pada saat inilah proses yang oleh Geertz disebut sebagai integrative revolution mulai terjadi. Ikatan-ikatan primordial digantikan dengan ikatan nasional. Namun, Kunto mengingatkan bahwa gejala itu tidak berarti membuat posisi politik kaum Muslim sesudah 1945 menjadi lebih baik. Tercapainya integrasi vertikal berupa pengakuan terhadap keabsahan negara Republik Indonesia, dan tercapainya integrasi horizontal dengan adanya konsensus nasional, tidak berarti sebuah sistem nasional yang pasti terbentuk:
antara struktur dan kultur dalam sistem itu tidak otomatis terintegrasikan. 117 Proses-proses integrasi seperti inilah yang mewarnai sejarah umat Islam pada
masa Orde Baru dan mendapat perhatian besar dari Kuntowijoyo.
Yang patut dicatat dalam pembahasan mengenai tema periferalisasi dan oposisi Islam adalah bahwa dalam kebanyakan studi kesejarahannya, Kuntowijoyo selalu memaparkan adanya paralelisme-historis mengenai berulangnya kembali fenomena-fenomena periferalisasi dan oposisi Islam pada setiap zaman. Misalnya, dia mengangkat terjadinya fenomena periferalisasi dan oposisi Islam pada zaman Orde Baru dengan memperlihatkan paralelismenya
dengan yang terjadi pada masa Demak dan Mataram. 118
116 Ibid., hal. 150-152. 117 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, hal. 158-168. 118 Priyono, “Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi,” hal. 30.
Selain ketiga tema sejarah tersebut, historiografi Kuntowijoyo dicirikan oleh penekanannya pada peranan umat Islam dalam proses perubahan dan perjalanan sejarah. Mengenai hal ini Kunto mencatat,
“Historiografi Islam harus menunjukkan bahwa masyarakat Muslim adalah sebuah entitas yang mempunyai kesadaran diri, yang tidak menerima peranan hanya sebagai objek, tetapi menjadi subjek.... Historiografi Islam merupakan satu langkah maju untuk menyongsong
kebangkitan umat.” 119 Bagi Kunto, orientasi baru mengenai makna dan tujuan historiografi
haruslah diartikan sebagai penanaman kesadaran sejarah, perhatian sejarah (historical mindednes), dan penilaian sejarah ke dalam pemikiran Muslim. Oleh karenanya, historiografi menjadi sebuah instrumen intelektual dalam suatu konfrontasi dialektik antara tanggung jawab sejarah Muslim dengan perjalanan sejarah umat manusia. “Kesadaran mengenai ummah yang bertugas mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemunkaran dalam setiap aspek peradaban
adalah merupakan tujuan dari kesadaran sejarah.” 120
Berangkat dari kesadaran inilah, menurut Kunto, kaum Muslim harus memiliki pengetahuan tentang dunia di sekelilingnya, keadaan sejarah kontemporer, dan tahap dari evolusi historis mereka sendiri. Inilah yang kemudian akan menjadi landasan bagi tahap sejarah masa depan, serta akan mendorong timbulnya pandangan sejarah yang dinamis, bahwa sejarah itu diciptakan daripada ditakdirkan. “Peranan kaum Muslim dalam sejarah adalah apa yang ingin mereka
lakukan; bukan apa yang ditakdirkan dunia terhadap mereka.” 121
Bersamaan dengan harapan kebangkitan kembali historiografi Muslim yang merujuk kepada metode verifikasi dan validasi hadis serta prestasi Ibnu
119 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 366. 120 Ibid., hal. 356. 121 Ibid., hal. 356-357.
Khaldun dalam bidang investigasi, kritisisme, dan metodologi sejarah, Kunto mengkritik para sejarawan Muslim yang cenderung meyakini bahwa satu-satunya historiografi yang ilmiah adalah historiografi yang menggunakan teori dan metodologi Barat. Dengan nada sinis Kunto menulis, bahwa “studi ilmiah Barat mengenai sejarah, jika ditransfer kepada masyarakat Muslim, akan lebih melahirkan mitos daripada sejarah, akan lebih melahirkan takhayul daripada
fakta.” 122
Dalam hal pendekatan, Kuntowijoyo merupakan sejarawan yang meneruskan tradisi penulisan sejarah sosial di Indonesia, yang telah dirintis oleh Sartono Kartodirdjo. Penggunaan konsep yang dipinjam dari ilmu-ilmu sosial ini, setidaknya tampak jelas dari dua kecenderungan dalam karya-karya Kuntowijoyo. Pertama, penekanan pada konsep perubahan sosial: faktor-faktor yang menjadi sebab perubahan sosial dan bagaimana proses itu berlangsung. Kedua, penekanan pada analisis tingkat makro yang melihat satuan-satuan yang lebih besar, seperti gejala kota dan desa, sistem dan struktur sosial atau lembaga-lembaga seperti
pesantren, masjid, pemerintahan desa, pasar, dan semacamnya. 123
Dalam hal penggunaan teori dan metodologi, yang menarik untuk dicatat dari karya-karya Kuntowijoyo adalah bahwa dia dengan sadar tidak memaksakan diri untuk menghindari teori-teori dan metodologi Barat yang konvensional. Tapi dengan peminjaman itu dia berupaya melakukan sintesis-sintesis teori, bahkan
122 Ibid., hal. 356. 123 M. Dawam Rahardjo, “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat,”
kata pengantar untuk buku Paradigma Islam, hal. 14. Menurut Dawam, ada dua analisis dalam pendekatan sosiologis, yaitu pendekatan tingkat mikro yang memperhatikan perilaku antarpribadi dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat tatap muka, dan pendekatan makro yang mempelajari lembaga-lembaga dan gejala-gejala kemasyarakatan.
melakukan twisting terhadap teori-teori yang dipinjamnya, 124 misalnya gagasan mengenai konsep kelas dalam Islam yang dipengaruhi oleh gagasan sosialis-
demokrat dan fungsionalisme. Dengan nada apologis Kunto menulis,
“Bagi saya, tidak menjadi soal apakah pengetahuan kita mengenai grand-design wahyu dipengaruhi oleh pengetahuan ini atau itu. Saya kira kita justru harus memanfaatkan semua warisan pengetahuan yang kita miliki untuk memahami pesan-pesan Alquran..... Meminjam itu sah adanya, karena dengan meminjam kita tidak harus menjadi orang lain. Dalam konteks ilmu, Islam toh sangat menganjurkan keterbukaan. Hanya saja kita harus menyadari kerangka epistemik yang berada di belakang
pengetahuan yang kita pinjam itu.” 125 Karena orientasi Kuntowijoyo terhadap ilmu-ilmu sosial berpusat pada
persoalan perubahan sosial, sementara sebagai cendekiawan Muslim sudah tentu dia ingin bertolak dari ajaran-ajaran Islam, tak heran jika dia kemudian mengembangkan paradigma Islam tentang transformasi sosial yang kemudian diberinya nama Ilmu Sosial Profetik. Sebab menurutnya, “salah satu kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah
masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial.” 126
Dalam interpretasinya terhadap cita-cita transformasi sosial Islam itu, Kunto mencoba melihatnya dari perspektif komparatif, yaitu dari teori-teori Weberian, Marxian, dan Durkheimian. Setelah dianalisisnya, tampaknya perspektif Islam lebih dekat pada paradigma Durkeheimian ketimbang pada dua lainnya. Itulah sebabnya, Kunto mengkonseptualisasikan transformasi sosial sebagai hubungan kausal, di mana struktur budaya menentukan struktur sosial; dan selanjutnya, struktur sosial menentukan struktur teknik. Perubahan struktur budaya, dalam hal ini sentimen-sentimen kolektif atau nilai-nilai sosial, akan
124 Rahardjo, “Ilmu Sejarah Profetik,” hal. 17. 125 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 22-23. 126 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 337.
mempengaruhi terjadinya perubahan pada struktur sosial, yaitu diferensiasi sosial, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perubahan pada struktur teknik, yaitu kepemimpinan. Kerangka ini digunakan Kunto untuk membaca Islam: bahwa kepemimpinan atau kekuasaan dalam Islam ditentukan oleh umat (jama’ah atau komunitas); sedangkan umat ditentukan oleh sistem nilai atau kesadaran normatif. Karena itulah, transformasi sosial harus diawali dengan rekayasa terhadap struktur
budaya, yang dalam Islam adalah iman, atau sistem nilai tauhid. 127
Penggunaan paradigma Durkheimian sebagai model transformasi sosial umat Islam, meneguhkan pemikiran Kuntowijoyo yang lebih dekat dengan aliran modernisasi. Persoalannya, pada satu sisi Kuntowijoyo menggunakan teori-teori modernisasi dalam menjelaskan perubahan sosial, namun secara bersamaan dia mengkritik positivisme dan paradigma modernisasi dalam membangun ilmu sosial profetiknya, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Kunto pun terjerembab
pada lubang yang ingin dihindarinya, dan lupa dengan peringatannya sendiri. 128
Penjelasan Kuntowijoyo mengenai konsep kelas dalam Islam, yang lebih bersemangatkan fungsionalistis, menegaskan kritik terhadap inkonsistensi Kuntowijoyo tersebut. Perbedaan kepentingan antarkelas dalam pandangan Islam, menurut Kuntowijoyo, tidaklah bersifat dikotomis atau kontradiktif, tetapi fungsional. Adanya pertentangan kelas, yang memang objektif dalam masyarakat, bukanlah konfliktual, tapi fungsional: pada gilirannya, pertentangan tersebut akan memperkuat keseimbangan sistem sosial itu sendiri. Konsep zakat dalam
Ibid., hal. 340-341. Lihat pula Saiful Mujani, “Islam dalam Hegemoni Teori
Modernisasi: Sebuah Telaah Awal,” Prisma, no . 1 (Januari 1993), hal. 84.
128 Ibid., hal. 84.
pandangan Kunto merupakan mekanisme yang mengatur hubungan yang fungsional antara kelompok atau kelas yang bertentangan. 129
Inkonsistensi tersebut, dalam analisa Saiful Mujani, bersumber dari hegemoni negara yang di tengah-tengah kapitalisme yang mendunia seperti sekarang, formasi sosial apapun mau tidak mau harus ikut serta dalam arus kapitalisme: bukan hanya menyangkut corak produksinya, malahan sekaligus mengangkut superstrukturnya, seperti ilmu sosial. Dalam hegemoni negara semacam ini hanya teori-teori modernisasi sajalah yang bisa digunakan para ilmuwan sosial dan intelektual Muslim ketika mereka mencoba menjelaskan
hubungan doktrin Islam dan masyarakat. 130 Dan, Kuntowijoyo pun dibuat jadi inkonsisten karenanya.
129 Ibid., hal. 83. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 299-303. Analisa fungsional yang seperti ini utamanya dikemukakan oleh Lewis A. Coser. Perhatian Coser umumnya ialah
memperlihatkan bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional untuk sistem di mana konflik itu terjadi, melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif atau menguntungkan sistem itu.
130 Mujani, “Islam dalam Hegemoni,” hal. 84-87.