Setting Sosial-Politik Orde Baru 1970-1990

A. Setting Sosial-Politik Orde Baru 1970-1990

  Meski pemerintah Orde Baru Indonesia berkuasa sejak 1966, namun secara resmi Soeharto menjabat sebagai presiden adalah setelah sidang umum

  MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) pada bulan Maret 1968. 1 Berdiri di atas puing-puing kehancuran Orde Lama di bawah kekuasaan rezim

  Soekarno, awal kekuasaan Soeharto ditandai oleh upaya mereorientasi dan menata ulang struktur politik Indonesia. Sebagai akibat krisis ekonomi dan krisis politik yang diwariskan rezim sebelumnya, serta melihat berbagai tantangan yang bersumber pada sisa-sisa pendukung Soekarno dan gerakan komunis, perhatian utama Orde Baru diarahkan untuk menciptakan mekanisme yang dapat meminimalkan konflik-konflik sosial dan pada saat yang sama memaksimalkan produktivitas ekonomi. Atau, bagaimana menyusun kembali sistem politik

  menjadi politik yang “tertib”. 2

  Maka, dua tujuan Orde Baru yang dipandang paling penting oleh para pemimpinnya adalah pertumbuhan ekonomi dan penciptaan ketertiban atau stabilitas politik. Untuk mencapai tujuan tersebut, menurut para elite Orde Baru, syarat-syarat yang diperlukan adalah suatu ekonomi yang berorientasi ke luar dan suatu politik teknokratik yang tertib. Terkait dengan hal ini, maka, pertama, pemerintah harus menerapkan kebijaksanaan ekonomi yang mendukung pertumbuhan yang cepat dan mampu memanfaatkan sumber-sumber ekonomi

  1 M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj. Satrio Wahono, dkk, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 579.

  2 Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 23.

  asing. Kedua, pemerintah harus memelihara suatu “sistem ekonomi dan masyarakat yang terkendali secara ketat dan tertib.” 3

  Untuk membina suatu sistem politik yang tertib demi mendukung program ekonomi tersebut, pemerintah Orde Baru mendasari semua usahanya itu dengan doktrin-doktrin baru menggantikan doktrin dan slogan lama, seperti politik sebagai panglima, yang digantikan slogan baru ekonomi sebagai panglima. Slogan baru ini didukung oleh ideologi baru ciptaan Orde Baru yang berwujud Pembangunanisme atau Modernisasi dan doktrin Dwi-Fungsi ABRI. Ideologi

  pembangunanisme (developmentalism) 4 adalah ideologi teknokratik yang menekankan nilai-nilai seperti efisiensi, efektivitas, harmoni, dan konsensus

  sebagai prasyarat terpenting pembangunan ekonomi. Sementara Dwi-Fungsi ABRI adalah suatu doktrin yang mengesahkan peranan militer dalam urusan-

  urusan nonmiliter, seperti kegiatan politik dan ekonomi. 5

  Modernisasi yang dimaksud di sini adalah sebagaimana yang dimotori kaum intelektual lulusan Amerika 6 yang berorientasi pembaruan dan antikomunis,

  3 Ibid., hal. 148-149. 4 Salah seorang pemikir yang gagasannya mengenai pembangunan sering menjadi acuan

  adalah W.W. Rostow (bukunya: The Stages of Economic Growth) yang terkenal dengan tahap- tahap pertumbuhan ekonomi: tahap masyarakat tradisonal (the traditional society), tahap prakondisi untuk lepas landas (the preconditions for take-off), tahap lepas landas (the take-off), tahap dorongan ke arah kematangan (the drive to maturity), masa konsumsi tinggi massa (the age of high mass consumption), dan masa setelah konsumsi tinggi (beyond consumption). Sebagai catatan, tahap-tahap ini merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman negara Eropa dan Amerika. Dasar pemikiran mengenai pembangunan ini dapat ditemukan pada idea of progress yang melandasi pemikiran para pemikir pencerahan di abad 17, yang beranggapan bahwa peradaban telah, sedang, dan akan terus berkembang ke arah yang dikehendaki. Dan fondasi dasar semua itu adalah metafora pertumbuhan (metaphor of growth), yaitu pertumbuhan dilihat sebagai organisme. Maka, pembangunan dipahami sebagai organik, imanen (mendunia), kumulatif, tidak berbalik dan bertujuan. Lihat Fachry Ali, dan Bahtiar, Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 98-103.

  5 Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, hal. 24.

  6 Nama-nama yang sering disebut sebagai ekonom Orde Baru ini adalah Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Subroto, Mohammad Sadli, dan Sumarlin. Kecuali Sadli,

  semua memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia dan, sebagaimana Widjojo, memperoleh gelar doktor dari University of California, Berkeley, pada awal dan pertengahan 1960-an dengan sponsor The Ford Foundation. Para ekonom ini, selain dikenal sebagai teknokrat semua memperoleh gelar sarjana ekonomi dari Universitas Indonesia dan, sebagaimana Widjojo, memperoleh gelar doktor dari University of California, Berkeley, pada awal dan pertengahan 1960-an dengan sponsor The Ford Foundation. Para ekonom ini, selain dikenal sebagai teknokrat

  7 tiga pemikir politik tahun 1960-an: Seymour M. Lipset, 8 Daniel Bell, dan Samuel Huntington. 9

  Melalui konsep modernisasi ini, pembangunan ekonomi merupakan tujuan utama rezim Orde Baru, yang mensyaratkan pembuatan kebijaksanaan pemerintahan secara rasional, efisien, efektif, dan pragmatis. Ideologi pembangunan ini kemudian dikembangkan oleh Mayor Jenderal Ali Moertopo yang menulis Dasar-dasar Pemikiran Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun. Menurutnya, membangun bangsa dan negara adalah memberi isi kepada kemerdekaan nasional. Ini berarti memajukan kesejahteraan

  Orde Baru, atau kelompok Widjojo, sering dijuluki sebagai Mafia Berkeley, dengan Widjojo Nitisastro sebagai pemimpin dan bapak kelompok itu.

  7 Hipotesis utama Seymour M. Lipset adalah bahwa demokrasi politik didahului oleh pembangunan ekonomi. Berdasarkan penafsirannya terhadap sejarah demokrasi Barat, ia

  berpendapat bahwa hanya bangsa-bangsa yang telah mengalami pembangunan ekonomi tingkat tinggilah yang berhasil mencapai demokrasi liberal tingkat tinggi. Lihat Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 135.

  8 Pendapat utama Daniel Bell tentang “berakhirnya ideologi” menekankan bahwa intensitas politik berdasarkan ideologi merosot bersamaan dengan meningkatnya pembangunan

  ekonomi dalam masyarakat-masyarakat modern. Karenanya, persoalan masyarakat dewasa ini telah membuat kebijaksanaan pemerintahan begitu rumit, sehingga rakyat tidak dapat lagi membiarkan proses pembuatan keputusan didominasi oleh politisi ideologis, dan para pakar harus diberi peranan utama dalam proses tersebut. Dengan kata lain, dalam masyarakat modern para politisi tradisional harus mundur dan digantikan oleh para ahli, yaitu para teknokrat. Lihat Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 135- 136.

  9 Argumen penting yang diajukan oleh Samuel Huntington adalah tentang akibat-akibat yang berbahaya dari mobilisasi sosial yang tidak terkendalikan, dan sangat pentingnya ketertiban

  bagi negara-negara yang kurang berkembang. Yang lebih penting lagi, menurut Huntington, adalah pelembagaan politik. Agar dapat bertahan, pemerintah negara-negara baru harus mampu menyalurkan tuntutan rakyat terhadap partisipasi politik secara tertib. Lihat Mohtar Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 136-137.

  dan kemakmuran rakyat, yang akhirnya diarahkan untuk menciptakan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. 10

  Dalam rangka menciptakan dan memelihara stabilitas nasional, pemerintah mengambil langkah-langkah serius, yaitu pertama, menciptakan politik yang bebas dari konflik ideologis dan berdasarkan atas ketertiban dan kesepakatan (konsensus). Kedua, membatasi partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi rakyat harus diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang elite politik. Sementara untuk mencegah masyarakat agar tidak menjadi korban kepentingan politik dan ideologi partai, mereka harus dibebaskan dari politik kepartaian. Dan, partai-partai politik tidak boleh aktif di daerah pedesaan

  kecuali selama kampanye pemilihan umum sekali dalam lima tahun. 11

  Dengan mengacu kepada tujuan yang hendak dicapai oleh Orde Baru, juga syarat-syarat yang mesti ditempuhnya, setidaknya ada beberapa pilar penting yang menopang kekuasaan Orde Baru, sebagai upaya penataan ulang struktur politik Indonesia. Pilar-pilar itu adalah: (1) birokrasi sipil yang terkendali, (2) angkatan bersenjata yang terpadu, (3) lembaga perwakilan yang lebih tanggap terhadap eksekutif, (4) politik kepartaian yang disederhanakan, dan (5) kantor kepresidenan

  sebagai inti. 12 Kelima pokok ini sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kekuasaan pemerintah yang kuat, efektif, dan sentralistik, sehingga stabilitas

  politik dapat terwujud. Dan hasilnya, kekuasaan Orde Baru merentang panjang dengan dinamika yang menyertainya, hingga kejatuhannya pada Mei 1998.

  10 Sudarnoto Abdul Hakim, “The Partai Persatuan Pembangunan: the Political Journey of Islam under Indonesia’s New Order (1973-1987),” (Tesis Master, McGill University, 1993), hal.

  38-39.

  11 Ibid., hal. 149. 12 Ibid., hal. 150-175.

  Rentang panjang kekuasaan Orde Baru tersebut, oleh Ricklefs dibagi ke dalam tiga tahap perkembangan: 1965-75 sebagai tahap penciptaan, 1976-88 sebagai masa keemasan, dan 1989-98 sebagai masa tantangan, krisis, dan keruntuhan. Berikut akan coba diungkap berbagai peristiwa sosial dan politik yang menyertai perjalanan Orde Baru sejak tahun 1970-1990, yang merupakan penerapan langsung dari karakteristik pemerintahannya sebagaimana diuraikan di atas, tentunya dengan gaya pemerintahannya yang represif dan militeristik.

  Pada periode pertama pemerintahannya, terutama sejak 1967-1970, Soeharto memprioritaskan pada kebijakan sentralisasi dan militerisasi. Upaya ini ditunjukkan dengan perombakan besar-besaran angkatan bersenjata dengan menempatkan para panglima daerah di bawah komando angkatan darat pusat sambil melenyapkan persaingan antarangkatan, serta pengangkatan perwira

  militer sebagai gubernur, walikota, dan bupati. 13

  Pada bulan Agustus 1967, Soeharto menghapuskan empat kementerian angkatan bersenjata yang terpisah dan memegang langsung kekuasaan atas empat

  angkatan tersebut. 14 Kebijakan yang sentralistik itu diikuti oleh militerisasi pemerintahan daerah. Pada tahun 1968, 17 dari 25 propinsi diperintah perwira

  militer. Pada 1970, 20 dari 26 gubernur Indonesia diambil dari kalangan militer. Dan, 13 dari 20 gubernur itu diangkat lagi untuk masa jabatan lima tahun kedua. Pada tahun itu sekitar 60 persen dari semua bupati dan walikota juga diambil dari

  kalangan angkatan bersenjata. 15 Sentralisme pemerintah Orde Baru tersebut

  13 Michael Malley, “Daerah: Sentralisasi dan Perlawanan,” dalam Donald K. Emmerson, ed, Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, (Jakarta: PT. Gramedia,

  2001), hal. 130.

  14 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 579. 15 Malley, “Daerah: Sentralisasi dan Perlawanan,” hal. 132.

  kemudian dilegalisasikan melalui Undang-undang No. 5 tahun 1974, yang akan berlaku selama berkuasanya Orde Baru. 16

  Tentunya, prioritas utama pemerintahan Orde Baru dalam upaya sentralisasi kekuasaannya adalah memperketat pemerintahan sipil, yakni dengan depolitisasi birokrasi. Pada bulan Februari 1970, pemerintah mengumumkan bahwa semua pegawai pemerintah harus memiliki “Monoloyalitas” (kepatuhan tunggal) kepada pemerintah. Mereka tidak diizinkan bergabung dengan partai

  politik lain kecuali Golkar (Golongan Karya). 17

  Hasilnya, pada pemilihan umum Juli 1971, Golkar memperoleh 62,8 suara, memenangkan 227 (65,6) dari 351 kursi yang diperebutkan. Angka ini jauh di atas NU yang meraih 18,6 (58 kursi) suara, Parmusi 9,3 (24 kursi), dan

  PNI yang hanya memperoleh 6,9 (20 kursi) suara. 18 Dan sebagaimana sudah bisa diduga, pada bulan Maret 1973, MPR yang baru terbentuk memilih Soeharto

  sebagai presiden untuk kedua kalinya.

  Namun, meski Golkar meraih suara tertinggi, pemerintah tidak melihat kemenangan pemilihan umum ini sebagai tanda bahwa kekuasaan politik Indonesia sudah stabil dan terkendalikan. Pemerintah kemudian mendesak partai- partai untuk meleburkan diri ke dalam dua partai. Pada bulan Januari 1973, PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dibentuk dari partai-partai Islam, terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Dari partai-partai non-Islam (Murba, PNI, Partai Katolik,

  16 Undang-undang itu menetapkan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

  daerah, prosedur untuk memilih eksekutif daerah, dan sifat otonomi daerah. Secara substansial, undang-undang tersebut merupakan penolakan langsung dari jiwa desentralisasi dan demokratisasi (Undang-undang No. 1 tahun 1957), serta otonomi seluas-luasnya (Tap MPRS No. XXIMPRS1966, 5 Juli 1966). Penjelasan lebih lanjut mengenai pelembagaan kekuasaan Orde Baru ini dapat dilihat dalam Malley, “Daerah: Sentralisasi dan Perlawanan,” dalam Emmerson, Indonesia Beyond Soeharto, hal. 133-140.

  17 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 584. 18 Mas’oed, Ekonomi dan Struktur Politik, hal. 165.

  Parkindo, dan IPKI) dibentuk PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Sejak itu, Indonesia memiliki sistem tiga partai: Golkar, PPP, dan PDI. 19

  Tak cukup hanya penyederhanaan sistem kepartaian yang dilakukan pemerintah dalam penataan kehidupan politik untuk menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan, tetapi juga menerapkan strategi floating mass (massa

  mengambang), yaitu memisahkan rakyat dari perhatian politik dan kepartaian, 20 atau depolitisasi massa. Ini dimungkinkan, karena sejak tahun 1973 partai-partai

  politik tidak boleh memiliki cabang-cabang di bawah tingkat kabupaten kecuali pada masa kampanye pemilihan umum. Keterbatasan yang tidak dialami Golkar karena organisasi ini sudah memiliki jaringan kuat dalam birokrasi dan, bagaimanapun, ia disamarkan seolah-olah bukan partai politik. Mulai saat itu hingga selanjutnya, partai-partai politik bukan lagi merupakan tantangan serius

  bagi pemerintah. 21

  Awal tahun 1974, pemerintah dikejutkan oleh terjadinya kerusuhan yang paling buruk di ibukota sejak kejatuhan Soekarno, sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama Malari (Malapetaka Januari). Peristiwa ini dipicu oleh kunjungan

  Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Jakarta pada 12 Januari 1974. 22 Dua hari setelah kunjungan Perdana Menteri Tanaka, gelombang protes meluas dan

  tumpah ke jalan-jalan di Jakarta. Sekitar 1000 mobil, kebanyakan buatan Jepang, dan 144 gedung dibakar atau dirusak, sembilan orang meninggal dan lebih seratus

  19 Ibid., hal. 174. 20 Sudarnoto, “The Partai Persatuan Pembangunan,” hal. 39. 21 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 586.

  22 Ibid., hal. 587. Pada tahun 1970-an peranan Jepang cukup menonjol karena investasi

  mereka yang meningkat pada industri pabrik di Jawa, yang menghambat pertumbuhan pengusaha pribumi. Jepang dipandang secara luas sebagai pemeras ekonomi Indonesia.

  cedera. 23 Diperkirakan sekitar 20 ribu orang mengelilingi rumah-tamu Tanaka, sementara 5 ribu orang mengelilingi istana kepresidenan. Pada 17 Januari,

  kerusuhan dapat diredakan. Pemerintah mengalamatkan tuduhannya kepada para mantan aktivis Masyumi dan PSI, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam kerusuhan itu. Kopkamtib menahan 770 orang dan menjebloskan beberapa tokoh mahasiswa ke dalam penjara. Di antara orang yang ditahan adalah Mochtar Lubis. Surat kabarnya, Indonesia Raya, ditutup, seperti juga Pedoman, Abadi, dan

  delapan surat kabar lainnya. Soemitro diberhentikan dari Kopkamtib. 24

  Pada awal tahun 1976, Orde Baru telah mencapai kestabilan politik. Pemerintah bergantung pada sentralisasi kekuasaan di tangan Soeharto. Kebebasan berpolitik ditekan dengan kekerasan fisik, penahanan, dan pelarangan penerbitan, atau dengan ancaman tindakan demikian. Partai-partai politik tidak diberi peluang untuk mengubah tatanan politik, tetapi tetap mengikuti proses pemilihan umum yang dikendalikan oleh pemerintah. Militer mengambil keputusan utama, tetapi mengambil keputusan ekonomi bersama-sama para teknokrat dan mengurus administrasi negara bersama dengan birokrasi. Golkar adalah kendaraan bagi dominasi militer dan birokrasi. Pemerintah yang tidak ingin menoleransi adanya sebuah negara merdeka, dan cenderung kiri, di dalam kepulauannya sendiri, pada 7 Desember 1975, menyerang Timor Timur, bekas kerajaan penjajahan Portugal. Dan pada bulan Juli 1976, Timor Timur berhasil

  digabungkan menjadi provinsi ke-27. 25

  23 Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, (Jakarta: Freedom Institute, 2004), hal. 77.

  24 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 588. 25 Ibid., hal. 591-592

  Masa keemasan Orde Baru berlangsung sekitar dua belas tahun antara 1976-88. Rencana pembangunan ekonominya disokong oleh melonjaknya harga

  minyak pada tahun 1970-an. 26 Antara 1968 sampai 1981, ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari 7 persen, prestasi yang bersifat rekor dan tak ada presedennya

  dalam sejarah modern Indonesia. 27 Tahun 1980 bahkan mencapai angka 9,6 persen. 28 Sementara itu, selama lima tahun hingga 1982, produksi beras

  meningkat 36. Hasil penen yang luar biasa besar menyusul pada periode 1983-

  85. Ketika itu hasil total padi meningkat sampai 49. Maka, pada 1985 pemerintah menyatakan Indonesia berswasembada beras. 29

  Pengurangan kemiskinan rural yang cukup berarti dicapai pada permulaan tahun 1978. Sektor padi memberi sumbangan yang paling berarti dalam pengurangan kemiskinan. Secara keseluruhan, selama periode 1976-1984, persentase penduduk miskin menurun sampai mendekati 50, dan sejumlah kaum

  miskin absolut di Indonesia berkurang hampir mencapai 20 juta orang. 30

  Pemilu 1977 didominasi oleh Golkar yang mendapatkan 62,1 suara, sementara PDI mendapat 8,6. Karena adanya NU, PPP mendapatkan 29,3. 31

  Pada tahun 1978 MPR memilih Soeharto sebagai presiden untuk ketiga kalinya.

  Bersamaan dengan tercapainya kestabilan politik rezim Orde Baru, kritik terhadap korupsi juga berdatangan, terutama diwakili oleh mahasiswa dan tokoh eksentrik terkemuka. Pada September 1976, seorang mistikus dan mantan pegawai

  26 Ibid., hal. 593.

  27 Anne Booth, “Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan,” dalam Emmerson, ed,

  Indonesia Beyond Soeharto, hal. 191.

  28 T. Mulya Lubis, dkk., Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesi 1981,

  (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hal. 20.

  29 Booth, “Pembangunan: Keberhasilan dan Kekurangan,” hal. 194.

  30 Russell J. Cheetam dan R. Kyle Peters Jr., “Pengurangan Kemiskinan Selama

  Pemerintahan Orde Baru,” dalam Frans Husken, dkk. (eds), Pembangunan dan Kesejahteraan Sosial: Indonesia Di Bawah Orde Baru, (Jakarta: Grasindo, 1997), hal. 23-24.

  31 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 595.

  negeri, Sawito Kartowibowo, 32 ditahan. Sawito menghujat Soeharto dan kroni korupsinya, dengan menulis satu dokumen berjudul: Menuju Keselamatan, dan

  ditandatangani oleh beberapa tokoh terkenal, di antaranya T.B. Simatupang dan mantan Wakil Presiden Hatta. Demonstrasi mahasiswa menentang Soeharto dan suasana sandiwara yang mewarnai pengadilan Sawito terus berlangsung hingga

  memasuki tahun 1978. 33

  Mengenai isu hak asasi manusia, Amnesti Internasional mencatat masih ada 55.000-100.000 tahanan politik di Indonesia pada tahun 1977 yang ditahan tanpa jalur pengadilan sejak usaha kudeta 1965. Meski mendapat sorotan dari dunia internasional, pemerintah tetap saja terus melakukan penahanan politik. Pada tahun 1978, terjadi lebih dari 100 penahanan terhadap orang-orang yang

  diduga terlibat dalam peristiwa 1965. 34

  Untuk mendorong keseragaman ideologis, pada tahun 1978 pemerintah memulai satu program indoktrinasi wajib mengenai ideologi Pancasila bagi semua warga negara. Tokoh utama yang merancang program ini adalah Roeslan Abdulgani, yang sebelumnya merupakan seorang pendukung aktif ideologi demokrasi terpimpin Soekarno. Kursus penataran bernama P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dilakukan dalam departemen- departemen pemerintahan, tempat-tempat kerja, sekolah, dan tempat-tempat lainnya. Upaya ini dibantu oleh militer yang dari tahun 1980 melakukan indoktrinasi Pancasila di desa-desa melalui kebijakan bernama ABRI Masuk Desa. Program ini juga bertujuan bertujuan untuk mendorong pembangunan,

  32 Dia dipecat dari birokrasi tahun 1968 karena berhubungan dengan sayap kiri PNI. Pada tahun 1972, dia mengaku mendapat ilham yang membuatnya berkesimpulan bahwa dia akan

  menjadi Presiden Republik Indonesia.

  33 Ibid., hal. 596-604. 34 Ibid., hal. 597.

  mempertahankan posisi sentral ABRI, dan untuk mendapatkan dukungan rakyat terhadap militer. 35

  Pada pemilu 1982, Golkar meraih 64,3 suara. PDI merosot perolehannya menjadi 7,9 dan PPP menjadi 27,8. Namun, pemilu 1982 ditandai dengan kekerasan kampanye berskala besar (dikenal dengan peristiwa Lapangan Banteng). Surat kabar harian Islam, Pelita, dan mingguan berita Tempo, dilarang terbit karena menurunkan laporan tentang kekerasan tersebut. Sentimen-sentimen ideologis yang berbasis agama dianggap turut bertanggung jawab atas terjadinya kekacauan tersebut. Hal ini diperkuat oleh pembajakan sebuah pesawat Garuda

  oleh lima kaum ekstremis Islam pada bulan Maret 1981. 36

  Maka, untuk mencegah meningkatnya persatuan kelompok Islam menjadi gerakan politik yang berbahaya, pada tahun 1983 pemerintah berusaha mewujudkan keseragaman ideologis yang lebih besar di seluruh sektor, dengan keputusan bahwa semua organisasi harus menjadikan Pancasila sebagai satu- satunya asas. Ini secara langsung dan disengaja, mengharuskan organisasi-

  organisasi Islam untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar. 37

  Pada bulan Desember 1983, rapat nasional yang dihadiri ulama-ulama senior NU di Situbondo, Jawa Timur, memutuskan bahwa NU harus menarik diri dari PPP, meninggalkan total partai politik, dan menerima Pancasila sebagai asas

  tunggal. 38 PPP menerima Pancasila sebagai asas tunggalnya pada 22 Agustus

  35 Ibid., hal. 604-605. Dalam program ini para prajurit memperbaiki jembatan dan sumur, membetulkan jalan, membangun rumah-rumah ibadah dan klinik kesehatan.

  36 Ibid., hal. 606-607. 37 Ibid., hal. 606-611. 38 Mengenai hal ini lihat HM. Shaleh Harun dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang

  Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal: Sebuah Kajian Informatif Pandangan NU-Muhammadiyah, (Yogyakarta: Aquarius, 1986), hal. 181.

  1984. 39 Sedangkan organisasi modernis Muhammadiyah menerima Pancasila dalam kon35es 1985. 40

  Pada tanggal 12 September 1984, terjadi kerusuhan terparah sejak peristiwa Malari satu dekade sebelumnya, yaitu ketika terjadi insiden di Tanjung

  Priok, daerah pelabuhan di Jakarta. p105741 Detail insiden ini tetap kabur, tapi yang pasti ada sebuah demonstrasi massa kalangan masjid yang mengumandangkan

  slogan-slogan antipemerintah dan anticukong, 42 menolak Pancasila sebagai asas tunggal, dan menuduh prajurit ABRI telah mengotori masjid. Setidaknya 28

  orang, bahkan mungkin lebih dari seratus, terbunuh dalam demonstrasi tersebut. 43

  Karena insiden Tanjung Priok ini, pamflet antipemerintah yang menyerukan kaum Muslim untuk membela Islam tersebar luas. Pengeboman dan pembakaran terjadi di Jakarta. Bank Central Asia (BCA) milik Liem Sioe Liong merupakan sasaran utama dari tiga ledakan yang gemparkan Jakarta pada 4

  Oktober 1984. 44 Candi Borobudur di Jawa Tengah dibom pada bulan Januari 1985. Pada bulan Juli 1985, api menghanguskan pusat perbelanjaan utama di

  Glodok, daerah bisnis perkampungan Cina, Jakarta, dan menghancurkan kantor pusat Radio Republik Indonesia (RRI). Beberapa minggu kemudian, 60 gedung

  dibakar di sebuah areal bisnis di Jakarta. 45

  Pada bulan Oktober 1986, pemerintah melarang terbit harian Protestan terkemuka bertiras besar Sinar Harapan, yang telah berumur 23 tahun, karena

  39 Rekaman Peristiwa ’84, Penerbit Sinar Harapan, 1985, hal. 242. 40 Mengenai penerimaan Muhammadiyah terhadap asas tunggal Pancasila, lihat Lukman

  Harun, Muhammadiyah Dan Asas Pancasila, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 61. Lihat pula Harun dan Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam, hal. 215.

  41 Rekaman Peristiwa ’84, Penerbit Sinar Harapan, 1985, hal. 244. 42 “Cukong” berasal dari bahasa Hokkien yang artinya “bos” dan “kakek”. 43 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 615-616. 44 Rekaman Peristiwa ’84, Penerbit Sinar Harapan, 1985, hal. 211. 45 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 616.

  menerbitkan artikel mengenai suksesi kepresidenan dan sisi gelap dunia bisnis Indonesia. Pada bulan Februari, harian tersebut muncul lagi dengan nama Suara

  Pembaruan. 46

  Dalam pemilu April 1987, Golkar kembali memenangkan pemilu dengan meraih 73,2 (dari 64,3 pada tahun 1982), sementara PPP merosot dari 27,8 menjadi 16. PDI meningkat perolehannya dari 7,9 tahun 1982 menjadi 10,9. Jadi, 11,9 suara telah meninggalkan PPP, 8,9 beralih ke Golkar dan sisanya ke PDI. Tampak jelas peralihan pendukung NU dari PPP ke Golkar dan PDI dalam

  pemilu 1987 ini. 47 Pada bulan Maret 1988, Soeharto terpilih sebagai presiden untuk kelima kalinya. 48

  Namun, sejak 1989 sampai kejatuhannya pada 1998, Orde Baru memasuki masa tantangan dan krisis. Ini tampak dari konflik politik dan sosial yang muncul di sejumlah daerah. Di Aceh, sejak berakhirnya separatisme pada tahun 1976-82, pemberontakan kembali muncul pada Mei 1988 dan menjadi serius ketika pada tahun 1989 para pejuang GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menyerang pos-pos

  ABRI dan mengambil senjata. 49 Pada pertengahan 1990, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). 50 Di Lampung, ABRI berhadapan dengan

  gerakan kuat pada awal 1989 yang dipimpin oleh tokoh-tokoh Islam lokal, yang mengakibatkan sekitar seratus orang desa terbunuh. Sementara itu, Timor-timur, yang sampai 1989 tertutup bagi dunia luar, juga muncul lagi sebagai wilayah berbahaya bagi Jakarta, melalui demonstrasi pro-kemerdekaan ketika Paus

  46 Rekaman Peristiwa ’87, Penerbit Sinar Harapan, 1988, hal. 211 47 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 617. 48 Rekaman Peristiwa ’88, Penerbit Sinar Harapan, 1989, hal. 233 49 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal.

  50 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 626. Pemerintah pusat mengirim 12.000

  pasukan untuk menumpas gerakan tersebut, dan mengakibatkan kurang lebih 2.000 orang tewas atau cedera, sebagian besar dari kalangan sipil. Lihat Malley, “Daerah: Sentralisasi dan Perlawanan,” hal. 162.

  Johannes Paulus II mengunjungi Dili pada bulan Oktober 1989. Sejak saat itu, perhatian internasional terhadap Timor-timur meningkat, meski pemerintah pusat

  dan ABRI bertekad menentang segala perubahan fundamental di sana. 51

  Meski demikian, pada bulan Desember 1990, tercatat sebuah sejarah penting ketika Soeharto menyetujui dibentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). ICMI mengubah konteks politik dan religius di Indonesia. ICMI melambangkan rekonsiliasi antara negara dan Islam modernis yang tidak terbayangkan satu dekade sebelumnya. ICMI didirikan oleh sekelompok kaum intelektual-kelas-menengah Islam. Mereka meminta Habibie untuk memimpin

  ICMI. 52

  Apa yang ditunjukkan oleh fakta-fakta yang terjadi sepanjang 1970-1990 ini adalah bahwa karakteristik sistem politik Orde Baru jelas bersifat otoriter. Mas’oed berhasil menjelaskan sifat otoriterisme Orde Baru melalui kerangka otoriterisme-birokratik dan korporatis-negara yang dicirikan dalam karakteristik berikut: (1) rezim Orde baru dipimpin oleh militer sebagai suatu lembaga bekerja sama dengan para teknokrat sipil, (2) beberapa perusahaan besar yang mempunyai hubungan khusus dengan negara dan kapitalis internasional mendominasi perekonomian Indonesia, (3) pembuatan kebijakan yang teknokratik-birokratik, (4) massa didemobilisasikan, (5) tindakan-tindakan represif untuk mengendalikan oposisi, dan (6) kantor kepresidenan yang otonom. Otoriterisme ini muncul, di samping akibat krisis politik dan ekonomi yang diwariskan oleh rezim

  51 Ibid., hal. 627-628. 52 Ibid., hal. 632.

  sebelumnya, adalah sebab kuatnya dominasi eksekutif dan pengaruh kuat militer dalam politik dan ekonomi, serta, lemahnya lembaga legislatif dan yudikatif. 53