Ciri-ciri Kelas Menengah Santri

C. Ciri-ciri Kelas Menengah Santri

  Setelah melihat fenomena historis yang menyertai tumbuhnya kelas menengah santri di masa Orde Baru ini, persoalan penting berikutnya yang mesti

  88 Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, hal. 108. Lihat pula R. William Liddle,

  Islam, Politik dan Modernisasi, (Jakarta: Sinar Harapan, 1997), hal. 73.

  89 Ibid., hal. 108.

  kita bahas adalah apa dan bagaimanakah karakteristik yang menjadi ciri-ciri tertentu kelas menengah santri ini? Ada banyak variabel yang bisa kita bicarakan, di antaranya yang sering menjadi bahan diskusi adalah politik, ideologi, gaya hidup, dan nilai. Namun, di sini kita membatasi pada dua yang pertama, yaitu politik dan ideologi. Sebabnya sederhana: secara historis kelas menengah telah menjadi sumber utama desakan terhadap perubahan ekonomi, sosial, kultural, dan

  politik. 90

  Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kebijakan pembangunan Orde Baru telah menciptakan banyak proyek, kontrak, dan lisensi yang akhirnya menumbuhkan kelas menengah Orde Baru dengan pesatnya. Beberapa dari kelas menengah ini cukup kritis dan menuntut pemerintah agar lebih demokratis, namun pada umumnya kelas menengah ini cukup terpuaskan oleh sukses pembangunan ekonomi selama bertahun-tahun. Mereka menerima peran pemerintah Orde Baru sebagai developmental state yang otoriter; dengan demikian, pembangunan

  ekonomi menjadi legitimasi kekuasaan Orde Baru. 91 Kenyataan ini pernah pula ditegaskan oleh Ricklefs, bahwa kemajuan yang dicapai pembangunan ekonomi

  Orde baru telah memunculkan suatu kelas menengah baru, yang tidak begitu keberatan dengan menggejalanya korupsi dan juga dengan berbagai penindasan rezim, karena Orde Baru dianggap mendatangkan keuntungan besar bagi mereka

  dan keluarganya. 92 Selain menjadi korban, sebagaiman telah disinggung sebelumnya, kelas menengah santri, tentunya, turut menjadi bagian masyarakat

  yang menikmati keuntungan dari pembangunan yang dijalankan oleh Orde Baru.

  90 Daniel S. Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan

  Awal,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk., (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 24.

  91 Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonom, hal. 103-104. 92 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 593.

  Dari berbagai elemen kelas menengah, Lev melihat bahwa secara politis dan ideologis, kelompok yang paling aktif dan menarik di antara kelas menengah Orde Baru adalah kaum profesional. Karena secara tipikal mereka menciptakan para revolusioner dan pembaharu yang memiliki pengaruh yang besar; meski

  sebagian lainnya bersikap sangat konservatif. 93 Penilaian ini tentunya terkait dengan semakin diborjuasikannya kelas menengah profesional ini akibat peluang-

  peluang ekonomi yang berhasil diciptakan Orde Baru, sehingga mereka dapat membangun basis ekonomi yang kokoh dan, sebagai akibatnya, mereka makin

  memiliki makna sosial. 94 Harapan besar terhadap kelas menengah profesional ini juga datang dari Kuntowijoyo. 95 Menurutnya, yang menarik dari kelas menengah

  profesional ialah munculnya anak-anak kaum santri yang muncul ke tengah sejarah membawa ideologi mereka sendiri. Mereka, menurut Kunto, dapat

  menjadi basis sosial bagi perubahan-perubahan yang bakal terjadi. 96 Berbeda dengan Lev dan Kuntowijoyo, saya lebih melihat bahwa kaum intelektuallah yang

  berperan besar dalam proses perubahan sosial di Indonesia. Satu hal yang diyakini pula oleh Benny Subianto. Menurutnya, mahasiswa, inteligensia, serta aktivis NGO adalah kelas menengah yang memiliki concern terhadap demokrasi dan

  senantiasa mengusahakan perubahan sosial. 97

  Secara umum, terdapat tiga tema ideologis yang paling mendasar dan menjadi kecenderungan dari kelas menengah. Pertama, berkaitan dengan pemisahan masyarakat dari negara, suatu gagasan yang terus berevolusi mengenai

  93 Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia,” hal. 26. 94 Tanter dan Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, hal. 8.

  95 Kuntowijoyo membagi kelas menengah ke dalam empat kelompok besar: kelas

  menengah bisnis, kelas menengah profesional, kelas menengah intelektual, dan kelas menengah birokrasi.

  96 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2006), hal.

  97 Subianto, “Kelas Menengah Indonesia,” hal. 22.

  wilayah pribadi (private universe) dengan prinsip-prinsip bekerjanya sendiri yang terpisah dari dan tak terlalu tergantung pada otoritas publik (liberal). Munculnya NGO atau LSM sejak akhir 1970-an dan 1980-an adalah wujud sikap keberjarakan dengan negara tersebut. Di antara NGO-NGO tersebut terdapat NGO Islam di mana para Muslim taat terlibat, yang tujuan-tujuannya adalah lebih

  bersifat sosial-etik ketimbang publik-politik. 98

  Tema kedua adalah pemerataan, yang hadir di berbagai dimensi politik, ekonomi, atau sosial dalam retorika protes-protes mahasiswa dan dalam aktivitas sejumlah lembaga bantuan hukum. Ini, agaknya, merupakan respons langsung dari

  kebijakan ekonomi dan politik Orde Baru yang berwatak patrimonialistik. 99 Dan terakhir, sinisme politik, 100 yang menjadi salah satu ideologi kelas menengah yang

  cukup mencolok. Sikap tersebut lebih merupakan akibat langsung dari kebijakan depolitisasi pemerintah Orde Baru. Dan ideologi ini, dalam beberapa segi, tampaknya diperlihatkan oleh kelas menengah santri.

  Perilaku politik kelas menengah santri lebih merupakan reaksi balik dari kebijakan dan rekayasa politik Orde Baru daripada bersumber pada konsep politik tertentu. Meski secara tidak langsung memiliki referensi teologis, namun sifat kondisional perilaku tersebut yang bersumber pada kondisi empiris yang selalu berubah dan berkembang, melekat dalam perpolitikan santri masa Orde Baru ini. Berubahnya orientasi religio-politik ke arah religio-ekonomik, bahkan lebih ke arah pragmatis dan fungsional, menandai semakin terbukanya peluang terjadinya

  98 Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia,” hal. 31-35. 99 Pendekatan patrimonial digunakan untuk menjelaskan keputusan ekonomi politik yang

  dibuat lebih demi kepentingan pribadi birokrat yang memegang kekuasaan. Pola yang ada di sini mengikuti pola patron-client, di mana pengusaha yang berhasil adalah pengusaha yang memiliki hubungan pribadi dengan pembuat keputusan. Dengan demikian kebijakan yang muncul adalah kebijakan yang memberikan keuntungan kepada keduanya. Munculnya kapitalisme kroni, crony capitalism, kerap dijelaskan dengan cara ini.

  100 Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia,” hal. 38.

  pembaharuan konsep-konsep teologi yang menjadi referensi ideologi-ideologi sosial yang baru, sebagaimana tampak dari munculnya pemikiran pembaharuan

  dari kaum intelektual Muslim. 101

  Sementara itu, berbagai perubahan pola kehidupan sosial, ekonomi, dan politik santri telah berpengaruh terhadap sikap dan perjuangan kelas menengah santri ini. Kondisi pekerjaan santri modern sebagai pegawai pemerintah yang berbeda dengan santri tradisional sebagai pedagang dan petani, serta semakin dekatnya dengan nilai-nilai birokratis telah mulai melunturkan komitmen terhadap pandangan politik dan ideologi Islam tradisional yang diidentikkan dengan sikap oposan, serta menjadi latar belakang ketergantungan golongan santri ini terhadap pemerintah. Santri kelas menengah ini cenderung bersikap terbuka, fungsional, akomodasionistis dan koperatif terhadap berbagai kebijaksanaan sosial, budaya,

  dan khususnya politik pemerintah Orde Baru. 102 Dukungan yang besar terhadap Golkar adalah salah satu indikasi yang paling jelas. Dapat disimpulkan kemudian,

  bahwa sikap politik santri telah berubah dari pola sikap primordial dan emosional ke arah pola sikap yang terbuka dan fungsional. Dukungan politik yang kemudian lahir juga bersifat terbuka dan fungsional, bahkan cenderung pragmatis.

  Secara politik, ikatan primordial partai Islam dengan kelas menengah santri telah dipatahkan dengan deideologisasi dan massa mengambang, setelah sebelumnya pemerintah mewajibkan semua pegawai negeri memiliki Monoloyalitas (kepatuhan tunggal) kepada pemerintah. Mereka tidak diizinkan bergabung dengan partai politik lain kecuali Golkar (Golongan Karya). Masing-

  101 Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, hal. 45.

  Ibid., hal. 49-51. Untuk kajian mendalam mengenai sikap dan wujud akomodasionis

  umat Islam terhadap Orde Baru ini silakan lihat Effendy, Islam dan Negara dan Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam.

  masing organisasi Islam kemudian dikendalikan oleh pemerintah melalui Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri dan pemerintah menempatkan para pejabatnya sebagai pimpinan organisasi tersebut. Kontrol yang ketat, terutama terhadap media komunikasi massa dan kegiatan dakwah, serta seleksi ketat terhadap kepemimpinan organisasi sosial dan politik Islam oleh pemerintah

  sesuai dengan loyalitas terhadap pemerintah Orde baru, 103 mengakibatkan kelas menengah santri makin terbatas ruang geraknya dalam menyalurkan aspirasi

  politik. Sementara pada sisi lain ketergantungan kelas menengah santri ini kepada pemerintah menjadi semakin besar.

  Tertutupnya pintu politik Islam melalui berbagai kebijakan tersebut menyebabkan kaum intelektual santri mencari formulasi baru teologi mereka. Pendeknya, mereka berusaha merumuskan suatu konsep teologi sosial dan politik yang mampu memberi jaminan politik dalam integrasi terhadap Orde Baru,

  sekaligus tidak menyimpang dari kaidah ajaran Islam. 104 Munculnya gerakan pembaharuan Nurcholish Madjid dan kelompoknya akhir 1960-an dan awal 1970-

  an, diikuti pemikir pembaharuan lainnya seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Kuntowijoyo, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo dan

  pemikir lainnya, dapat dijelaskan dalam kerangka yang demikian. 105

  Dengan melihat perilaku politik dalam hubungannya dengan sikap umat Islam terhadap pemerintah berhubungan dengan cara berpikir dan memahami ajarannya, Allan A. Samson membagi segmen santri dalam tiga kategori:

  103 Ibid., hal. 101-103. 104 Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, hal. 108. 105

  Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai corak atau peta pemikiran Islam Orde Baru,

  lihat Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986). Corak baru pemikiran Islam Orde Baru yang ditemukan adalah: Neo-Moderrnisme Islam, Sosialisme-Demokrasi Islam, Internasionalisme dan Universalisme, dan Modernisme Islam.

  fundamentalis, reformis, dan akomodasionis. Kelompok fundamentalis mendukung jenis penafsiran Islam yang kaku dan murni, menentang pemikiran sekular, pengaruh Barat dan sinkretisme kepercayaan tradisional, dan menekankan keutamaan agama atas politik. Kelompok reformis juga menekankan keutamaan agama atas politik; tetapi lebih bersedia bekerja sama dengan kelompok-kelompok sekular. Mereka juga peduli dengan usaha menjadikan keyakinan agama relevan dengan era modern. Kelompok akomodasionis berpandangan bahwa kepentingan- kepentingan sosial dan ekonomi harus mendapat prioritas utama oleh organisasi- organisasi Islam, karena itu mereka bersedia bekerjasama dengan kelompok sekular, dan cenderung menyesuaikan diri dengan politik pemerintah dan

  sekaligus menghindari konflik. 106

  Wujud akomodasionis yang paling kentara adalah berdirinya ICMI pada akhir tahun 1990 yang menunjukkan satu kecenderungan baru yang mematahkan

  mitos santri sebagai oposan dan pembangkang. 107 Kecenderungan yang memberikan pengertian bahwa sedang terjadi integrasi mendasar antara kelompok

  santri dengan pemerintah, 108 di mana masing-masing pihak berusaha mewujudkan saling pengertian (mutual understanding), yang bermuara pada munculnya

  konvergensi; yaitu kesediaan untuk memberi dan menerima, yang berakar dari

  Effendy, Islam dan Negara, hal. 42. Lihat pula Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik

  Santri, hal. 83.

  107 Untuk paparan historis mengenai asal usul pembangkangan Islam, lihat Kuntowijoyo, “Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam: Melacak Asal-Usul Ketegangan Antara Islam

  dan Birokrasi,” dalam Paradigma Islam, hal. 123-137.

  Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri, hal. 3. Rahardjo, Intelektual, Inteligensia,

  hal. 334.

  kemantapan masing-masing pihak terhadap dirinya dan hilangnya kecurigaan atau kekhawatiran yang pernah muncul di antara mereka. 109

  Mengenai perilaku politik kelas menengah santri ini, Anwar membuat kategorisasi format dan orientasi kelas menengah santri Orde Baru yang disebutnya neo-santri, untuk membedakannya dengan santri lama yang lahir dan besar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi Orde Lama. Matriks berikut

  mencoba menjelaskannya: 110

  Perbedaan Perilaku Politik Kelas Menengah Santri Lama dan Kelas Menengah Santri Baru

  Kelas Menengah

  Format Orientasi

  Santri Lama

  Santri Baru

  1. Artikulasi Politik

  Romantis

  Pragmatis

  2. Visi Keagamaan

  Skripturalis

  Substansialis

  3. Ikatan Primordial

  Kuat

  Tidak Kuat

  4. Komitmen Perjuangan

  Islam Politik

  Islam Kultural

  5. Kepemimpinan yang dikembangkan

  Ideologis

  Intelektual

  Sumber: M. Syafi’i Anwar (1995).

  Dari matriks di atas tampak jelas, artikulasi pragmatis kelas menengah santri dengan visi keagamaannya yang bersifat substansialis ketimbang skripturalis. Sementara dari ikatan primordial, cenderung tidak kuat, dan dari sisi komitmen perjuangan lebih kepada Islam kultural, setelah Islam politik mengalami kekalahan dan tekanan dari penguasa. Dan, dengan intelektualisasi yang secara intens telah terbentuk, kepemimpinan intelektual kemudian tumbuh menggeser kepemimpinan berdasarkan ideologis. Meski demikian, pembedaan di atas harus tetap kita lihat secara fleksibel, dan tidak dimaksudkan sebagai dikotomi yang tajam dan rigid.

  M. Syafi’i Anwar, “Islam, Negara, dan Formasi Sosial dalam Orde Baru: Menguak

  Dimensi Sosio-Historis Kelahiran dan Perkembangan ICMI,” Suplemen Ulumul Quran III, no. 3, 1992, hal. 16.

  110 Anwar, Pemikiran dan Aksi, hal. 128.

  Melalui pembagian kelas menengah santri ke dalam tiga lapisan: atas, menengah, dan bawah, 111 Aswab Mahasin mengidentifikasi pandangan atau

  ideologi kelas menengah santri terhadap pemerintah. Lapisan menengah atas cenderung menjadi sangat pragmatis, bahkan oportunistik; mempertahankan status-quo, bersikap lebih harmonis, menerima sistem secara damai, kurang radikal, dan kurang fanatik terhadap umat. Sementara lapisan menengah-tengah menjadi lebih liberal: memandang agama terbuka terhadap berbagai interpretasi, dan tidak ada satu lembaga pun, tidak juga negara, yang memiliki wewenang untuk memaksakan interpretasi yang tunggal; mereka berupaya memelihara hubungan mereka dengan umat melalui berbagai saluran seperti lembaga dan organisasi keagamaan, dan juga organisasi-organisasi pengembangan masyarakat (LSM-LSM). Namun, sebagian elemen dari kelas menengah santri ini cenderung radikal: kembali kepada ajaran dasar agama untuk memberi rasa kepastian di tengah perubahan sosial yang membingungkan; mereka tidak mendukung cita-cita negara Islam secara terbuka, tetapi mempertunjukkan ketaatan terhadap doktrin- doktrin Islam melalui simbol-simbol tertentu, seperti memakai jilbab. Radikalisme dan ekstremisme ini muncul karena didorong atau dirangsang oleh suasana isolasi yang sistemik dan kekerasan yang represif. Dalam lapisan menengah bawahlah

  Aswab Mahasin, “Kelas Menengah Santri: Pandangan Dari Dalam,” dalam Richard

  Tanter dan Kenneth Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk., (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 153-154. Berdasarkan posisinya dalam sektor pemerintah atau swasta, Mahasin mengidentifikasi kelas menengah santri ke dalam tiga lapisan: atas (terdiri dari anggota- anggota borjuasi negara, staf ahli kementrian, anggota DPR, direktur-jenderal, para direktur, kepala-kepala biro dan sub-direktorat, dan mereka yang menduduki posisi penting di dalam berbagai departemen dan BUMN.), menengah (terdiri dari kaum profesional seperti para eksekutif, manajer, ahli teknik, dan juga konsultan, akuntan, dan pengacara, kaum intelektual dan masyarakat pers secara umum, dokter, aktivis LSM, dan juga pegawai negeri sipil yang menjabat eselon tiga dan empat dalam birokrasi), dan bawah (terdiri dari seluruh kelas menengah-bawah urban seperti pegawai negeri rendahan, usahawan kecil, buruh pabrik, dan mereka yang bekerja di bidang angkutan dan jasa-jasa urban lainnya).

  kita masih menemukan banyak hal yang berkaitan solidaritas dan sentimen komunal, dan secara umum cenderung lebih dekat pada tradisi. 112

  Meskipun demikian, menurut Hefner, sebagian besar santri yang menjadi bagian dari kelas menengah Orde Baru yang tumbuh di tahun 1970-an dan 1980- an, karena pendidikan modern yang mereka dapatkan, cenderung bersikap moderat dan toleran, baik terhadap non-Muslim maupun terhadap sejawat Muslim

  yang berlainan afiliasi keagamaannya. 113 Dengan melihat perkembangan intelektual dan keislaman yang dikembangkan di lingkungan IAIN, yang

  menekankan strategi kultural bagi masa depan umat, Hefner dan begitu juga Nakamura, berkesimpulan bahwa bentuk keislaman yang modernis dan neo- modernis, yang digerakkan intelektual seperti Nurcholish, inilah yang mewarnai keislaman kelas menengah Indonesia masa Orde Baru. Namun, patut disayangkan, kedua pengamat ini mengabaikan bentuk keislaman yang berkembang di kampus- kampus perguruan tinggi umum pada tahun 1970-an dan 1980-an, yang cenderung bersifat radikal; atau, dari segi-segi tertentu bersifat fundamentalis. Ini, kata Saiful Mujani, ditunjukkan dari tokoh-tokoh kampus seperti Imaduddin Abdurrahim,

  Amin Rais, dan Kuntowijoyo. 114

  Dengan demikian, sikap dan reaksi kelas menengah santri terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru, terutama masalah modernisasi, dapat disimpulkan dalam tiga kerangka. Pertama, melihat moderniasi sebagai suatu proses penyebaran nilai-nilai yang sejalan dengan ekspansi kekuatan ekonomi dan politik Barat. Kerangka ini melahirkan pemikiran-pemikiran yang bersifat kritik terhadap Barat, terutama sekularisme yang menggeser peranan agama. Kedua,

  112 Mahasin, “Kelas Menengah Santri,” hal. 155-158. 113 Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi, hal. 74. 114 Mujani, “Kultur Kelas Menengah,” hal. 221-232.

  memandang modernisasi sebagai keharusan sejarah yang akan melanda seluruh dunia, dan karena itu perlu ditanggapi, lepas dari perasaan suka atau tidak suka. Kerangka ini menimbulkan kegiatan-kegiatan praktis dalam proses pembangunan melalui integrasi diri ke dalam birokrasi, serta masuk ke dunia bisnis dan profesional. Ketiga, mencoba menilai secara kritis, baik modernisasi maupun tradisi. Kerangka ini memunculkan tiga macam kegiatan: advokasi sebagai terjemahan dari pandangan perlunya perubahan struktus atas, seperti kesadaran, ideologi, sistem hukum, atau teologi; kegiatan kedua diwujudkan dalam tindakan- tindakan kongkret yang bersifat praksis, yang lebih mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat lapisan bawah; dan ketiga, mengarah kepada kegiatan

  intelektual murni yang independen dari struktur kekuasaan. 115

  Dengan melihat pada sikap ramah yang ditunjukkan pemerintah terhadap Islam melalui kebijakan-kebijakannya yang akomodatif, yang berpuncak pada terbentuknya ICMI (1990), dapat dikatakan bahwa idealisme dan aktivisme politik kelas menengah santri telah berubah dari formalisme-legalisme ke substansialisme, meski ini tidak menunjukkan suatu model yang jelas dan pasti

  mengenai hubungan politik antara Islam dan negara. 116 Dan, seiring dengan kemunduran Islam politik di Indonesia, perjuangan kelas menengah santri ini

  kemudian mengambil jalur kultural yang lebih menekankan pada substansiasi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam. 117

  115 Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, hal. 327-328. 116 Effendy, Islam dan Negara, hal. 336. 117 Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam, hal. 127.