Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde B

KUNTOWIJOYO DAN PANDANGANNYA TENTANG ISLAM INDONESIA

  Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

  Oleh

  Testriono NIM: 102022024390

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M

  PENGESAHAN PANITIA UJIAN

  Skripsi berjudul POTRET SANTRI KELAS MENENGAH MASA

  ORDE BARU: KUNTOWIJOYO DAN PANDANGANNYA TENTANG

  ISLAM INDONESIA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 4 Januari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

  Jakarta, 4 Januari 2008

  Sidang Munaqasyah

  Ketua Merangkap Anggota,

  Sekretaris Merangkap Anggota,

  Drs. H.M. Ma'ruf Misbah, M.A.

  Akhmad Saehudin, M.Ag.

  Dr. Jajat Burhanudin, M.A.

  Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, M.A.

  NIP: 150 248 781

  NIP: 150 240 083

  POTRET SANTRI KELAS MENENGAH MASA ORDE BARU:

KUNTOWIJOYO DAN PANDANGANNYA TENTANG ISLAM INDONESIA

  Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

  Oleh

  Testriono NIM: 102022024390

Pembimbing,

Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA

  NIP. 150240083

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008

LEMBAR PERNYATAAN

  Dengan ini saya menyatakan bahwa:

  1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

  Ciputat, 22 Desember 2007

  Testriono

  ABSTRAK

  Testriono Potret Santri Kelas Menengah Masa Orde Baru: Kuntowijoyo dan Pandangannya Tentang Islam Indonesia

  Kelas menengah santri adalah golongan Muslim taat dan ortodoks, yang berorientasi kepada doktrin dan kebudayaan Islam, yang terdapat dalam kelompok sosial dinamis yang tumbuh dalam ruang di antara borjuasi dan proletariat, terlepas dari variasi kepercayaan dan warna ortodoksi keislamannya.

  Kelas menengah santri yang tumbuh di masa Orde Baru adalah bagian dari kelas menengah baru atau borjuis kecil baru, yang terdiri dari para pekerja penerima upah yang tidak produktif, termasuk di dalamnya para pegawai negeri, kaum intelektual, mahasiswa, ahli hukum, kelompok profesional, pegawai bergaji dari lembaga swasta, dan lain-lain. Sementara kelas menengah santri yang menjadi bagian dari kelas menengah lama, yang terdiri dari para produsen berskala kecil, pengusaha menengah, petani kaya, pedagang kecil, pengrajin kecil dan usaha-usaha keluarga kecil-kecilan, yang pada masa Orde Lama menjadi pendukung utama Islam politik dan merupakan tulang punggung kekuatan Partai Masyumi dan Nahdlatul Ulama, semakin terdesak ketika Orde Baru mulai mengembangkan kebijaksanaan ekonomi pasar serta memberi peluang bagi masuknya modal asing.

  Penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Kuntowijoyo muncul dan menjadi bagian dari kelas menengah santri masa Orde Baru. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pendekatan sejarah sosial intelektual, yakni dengan melihat sejarah perkembangan suatu golongan sosial serta konteks sejarah tumbuhnya seorang intelektual.

  Subjek penelitian ini adalah ekspresi pemikiran dan sikap intelektual Kuntowijoyo dalam perspektif kelas menengah santri, yang difokuskan pada aktivisme Kuntowijoyo dan pemikirannya tentang Islam Indonesia.

  Kuntowijoyo adalah bagian dari kelas menengah santri Orde Baru yang seiring dengan kemunduran Islam politik di Indonesia melalui restrukturisasi politik yang dijalankan oleh Orde Baru, berjuang melalui jalur kultural yang lebih menekankan pada substansiasi dan fungsionalisasi nilai-nilai Islam.

  Ini ditunjukkan dari keengganan Kuntowijoyo untuk menggunakan media politik (struktural), seperti partai politik, dan ekspresinya untuk perubahan sosial umat yang diwujudkan melalui media tulisan, seminar, dan dakwah (kultural). Sikap dan aktualisasi politiknya lebih pragmatis, dengan penekanannya pada partisipasi umat. Kuntowijoyo juga memperlihatkan aktualisasi keberislamannya yang moderat, dengan mengembangkan strategi transformasi sosial yang lebih bersifat inklusif, integratif, dan diversifikatif dalam akomodasinya terhadap negara. Selain itu, visi keagamaannya tidak normatif dan skripturalistik, melainkan substantif dan fungsional, karena keyakinannya pada Islam sebagai sistem kehidupan, sehingga dimungkinkan untuk dijadikan teori sosial alternatif.

  i

  KATA PENGANTAR

  Pertama-tama, tentunya, rasa syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  Skripsi ini hadir dengan berhutang budi kepada sejumlah individu dan berbagai pihak. Pertama-tama, saya ingin menyatakan penghargaan saya yang sebesar-besarnya kepada Dr. Sudarnoto Abdul Hakim. Ia tidak hanya meyakinkan saya untuk mengangkat tema ini, melainkan juga tak kenal lelah memberi masukan, baik kritik maupun komentar, terhadap studi ini, dan tak kenal jemu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

  Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada AE. Priyono, Profesor Djoko Suryo, Adaby Darban, dan Ibu Susilaningsih (istri Alm. Kuntowijoyo) yang telah meluangkan waktu untuk wawancara dengan penulis di tengah kesibukannya masing-masing, dan memberikan bahan-bahan mengenai Kuntowijoyo.

  Selanjutnya, selayaknya saya menyampaikan penghargaan kepada staf Perpustakaan LP3ES, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Umum Islam Iman Jama', Perpustakaan PP Muhammadiyah Jakarta, dan Perpustakaan Nasional yang telah memberikan bahan-bahan yang penulis butuhkan untuk penulisan skripsi ini.

  Rasa terima kasih yang besar juga penulis sampaikan kepada Drs. Azhar Saleh (pembimbing akademik) dan Dr. Budi Sulistiono (yang waktu itu menjadi Kepala Jurusan SPI), yang telah menyetujui penulis mengambil tema skripsi ini. Tentunya juga, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta Dr. Abd. Chair, Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) Ma’ruf Misbah, dan Sekretaris

  ii

  Jurusan (sementara) SPI Akhmad Saehudin, juga segenap dosen jurusan SPI, serta Dr. Jajat Burhanudin yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini.

  Penelitian lapangan dan penulisan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai individu. Untuk itu saya ingin menyampaikan penghargaan kepada Muhammad Rifa'i yang telah mengantarkan penulis selama wawancara di Yogyakarta, Olman Dahuri dan Setyadi Sulaiman yang telah menjadi teman diskusi bagi skripsi ini, dan meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan, Yusuf Sidik yang telah menemani penulis mengajukan judul skripsi ini, serta Ridwansyah Rahman yang telah menjadi teman perjalanan penulis selama di Yogyakarta.

  Penghargaan tak terhingga juga saya sampaikan kepada Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat) yang telah menjadi “kuliah kedua” penulis di bidang pemikiran, khususnya kepada Adry Nugraha dan Seif El-Jihadi, yang telah membuka mata penulis terhadap teks berbahasa Inggris, serta seluruh teman- teman di Formaci yang telah menjadi teman diskusi yang mencerahkan. Juga, kepada Rudi Utomo yang menjadikan penulisan skenario dan sinematografi sebagai “kuliah ketiga” penulis selama di Jakarta, sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

  Dalam kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua, W. Handoko dan Zaleha yang telah membesarkan, mendidik, dan mengenalkan penulis pada kehidupan. Juga, seluruh keluarga, Eka Sarana Ningsih, Dwi Novari, dan Indra Wira S. Serta, yang tak terlupakan, kepada Bogie Satria dan Mama Hj. Juairiyah sekeluarga, yang telah menjadi keluarga-kedua penulis selama kuliah di UIN Jakarta. Secara khusus saya Dalam kesempatan ini, saya juga ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua, W. Handoko dan Zaleha yang telah membesarkan, mendidik, dan mengenalkan penulis pada kehidupan. Juga, seluruh keluarga, Eka Sarana Ningsih, Dwi Novari, dan Indra Wira S. Serta, yang tak terlupakan, kepada Bogie Satria dan Mama Hj. Juairiyah sekeluarga, yang telah menjadi keluarga-kedua penulis selama kuliah di UIN Jakarta. Secara khusus saya

  

  Akhirnya, saya ingin menyampaikan penghargaan saya kepada segenap rekan di kelas SPI angkatan 2002: Ajie, Ubay, Gojel, Koben, Novi, Lukman, Koboy, Aden, Fahrizal, Tri Gunardi, Japong, Marzuki, Cungkring, M. Nur, dan nama-nama lain yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di sini. Kehadiran mereka menjadikan masa hampir enam tahun belajar di UIN Jakarta lebih menyenangkan. Serta, rekan kosku, Agus Bre, yang kerap menjadi pendengar setia untuk celotehan penulis, juga yang telah meminjamkan buku-bukunya untuk penulisan skripsi ini, Tak lupa, penghargaan juga kepada Inshums (sebuah ruang diskusi yang hangat), Paradise—dan semua gunung yang sangat inspiratif, LPM Institut, khususnya Istikhori, yang telah berbagi pengalaman di dunia jurnalistik.

  Dan penghargaan saya yang terbesar, tentu saja saya alamatkan kepada yang terkasih, Nurseha Marzuki. Kesabaran dan pengertiannya membuat tahun- tahun terakhir kuliah saya di Jakarta menjadi lebih bermakna. Terima kasih untuk kesediaannya menjadi rumah terindah bagi penulis.

  Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang meminati sejarah sosial-intelektual dalam berbagai artikulasinya. Tapi, di atas semua itu, saya sendirilah yang bertanggung jawab atas segala kesalahan dan ketidaksempurnaan dalam studi ini.

  Jakarta, 27 Desember 2007

  Testriono

  BAB I PENDAHULUAN

  A. Latar Belakang Masalah

  “Kita ingin melihat sejarah bergerak kembali, tetapi tidak tanpa arah. Manusia masih merupakan aktor sejarah. Kita tidak percaya kepada determinisme. Satu-satunya pelajaran dari sejarah runtuhnya sosialisme ialah tidak adanya determinisme. Sejarah itu terbuka. Barangkali kita menjadi percaya kepada kesaktian dari mekanisme pasar, setelah ekonomi komando runtuh. Tetapi kita jangan lagi terjatuh pada determinisme manapun. Sejarah tetap terbuka. Salah satu prasyarat terbukanya kembali sejarah ialah terbentuknya sistem politik yang demokratis. Kita percaya bahwa kelas menengah yang telah tercerahkan

  tentu akan mendukung demokrasi.” 1

  Skripsi ini membahas ekspresi pemikiran dan sikap intelektual Kuntowijoyo dalam perspektif kelas menengah santri. Penulisannya diilhami oleh dua hal. Pertama, keprihatinan bahwa seringkali pemikiran dan aksi seorang intelektual dikaji dengan mencabutnya dari konteks sosial masyarakatnya. Seolah- olah pemikiran dapat lahir dari ruang hampa sejarah dan tanpa dialektika. Kalaupun dikaitkan kepada konteks, lebih kepada organisasi atau lembaga mana intelektual tersebut berkiprah. Skripsi ini mencoba memperkenalkan sebuah pendekatan yang berbeda dari kecenderungan tersebut, meski bukan sesuatu yang baru. Kedua, keyakinan bahwa manusia, melalui ide dan aktivismenya, turut memberi sumbangan terhadap perubahan sosial. Dan dalam rangka itu, kehadiran

  kelas menengah, terutama dari golongan intelektual menjadi penting. 2 Di

  Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1996), hal.

  2 Barrington Moore, Jr dalam bukunya Social Origins of Dictatorship and Democracy, (USA: Penguin University Books, 1974), yang melalui analisa sosial historisnya terhadap negara-

  negara di Eropa, Amerika, dan Asia, menyimpulkan bahwa ada tiga alternatif pokok sebagai jalan menuju masyarakat modern, yaitu: revolusi borjuis, fasisme dan komunisme. Borjuis dalam penjelasan ini adalah kelas pedagang dalam masyarakat feodal yang merupakan sosok awal kelas menengah.

  Karena peranannya yang besar dalam mengantarkan masyarakat Eropa dan Amerika menuju tatanan yang demokratis dan modern, di Indonesia harapan terhadap kelas menengah ini terus mengemuka. Lihat misalnya M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 268, Kuntowijoyo, Paradigma

  Indonesia, telah diakui secara luas bahwa kelas menengah santri senantiasa

  memberikan peranannya dalam setiap babakan sejarah. 3

  Kebangkitan kelas menengah santri tidak dapat dipisahkan dari

  kemunculan kelas menengah pribumi pada dasawarsa pertama abad 20, 4 yang

  disebabkan oleh ketakseimbangan struktur sosial serta ketegangan di antara strata- strata sosial sebagai akibat kebijakan sistem ekonomi kolonial Belanda yang

  monopolistis dan diskriminatif. 5 Ketidakadilan ekonomi tersebut telah

  membangunkan kesadaran politik dan ideologi kaum pribumi. Mereka terdiri dari golongan bangsawan, kaum elite pendidikan Barat, pedagang, kaum profesional dan pemimpin-pemimpin agama yang mentransformasikan diri menjadi pemimpin

  politik dan ideologi. 6 Mereka inilah yang menandai lahirnya kelas menengah pribumi, terkhusus kelas menengah Muslim-santri. 7

  Islam, hal. 373, Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hal. 129, dan Daniel S. Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan Awal,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk., (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 24. 3

  Mengenai peranan politik kalangan menengah Muslim-santri sejak zaman pergerakan, lihat misalnya Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), Ahmad Syafii Maarif, "Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin," serta Abdul Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi Kebudayaan Dalam Islam (Yogyakarta: Sipress, 1994) dan M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995) 4

  Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini lihat Robert van Niel, Munculnya Elit Modern

  Indonesia, terj. Zahara Deliar Noer, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). 5

  Salah satu kebijakan diskriminatif itu adalah pemberian lisensi kepada golongan Cina sebagai perantara dalam perdagangan dan pemungutan pajak. Maka, akhir abad 19 golongan Cina tumbuh menjadi feodal baru, kapitalis pedagang yang menguasai perdagangan eceran, bahkan juga perdagangan besar yang berhubungan dengan produsen dan konsumen di pedesaan maupun di luar desa, dan daerah-daerah lain. Kesempatan akumulai kapital itu digunakan oleh golongan Cina untuk mendirikan industri, salah satunya industri gula di Jawa. Kondisi yang timpang ini tidak memungkinkan bagi pedagang-pedagang pribumi untuk berkembang. Inilah prakondisi bagi berdirinya SDI dan kemudian SI: sebagai reaksi bermotifkan sosial-ekonomi dari kalangan pengusaha dan pedagang kecil pribumi terhadap monopoli pengusaha Cina. Lihat M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 234-238. Lihat pula Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 115-116. 6

  Farchan Bulkin, "Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara: Sebuah Catatan

  Penelitian," Prisma, no. 2 (Februari 1984), hal. 16. 7

  Abdurrahman Wahid mengidentifikasi kelas menengah santri ini di pedesaan, pada petani kaya dan pedagang; dan di daerah perkotaan, pada pengusaha batik, rokok kretek, kerajinan

  Terbentuknya Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909, dan diikuti

  berdirinya Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912, 8 meneguhkan kemunculan kelas

  menengah santri ini. Kuntowijoyo menyatakan bahwa kebangkitan kaum santri di

  abad 20 ini bersifat kekotaan, reformis, dan dinamis. 9

  Kebangkitan kelas menengah pribumi ini juga merupakan suatu konsekuensi yang tidak disengaja dari kebijaksanaan politik etis pemerintah Belanda yang telah melahirkan sejumlah golongan terdidik. Mengenai hal ini, Bulkin mencatat bahwa “...Pada pertengahan tahun 1920-an hasil dari politik etis bukanlah suatu masyarakat pribumi yang kuat dan bersatu, tetapi suatu masyarakat di mana kaum elitnya secara sosial telah diradikalkan dan secara

  politik teragitasi...” 10

  Kondisi tersebut disebabkan karena kebangkitan kelas menengah pribumi ini dibarengi dengan proses ideologisasi, yaitu mereka mulai terbuka pada ideologi dan pemikiran Islam modern, demokrasi liberal, sosialisme dan

  Marxisme-Leninisme, dan yang lebih penting lagi nasionalisme. 11 SI yang pada tahun 1920-an menjelma menjadi organisasi politik pertama yang bersifat

  nasional, memperlihatkan dirinya benar-benar sebagai organisasi politik yang dinamis, yang diwarnai pertentangan ideologis, meski ini juga menjadi salah satu

  penyebab perpecahannya. 12

  kulit, perak, dan emas. Lihat Abdurrahman Wahid, “Kelas Menengah Islam di Indonesia,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed, Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk, (Jakarta: LP3ES, 1996), , hal 19-20. 8

  Mengenai sejarah terbentuknya SDI dan SI, lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam,

  (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 114-170. 9

  10 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 81.

  11 Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 16 12 Ibid., hal. 15.

  Akibat masuknya paham Marxisme-Leninisme ke dalam tubuh SI, tahun 1921 Partai Sarekat Islam pecah dengan dikeluarkannya Semaun, Darsono, dan mereka yang pro-komunis—

  Di bidang sosial keagamaan, Muhammadiyah (1912) didirikan sebagai wakil dari kaum santri pembaharu, dan jauh kemudian Nahdlatul Ulama (NU, 1926) juga didirikan, yang merupakan wadah bagi kaum santri tradisional. Para pengurus dan anggota SI seringkali merangkap sebagai pengurus dan anggota baik Muhammadiyah maupun NU. Setelah terjadi kemunduran SI, para santri kelas

  menengah bergabung ke Muhammadiyah dan NU. 13

  Peran besar kelas menengah santri dalam pergerakan Islam modern dapat dilihat melalui kiprah mereka di dalam SI, yaitu pada usahanya mengarahkan kesadaran umat Islam dalam berbangsa dan bernegara dengan suatu wawasan baru: kemerdekaan politik dan ekonomi. Setelah SI, lalu berdirilah partai-partai Islam lain, seperti Permi (Persatuan Muslimin Indonesia, 1930) dan PII (Partai Islam Indonesia, 1938). Surutnya peran SI kemudian digantikan oleh organisasi- organisasi yang lebih berdasarkan nasionalisme, seperti GAPI (Gabungan Politik

  Indonesia, 1938) dan MRI (Majelis Rakyat Indonesia, 1941). 14 Dan yang lebih penting, SI seolah membuka jalan dan memberi keberanian para pemimpin

  Indonesia dari kalangan kebangsaan untuk mendirikan partai politik, sebagaimana ditunjukkan oleh PNI (Partai Nasional Indonesia, 1927), Partai Indonesia (1929), Pendidikan Nasional Indonesia (1929), dan Partai Indonesia Raya (Parindra).

  Yang patut dicatat di sini adalah bahwa struktur perekonomian kolonial telah memacetkan pertumbuhan pengusaha dan pedagang Muslim-santri untuk menjadi pengusaha yang besar dan mandiri; sementara kelas menengah yang terdidik terpaksa mencari pekerjaan bebas seperti wartawan dan profesi-profesi

  disebut juga kelompok Sarekat Islam Merah—dari partai. Lihat Noer, Gerakan Moderen Islam, hal. 141. 13

  14 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 91-93. Deliar Noer, “Islam dan Politik: Mayoritas atau Minoritas,” Prisma, no. 5, 1988, hal. 7.

  lain, 15 yang pada akhirnya membuat sebagian santri kelas menengah yang menjadi pemimpin di masa kebangkitan nasional ini, sangat bergantung kepada politik

  dengan menjadi pemimpin-pemimpin politik dan perjuangan. Meski para pedagang dan pengusaha Muslim-santri, terutama dari industri pertekstilan, batik, dan rokok, mampu bergerak dan melakukan mobilitas terutama di Bandung dan kota-kota sepanjang pantai utara Jawa Tengah antara Tegal dan Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan daerah Kediri serta Tulungagung, juga industri rokok di Kudus, namun industri yang tumbuh tersebut pada dasarnya merupakan industri rumah tangga; sedangkan sistem manufaktur dan pabrik

  kebanyakan adalah milik modal asing. 16

  Maka, kehadiran kaum menengah santri dengan organisasi yang mereka pimpin merupakan reaksi terhadap ketidakadilan sistem perekonomian kolonial yang pada akhirnya melahirkan kesadaran untuk mempertanyakan legitimasi politik negara kolonial, dan menolak seluruh orde masyarakat kolonial negara

  jajahan. 17

  Adalah Jepang yang, pada masa pendudukannya yang singkat, berusaha merangkul kaum Muslim santri—terutama dari golongan tradisional—dan memberikan kesempatan yang besar kepada mereka untuk mengorganisasi diri,

  16 Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara,” hal. 15. Matsuo Hiroshi, The Development of Javanese Cotton Industry, (Tokyo: The Institute

  of Developing Economics, 1970), sebagaimana dikutip Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 79. 17

  Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 17. Pandangan yang skeptis datang dari Yahya Muhaimin, yang menganggap peranan kelas menengah pada masa penjajahan tidak ada artinya, jika dilihat dalam kerangka kelas menengah yang berkembang di Barat: sebagai golongan yang menjembatani antara kelas atas dengan kelas bawah, sehingga suatu tindakan yang radikal dan ekstrim dapat dihindarkan dalam proses perubahan masyarakat. Menurutnya, apa yang terjadi di negara-negara berkembang menunjukkan kelas menengah merupakan golongan yang paling radikal dan revolusioner. Namun ketika mereka tumbuh menjadi besar, mereka justru menjadi golongan konservatif yang menikmati fasilitas-fasilitas birokrasi sebagai klien penguasa. Lihat Yahya Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” Prisma, no. 3, Maret 1984, hal. 63-65.

  seperti pendirian kantor urusan agama, pendirian Masyumi—untuk menggantikan MIAI (1938), serta membentuk organisasi setengah militer, Hisbullah. Ini, tentunya, dilandasi oleh kepentingan Jepang dalam menggalang kekuatan massa

  rakyat untuk kepentingan perang mereka. 18

  Pada masa pascakemerdekaan, kelas menengah santri ini secara tiba-tiba menjadi elite politik dan mereka pun semakin terpolitikkan, namun tanpa dasar

  ekonomi yang kuat. 19 Kelas menengah santri ini tersebar ke dalam kelompok-

  kelompok profesi, pegawai negeri, kaum intelektual, pejabat-pejabat militer, 20 dan

  tentunya juga pejabat-pejabat politik.

  Kelas menengah santri bisnis tidak tumbuh karena pada masa Orde Lama ini watak patrimonialisme masyarakat menonjol dengan jelas. Proses hubungan bisnis yang terbentuk antara pengusaha dan penguasa (birokrasi) berwujud

  patron-client. 21 Kapitalisme pinggiran warisan kolonial yang ingin dihilangkan dengan menggantinya melalui nasionalisasi dan pribumisasi, seperti Program

  Benteng (Maret 1951) yang bertujuan membantu kelompok pedagang dan komersial pribumi untuk meloncat ke sektor-sektor industri besar dan modern, mengalami kegagalan karena tidak ada yang bisa ditawarkan untuk menggantikan

  peranan ekonomi asing. 22 Tentu saja, kultur politik patrimonialistik juga turut

  19 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 99-100. 20 Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 17 21 Wahid, “Kelas Menengah Islam di Indonesia,” hal. 21.

  Penguasa di sini menjadi patron (bapak) sebagai tempat bergantung bagi pengusaha, client (anak buah). Lihat Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” hal. 67. 22

  Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 18-19. “Istilah kapitalisme pinggiran” ini digunakan oleh Bulkin untuk menamakan perkembangan kapitalisme pada masa penjajahan Belanda yang merupakan dorongan luar melalui pemasukan modal, keahlian, dan organisasi dari sistem kapitalis yang sudah berkembang di negeri Belanda. Sebagian ilmuwan lain menamakannya “kapitalisme kolonial”.

  menjadi penyebabnya. Akhirnya, struktur kapitalisme pinggiran tetap dibiarkan dan ini berakibat pada matinya para pengusaha Muslim-santri.

  Politisasi kelas menengah santri ini tersalurkan melalui partai-partai politik

  seperti Masyumi (1945), Perti (1945-1946), PSII (1947), dan Partai NU (1952). 23

  Secara ekonomi, sikap dominan yang muncul dari kelas menengah santri ini adalah pragmatisme-konservatif. Watak ini agaknya merupakan pengaruh dari kalangan menengah perkotaan berpendidikan Barat yang lebih tertarik kepada perubahan ekonomi yang damai sifatnya, yang akan mengamankan posisi

  ekonomi mereka. 24 Sementara aspirasi politik golongan ini berpusat pada formalisasi Islam dalam kehidupan negara. Meski upaya melegalkan aspirasi

  tersebut mengalami kegagalan dalam sidang Dewan Konstituante pada tahun 1959. 25

  Ketika Orde Baru naik ke pentas kekuasaan, sejalan dengan perubahan di bidang ekonomi dan politik yang terjadi, kelas menengah juga mengalami pergeseran dan pertumbuhan. Sistem perekonomian pasar terbuka melalui masuknya modal asing dan kenaikan anggaran belanja pemerintah melalui kenaikan ekspor minyak, telah memicu tumbuhnya kelas menengah profesional yang begitu pesat dan tumbuhnya pengusaha-pengusaha nasional. Namun, watak

  patriomonial tetap bertahan, 26 sehingga kebanyakan pengusaha yang muncul adalah para birokrat, perwira-perwira ABRI, atau anak-anak dan keluarga mereka,

  atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan para pejabat di pemerintahan.

  24 Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” Prisma, no. 5, 1988, hal. 40-42. 25 Bulkin, “Kapitalisme, Golongan Menengah dan Negara," hal. 18-19.

  Wahid, “Kelas Menengah Islam di Indonesia,” hal. 21. Lihat Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin,” Prisma, no. 5, 1988 dan Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1987). 26

  Mengenai watak patrimonial Orde Baru lihat Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” hal. 67-69.

  Karena mereka bukan pengusaha yang sesungguhnya, maka mereka menggandeng para pengusaha Cina yang memang sejak awal sudah merupakan orang-orang

  enterprener. 27 Watak patrimonial itu tidak hanya membuat pengusaha kecil pribumi tak bisa tumbuh, para pengusaha Muslim-santri yang telah dimatikan pada masa Orde Lama pun tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Sebagai contoh, hancurnya industri rokok di Kudus dan industri tekstil di Pekajangan milik

  pengusaha santri akibat kebijakan ekonomi-politik pemerintah. 28 Inilah sebab-

  sebab sosial yang mendorong masuknya kaum santri ke sektor-sektor birokrasi.

  Frustasi yang timbul di kalangan swasta Muslim-santri ini menyebabkan mereka terdorong menyekolahkan anak-anaknya agar dapat masuk ke sektor- sektor birokrasi, atau menjadi pekerja profesional. Inilah basis sosial yang mungkin bisa menjelaskan panen besar golongan inteligensia Muslim-santri pada dasawarsa 1970-an. Melalui proses runtuhnya dikotomi santri-priyayi dengan masuknya kelas menengah Muslim-santri terpelajar ini ke dalam sektor birokrasi, terjadilah apa yang disebut priyayisasi santri dan santrinisasi priyayi, atau dengan

  sebutan yang lain, Islamisasi birokrasi dan birokratisasi Islam. 29

  Pada masa Orde Baru ini, kita menyaksikan bahwa Islam politik berhasil dijinakkan oleh pemerintah. Fakta ini mendorong para pemikir dan aktivis Islam untuk mereorientasi pola-pola gerakan dan pemikirannya dengan mengembangkan format baru yang lebih harmonis antara Islam dan negara, yaitu melalui pemikiran

  Lihat Loekman Sutrisno, “Pergeseran dalam Golongan Menengah di Indonesia,”

  Prisma, no. 2, Februari 1984, hal. 25-26. 28

  Lihat Jajat Burhanudin, “Pasang Surut Industri Batik Kaum Santri Pekajangan,”

  Ulumul Qur’an III, no. 3, 1992. 29

  Lihat M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 329-330.

  keagamaan dan kegiatan praksis yang lebih legitimatif terhadap pemerintah

  daripada kritis terhadap kekuasaan. 30 Terbentuknya ICMI di tahun 1990 menjadi

  simbol sekaligus bukti kuat bagi hubungan yang harmonis antara Islam dan

  negara tersebut. 31 Kuntowijoyo, sebagai seorang intelektual Muslim-santri, lahir dari latar belakang setting sosial-politik yang demikian. Sebagai intelektual Muslim, Kuntowijoyo jelas merupakan bagian dari kelas menengah santri yang dikandung dan dilahirkan oleh Orde Baru. Kuntowijoyo juga merupakan salah seorang tokoh yang mengisi gerbong lokomotif pemikiran Islam Orde Baru, selain Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, M. Dawam Rahardjo, Harun Nasution, Taufik Abdullah, serta nama-nama lainnya.

  Berdasarkan basis historis yang menunjukkan keterlibatan Islam dalam proses-proses politik di Indonesia, adalah tidak mengejutkan jika para intelektual Muslim-santri yang dilahirkan Orde Baru ini memiliki perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi masyarakat. Maka, meski seorang sejarawan, tidaklah mengherankan bila Kuntowijoyo mencurahkan sebagian besar pemikirannya pada upaya transformasi umat Islam.

  Dalam situasi di mana kelas menengah pengusaha tidak bisa diharapkan menjadi pengimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan pemerintah,

  sebagaimana yang dikonsepsikan di Barat, 32 harapan terhadap kelas menengah

  intelektual, khususnya dari kalangan Muslim-santri, sebagai penghela perubahan

  Penjelasan mendalam mengenai hubungan antara Islam dan negara masa Orde Baru lihat Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998). 31

  Untuk penjelasan lebih lanjut lihat M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995). 32

  Muhaimin, “Politik, Pengusaha Nasional dan Kelas Menengah Indonesia,” hal. 67.

  menjadi begitu besar. Melalui Kuntowijoyo, skripsi ini setidaknya dapat menunjukkan jejak-jejak historis mengenai spirit perubahan yang melekat dalam aktivisme dan pemikiran seorang intelektual Muslim-santri kelas menengah di masa Orde Baru.

  B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

  Untuk menjelaskan Kuntowijoyo dalam perspektif kelas menengah santri, kajian dan analisis skripsi ini diawali oleh konteks sosial politik Orde Baru yang tentunya menjadi latar historis kemunculan kelas menengah santri di masa itu, sekaligus menerangkan bagaimana kelas menengah santri tumbuh dan berkembang. Melalui deskripsi kemunculan kelas menengah santri di masa Orde Baru inilah, fokus utama kajian skripsi ini, yaitu studi sejarah sosial-intelektual Kuntowijoyo dimungkinkan.

  Berkenaan dengan pokok kajian skripsi ini, setidaknya beberapa permasalahan yang mengemuka dapat kita catat di sini:

  1. Bagaimanakah kondisi sosial-politik-agama era Orde Baru? 2. Bagaimanakah proses tumbuh dan berkembangnya kelas menengah santri di

  masa Orde Baru?

  3. Apa kecenderungan sikap politik, agama, dan ideologi kelas menengah santri itu?

  4. Bagaimana Kuntowijoyo muncul dan menjadi bagian dari kelas menengah santri?

  5. Bagaimanakah, lantas, seorang Kuntowijoyo memandang sejarah dan masyarakatnya?

  Karena luasnya cakupan permasalahan yang mengemuka berkaitan dengan tema kajian dalam penelitian ini, maka konteks sosial politik Orde Baru akan dibatasi antara tahun 1970-1990. Pembatasan tahun menyangkut masa kebangkitan intelektualisme Islam sejak munculnya cendekiawan-cendekiawan Muslim pada tahun 1970-an yang secara mencolok dapat dilihat melalui respons mereka terhadap kebijakan modernisasi yang dijalankan oleh Orde Baru, dan memuncak pada tahun 1990 ketika Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) didirikan.

  Sementara dengan semakin menyebar dan terdiferensiasinya kelas menengah, kajian skripsi ini berusaha melihat salah satu unsur dalam kelas menengah Indonesia, yaitu kelas menengah santri. Selanjutnya kajian difokuskan pada kaum cendekiawan Muslim yang merupakan salah satu pengisi gerbong kelas menengah santri. Sebagai studi kasus, kajian dalam skripsi ini mencoba memotret sosok Kuntowijoyo sebagai salah seorang intelektual Muslim-santri.

  Maka, dari identifikasi dan pembatasan topik kajian di atas, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana Kuntowijoyo muncul dan menjadi bagian dari kelas menengah santri, serta bagaimanakah pemikirannya? Pertanyaan ini akan terjawab dengan menganalisa bagaimanakah Kuntowijoyo memainkan peranannya sebagai sosok santri kelas menengah dan bagaimana seorang Kuntowijoyo memandang Islam dan masyarakatnya.

  C. Tujuan Penelitian

  Dengan mengacu kepada pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban kualitatif Dengan mengacu kepada pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban kualitatif

  Untuk sampai pada kedua jawaban tersebut, pertama-tama skripsi ini akan melihat bagaimana kelas menengah santri tumbuh dalam konteks historis Orde Baru 1970-1990, di mana kaum intelektual Muslim termasuk di dalamnya, bahkan memainkan peranan yang signifikan.

  Selain itu, penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi tugas akhir sebagai persyaratan menyelesaikan masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di samping, untuk menambah khazanah kepustakaan di bidang kesejarahan

  D. Tinjauan Pustaka

  Kajian mengenai kelas menengah Indonesia, khususnya kelas menengah santri, masih tergolong langka. Prisma edisi Februari 1984 yang mengkhususkan diri pada kelas menengah baru agaknya merupakan pengenalan resmi terhadap kajian struktur sosial Indonesia yang berporos pada kelas menengah. Buku Politik

  Kelas Menengah Indonesia 33 yang merupakan kumpulan tulisan pengamat Indonesia dan intelektual Indonesia yang berasal dari konferensi yang

  diselenggarakan di Universitas Monash pada Juni 1986, dapat disebutkan pula di sini. Namun, kajian buku tersebut lebih bersifat teoritis dan sedikit menyentuh kajian historis. Buku lainnya mengenai kelas menengah Indonesia adalah Kelas

  Richard Tanter dan Kenneth Young, ed, Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk, (Jakarta: LP3ES, 1996).

  Menengah Bukan Ratu Adil, 34 yang merupakan buku kumpulan artikel koran dan majalah berisi perdebatan mengenai kelas menengah Indonesia yang pernah

  mengemuka di tahun 1990-an. Hanya beberapa artikel di bagian awal buku tersebut yang merupakan tulisan teoretis.

  Sementara penelitian yang mengkhususkan diri pada kelas menengah santri pada masa Orde Baru, sejauh yang penulis telusuri, belum diperoleh. Dalam Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang

  Cendekiawan Muslim Orde Baru 35 karya Syafi’i Anwar, memang terdapat bab

  khusus mengenai kelas menengah santri, namun isu Islam dan birokrasi yang menjadi fokus utama kajian buku tersebut.

  Untuk buku yang mengkaji tipologi pemikiran Kuntowijoyo, buku Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa

  Orde Baru 36 karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy bisa dianggap cukup representatif. Meski kemudian lahir penelitian lanjutan yang lebih melihat tipologi

  dalam kaitan sikap politik dan pandangan tentang Islam dan negara, seperti Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru karya M. Syafi’i Anwar dan Islam dan Negara:

  Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia 37 karya Bahtiar Effendy. Namun buku-buku tersebut tidak menganalisa pemikiran Kuntowijoyo

  secara khusus, melainkan bersama dengan cendekiawan-cendekiawan Muslim lainnya.

  35 Hadijaya, ed, Kelas Menengah Bukan Ratu Adil, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang

  Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995). 36

  Fachry Ali dan Bahtiar, Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran

  Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986). 37

  Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998).

  Sedangkan untuk kajian khusus mengenai kehidupan Kuntowijoyo sejauh ini belum ditemukan. Untuk kajian mengenai pemikirannya, beberapa skripsi sarjana S1 UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dapat disebutkan di sini, seperti Pandangan Kuntowijoyo Tentang Transformasi Sosial Politik Umat Islam

  Indonesia, 38 Pemikiran Keagamaan dan Politik Kuntowijoyo, 39 dan Paradigma Alquran untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Analisis Kuntowijoyo. 40

  Namun, kajian skripsi tersebut lebih difokuskan pada pemikiran politik dan agama Kuntowijoyo, dan tentunya mengabaikan konteks historis dan situasi sosial- intelektual lahirnya pemikiran tersebut.

  Skripsi ini menjadi penting karena mengajukan sebuah pendekatan yang yang berbeda, yaitu dengan pendekatan sejarah sosial-intelektual. Pemikiran yang dikaji pun dipotret dan dilihat dalam kaitan pemikiran kaum intelektual Muslim santri lain yang mengemuka di masanya

  E. Kerangka Teoritis

  Penelitian ini berangkat dari asumsi dasar bahwa kelas sosial ada dalam setiap struktur masyarakat manapun. Tak hanya di Eropa, tetapi juga di Asia, termasuk di Indonesia. Dan, meski proses pembentukan dan perkembangan kelas sosial dalam setiap negara boleh jadi memiliki karakteristik khas yang berbeda, namun terdapat ciri-ciri umum yang menyebabkannya memiliki kemiripan maupun kesamaan dengan kelas sosial di negara lain.

  Abdul Aziz Nurizun, "Pandangan Kuntowijoyo tentang Transformasi Sosial Politik Umat Islam Indonesia," (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006). 39

  Herudin, "Pemikiran Keagamaan dan Politik Kuntowijoyo," (Skripsi S1 Fakultas

  Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2005). 40

  Wahyudi Pramono, "Paradigma Alquran untuk Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Analisis Kuntowijoyo," (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 1998).

  Pembicaraan mengenai kelas sosial sesungguhnya berakar pada pandangan dua sosiolog besar yang secara khusus mendefinisikan analisa kelas dalam ilmu sosial dalam karya-karyanya, yaitu Karl Marx dan Max Weber. Dalam pandangan Marx, yang kemudian juga diafirmasi oleh Weber, kelas merupakan ciri-ciri objektif dalam hubungan-hubungan ekonomi yang didasarkan atas hubungan-

  hubungan pemilikan. 41

  Marx mendikotomikan masyarakat modern ke dalam dua kelas: borjuasi (kapitalis) dan proletariat (pekerja upahan). Borjuasi merupakan kelas yang terdiri dari kapitalis modern yang memiliki sarana produksi sosial dan menjadi majikan. Sementara proletariat merupakan kelas yang terdiri dari pekerja yang tidak memiliki sarana produksi dan yang menjual tenaganya kepada kapitalis untuk

  mempertahankan hidupnya. 42 Kapitalis adalah mereka yang memiliki pabrik dan mesin yang telah menggantikan tanah sebagai alat produksi utama. Tenaga kerja

  upahan atau buruh adalah kelas pekerja yang tidak mempunyai milik, yang telah kehilangan kontrolnya terhadap alat-alat produksi. 43

  Di antara dua kelas ini, tumbuh sejumlah kelas menengah. Mereka terdiri dari para pedagang kecil, pemilik toko, pengrajin, dan petani. Marx menyebut mereka sebagai "orang-orang yang berdiri di antara pekerja pada satu sisi, dan

  kapitalis serta tuan tanah pada sisi yang lain." 44

  Kelas borjuis berkembang selama kelas itu dapat menguasai dan menambah modal yang ada. Sebaliknya, kelas proletar hanya dapat hidup selama

  Anthony Giddens dan David Held, ed, Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai

  Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik, terj. Vedi R. Hadiz, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), hal. 10. 42

  Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, (England: Penguin Books,

  1985), hal. 79 43

  44 Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 3-5.

  Anthony Giddens, Sociology: A brief but critical introduction, (United States of America: Harcourt Brace Jovanovich, 1982), hal. 71.

  mendapat pekerjaan. Dengan demikian, kondisi esensial eksistensi kelas borjuis adalah pembentukan dan pengembangan modal yang syaratnya adalah pemilikan

  tenaga kerja. 45 Sementara, kelas menengah akan menjadi kelas proletar karena

  mereka tidak memiliki modal besar, sebagian lagi karena keterampilan mereka

  diambil alih oleh mesin, sehingga kalah dalam persaingan dengan kelas borjuis. 46

  Berbeda dengan Marx, dalam pandangan Weber, kelas merupakan himpunan manusia yang mempunyai persamaan peluang hidup pada pasar tenaga kerja dan komoditas, dan dalam kepemilikan barang. Istilah kelas di sini merujuk kepada suatu kelompok masyarakat yang ditemukan dalam suatu situasi kelas

  yang sama, yang mengacu kepada persamaan kepentingan para individu. 47 Kelas sosial tidak hanya ditentukan oleh hubungan-hubungan pemilikan, tetapi juga

  status sosial, pola konsumsi, gaya hidup, dan distribusi kekuasaan. 48

  Menurut Weber, kelas terdiri dari kelas pemilikan yang positif, yaitu orang yang memperoleh pendapatan dari sumber-sumber: manusia, tanah, tambang, instalasi (pabrik), kapal-kapal, kreditor (ternak, pertanian, dan uang), dan surat- surat berharga. Kelas ini terdiri dari para pengusaha, yakni para pedagang, pemilik kapal, pengusaha industri dan pertanian, pemilik bank, para profesional, pihak- pihak yang mempunyai kualifikasi monopolistik, dan lain-lain. Selain kelas pemilikan yang positif ini, terdapat kelas pemilikan yang negatif, yaitu terdiri dari mereka yang tidak bebas, proletar, orang yang berhutang, dan orang melarat.

  46 Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 16-17. 47 Marx dan Engels, The Communist Manifesto, hal. 88

  Max Weber, From Max Weber: Essays in Sociology, (New York: Oxford University

  Press, 1958), hal. 181. 48

  Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 23-28. Sesuatu yang kemudian diakui oleh kaum Marxis kontemporer yang memandang kelas sebagai kelompok individu atau kelompok kesatuan sosial yang pada dasarnya bukan ditentukan semata-mata oleh tempatnya dalam proses produksi atau dalam bidang ekonomi, tetapi juga ditentukan faktor yang bersifat politis dan ideologis (superstruktur). Lihat Nicos Poulantzas, “Kelas-kelas Sosial,” dalam Giddens dan Held,

  ed, Perdebatan Klasik dan Kontemporer, hal. 46.

  Mereka adalah para tenaga kerja, baik yang terampil, setengah terampil, maupun

  yang tidak terampil. 49

  Di antara kedua bentuk inilah terdapat kelas-kelas menengah, yang hidup dari miliknya atau keterampilannya, yang beberapa di antaranya mungkin tergolong kelas komersial. Mereka ini adalah para petani yang bekerja sendiri, pengusaha kerajinan tangan, pegawai negeri maupun swasta, kalangan profesional

  liberal, maupun tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi eksepsional. 50

  Berdasarkan penjelasan tersebut, Weber membagi kelas sosial dalam masyarakat kapitalis ke dalam lima kelas, yaitu: (1) kelas pemilik di lapisan teratas yang identik dengan kelas borjuasi dalam pemikiran Marx, (2) kelas pekerja di tingkat terbawah yang identik dengan kelas buruh. Di antara kedua kelas itu ada, (3) kelas-kelas inteligensia, (4) manajer dan administrator, dan (5) borjuis kecil, dalam arti tradisional yang terdiri dari golongan pengusaha kecil,

  pedagang, dan petani. 51

  Dari dua penjelasan tersebut, tampak bahwa jika analisa Marxian kurang memperhitungkan kelas menengah melalui simplifikasi dualisme kelasnya, maka analisa Weberian justru membuat pengertian kelas menengah menjadi terlalu longgar dan sulit didefinisikan, kecuali kepada siapa ia dilekatkan.

  Pada dasarnya, kelas menengah atau yang disebut Marx sebagai borjuis kecil (petty bourgeoisie), merupakan semua kelompok sosial kecuali borjuis dan proletariat atau disebut juga sebuah kumpulan dinamis yang tumbuh dalam ruang

  50 Ibid., hal. 25. 51 Ibid., hal. 25-26. M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Perubahan

  Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 266. Sebagian ahli menggabungkan kalangan inteligensia ke dalam kelas manajer dan profesional, sehingga yang ada bukan lima kelas tetapi empat kelas sosial. Lihat Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 26 Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1999), hal. 266. Sebagian ahli menggabungkan kalangan inteligensia ke dalam kelas manajer dan profesional, sehingga yang ada bukan lima kelas tetapi empat kelas sosial. Lihat Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik, hal. 26

  borjuis kecil tradisional, yang terdiri dari para produsen berskala kecil, pedagang kecil, pengrajin kecil dan usaha-usaha keluarga kecil-kecilan. Borjuis kecil lama ini lebih merupakan bentuk transisi dari pola produksi feodal ke pola kapitalis. Kedua, borjuis kecil baru yang terdiri dari para pekerja penerima upah yang tidak

  produktif, termasuk di dalamnya para pegawai negeri. 53 Dalam borjuis kecil baru

  inilah tercakup kaum intelektual, mahasiswa, ahli hukum, kelompok profesional, pegawai bergaji dari lembaga swasta, artis, dan lain-lain. Untuk membedakannya dengan kapitalisme atau bahkan kelas menengah lama yang bermodalkan uang, aset utama borjuis kecil baru atau kelas menengah baru ini adalah keterampilan ilmiah, kewenangan birokrasi, dan pengetahuan mutakhir, atau apa yang dijuluki sebagai modal budaya, modal manusiawi, modal simbolik, atau aset

  organisasional. 54

  Meski memiliki ciri-ciri politik dan ideologi yang berbeda, namun terdapat beberapa persamaan yang kerap dilekatkan pada dua kelas menengah ini, yaitu individualisme,

  Dale L. Johnson, ed, Middle Class in Dependent Countries, (Beverly Hills: Sage Books, 1985). Dikutip dari Daniel S. Lev, “Kelompok Tengah dan Perubahan di Indonesia: Sejumlah Catatan Awal,” dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, ed., Politik Kelas Menengah Indonesia, terj. Nur Iman Subono, dkk., (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 25. 53

  Poulantzas, “Kelas-kelas Sosial,” dalam Giddens dan Held, ed, Perdebatan Klasik dan Kontemporer, hal. 54-57. Secara ideologis, borjuis kecil tradisional biasanya anti kapitalis, walau dalam posisi status-quo. Mereka takut jika terjadi transformasi sosial secara mendasar, juga proletarisasi. Karena itu tuntutan mereka adalah kesempatan yang sama, persaingan sehat, jangan monopoli, dan sebagainya. Sementara borjuis kecil baru agak cenderung antikapitalis, tetapi lebih kepada ilusi reformis. Biasanya mereka lebih berkepentingan dalam soal partisipasi, yang karena kekhawatiran akan terjadi proletarisasi, cenderung menginginkan karir, promosi, mobilitas vertikal, dan sebagainya. Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Hadimulyo, “Kelas Menengah, Kelas Apa?,” sebuah tinjauan atas buku Classes in Contemporary Capitalism (Nicos Poulantzas) dalam Prisma 2, Februari 1984, hal. 85-88. 54