Kuntowijoyo dalam Peta Pemikiran Islam Indonesia

C. Kuntowijoyo dalam Peta Pemikiran Islam Indonesia

  Peta baru pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru ditandai oleh memudarnya pola pemikiran modernis-tradisionalis 78 yang menjadi mainstream

  dalam kancah pemikiran Islam prakemerdekaan hingga runtuhnya Orde Lama. Dampak sosial-politik-ekonomi pembangunan yang dilancarkan Orde Baru telah menggeser pola-pola pemikiran Islam yang dikembangkan kaum intelektualnya. Penekanan tidak lagi pada perbedaan keyakinan dalam menafsirkan doktrin dan

  77 Wawancara Pribadi dengan A. Adaby Darban, Yogyakarta, 13 Juli 2007.

  78 Mengenai penjelasan lebih lengkap mengenai kelahiran dan perkembangan kedua

  tipologi pemikiran ini lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980).

  menerapkan hukum, tetapi bergeser kepada perspektif Islam terhadap masalah- masalah sosial dan politik. Berkembang penafsiran terhadap doktrin Islam dengan

  cara yang lebih kontekstual. 79 Mengenai hal ini, Nasir Tamara mencatat:

  “Orde Baru telah memberikan kesempatan bagi berkembangnya pemikiran yang dulunya hampir terpusatkan kepada religius, politik dan yuridis, serta mistik Islam kepada tema-tema yang lebih luas, yaitu tema- tema pemikiran moral, sosial, filsafat, kebudayaan, sains, sejarah, sosial

  ekonomi. Telah terjadi satu evolusi pemikiran.” 80 Generasi baru intelektual Muslim santri yang lahir pada masa Orde Baru

  ini— beberapa di antaranya seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Adi Sasono, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowijoyo, dan M. Amien Rais—memiliki karakteristik umum yang seragam, yaitu mereka tidak menyepakati dikumandangkannya tujuan-tujuan sosial-politik Islam dalam cara yang formalistik dan legalistik. Sebaliknya, mereka lebih tertarik kepada masalah-masalah yang memiliki dampak yang lebih nyata bagi

  kesejahteraan masyarakat politik Indonesia secara keseluruhan. 81

  Upaya pertama dalam memetakan arus utama pemikiran Islam Orde Baru agaknya dilakukan oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, yang berhasil memetakan pemikiran Islam baru ini ke dalam empat pola utama. Pertama, neo- modernisme, yang yang diwakili oleh pemikiran Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Kedua, sosialisme-demokrasi, pola ini dilekatkan kepada Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, dan Kuntowijoyo. Ketiga, internasionalisme atau universalisme Islam, pendukung pola pemikiran ini adalah Jalaludin Rahmat,

  79 Mengenai sebab-sebab sosial-politik-ekonomi pergeseran pola pemikiran ini dijelaskan secara mendalam oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam:

  Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986).

  80 Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru,” dalam Prisma, No. 5, 1988, hal. 62. 81 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

  di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 213.

  M. Amin Rais, A.M. Saifuddin, dan Endang Saefudin Anshari. Keempat, modernisme, pola pemikiran ini dalam pemikiran-pemikiran Ahmad Syafi’i

  Ma’arif dan Djohan Effendi. 82

  Pola pemikiran sosialisme-demokrasi Islam melihat cita-cita keadilan sosial dan demokrasi merupakan unsur yang pokok dalam Islam. Salah satu jalan yang ditempuh untuk mengejawantahkannya adalah gerakan intelektual untuk menciptakan transformasi masyarakat ke arah bentuk atau sistem sosial-ekonomi

  dan politik yang berkeadilan sosial dan demokrasi. 83

  Penempatan Kuntowijoyo dalam gerbong lokomotif pemikiran Islam baru pada posisi sosialisme-demokrasi berangkat dari anggapan dasar Kuntowijoyo bahwa Islam merupakan paradigma besar yang terbuka, yang darinya dimungkinkan merumuskan teori-teori sosial Islam untuk transformasi sosial, suatu pemikiran yang lahir dari evaluasi historisnya terhadap konteks sejarah

  Islam di dunia, terkhusus di Indonesia. 84 Kunto melihat bahwa justru umat Islam Indonesia menghadapi dua tantangan besar: industrialisasi dan teknokratisasi.

  Menurutnya, persoalan-persoalan empiris umat dapat dicarikan jawabannya dalam Islam (Alquran), yaitu dengan merumuskan konsep-konsep normatif Islam menjadi filsafat dan kemudian diturunkan menjadi teori ilmu pengetahuan tentang

  82 Neo-modernisme, berangkat dari asumsi dasar utama bahwa Islam harus dilibatkan

  dalam pergulatan-pergulatan modernisme; namun pencapaian tujuan ini tidak mesti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Sosialisme-demokrasi berpendapat bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia, karenanya Islam harus menjadi kekuatan dalam perubahan-perubahan sosial-ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat adil dan demokrasi. Internasionalisme atau universalisme Islam berpandangan bahwa Islam bersifat universal. Karenanya, tidak ada dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme, oleh sebab keduanya saling menunjang. Pribumisasi Islam dianggap dapat menyebabkan terjadinya penyimpangana terhadap hakikat universalisme Islam. Modernisme lebih menekankan aspek rasional dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Dalam kaitan ini, tradisi pemikiran lampau yang telah terlembagakan secara mapan namun dianggap tidak sesuai dengan modernisme, tidak perlu dipertahankan terus. Untuk lebih jelasnya lihat Ali dan Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, hal. 170-174.

  83 Ali dan Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, hal. 196. 84 Ibid., hal. 224-233.

  masalah-masalah kemasyarakatan, 85 yang dirumuskannya dalam apa yang dinamakannya Ilmu Sosial Profetik (ISP).

  Mengenai sikap politik umat Islam Indonesia terhadap politik, Deliar Noer, melalui evaluasi terhadap konteks historis yang meresntang sejak masa penjajahan Belanda hingga Orde Baru, mencoba mengelompokkan pandangan dan sikap politik kalangan Islam tersebut ke dalam empat golongan. Pertama, golongan yang memang aktif, disertai sikap menolak terhadap garis yang dianggap menyimpang; bila perlu, mereka berbuat uzlah, menyendiri, tidak turut berpolitik lagi, namun punya sikap. Masyumi pernah melakukannya. Kedua, golongan yang bekerjasama dengan pihak penguasa, apapun yang terjadi, dan lebih melihat kepositifan suatu pemerintahan, meski zalim, ketimbang tidak adanya pemerintah. Golongan ini mudah bersikap akomodatif, malah bisa bagai bajing loncat, tanpa pendirian, selama ibadah masih bisa dilakukan. Golongan ketiga lebih melihat Islam sebagai ajaran masyarakat yang dirasa kurang atau tidak perlu disertai keterlibatan dalam politik, namun tetap mengakui prinsip kaitan Islam dan politik. NU dan Muhammadiyah pernah melakukannya. Golongan keempat menolak sama sekali kaitan Islam dengan politik, dengan anggapan bahwa Islam tidak menyuruh umatnya membentuk negara yang merupakan soal dunia. Mereka lebih melihat Islam sebagai ajaran moral, dan oleh sebab itu kalaupun ada gerakannya, lebih terletak di bidang budaya. “Islam yes,

  partai Islam no” bisa mencerminkan sikap ini. 86

  Jika melihat cara berpikir Kunto yang berorientasi kepada doktrin atau ajaran Islam dalam menanggapi berbagai tantangan sosial-politik-ekonomi

  85 Ibid., hal. 234-239. 86 Deliar Noer, “Islam dan Politik: Mayoritas atau Minoritas,” dalam Prisma, No. 5, 1988,

  hal. 20.

  masyarakat, namun tetap menegaskan keterkaitan antara Islam dan politik, bahkan berusaha menjadikan doktrin ajaran Islam menjadi teori-teori kemasyarakatan, agaknya Kunto dapat kita masukkan ke dalam golongan ketiga.

  Upaya lebih serius dalam melihat sikap dan pandangan intelektual Muslim santri terhadap politik, dalam hal ini negara, di masa Orde Baru, dilakukan oleh Bahtiar Effendy. Menurutnya, dalam upaya mengembangkan sintesis yang sesuai antara Islam dan negara, terdapat tiga strategi utama yang dikembangkan para intelektual Muslim:

  “Pertama, pembaruan teologis atau keagamaan. Pandangan dasar aliran ini adalah bahwa agama harus berfungsi sebagai landasan spiritual, etis, dan moral bagi negara. Agama dipandang sebagai unsur penting bagi pembangunan bangsa, tetapi negara harus bersifat religius tanpa menjadi teokr atis. Kedua, reformasi politik atau birokrasi. Gagasan utama aliran intelektual ini adalah menyiapkan sebuah integrasi politik lewat partisipasi langsung dalam arus utama proses-proses politik dan birokrasi negara, dengan bergabung baik ke dalam Golkar maupun birokrasi negara. Ketiga, transformasi sosial. Aliran intelektual ini berikhtiar mengembangkan paham otonomi relatif masyarakat madani dalam hubungannya dengan negara. Dengan latar belakang ini, diharapkan bahwa aktivisme transformasi sosial mampu meletakkan landasan yang diperlukan bagi keterlibatan masyarakat tidak saja dalam pembangunan nasional bangsa,

  melainkan juga dalam proses pembuatan kebijakan.” 87 Kuntowijoyo, yang dalam berbagai tulisannya kerap mengemukakan

  pentingnya transformasi sosial umat Islam, tentunya dapat dimasukkan ke dalam aliran ketiga intelektualisme Islam baru: transformasi sosial. Ia, misalnya, menekankan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk aktif berpartisipasi. Dan pada sisi lain, dia kurang menyetujui adanya pembaruan teologis yang

  87 Effendy, Islam dan Negara, hal. 240-268. Tentu saja, Effendy menunjukkan bukti-

  bukti positif sikap akomodatif negara sebagai wujud keberhasilan tersebut. Bukti-bukti akomodasi itu dapat digolongkan ke dalam empat jenis yang berbeda: akomodasi struktural, akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural. Penjelasan lebih lanjut mengenai empat bentuk akomodasi ini, lihat ibid., hal. 273-310. Berakhirnya permusuhan dan kecurigaan lama antara Islam politik dan negara sebagai wujud akomodasi ini menandakan berlalunya apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai mitos pembangkangan Islam terhadap negara dan birokrasi.

  menurutnya lebih merupakan upaya memberi tafsir baru terhadap agama dalam rangka memahami realitas. Sementara yang diharapkannya adalah adanya ikhtiar mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial yang

  empiris. 88

  Penempatan Kuntowijoyo ke dalam pemikiran transformatik ini secara lebih tegas, agaknya, dilakukan oleh Syafi’i Anwar. Dalam penelitiannya mengenai hubungan negara dengan birokrasi pada dekade 1980-an, Anwar membagi tipologi pemikiran politik cendekiawan Muslim Indonesia ke dalam enam tipe: formalistik, substantivistik, transformatik, totalistik, idealistik, dan

  realistik. 89

  Pemikiran transformatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Untuk itu Islam harus menjadi kekuatan yang dapat memotivasi secara terus-menerus, dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala-skala besar yang bersifat praksis maupun teoritis. Corak pemikiran transformatik yang berorientasi praksis diwakili oleh gagasan-gagasan M. Dawam Rahardjo dan Adi Sasono. Sementara pemikiran transformatik pada dataran teoritis atau konseptual, tapi bertolak dari empirisisme dan berorientasi pada praksis sosial yang mirip dengan tujuan Dawam dan Adi, tampak dalam pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman.

  Dalam pandangan Dawam, gagasan transformatik Kuntowijoyo, terutama kritiknya terhadap pemikiran pembaruan teologi diikuti idenya mengenai saintifikasi Islam dan pengembangan ilmu-ilmu sosial profetik merupakan

  88 Lihat Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika,

  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 85.

  89 Penjelasan lebih lanjut mengenai keenam tipologi ini, lihat M. Syafi'i Anwar,

  Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 143-184.

  tanggapan cerdas terhadap gagasan Nurcholish Madjid. Karena bagi Kunto, permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini bukanlah bersifat teologi, melainkan sosial. Karena itu masalah sosial ini harus dipecahkan secara ilmiah-

  empiris. 90

  Bagi Nurcholish Madjid—yang pemikirannya sering disebut sebagai Teologi Developmentalis, karena misinya dianggap memberi legitimasi terhadap pembangunan dan modernisasi—, hambatan umat Islam untuk bisa membangun adalah karena pandangan elite umatnya yang formalistis dan simbolis dan mengarah kepada cita-cita terbentuknya sebuah Negara Islam. Oleh karena itu, menurutnya, persoalan hubungan agama dan negara harus dipecahkan untuk bisa memberikan ruang politik bagi pastisipasi umat Islam dalam proses modernisasi dan pembangunan. Berbeda dengan Nurcholish, perhatian Kunto lebih tertuju kepada masyarakat, kepada umat yang memerlukan alat analisis untuk memahami

  dan memecahkan persoalan. 91 Untuk itulah, bagi Kunto, konsep-konsep normatif dalam Alquran perlu dijabarkan menjadi teori-teori. Dengan kata lain, Islam perlu

  dipahami sebagai dan dalam kerangka ilmu. Karena dengan cara inilah umat Islam dapat lebih memahami realitas dan dengan begitu akan lebih mampu

  mengubahnya ke arah yang ditunjukkan oleh Alquran. 92

  Pandangan berbeda datang dari Saiful Mujani yang melihat Kuntowijoyo, tidak hanya sangat kritis terhadap pemerintah, tetapi warna keislamannya dari segi-segi tertentu lebih mencerminkan keislaman fundamentalis, karena menjadikan Islam bukan hanya sebagai sistem nilai, tetapi lebih sebagai sistem

  90 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

  Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 476.

  91 Ibid., hal. 477. 92 Ibid., hal. 333.

  kehidupan atau pandangan hidup. Namun demikian, Kuntowijoyo dianggapnya kurang fundamentalis dibanding tokoh-tokoh seperti Amin Rais dan Imaduddin

  Abdurrahim. 93 Mujani menunjukkan bukti, suatu skenario yang diajukan Kunto yang mungkin dapat ditempuh umat Islam Indonesia dalam rangka

  menanggulangi terjadinya alienasi politik, pemerosotan ekonomi dan sosial yang diderita umat:

  “Dalam keadaaan apapun, Islam dapat memainkan peranan yang efektif dalam proses politik. Karena kaum revolusioner Marxis telah dilarang dalam percaturan politik Indonesia, maka satu-satunya alternatif yang ada adalah kaum fundamentalis keagamaan.... suatu gerakan fundamentalis senantiasa bercorak Islami dan berdasarkan kelas... Dengan mengesampingkan konotasi negatif yang dilekatkan pihak Barat terhadap fundamentalisme, umat pastilah bisa menjadi kelompok pendesak, yang

  menawarkan pemecahan Islam atas masalah-masalah bangsa.” 94 Penting kiranya untuk melihat bagaimana pandangan dan penafsiran

  Kuntowijoyo sendiri terhadap fundamentalisme. 95 Menurutnya, fundamentalisme (Islam) adalah gerakan agama yang melawan industrialisme, kapitalisme,

  komersialisme, dan materialisme; jadi lebih sebagai gerakan budaya. Misalnya, kaum fundamentalis ingin kembali kepada sunnah Rasul, yang ditunjukkan dengan cara berpakaian; atau, kembali kepada alam yang ditunjukkan dengan penggunaan siwak dan minyak wangi tanpa alkohol. Hanya saja, fundamentalisme

  93 Saiful Mujani, “Kultur Kelas Menengah dan Kelahiran ICMI,” Studia Islamika, no. 1, April-Juni 1994, hal. 232.

  94 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 155-156.

  95 Isitlah “fundamentalisme” berasal dari lingkungan Kristen di Amerika Serikat pada

  abad 19. Sebagai fundament kepercayaan, Alkitab dipandang sebagai yang diilhamkan secara verbal kepada para rasul. Karena itu, semua metode exegesis Alkitab yang bersifat modern dan kritis terhadap nas dan sejarah penyusunannya harus ditolak, dan yang diterima ialah saja suatu uraian yang mengikuti perkataan-perkataannya. Dengan demikian, skripturalisme adalah ciri pokok dalam fundamentalisme. Secara sosial, fundamentalisme tumbuh karena didorong oleh frustasi terhadap kehidupan yang tidak memenuhi apa yang diharapkan, sehingga tumbuhlah kerinduan pada suatu keadaan masyarakat yang ideal, yang dibayangkan pernah menjadi realitas dalam masa keemasan agama di waktu lampau pada masa permulaannya. Lebih lanjut lihat Olaf Schumann, Keluar Dari Benteng Pertahanan, (Jakarta: Grasindo, 1996), hal. 2-12.

  memang mempunyai implikasi politik, sehingga membuat dunia Barat menyamakannya dengan teroris. 96

  Pandangan Kuntowijoyo terhadap fundamentalisme ini, disertai pembelaan dan dukungannya terhadap gerakan fundamentalisme Islam memang sejalan dengan kritiknya terhadap industrialisasi dan peradaban Barat modern, yang melahirkan usulan penggunaan teori sosial alternatif berbasis paradigma Islam: Ilmu Sosial Profetik. Maka, jika kita menggunakan pengertian fundamentalisme sebagaimana yang dipakai Jalaluddin Rahmat, salah satunya adalah keyakinan

  pada Islam sebagai ideologi alternatif, 97 Kuntowijoyo, dalam beberapa segi, dapat kita golongkan sebagai seorang fundamentalis.

  96 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, hal. 36 dan 48-49. Lihat pula Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, hal. 190.

  97 Jalaluddin Rahmat mencatat empat pengertian fundamentalisme Islam: (1)

  fundamentalisme sebagai gerakan tajdid, (2) fundamentalisme sebagai reaksi pada kaum modernis, (3) fundamentalisme sebagai reaksi terhadap modernisasi, dan (4) fundamentalisme sebagai keyakinan kepada Islam sebagai ideologi alternatif. Ali dan Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, hal. 248. catatan kaki no. 174.