Kuntowijoyo dalam Arus Kelas Menengah Santri

B. Kuntowijoyo dalam Arus Kelas Menengah Santri

  Dalam arus kelas menengah santri, Kuntowijoyo secara jelas dan tegas dimasukkan ke dalam golongan intelektual atau cendekiawan. 55 Ini disebabkan

  karena sebagaian besar waktu, tenaga, dan pikirannya dicurahkan ke dalam dunia akademisi: mengajar, meneliti, menulis, dan memberi ceramah di seminar- seminar.

  53 Ibid., hal. 8-18. 54 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, hal. xi. 55 Wawancara Pribadi dengan Djoko Suryo, Yogyakarta, 13 Juli 2007.

  Meski berkesempatan untuk menjadi pejabat atau birokrat, namun Kuntowijoyo menampiknya dan memilih fokus pada dunia intelektual, memilih sepenuhnya menjadi ilmuwan. Mengenai hal ini, dalam satu wawancara Kuntowijoyo pernah mengakui bahwa Sartono-lah yang menganjurkan agar dirinya menolak tawaran menjadi direktur sebuah lembaga bergengsi di Surabaya. Gurunya ini pula yang melarang dirinya untuk mencalonkan diri dalam pemilihan dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Laku demikian inilah yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai laku hidup Pandita. Artinya, berani untuk tidak berkuasa, berani

  tidak berpangkat, dan berani tidak berharta. 56

  Kesantrian Kuntowijoyo telah terbentuk sedari kecil melalui lingkungan keluarga dan pendidikan. Bahkan, orientasi aktivismenya pun menunjukkan bahwa Kuntowijoyo adalah seorang santri. Sejak kecil Kuntowijoyo telah bergiat di organisasi-organisasi Islam seperti Hizbul Wathon dan PII. Menginjak dewasa, ketika masih kuliah dia aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islam). Mengenai alasannya masuk di Perti adalah karena

  Perti itu kecil dan dia ingin membesarkan yang kecil. 57

  Orientasi keislaman itu pula yang membuat Kuntowijoyo memilih bergabung dengan Leksi (Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam), ketika para seniman di tahun 1960-an masing-masing bernaung dalam organisasi-organisasi kesenian untuk menunjukkan sikapnya: pro-komunis atau anti-komunis. Dan pilihan masuk Leksi agaknya merupakan upaya Kuntowijoyo untuk berdiri melawan arus deras komunisme di masa itu, terutama di bidang kesenian.

  56 Hajar dan Anita, “Hikayat Si Pembuat Nama,” hal. 244. 57 Anwar, “Jika Seorang Seniman Mangkat," hal. 225.

  Pembelaan terhadap yang kecil dan lemah ditunjukkan Kunto dalam kasus Masjid Jenderal Sudirman. Ia sempat diinterogasi karena dianggap melindungi aktivis Islam garis keras yang dituduh makar. Para aktivis itu ia lindungi dengan mengatakan bahwa mereka hanyalah anak muda nakal yang lazim untuk anak seusia mereka. Jika mereka ibarat kucing, maka janganlah disebut harimau yang

  seakan menakutkan. 58

  Sementara secara individual, Kuntowijoyo dikenal sebagai seorang Muslim yang taat. 59 Selain istrinya, Susilaningsih, pengakuan juga datang dari

  yunior dan muridnya, A. Adaby Darban. Menurutnya, Kuntowijoyo adalah Muslim yang saleh dan tidak pernah meninggalkan ibadah, baik fardu maupun sunnah. Di sela seminar, konferensi, dan sebagainya, demikian Darban, Kunto kerap mengajaknya shalat malam sambil menunggu waktu Subuh. Kuntowijoyo juga dikenal sangat peduli dengan anak yatim, fakir miskin, bahkan kalau ada

  mahasiswa yang tidak mampu dalam finansial, Kunto kerap membantunya. 60

  Sebagai seorang dosen dan ketua jurusan sejarah di Fakultas Sastra UGM, Kuntowijoyo dikenal sebagai seorang yang ramah, terbuka, dan mendorong para mahasiswa dan dosen-dosen untuk maju dan melanjutkan pendidikan hingga meraih doktor. Perpustakaan jurusan sejarah yang semula hanya untuk dosen, kemudian dibolehkan untuk diakses para mahasiswa. Kuntowijoyo juga memperbolehkan buku-buku yang dimilikinya untuk difotokopi. Dan, Kuntowijoyo pun sering mengajak para dosen muda dan mahasiswa untuk ikut dalam penelitian yang dipimpinnya. Buku Metodologi Sejarah yang seperti telah menjadi buku wajib bagi mahasiswa sejarah, semua royaltinya disumbangkan

  58 Ibid., hal. 225 59 Wawancara Pribadi dengan Susilaningsih, Yogyakarta, 13 Juli 2007. 60 Darban, “Guru Kunto,” hal. 208.

  pada jurusan sejarah UGM. 61 Pendeknya, Kuntowijoyo memang seorang santri yang bersahaja, yang kesantriannya itu dieksternalisasikan dalam perilaku yang

  saleh, baik secara individual maupun sosial.

  Dalam rangka kepeduliannya terhadap pengaderan umat Islam, pada awal tahun 1980-an, ketika kekuatan Soeharto berada di puncak, bersama-sama rekannya seperti Amien Rais, A. Watik Pratiknya, Dochak Latief, Suprapto Ibnu Djuraimi, dan lainnya, Kuntowijoyo mendirikan Yayasan Shalahuddin. Amien Rais duduk sebagai ketua, dan Kuntowijoyo menjadi salah satu staf ketua. Dalam perkembangannya yayasan ini berhasil membangun masjid, gedung serbaguna, ruang kantor dan gedung asrama sehingga kemudian tempat ini sekaligus menjadi

  padepokan atau Pesantren Mahasiswa Budi Mulia. 62 Kawasan tersebut kemudian menjadi tempat para cendekiawan Muslim Yogyakarta dan Indonesia untuk

  mendiskusikan berbagai hal, terutama dalam melihat Indonesia serta bagaimana peran umat Islam ke depan.

  Pada tahun 1989, Kuntowijoyo, bersama-sama dengan Amien Rais, Watik Pratiknya, Sofyan Efendi, Jamaluddin Ancok, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, Dochak Latief, Chairil Anwar, serta Affan Gaffar membentuk sebuah pusat kajian

  yang diberi nama Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK). 63 Sebagai tempat bernaung lembaga ini dibentuklah Yayasan Mulia Bangsa. Pada setiap

  peringatan 17 Agustus, Kunto kerap menyampakain pidato kebudayaan di halaman PPSK. Dan, PPSK ini juga merupakan salah satu lembaga yang

  61 Ibid., hal. 205-207. 62 Ibid., hal. 211.

  63 Menurut Amien Rais, subjek kajian PPSK meliputi bidang-bidang yang cukup luas:

  mulai masalah-masalah budaya, ekonomi, sosial, politik, agama, dan sebagainya. Hasil diskusi- diskusi di PPSK itu selanjutnya diterbitkan dalam Jurnal Kwartalan Prospektif. Lihat Ulumul Qur’an, no.3, 1994, hal. 104.

  membidani lahirnya ICMI serta PAN. 64 Kuntowijoyo pun turut terlibat dalam pendirian ICMI karena menurutnya proses berdirinya ICMI itu tumbuh dari

  bawah. Bukan hasil rekayasa dari atas. Dan, menurutnya pula, dari segi struktural ICMI sudah mewakili sejumlah perubahan dalam masyarakat Indonesia. 65

  Sebagai kader Muhammadiyah, Kuntowijoyo pernah duduk sebagai anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, 66 dan terakhi r tercatat sebagai

  anggota Majelis Pertimbangan PP Muhammadiyah. 67 Namun, meski sebagai orang dalam Muhammadiyah, Kuntowijoyo tak segan-segan memberikan

  kritiknya kepada Muhammadiyah. Menurutnya, dari perspektif transformasi sosial Muhammadiyah sesungguhnya belum memiliki konsep gerakan sosial yang jelas. Selama ini kegiatan pembinaan warga Muhammadiyah lebih diorientasikan kepada kegiatan untuk mengelola pengelompokan-pengelompokan yang didasarkan pada diferensiasi jenis kelamin dan usia. Ada Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah untuk kelompok remaja putri dan ibu-ibu, ada gerakan Pemuda Muhammadiyah, IRM, dan IMM. Bagi Kunto, kategorisasi pengelompokan sosial semacam ini sesungguhnya justru bersifat antisosial, karena pengelompokan berdasarkan jenis kelamin dan usia cenderung mengabaikan adanya realitas stratifikasi dan diferensiasi sosial. Muhammadiyah seperti mengabaikan kelompok-kelompok tani, buruh, pedagang kecil, TKW, dan kelompok-kelompok

  kepentingan lainnya semacam itu—bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. 68

  Bagi Kunto, kelemahan terbesar yang dihadapi Muhammadiyah sebagai suatu gerakan sosial—yang juga dialami oleh gerakan-gerakan sosial Islam di

  64 Anwar, "Jika Seorang Seniman Mangkat," hal. 220-222. 65 Subhan, “Dr. Kuntowijoyo,” hal. 97. 66 Darban, "Guru Kunto," hal. 209. 67 Subhan, “Dr. Kuntowijoyo,” hal. 97. 68 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 265.

  Indonesia lainnya—di samping karena faktor-faktor eksternal, adalah disebabkan kelemahan konseptual mereka untuk mendefinisikan realitas sosial. Konsep- konsep mengenai kelompok-kelompok sosial yang jelas-jelas telah diperhatikan oleh Alquran, seperti mustadh'afin, masakin, fuqara', kaum fasad, mustakbirun, aghniya’, masih cenderung ditafsirkan secara normatif-subjektif-individual, tanpa konteks, serta cenderung dipertentangkan dengan pemahaman menurut kerangka

  teoritis yang objektif. 69

  Kritik lainnya, adalah terbenamnya Muhammadiyah dalam pembaruan kuantitatif, tetapi mengabaikan pembaruan kualitatif, sehingga cukup sulit bagi

  Muhammadiyah untuk tampil sebagai gerakan Islam garda depan di Indonesia. 70 Kritik-kritik tersebut, hingga sekarang masih terasa relevansinya. Dari sini terlihat

  jelas sikap Kuntowijoyo terhadap Muhammadiyah tidaklah ideologis. Muhammadiyah hanya menjadi rumah bagi Kuntowijoyo untuk mengembangkan gagasan-gagasan dan pemikirannya; tidak menjadikannya sebagai seorang sektarian. Dia juga merupakan salah satu penganjur agar Muhammadiyah tidak terlalu berideologi anti TBC (takhayul, bid'ah, dan khurafat). Karena, menurutnya, di dalam praktik-praktik TBC itu sebenarnya terkandung revolusi kebudayaan. Seperti praktik tahlilan misalnya, yang merupakan bentuk solidaritas sosial di kalangan Muslim. Tahlilan itu dinilainya mempunyai fungsi sosial dan fungsi

  kultural, dan itu penting untuk mempererat solidaritas. 71

  Dalam perilaku, wujud sikap moderat dan non-sektarian Kuntowijoyo ditunjukkan ketika dia menghadiri konferensi sejarah di Jember. Dalam

  69 Ibid., hal. 266.

  70 Ahmad Syafi'i Ma'arif, "Kuntowijoyo (1943-2005) Dan Kritiknya Terhadap

  Muhammadiyah," dalam Sugito, Muslim Tanpa Mitos, hal. 70.

  71 Wawancara Pribadi dengan AE. Priyono, Depok, 7 Juli 2007.

  kesempatan itu, ia mengajak yuniornya, Adaby Darban bersilaturahmi ke KH. Ahmad Siddiq, seorang Rais 'Am Syuriah PBNU. Meski berbeda organisasi, namun mereka bisa bertukar pikiran dan informasi tentang keumatan dalam

  suasana yang hangat dan akrab. 72

  Terhadap Orde Baru, sikap politik Kuntowijoyo tegas dan keras. AE. Priyono mencatat tiga kritik keras Kuntowijoyo yang, menurutnya, sangat canggih. Pertama, Kuntowijoyo mengkritik Orde Baru yang memperlakukan kelompok Muslim itu sebagai kelompok ideologis, dan itu dilakukan oleh tentara. Kritik itu mulai dari kasus Tanjung Priok sampai kasus Lampung. Dia tidak bisa menolerir kebijakan Orde Baru yang melihat kelompok Islam sebagai kelompok ideologis yang dihadap-hadapkan dengan negara. Yang kedua soal modal: soal kebijakan ekonomi Orde Baru. Menurutnya, kapitalisme tidak boleh diterapkan oleh negara. Karenanya, kapitalisme negara itu harus menjadi titik perhatian kritis bagi perubahan kebijakan ekonomi. Itu sebabnya Kunto mengecam praktik monopoli, kemudian belakangan juga konglomerasi Cina. Modal yang hanya terkonsentrasi di kelas-kelas tertentu atau kelas-kelas elite itu akan membawa dampak pada mengerasnya pasar, dan itu adalah perkembangan yang tidak sehat. Terakhir, ketakutan militer abangan, ketakutan militer kapitalis sekuler atau kelas menengah nonsantri yang membuat mereka kemudian hanya memberi tekanan memacu sektor-sektor kelas yang nonmuslim. “Kalau pendekatannya seperti ini

  terus dikhawatirkan nantinya konflik kelas bakal terjadi.” 73

  Tentunya, sikap kritis Kuntowijoyo tersebut ditunjukkan pula dalam tulisan-tulisannya. Akibatnya, pernah suatu ketika tulisannya dalam tabloid

  72 Wawancara Pribadi dengan A. Adaby Darban, Yogyakarta, 13 Juli 2007. Lihat pula

  Darban, "Guru Kunto," hal. 209-210.

  73 Wawancara Pribadi dengan AE. Priyono, Depok, 7 Juli 2007.

  Risalah dipermasalahkan oleh Laksus Pangkopkamtibda Jawa Tengah, sehingga ia harus duduk di meja interogasi. 74 Meski demikian, politik praktis bukanlah

  wilayah yang disukai Kuntowijoyo. Ia tetap konsisten pada dunia akademisi dan intelektual. Dunia politik dilihatnya tetap dalam kacamata intelektual sehingga yang lahir kemudian adalah analisis politiknya yang tajam sebagaimana dapat kita temui dalam tulisan-tulisannya.

  Sikap tanggap dan kritis juga ditunjukkan ketika muncul polemik sejarah di masyarakat ihwal siapa pencetus ide Serangan Oemoem (SO) 1 Maret. Sebagai ketua MSI Yogyakarta, Kuntowijoyo mengambil inisiatif untuk mengadakan seminar dengan menghadirkan sebagian pelaku sejarah peristiwa SO 1 Maret. Akibat penyelenggaraan seminar itu, Kuntowijoyo dan para pengurus MSI

  dipanggil dan diinterogasi oleh Laksus Pangkopkamtibda di Semarang. 75

  Mengenai kritik internal Kuntowijoyo terhadap umat Islam, menurut seorang rekan Kuntowijoyo di PPSK, Chairil Anwar, salah satunya dapat ditemukan dalam sebuah artikel Kuntowijoyo yang berjudul "Enam Alasan untuk Tidak Mendirikan Parpol Islam", yang dibuat ketika reformasi baru saja digulirkan. Keenam alasan untuk tidak membuat Parpol berasaskan Islam itu adalah: ancaman akan terhentinya mobilitas sosial, disintegrasi umat, umat akan menjadi miopis, pemiskinan, runtuhnya proliferasi, dan alienasi generasi muda. Ia khawatir proliferasi atau penyebaran kepemimpinan ke pelbagai jejaring sosial yang terjadi sejak tahun 1970-an akan menyempit kembali. Pemimpin hanyalah

  pemimpin politik, yaitu mereka yang berhasil memobilisasi massanya sendiri. 76

  74 Darban, "Guru Kunto," hal. 210. 75 Ibid., hal. 211 76 Anwar, "Jika Seorang Seniman Mangkat,"hal. 223.

  Demikianlah, melalui sikapnya Kuntowijoyo memang menunjukkan aktualisasi keberislamannya yang moderat, tidak keras, dan tidak konfrontatif. Namun, tegas dan bersikap. Tetapi memang, sebagian menganggap pemikiran- pemikirannya cenderung fundamentalis, karena kekukuhan dan keteguhannya

  dalam berpedoman pada Alquran dan Sunnah. 77

  Dari uraian di atas, teranglah bahwa Kuntowijoyo merupakan seorang Muslim kelas menengah yang berorientasi terhadap kebudayaan Islam (santri). Keengganannya untuk menggunakan media politik (struktural), seperti partai politik, dan upayanya yang tak kenal lelah dalam sumbangsihnya untuk perubahan sosial umat melalui media tulisan, seminar dan dakwah (kultural) menegaskan sosok Kuntowijoyo sebagai seorang santri kelas menengah yang lahir dari rahim dinamika Orde Baru. Dan, visi keagamaannya yang tidak normatif dan skripturalistik, melainkan substansialistik dan kontekstual makin meneguhkan hal itu.