Islam dan Cita-cita Sosial-Politik

A. Islam dan Cita-cita Sosial-Politik

  Dalam analisanya tentang cita-cita sosial-politik Islam, tak dapat diabaikan bahwa Kunto mendasarkan pandangannya pada realitas historis yang dialami umat Islam Indonesia. Jatuhnya Demak dan dikuasainya wilayah perairan Asia Tenggara oleh Portugis, diikuti munculnya negara agraris Mataram, misalnya, ditafsirkan Kunto sebagai titik balik perjalanan sejarah umat Islam di wilayah

  nusantara, yaitu pergeseran dari negara maritim ke negara agraris. 1 Agaknya, Kunto lebih melihat konteks sejarah umat Islam Indonesia melalui analisa

  1 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991), hal. 147. Analisa ini kemudian digunakan Kunto untuk melacak sejarah alienasi dan oposisi umat

  Islam dalam sejarah Indonesia.

  berdasarkan ekonomi-politik. 2 Melalui analisa ekonomi-politik ini Kunto membagi tahap-tahap kesadaran sosial umat Islam Indonesia ke dalam empat

  tahap: kawula, wong cilik, umat, dan warga negara. 3 Ini berbeda dengan Taufik Abdullah yang melihat Islam mula-mula sebagai komunitas spiritual yang

  didasarkan pada nilai-nilai moral dan doktrinal. Pendeknya, lebih melihat pada fungsi agama dalam pengaturan sistem perilaku dan struktur sosial. 4 Ini menjadi

  dasar baginya untuk berpandangan dengan pendekatan Islam sebagai kekuatan sejarah: sebagai dasar pembentukan tradisi kultural baru; bukan sekadar sebagai

  ikatan asosiasional dan kaitan varian—dalam hal ini golongan santri. 5 Ummat dipahami dalam kerangka Islam sebagai dasar komunitas spiritual yang dibatasi

  oleh patokan geografis-politik Indonesia. Melalui pandangan yang seperti ini Taufik melihat bahwa Islam berhadapan dengan dinamika tiga lapisan realitasnya: universalitas dan internasional, nasional, dan lokal, sehingga wajah politik Islam

  dintentukan oleh tiga asumsi: teologis, historis, dan sosiologis. 6

  Umat, bagi Kunto, yang merupakan penjelmaan sosial dari nilai-nilai Islam, 7 sebagai kesatuan sosial dan politik baru muncul pada tahun-tahun 1920-

  2 Akar pendekatan ini bersumber dari kombinasi teori kelas dan teori otonomi negara. Salah satu pengusung pendekatan ini adalah Richard Robison dengan karyanya, Indonesia: The

  Rise of Capital (1986). Pandangan ekonomi-politik Kuntowijoyo dan kritiknya terhadap pendekatan budaya-politik dapat ditemukan dalam Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994), hal. 93-94.

  3 Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai empat tahap kesadaran sosial umat Islam ini, lihat ibid., hal. 20-28.

  4 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 229-231.

  5 Ibid., hal. 241-242. 6 Ibid., hal. 37-38.

  7 Umat dalam pengertian ini agaknya sama dengan definisi yang diajukan oleh Taufik Abdullah. Jalaluddin Rakhmat mencatat lima definisi mengenai umat Islam: (1) umat Islam

  sebagai himpunan orang yang menyatakan dirinya sebagai pemeluk Islam; (2) umat Islam sebagai himpunan orang yang sudah menjalankan ritus-ritus ibadah dan keagamaan; (3) umat Islam sebagai himpunan orang yang memiliki pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam; (4) umat Islam sebagai himpunan orang yang berusaha mengatur perilakunya sesuai dengan ajaran Islam; (5) umat Islam sebagai himpunan orang yang terlibat secara ideologis dengan ajaran Islam. Lihat

  1942. Ini disebabkan sejak awal abad 20 Indonesia yang telah berubah menjadi sistem yang berdasarkan status dan kelas, kemudian mengalami konflik-konflik kelas dan ideologi, terutama dengan masuknya paham Marxisme. Kesadaran sebagai umat yang demikian mendorong masyarakat Islam lebih banyak mendirikan berbagai asosiasi: selain SI, lahir Muhammadiyah, NU, dan organisasi

  lain di Jawa, Jakarta, Sumatera, serta di berbagai tempat lainnya. 8 Dalam pandangan keagamaan muncul faksionalisme antara yang disebut modern dan

  kolot (tradisional). 9

  Dalam melihat cita-cita sosial-politik Islam, Kunto terlebih dulu membagi perkembangan Islam di Indonesia ke dalam tiga periode: zaman mitos, zaman

  ideologi, dan periode ide atau ilmu. 10 Kunto membuat pembagian secara kasar: zaman mitos berlangsung kira-kira sampai 1900 dengan kepercayaan mistis-

  religius sebagai dasar pengetahuannya; periode ideologi berlangsung kira-kira hingga 1965, di mana khazanah pengetahuan Islam dipahami sebagai formulasi

  Jalaluddin Rakhmat, “Islam di Indonesia: Masalah Definisi,” dalam M. Amien Rais, ed, Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1986), hal. 42-43.

  8 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 24-25. 9 Mengenai pandangan yang terbelah dua ini, Noer mencatat bahwa golongan tradisi lebih

  banyak menghiraukan soal-soal agama, atau ibadah belaka. Bagi mereka Islam seakan sama dengan fikih, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taklid dan menolak ijtihad. Banyak pula yang memberikan perhatian pada tasawuf. Golongan tradisi pada umumnya tidak turut dalam masalah politik. Bidang ini mereka serahkan pada kalangan adat dan priyayi. Meski banyak di antara mereka yang anti-penjajahan, mereka lebih memilih mengurung diri di pesantren atau surau, ataupun pergi ke Mekkah. Sebagian lagi, melalui kumpulan tarekat, membangun pengikut untuk dengan kekerasan melawan Belanda, tetapi secara setempat saja.

  Sebaliknya, golongan pembaharu (modern) lebih memberi perhatian pada sifat Islam pada umumnya. Islam adalah agama universal, dan sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Mereka berkeyakinan pintu ijtihad tetap terbuka, dan menolak taklid. Meski pada awalnya golongan modern ini memberi perhatian hanya pada masalah agama, lambat laun perhatian mereka meluas pada masalah politik, sehingga melahirkan keyakinan bahwa dalam Islam dijumpai persatuan antara agama dan politik, dan antara agama dan dunia. Lihat Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1980), hal. 323-327.

  10 Mengenai pembagian periodisasi ini, A.E. Priyono mencatat bahwa, “Kuntowijoyo

  mungkin merupakan sejarawan pertama yang membagi periodisasi sejarah umat Islam menurut kategorisasi latar historisnya. Dengan kategorisasi itulah, ia telah berhasil memberikan pemahaman yang objektif terhadap situasi-situasi historis umat dalam setiap periode sejarahnya, terutama dengan analisisnya dari pendekatan ilmu sosial.” Lihat A.E. Priyono, “Periferalisasi, Oposisi, dan Integrasi Islam di Indonesia,” prolog untuk buku Paradigma Islam, hal. 25.

  normatif yang kemudian dikembangkan menjadi ideologi dan aksi; selanjutnya, sesudah 1965, pasca-tumbangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tidak ada lagi ancaman dari ideologi lain, muncul benih baru di mana Islam ditampakkan sebagai ilmu, perumusan konsep-konsep normatif Islam menjadi teori ilmu pengetahuan, yang tujuan utamanya mengarah pada perubahan sosial. Sebab, menurut Kunto, tugas terbesar Islam adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai yang dikandungnya, yang “bersifat all-embracing bagi

  penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.” 11

  Ini berbeda dengan Nurcholish yang memandang tugas utama kekhalifahan manusia adalah membangun bumi tempat hidupnya dan

  mengembangkan kehidupan yang layak (ishlah al-ardh), yang diridhai Tuhan. 12 Pandangannya ini tentu saja menjadi legitimasi teologis bagi Orde Baru dalam

  menjalankan ideologi pembangunanismenya. Sementara Dawam memandang bahwa sejak awal, Alquran ingin membentuk manusia yang berwatak kosmopolitan yang merasa menjadi warga dunia berdasarkan prinsip kesatuan umat manusia dan menganggap dunia ini milik Allah dan milik bersama seluruh umat manusia. Ini menjadi dasar bagi Dawam untuk mengkritik kesenjangan sosial yang terjadi dalam skala nasional maupun global, sekaligus mendorong umat Islam merumuskan konsep dalam menciptakan perkembangan yang

  berkesinambungan, bukan eksploitatif, antarbangsa. 13

  11 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 167. 12 Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987),

  hal. 551-52. Mengenai pandangannya ini, Nurcholish mengutip QS. 6: 165, 11: 88, 7: 56, dan 21: 105.

  13 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah

  Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 229-232.

  Dengan pandangannya terhadap Islam yang demikian, Kuntowijoyo kemudian memperhadapkan Islam (disimbolkan dengan masjid) dengan dunia modern (disimbolkan dengan pasar). Baginya, “masjid mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan kembali manusia; pembangunan kita sekarang ini

  harus lebih berorientasi kepada masjid daripada kepada pasar.” 14 Kuntowijoyo memandang secara kritis situasi dunia modern, terutama kebudayaan Barat, dan

  masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia di zaman modern. Menurutnya, di balik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat manusia telah berhasil membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri; tapi pada saat yang sama, umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil-hasil ciptaannya

  sendiri. 15 Rasionalisme telah menyebabkan lahirnya agnostisisme terhadap agama dan pada gilirannya menimbulkan sekularisme; 16 teknologi modern dengan

  mekanisasi dan otomatisasi menyebabkan manusia teralienasi dari kerjanya, hasil kerjanya, dan dari masyarakatnya; 17 dalam masyarakat yang kapitalistik, manusia

  hanya menjadi elemen dari pasar, sekadar sebagai unsur suatu sistem ekonomi atau sistem pol itik; 18 dan, yang tak terhindarkan pula menggejalanya proses

  dehumanisasi, yang terjadi melalui saintisasi dan kesadaran teknokratis. 19

  14 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), Edisi

  Paripurna, hal. 148-150. Dalam kata-kata yang lebih tegas, Kuntowijoyo mengatakan: “Demikianlah Islam dapat meletakkan diri sebagai sebuah antitesa bagi kapitalisme dan dunia modern. Kita dapat mendudukkan Etika Islam sebagai sebuah counter-revolution terhadap dunia modern, sebagaimana Nabi dahulu mengalami Islam sebagai counter-revolution bagi dunia Arab.”

  15 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 159. 16 Ibid., hal. 160.

  17 Ibid., hal. 161. Tema alienasi paling jelas terlihat dalam tulisan-tulisan Kuntowijoyo

  yang dihimpun dalam Budaya dan Masyarakat.

  18 Ibid., hal. 161-162. 19 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, hal. 98-103.

  Pandangan kritis terhadap bias modernitas dan kontradiksi yang diidap kapitalisme juga datang dari Nurcholish Madjid. Dia melihat bahwa di samping unsur yang memperbaiki nasib manusia, harus diakui pula bahwa dalam dirinya peradaban modern mengandung unsur-unsur destruktif karena tekanannya yang berlebihan pada kekinian dan duniawi, dan kurang sekali memperhatikan hal-hal yang bersifat lebih mendalam dan langgeng (ukhrawi). Ini merupakan alasan bagi terjadinya berbagai ketegangan, sebab setiap orang memperebutkan kekayaan

  material yang terbatas. 20

  Sampai di sini kita telah melihat bagaimana Kunto memandang peradaban modern dengan dua ideologi besarnya, kapitalisme dan sosialisme, mengandung

  sejumlah problem, kelemahan, bahkan kejahatan. 21 Dengan penuh keyakinan Kunto memandang ideologi Islam, dalam bahasa yang lebih halus, cita-cita Islam

  22 mengenai organisasi sosial-ekonomi, 23 merupakan suatu alternatif yang berpeluang untuk menjadi paradigma baru, 24 dengan menggunakan strategi dialektik yang bersumber dari pengalaman sejarah, 25 karena pada dasarnya berbagai permasalahan kemasyarakatan bisa dicarikan jawabannya dalam Islam. 26

  Berbeda dengan Kunto, untuk memecahkan persoalan umat manusia dewasa ini Nurcholish justru mengajak umat Islam kembali kepada doktrin normatif ajaran Islam, dan melihat bahwa kehidupan duniawi hanya bersifat sementara sehingga memusatkan pada kehidupan duniawi hanya akan mendapatkan kekecewaan.

  20 Madjid, Islam Kemodernan, hal. 162-163 21 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, hal. 145. 22 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 50. 23 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, (Yogyakarta:

  Tiara Wacana, 2006), hal. 89.

  24 Ibid., hal. 96. 25 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, hal. 147.

  26 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 34. Dengan tegas Kunto menyatakan, “Saya

  optimis tentang kemampuan Islam untuk kehidupan umat manusia.” Lihat ibid., hal. 34.

  Sementara pemusatan kepada Tuhan akan mendatangkan kedamaian (salam) dan melahirkan perilaku yang baik, yang terpancar dari kesungguhan untuk terlibat

  dalam proses menegakkan keadilan di antara sesama manusia. 27 Jelas sekali terlihat watak ekspansif dari pemikiran transformatik Kuntowijoyo, dan watak

  kontemplatif dari pemikiran pembaruan teologis Nurcholish.

  Bagaimanakah, lantas, visi teologis Islam dan cita-cita transformasi Islam menghadapi fenomena modernitas tersebut? Mengenai hal ini, Kuntowijoyo menulis dengan penuh keyakinan,

  "Sesungguhnya misi Islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari kungkungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absurditas. Tapi karena dunia modern juga telah menciptakan sistem-sistem yang membelenggu manusia..... maka Islam sekali lagi harus melakukan revolusi untuk merombak semuanya itu, suatu revolusi untuk pembebasan. Dengan visi teologis semacam ini, Islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengisi kehampaan spiritual yang merupakan produk dunia modern industrial. Sungguh, sudah saatnya kini Islam harus tampil kembali untuk memimpin peradaban dan menyelamatkan manusia dari

  belenggu dunia modern." 28 Dengan merujuk pada surat Al-Baqarah ayat 3, 29 Kunto kemudian

  menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: Tuhan sebagai pusat keimanan dengan ujung aktualisasinya adalah manusia. Pendeknya, Islam adalah agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan sentral (humanisme). Tapi, humanisme Islam adalah humanisme teosentrik: sebuah agama yang memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan

  27 Madjid, Islam, Kemodernan, hal. 165-168. 28 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 164-165. 29 “Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat, dan menafkahkan

  sebagian rezeki yang Kami berikan.” (QS. 2: 3) sebagian rezeki yang Kami berikan.” (QS. 2: 3)

  pemikiran transformatik. 31

  Konstruk sosial yang dibayangkan Kuntowijoyo ditemukannya pada cita- cita profetik Alquran yang diderivasikan dari misi historis Islam yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 110: Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemunkaran (kejahatan) dan beriman kepada Allah. Tiga muatan nilai ini dikarakterisasi sebagai: humanisasi (menegakkan kebaikan), liberasi (mencegah kemunkaran), dan transendensi (beriman kepada Allah). "Liberalisme mementingkan yang pertama, Marxisme yang kedua, dan kebanyakan agama yang ketiga. Cita-cita profetik mencoba untuk menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dari yang

  lain." 32 Ini dimungkinkan dengan mengidealkan Nabi Muhammad dengan misi yang dibawanya, yang hadir sebagai counterrevolution bagi masyarakat Arab. 33

  Tujuan politik umat Islam secara nasional, menurut Kunto adalah terbentuknya negara-rasional. Dalam konteks Indonesia, negara-rasional berarti negara yang sekaligus memperhatikan dua kepentingan warga negara: (1) yang

  abstrak (nilai, moral, agama), dan (2) yang konkret (sandang, pangan, papan). 34 Dalam hal perjuangan politik, Kunto mengusulkan untuk menggunakan kembali

  30 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 167-168. 31 M. Syafi'i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang

  Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 162. Pemikiran transformatik bertolak dari pandangan dasar bahwa misi Islam yang utama adalah kemanusiaan. Perhatian utama para pemikir transformatik ini adalah pada pemecahan masalah-masalah empiris dalam bidang sosial-politik (praksis), dan membangun teori-teori sosial alternatif berdasarkan pada pandangan dunia Islam (teoretis). Penjelasan ini telah dikemukakan pada bab 2 skripsi ini, hal. 94-95.

  32 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 87.

  33 Ini yang disebut Kunto dengan strategi dialektik yang bersumber dari pengalaman

  sejarah. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, hal. 147-148.

  34 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 215.

  strategi yang digunakan SI dan Masyumi, yaitu pendekatan integrasionis dan sistemik. Integrasionis berarti bergerak bersama-sama dengan seluruh bangsa melakukan tugas sejarah yang sama, dalam hal ini pembangunan nasional. Sistemik berarti mendekati masalah kemasyarakatan secara menyeluruh sebagai

  sebuah sistem: tegas dan tidak malu-malu. 35 Ini dicontohkan Kunto dengan perjuangan struktural yang tidak berarti harus melalui partai politik, melainkan

  bagaimana segala lembaga yang ada dalam masyarakat, seperti perguruan tinggi, media massa, lembaga-lembaga penelitian, diisi dengan paket untuk

  mengembangkan Islam. 36 Strategi yang diusulkan Kunto ini sejalan dengan seruan-seruan intelektual Muslim masa Orde Baru seperti Sudjoko Prasodjo, M.

  Dawam Rahardjo, dan Adi Sasono, yang mengedepankan strategi transformasi sosial 37 dalam idealisme dan aktivismenya, sebagaimana yang dikemukakan

  Bahtiar Effendy. 38

  Sementara untuk cita-cita keadilan sosial Islam dapat dilihat dari kritik Kunto terhadap kecenderungan terkonsentrasinya modal pada sekelompok kecil orang sehingga mengakibatkan terciptanya kemiskinan. Tuntutan Kunto pada

  35 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 82-87. 36 Ibid., hal. 80.

  37 Penggunaan istilah transformasi sosial saya kira lebih tepat untuk menggambarkan

  watak pemikiran Kuntowijoyo, ketimbang menggunakan istilah sosialisme-demokrasi Islam, meski keduanya memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda. Istilah sosialisme-demokrasi lebih bertendensi kepada akar dan kecenderungan pemikiran, yang tentunya akan tidak pas jika disematkan pada karakter pemikiran Kuntowijoyo yang memiliki pendekatan yang tidak tunggal. Istilah sosialisme-demokrasi Islam dapat ditemukan dalam Fachry Ali dan Bahtiar Effendy dalam Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986).

  38 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 164-176. Aliran intelektual ini pada intinya

  menyerukan: (1) diperhatikannya makna yang lebih luas dari politik, bukan hanya perjuangan demi kepentingan-kepentingan partisan dengan parlemen sebagai satu-satunya lapangan bermain; (2) dipupuknya hubungan-hubungan yang lebih bermanfaat dengan negara dan organisasi- organisasi lain; (3) perumusan serta pendefinisian kembali cita-cita politik Islam yang berwatak inklusif, untuk menyintesiskan dimensi keislaman dan keindonesiaan.

  pemerataan dan egalitarianisme, 39 disertai dengan dorongannya pada umat Islam agar berperan dalam membendung kecenderungan ke arah kapitalis. 40 Kunto

  melihat bahwa umat terbagi dalam kelas-kelas sosial yang memiliki kepentingan fungsional masing-masing, 41 dan transformasi masyarakat industrial diikuti oleh

  semakin tajamnya ketegangan dan konflik kelas. 42 Baginya, kecenderungan egosentrik kelas sosial akan selalu berlawanan dengan perilaku umat Islam;

  karena umat Islam, sebagaimana dalam Alquran, 43 menjadi kekuatan yang membebaskan mereka yang tertindas. Usaha itu dapat melalui pemerintah atau

  kekuatan sosial-politik dengan cara yang demokratis. 44 Ringkasnya, dalam masalah sosial-ekonomi ini, peran umat adalah sebagai pengendali dan pengawas

  perilaku ekonomi dan politik dalam masyarakat, serta menghalangi timbulnya konflik kelas. 45

  39 Tema pemerataan adalah salah satu ciri-ciri ideologi kelas menengah Indonesia.

  Mengenai hal ini, lihat bab 2 skripsi ini, hal. 57-58.

  40 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 94-96. Dalam hal ini Kunto mencontohkan

  persatuan umat Islam yang kuat seperti di masa SI dan Masyumi pada awal berdirinya, sehingga solidaritas sosial umat dapat terjaga, dan umat terhindar dari fragmentasi sosial.

  41 Menurut Kunto, Islam membagi kelas atas dasar ukuran keadilan, bukan dengan ukuran kepemilikan alat-alat produksi (Marx). Kunto menegaskan bahwa kelas (dan pemihakan kelas)

  dalam Islam bukanlah untuk mengantarkan kelas tertindas (mustadh’afin) menegakkan kediktatoran, tetapi untuk melakukan transformasi dalam rangka terciptanya struktur baru yang lebih adil. Lihat uraiannya mengenai konsep kelas dalam Islam ini, dalam Pradigma Islam, hal. 298-303.

  42 Pada pra-1965 percaturan politik Indonesia diwarnai oleh politik berdasarkan aliran,

  yang kemudian dicoba digantikan oleh politik berdasarkan kepentingan kelas-bawah oleh PKI, namun digagalkan oleh kelompok agama dan militer. Dan, menurut Kunto, melalui deideologi yang dilancarkan oleh Orde Baru, perjuangan kepentingan politik dan ekonomi berdasarkan kelas akan muncul dan menajam. Lihat ibid., hal. 178-179.

  43 Dalam hal ini Kuntowijoyo mengutip Alquran, QS. 4: 75: Mengapa kamu tidak

  berjuang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak.

  44 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, hal. 182.

  45 Singkatnya, menurut Kunto, umat Islam harus berdiri sebagai sebuah strategic group

  (kelompok strategis) yang dapat mempengaruhi jalannya sistem nasional. Istilah ini dipinjam Kuntowijoyo dari Hans-Dieter Evers, dalam bukunya Modernization in South-East Asia, (Singapore: Oxford University Press), untuk menyebut kelompok Islam yang beraliansi dengan militer untuk menggagalkan politik berdasarkan kelas yang dibawakan PKI. Lihat ibid., 178-179.

  Dengan merujuk pada Surat Al-Baqarah ayat 143, 46 Kunto menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang terletak di tengah (ummatan wasathan).

  Berada di tengah, bagi Kunto, itu berarti berdiri persis di tengah atau dengan menggabungkan yang terbaik dari dua gejala yang bertentangan. Dalam agama, bisa berarti bahwa Islam itu dibangun atas dasar ilmu dan amal. Dalam konteks negara, itu bisa berarti berada di antara dua karang: kapitalisme dan sosialisme;

  mengakui hak-hak individual, tetapi juga menerima hak-hak kolektivitas. 47 Berbeda dengan Nurcholish—terutama pemikiran Nurcholish muda—yang ketika

  menganalisa cita-cita keadilan sosial kemudian mengusulkan diterapkannya sosialisme-religius di Indonesia, 48 dan Harun Nasution yang menyertakan

  sosialisme-Islam dalam uraiannya mengenai pandangan Islam tentang keadilan sosial, 49 Kunto lebih mengusulkan membangun teori sosial alternatif yang

  merupakan kombinasi dari kapitalisme, teknokratisme, dan sosialisme. 50

  Meletakkan cita-cita sosial-politik Islam dalam konteks industrialisasi, di mana secara sosiologis umat telah memasuki kesadaran sebagai warga negara dan

  46 “Karena itu Kami jadikan kamu umat yang meniti jalan tengah, agar kamu menjadi

  saksi bagi orang banyak, dan rasul menjadi saksi bagimu...” (QS. 2: 143).

  47 Kuntowijoyo, Identitas Politik, hal. 4-6. Lihat pula Dinamika Sejarah, hal. 95. 48 Madjid, Islam, Kemodernan, 105-113. 49 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), hal. 77.

  50 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 53. Dalam hal ini ia menulis, “Yang terpenting

  adalah hendaknya dari kesemuanya itu hanya diambil lapis-lapis terluarnya saja yang tidak menyentuh nilai-nilai. Dari teknokrasi diambil administrasi dan organisasi kenegaraannya, sementara aspek pemerataan kemakmurannya dari sosialisme, dan perkembangan inisiatif perorangannya dari kapitalisme. Dan perlu diingat bahwa itu semua hanya menyangkut organisasi dan tekniknya. Sedang lapis-lapis terdalam seperti filsafat, etika, agama, estetika, harus tetap didasarkan kepada Islam.”

  Pandangan Kunto yang demikian didasarkan pada rumusannya tentang peradaban Islam sebagai sistem yang terbuka dan otentik. Terbuka, artinya bahwa perkembangan budaya Islam tidak hanya tumbuh dari dalam, tetapi Islam pun mengakui bahwa seluruh kemanusiaan mempunyai sumbangsih kepada kebudayaan. Otentik, dalam pengertian mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Sehingga, meskipun Islam mengadopsi atau mengadaptasi unsur-unsur dari luar, Islam selalu mempunyai mekanisme untuk membuat peradaban, sistem, cita-cita politik, dan organisasi sosial Islam sebagai sistem yang otentik. Lihat ibid., hal. 44-54.

  secara historis telah memasuki periode ide, 51 mengantarkan kita pada pemikiran Kuntowijoyo yang paling terkenal tentang sebuah teori sosial alternatif

  berdasarkan pandangan dunia Islam: Ilmu Sosial Profetik. Berbeda dengan ilmu- ilmu sosial akademis dan ilmu-ilmu sosial kritis 52 yang hanya mampu

  menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, maka ilmu sosial profetik menurutnya melangkah lebih maju yakni memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh karena itulah ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu, yang memuat nilai dari cita-cita

  perubahan yang diidamkan masyarakatnya. 53

  Ilmu sosial profetik merupakan kritik terhadap pemikiran Islamisasi pengetahuan dan pemikiran teologis. Islamisasi pengetahuan 54 merupakan

  gerakan intelektual yang lahir menjelang tahun 1980-an—pertama kali dimunculkan oleh Isma’il Raji al-Faruqi dari Amerika Serikat, yang kemudian diikuti Naquib al-Attas dari Malaysia—yang berupa gerakan dari konteks ke teks. Islamisasi pengetahuan berusaha supaya umat Islam tidak begitu saja meniru metode-metode dari luar dengan mengembalikan pengetahuan pada pusatnya, yaitu tauhid. Tujuannya, supaya ada koherensi, pengetahuan tidak terlepas dari

  51 Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah, hal. 6. Menurutnya, dalam periode ide ini konsep-

  konsep normatif Islam perlu dirumuskan menjadi ilmu, teori.

  52 Kunto menyebut fungsionalisme sebagai ilmu sosial akademis, objektif, dan empiris;

  sementara untuk ilmu sosial kritis, Kunto menyebut Marxisme, Freudianisme, dan feminisme.

  53 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 87. Cita-cita profetik ini diderivasikan Kunto

  dari misi historis Islam yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 110. Tiga muatan nilai yang mengkarakterisasi ilmu sosial profetik dan menjadi pilar penyanggahnya adalah: humanisasi (menegakkan kebaikan), liberasi (mencegah kemunkaran), dan transendensi (beriman kepada Allah).

  54 Pemikiran ini bermula dari keyakinan bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai,

  dan, karena itu, suatu ilmu pengetahuan yang berbasiskan nilai Islam adalah sangat mungkin. Lihat Ihsan Ali-Fauzi, “Pemikiran Islam Indonesia Dekade 1980-an,” Prisma, no. 3, Maret 1991, hal. 40 dan, karena itu, suatu ilmu pengetahuan yang berbasiskan nilai Islam adalah sangat mungkin. Lihat Ihsan Ali-Fauzi, “Pemikiran Islam Indonesia Dekade 1980-an,” Prisma, no. 3, Maret 1991, hal. 40

  mengusulkan agar gerakan intelektual Islam mengarah pada pengilmuan Islam, suatu gerakan dari teks menuju konteks, atau disebut juga dengan istilah

  demistifikasi Islam. 56

  Ilmu sosial profetik juga merupakan reaksi terhadap gagasan pembaruan teologi, khususnya gagasan Teologi-Developmentalis Nurcholish Madjid dan Teologi-Transformatif Moeslim Abdurrahman. Bagi Nurcholish Madjid—yang pemikirannya sering disebut sebagai teologi developmentalis karena misinya dianggap memberi legitimasi terhadap pembangunan dan modernisasi—, hambatan umat Islam untuk bisa membangun adalah karena pandangan elite umatnya yang formalistis dan simbolis dan mengarah kepada cita-cita terbentuknya sebuah Negara Islam. Oleh karena itu, menurutnya, persoalan hubungan agama dan negara harus dipecahkan untuk bisa memberikan ruang

  politik bagi pastisipasi umat Islam dalam proses modernisasi dan pembangunan. 57 Sementara Moeslim memandang bahwa pengembangan pemikiran di kalangan

  umat Islam adalah apabila ada upaya pemikiran kembali konsep-konsep keberagamaan secara mendasar, yang historis dan kontekstual, sehingga tidak saja

  55 Lebih lanjut lihat Isma’il Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Pustaka,

  56 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 1-11. Demistifikasi dimaksudkan sebagai

  gerakan intelektual untuk menghubungkan kembali teks dengan konteks. Sehingga, ada kesinambungan dan korespondensi antara agama dengan kenyataan, dengan aktualitas kehidupan. Dengan demikian, umat Islam akan mengenal lingkungan secara lebih baik, baik lingkungan fisik, sosial, simbolis, maupun lingkungan sejarah.

  57 Rahardjo, Intelektual, Inteligensia, hal. 476-477. Pembahasan ini sebelumnya telah

  disinggung pada bab 3 skripsi ini, hal. 94-95.

  mampu memahami persoalan-persoalan sosial, tetapi juga mampu menimbulkan proses transformasi. 58

  Kunto ingin menghindari istilah teologi, karena istilah tersebut membingungkan dan kurang cocok dengan maksud yang dikehendaki. Gagasan pembaruan teologi adalah agar agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas, jadi lingkup sasarannya adalah lebih pada rekayasa untuk transformasi sosial. Menurut Kunto, ilmu sosial profetik adalah metode yang efektif untuk maksud tersebut, yaitu untuk mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Oleh karena itu, lingkupnya bukan pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tetapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Dengan ilmu sosial, maka terbuka kemungkinan bagi adanya perumusan ulang, revisi, dan rekonstruksi secara terus-menerus,

  sesuatu yang sulit dilakukan jika menggunakan istilah teologi. 59

  Pemikiran Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo ini diilhami oleh gagasan- gagasan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam peristiwa mi’raj, Iqbal menilai seandainya Nabi itu seorang sufi, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi, karena telah merasa tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi- Nya. Nabi kembali ke bumi untuk menggerakkan perubahan sosial dan mengubah jalannya sejarah. Dari Roger Garaudy, filsuf Prancis yang menjadi Muslim, Kunto memperoleh gagasan mengenai filsafat profetik. Dalam pandangan Garaudy, filsafat Barat tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara dua kubu,

  58 Ibid., 332-333. Pemikiran kritis teologi transformatif dengan dimensi empiris dan

  praksisnya juga merupakan kritik terhadap pembaruan pemikiran teologi developmentalis. Dawam menilai pembaruan yang bercorak teologis lebih mengarah kepada perubahan tingkat atas (elitis), sementara pembaruan yang bercorak transformatif lebih mengarah pada perubahan sosial sebagai aksi dari bawah.

  59 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, hal. 83-85.

  idealis dan materialis. Filsafat Barat sudah membunuh Tuhan dan manusia, karena itu Garaudy menganjurkan supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari

  Islam dengan mengakui wahyu. 60

  61 Alquran, bagi Kuntowijoyo dapat menjadi paradigma: konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana dimaksud

  Alquran. Ini artinya, Alquran mengkonstruksi pengetahuan yang memberikan dasar untuk kita bertindak. Konstruksi ini memungkinkan untuk mendesain sistem

  Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. 62 Sementara untuk sampai kepada ilmu sosial profetik, Kuntowijoyo menganjurkan digunakannya metode sintetik-

  analitik dalam memahami Alquran. 63 Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan agar kita dapat menarik pelajaran moral dari peristiwa-peristiwa empiris yang

  terjadi dalam sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya bersifat

  60 Ibid., hal, 97-98.

  61 Kuntowijoyo meminjam pengertian paradigma ini dari Thomas Kuhn: bahwa pada

  dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing tertentu pula. Dalam bahasa lain: skema konseptual (Kant), ideologi (Marx), dan cagar bahasa (Wittgenstein). Lihat ibid., hal. 11.

  62 Dalam reorientasinya terhadap epistemologi, Kunto berkesimpulan bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tetapi juga dari wahyu. Dengan merujuk pada

  surat Fushshilat (41) ayat 53: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, Kuntowijoyo menyimpulkan bahwa ilmu, menurut Alquran, itu ada tiga: (1) kauniyah (ilmu-ilmu alam, nomothetic), (2) qauliyah (ilmu-ilmu Alquran, theological), dan (3) ilmu nafsiyah, yang berkenaan dengan makna, nilai, dan kesadaran, atau yang disebut dengan humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan). Lihat ibid., hal. 25-26.

  Untuk membangun teori sosial dengan paradigma Islam, metodologi yang dipakai adalah integralisasi dan objektivikasi. Integralisasi ialah (1) pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu (Alquran dan Sunnah), dengan kata lain teoantroposentrisme; dan (2) dediferensiasi, yakni penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dengan ilmu, yang telah disekularkan pada zaman modern. Objektivikasi merupakan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang (rahmatan li al-‘alamin), yakni perbuatan rasional-nilai yang diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Sebagai contoh, ancaman kepada orang yang mendustakan agama bila tidak memperhatikan kehidupan ekonomi orang-orang miskin dapat diobjektifkan dengan program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lihat ibid., hal. 49-63.

  63 Ibid., hal. 12-13. Pendekatan sintetik-analitik menganggap bahwa pada dasarnya

  kandungan Alquran itu terbagi menjadi dua bagian: bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Pada bagian pertama yang berisi konsep- konsep, terdapat konsep-konsep abstrak (seperti tentang Allah, malaikat, akhirat, makruf, munkar, dan sebagainya), dan konsep-konsep yang lebih merujuk fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep tentang dhu’afa (golongan lemah), mustadh’afin (kelas tertindas), zhalimin (para tiran), mustakbirun (penguasa), mufsidun (koruptor kekuasaan), dan sebagainya.

  universal dan abadi. Jadi mensintesiskan penghayatan dan pengalaman subjektif dengan ajaran-ajaran normatif. Sementara pendekatan analitis lebih memperlakukan Alquran sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal dari Tuhan. Untuk mengoperasionalkan konsep-konsep normatif menjadi objektif dan empiris adalah dengan merumuskan pernyataan-pernyataan

  normatif Alquran ke dalam level yang objektif, yakni konstruk-konstruk teoretis. 64

  Demikianlah, dari uraian di atas tampak bahwa pemikiran Kuntowijoyo lebih berkecenderungan substantif-fungsional. Dan, ini memang sejalan dengan

  karakter visi teologis kelas menengah santri masa Orde Baru. 65 Tekanannya untuk menjadikan paradigma Islam yang dielaborasinya ke dalam Ilmu Sosial Profetik

  sebagai alternatif untuk mengarahkan umat ke arah evolusi sosial secara rasional, tidak lantas bisa menggolongkannya sebagai seorang fundamentalis. 66 Sebab,

  kecenderungan skripturalistik dan formalistik dalam pemikiran fundamentalis 67 tidak dijumpai dalam pemikiran Kuntowijoyo.