Untuk menanggapi adanya gerakan tersebut maka pemerintah Kolonial Belanda membuat ketentuan-ketentuan baru bersama Sunan Paku
Buwana X. Isi ketentuan itu adalah mengenai kedudukan Pemerintah Kasunanan terhadap penguasa Belanda. Di samping itu Sunan beserta sentana
dalem diharapkan jangan terseret oleh arus pergerakan politik pada waktu itu. Di lain pihak gerakan nasional makin menggelora. Pada 12 Juli 1938,
PPS mengadakan rapat di Kanggotan dan Habipraya. Rapat tersebut dihadiri lebih kurang 1600 wakil-wakil dari berbagai organisasi sosial politik yang ada
pada waktu itu, antara lain: PPKI, Parindra, Narpawandana, PKS, PKC, Al Islam, PSSI dan sebagainya. Pembicaraan dihantarkan oleh Dr. Soetomo,
RMTH Pringgawinata, KRT Radjiman Wedyadiningrat. Rapat tersebut menghasilkan tuntuan agar apa yang disebtu Dewan Perwakilan Bale Agung,
sebuah dewan perwakilanan Kasunana berfungsi sebagai benar-benar sebagai Dewan Perwakilan Rakyat. Perlu diketahui bahwa maksud didirikannya Raad
Bale Agung adalah untuk menampung hasrat Sentana Dalem, Abdi Dalem, dan Kawula Dalem Kasunanan Surakarta. Dewan ini didirikan tahun
1935.
G. Struktur Sosial: Proses Perumitan
Kasunanan Surakarta sebagai suatu bentuk kerajaan, pengorganisasian kekuasaanya berada di tangan Sunan. Sebagai akibat pengorganisasian
kekuasaan yang dislaurkan melalui pemberian wewenang pada aparatanya menyebabkan masyarakat Kasunanan Surakarta terbagi dalam tiga golongan
sosial. Pertama, sentana dalem, yaitu: keluarga raja. Kedua, abdi dalem, yang merupakan pegawai kerajaan. Abdi dalem ini masih dapat dibedakan menjadi
tiga golongan : 1.
Pegawai-pegawai yang dekat dengan raja, mereka termasuk kelompok elite birokrat atas dan mereka itulah yang memegang
kekuasaan administrasi pemerintahan dengan pepatih dalem
Narpawandana, Maret 1935.
sebagai kepala birokrat pusat dibandu oleh para bupati nayaka yang langsung di bawahnya.
2. Elit birokrasi tengahan, terdiri atas jabatan bupati yang status dan
fungsinya sebagai bawahan pepatih dalem. 3.
Elite birokrasi rendahan, terdiri atas jabatan kaliwon, panewu, penatus, paneket, panglawe, paninganjung, panajung, dan
pankilil.
†††††††††
Golongan ketiga adalah nakula, merupakan golongan sosial yang diperintah atau dengan kata lain golongan ini merupakan rakyat
kerajaan.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Dari ketiga golongan sosial di bawah ini secara kasar dapat dibagi menjadi dua, yaitu: priyayi, yang terdiri dari sentana dalem dan abdi
dalem, serta yang lain adalah wong cilik, yaitu kawula dalem.
§§§§§§§§§
Masyarakat Vrostenlanden Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial besar yaitu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi,
dan golonan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin, dan lain-lain. Bangsawan adalah golongan sosial kelas atas yang
mempunyai hubungan genealogi dengan raja. Mereka merupakan sentana atau keluarga raja. Priyayi juga termasuk golongan sosial atas dan mereka
merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau nara praja. Dua golongan sosial yaitu priyayi dan wong cilik menempati wadah budaya yang
berbeda yang ditujukan oleh struktur apanage. Di satu pihak priyayi dengan gaya hidupnya, kebiasaan, makanan, dan pakaian serta simbol-simbolnya
menunjukkan gaya aristokrat. Keadaan semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi. Di lain pihak bagi wong cilik, lingkungan pedesaan banyak
mempengaruhi tingkah laku mereka. Kebiasaan polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan.
†††††††††
G.P. Rouffaer, 1931, Op. cit, hal 98.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Soejatno, Kolonialisme Barat dan Kemunduran Raja-raja Surakarta Abad 19, Surakarta: IKIP Negeri Surakarta, 1972, hal 3-4
§§§§§§§§§
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984, hal 229 Ibid, hal 229-235
Status sosial memiliki hierarki yang terdiri dari golongan-golongan sosial sebagai berikut: Golongan penguasa, bangsawan, dan priyayi
menempati status sosial di atas. Para elite birokrat yang mendapa tanah apanage membentuk golongan penguasa. Mereka hidup dari pajeg,
pundhutan, dan berbagai layanan. Status sosial dan hak-hak pribadi mereka dapat diketahui dari gelar dan lambang yang dipakai yang menunjukkan dari
golongan mana mereka berasal. Untuk memperkuat status sosialnya, kalangan bangsawan mengadakan ikatan perkawinan dengan keluarga istana agar para
patuh tetap loyal kepada raja. Untuk memperkuat ikatan politik, raja memberikan triman kepada birokrat yang diangkat.
††††††††††
Puncak birokrasi kerajaan diduduki oleh patih yang diangkat oleh gubernemen. Selain gaji, ia mendapat tanah apanage. Ia juga menerangkap
sebagai ketua pengadilan Pradata Gedhe yang berhak mengangkat birokrat rendahan. Di bawahnya adalah para bupati sebagai pengawas keamanan
daerah. Pada tingkat yang lebih rendah dalam hierarki pemeritnahan kerajaan terdapat demang, atau kepala distrik, dan kepala-kepala rendahan lainnya,
yaitu rangga, ngabehi, dan patinggi. Bersamaan dengan perkebangan birokrasi kolonial dan agro industri
pada pertengahan abad XIX, golongan birokrat makin kuat statusnya untuk mendukung pelaksanaan administrasi kolonial. Banyak jabatan dalam
administrasi kolonial mulai diisi oleh para priyayi cilik, seperti juru tulis, penarik pajak, dan kasir sampai dengan pengawas-pengawasnya dengan gelar
mantri. Jadi, kedudukan golongan bangsawan dalam birokrasi kolonial maupun dalam pemerintahan kerajaan mulai tergeser dengan setelah
masuknya golongan priyayi cilik.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Karena birokrat
adalah priyayi, mereka mengutamakan status. Mereka
meniru kebudayaan atasannya, tradisi istana, dan juga kehidupan di loji-loji sekitar perkebunan. Bentuk rumah, lingkungan, pakaian, simbol, serta
kebiasaan priyayi yang meniru gaya hidup aristokrat maupun ordernemer
††††††††††
Soemarsaid Moertono, Op. cit, hal 190
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Sartono Kartodirdjo, “Bereaucracy and Aristocracy: The Indonesian Esperience in the 19
th
century”, Archipel, 7, 1974, hal 151-168
merupakan kebanggaan yang menunjukkan status sosial mereka.
§§§§§§§§§§
Golongan atas, yaitu para priyayi dan bangsawan merupakan patron, sedangkan golongan bawah yang mencakup petani, tukang adalah klien.
Golongan terakhir ini adalah wong cilik. Mereka melayani dan setia kepada patron karena hubungan timbal balik yang seimbang. Golongan bawah atau
wong cilik terbagi dalam beberapa lapisan sosial berdasarkan tinggi rendahnya pembayaran pajak. Setelah tahun 1830 cacah yang semula berarti sejumlah
satuan luas tanah kemudian berubah artinya menjadi hak dan kewajiban penggarap tanah apanage. Menurut Jaarlijksch Verslag tahun 1832 penduduk
desa terbagi menjadi empat lapisan. Lapisan paling atas adalah sikep atau kuli kenceng, yaitu lapisan yang menguasai tanah, pembayaran pajak tanah dan
kerja wajib pada patuh atau raja. Bekel dan kepala-kepala rendaham lainnya berasal dari lapisan sosial ini. Untuk memperkuat kedudukan, mereka
menjalin hubungan perkawinan agar tepat mengontrol perkembangan politik di pedesaan.
Di bawah kuli kenceng adalah kuli setengah kenceng atau kuli kendho yang sedang menunggu giliran tanah garapan, sedangkan kuli
indhung atau kuli tlosor tidak dikenakan pajak, tetapi tenaga kerjanya dimanfaatkan oleh kuli kenceng yang menanggung makan dan tempat tinggal
mereka. Dengan demikian di desa ada sikep yang besar pengaruhnya dapat diukur dari banyaknya kuli indhung atau kuli tlosor. Kuli-kuli ini dapat
digunakan oleh sikep untuk membuka tanah-tanah desa. Hal ini wajar karena sikep yang menabgung beban pajak yang berat menggunakan tenaga kerja
kuli-kuli lainnya. Sikep yang tidak dapat membayar pajak meninggalkan desa, ikut sikep lain, atau sama sekali menjadi wong anginan.
Cara yang lazim digunakan oleh raja untuk menambah pajak yang masuk ialah dengan melakukan pancasan terhadap tanah-tanah apanage
karena bertambahnya elite birokrat yang diangkat. Di sisi lain gangguan keamanan timbul dari para patuh yang merasa dirugikan karena tanahnya
§§§§§§§§§§
Leslie H. Palmier, Social and Power in Java, London: The Athlone Press, 1960, hal 197-227
Jasa Bremen, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial, Jakarta: LP3ES, 1982, hal. 11
dipancas sehingga menimbulkan ketidakstabilan politik. Sesungguhnya cara ini dilakukan oleh raja untuk mengendalikan politik dan pemerintahannya
dengan baik dan aman. Perlu dijelaskan, bahwa pancasan berarti pemotongan tanah apanage. Potongan tanah itu diberikan kepada birokrat baru. Tujuan
pemotongan itu dimaksudkan untuk mengurangi kekuatan seorang patuh yang mempunyai cacah banyak. Selain itu pemotongan dilakukan karena semakin
menyempitnya tanah apanage.
†††††††††††
Pada abad 19 tersebut proses perumitan struktur sosial tengah berlangsung di wilayah Vorstenlanden Surakarta. Proses perumitan struktur
sosial itu intensitasnya akan terus meningkat karena makin tingginya intervensi pemeritnah kolonial khususnya terhadap pemerintah Kasunanan
Surakarta, terutama sejak awal abad 20.
H. Perubahan Sistem Birokrasi