Terbentuknya Karesidenan Surakarta PEMBERDAYAAN HUKUM OTONOMI DAERAH DAN POTENSI WILAYAH: STUDI TENTANG KEMUNGKINAN TERBENTUKNYA PROVINSI SURAKARTA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR) Edy S. Wirabhumi

atau bakat abdi dalem itu, sehingga jangan sampai terjadi apa yang disebut kapak untuk menggarap tanah dan sebaliknya cangkul untuk menebang pohon. Bagaimana seharusnya sikap priyayi terhadap orang desa dimuat dalam Serat Wulangreh, sebagai berikut: hendaknya dijaga agar orang desa jangan sampai mendapat kesulitan dalam melaksanakan tugas mereka di sawah dan di tegal, supaya panenan padi, kapas, kacang dan jarak tetap berlangsung. Usahakan supaya desanya makmur penduduknya bertambah agar pajak yang dibayar bertambah banyak. Pada tahun 1944 Paku Buwana XI wafat, yang kemudian digantikan oleh Paku Buwaan XII dalam usia yang masih sangat muda, yang didominasi oleh ibu suri dan sekutu-sekutunya. Sekutu yang paling utama adalah Drs. KRMA Sosrodiningrat yang telah menggantikan ayahnya yang pro Belanda sebagai Wasir pada tahun 1939. Sementara itu, pada tahun yang sama, Mangkunegoro VII mangkat secara mendadak yang kemudian digantikan oleh penggantinya yang juga masih muda dan didominasi oleh pegawai istana yang lebih tua dan konservatif. §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Usia Sunan yang masih sangat muda, yang tentunya belum banyak pengalaman ketiak itu, besarnya persoalan-persoalan yang harus dihadapi yang bertambah kompleks pada masa revolusi, yang tentu saja dalam proses pengambilan keputusan dan dalam menentukan sikap pada masa revolusi kemerdekaan tidak dapat berjalan secara maksimal. Hal serupa juga dihadapi oleh Istana Mangkunegaran.

L. Terbentuknya Karesidenan Surakarta

Sejak negara-negara ini tebentuk pada tanggal 17 Agustus 1945, karaton-karaton di seluruh Indonesia tidak lagi menjadi kerajaan yang otonom, tetapi di bawah kekuasaan negara RI. Di antara karaton-karaton tersebut ada yang memperoleh status daerah Istimewa dan ada yang tidak. Kasultanan Yogyakarta dan Pakualam memperoleh status daerah Istimewa, yang kemudian menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak demikian dengan §§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Benedict R.O.G. Anderson. Java in a time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1972, hal. 347- 356. Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran yang kelihatan status daerah Istimewa. Hal demikian karena adanya “Gerakan Anti Swapradja” pada masa revolusi kemerdekaan yang dimotori oleh kelompok intelektual, pemuda dan pelajar di bawah pimpinan kerabat keraton sendiri yaitu KPH Mr. Sumodiningrat. Pada bulan September 1945, di Surakarta dibentuk Komite Nasional Daerah Indonesia KNI Daerah Surakarta, di bawah pimpinan KPH Mr. Sumodiningrat, yang dibantu oleh 9 orang anggota dari unsur elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan elite politik. Tugas pertama dari KNI Daerah Surakarta adalah melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan Jepang ke tangan Pemerintah RI yang diwakili KNI Daerah Surakarta. Pada tanggal 19 Oktober 1945, Pemerintah Pusat mengangkat R.P. Suroso menjadi Komisaris Tinggi Daerah Surakarta dan Yogyakarta. Jabatan Komisaris ini merupakan jabatan tertinggi di daerah Surakarta, dan berfungsi sebagai koordinator pemerintahan Kasunanan, Mangkunegaran dan Pemerintah RI. Untuk melaksanakan tugas sehari-hari dibentuk Pemerintah Direktorium, yang anggotanya terdiri dari KNI Daerah Surakarta, wakil Kasunana dan wakil Mangkunegaran. Pemerintah ini merupakan suatu Collegiaal Bestuur, dan pihak Mangkunegaran tidak mau menerima sistem pemerintahan ini, sehingga pemerintahan ini tidak dapat berjalan. Ketika itu dalam masyarakat tengah berkembang sikap anti swapraja, termasuk gerakan protes terhadap pembentukan daerah Istimewa Surakarta yang direncanakan oleh Menteri Dalam Negeri dr. Sudarsono. Gerakan protes yang dimotori oleh kaum intelektual, pemuda dan pelajar menganggap bahwa terbentuknya Daerah Istimewa Surakarta akan membangkitkan kembali sistem feodalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis di alam kemerdekaan. Ketika itu timbul pula peristiwa penculikan beberapa pembesar Kantor Kepatihan Karaton Surakarta. Sujatno, Op. cit, hal. 67 Rencana Menteri Dalam Negeri untuk membentuk Daerah Istimewa Surakarta itu batal dilaksanakan dan mulai 1 Juni 1946 Surakarta di bawah Pemerintahan Rakyat dan Tentara Daerah Surakarta, yang beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan sejumlah intelektual. Dan sejak tanggal 15 Juli 1946 Daerah Surakarta menjadi Karesidenan, dengan Residen Iskak Tjokroadisuryo dan wakilnya Soediro. Pada tanggal 9 November 1946 Iskak dan Soediro diculik oleh gerombolan politik tertentu, tetapi pemerintahan tetap berjalan di bawah Badan Eksekutif yang para anggotanya berasal dari wakil partai-partai politik. ††††††††††††††††††††††††††††† Karena kekacauan politik di Surakarta, Pemerintah Pusat turun tangan langsung untuk mengatasinya. Pada tanggal 6 Desember 1946, Gubernur Soetardjo Kartohadikosoemo mendapat tugas merangkap sebagai Residen Surakarta. Dalam suatu sidang DPR Surakarta tanggal 27 Februari 1947, Soetardjo mengajukan saran agar Kasunanan dan Mengkunegaran diberi Pemerintahan Otonom, tetapi sidang menolak. Apa yang ditentukan Soetardjo tentunya sejalan dengan keinginan Pemerintahan Pusat, tetapi elite politik di Surakarta menghendaki dipertahankannya Pemerintahan Karesidenan. Berdasarkan UU No. 16 1947, terjadilah proses pembentukan daerah Surakarta dalam bentuk Harminte =Balaikota. Menurut UU ini, Harminte di Surakarta bersifat istimewa, karena dapat berhubungan langsung dengan Kementerian Dalam Negeri. Sebagai Walikota diangkat Sjamsurijal dan Soediro diangkat sebagai Residen. Badan Eksekutif Pemerintahan Balaikota adalah Dewan Pemerintahan Kota. Kota Surakarta menjadi pusat pemerintahan Karesidenan Surakarta. Sementara itu pada tanggal 20 Desember 1948, tentara Belanda memasuki Kota Surakarta. Selama pendudukan itu Belanda telah membentuk “Pemerintahan Swapraja”. Karena itu telah terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Pemerintahan Balaikota di satu pihak, dan Pemerintahan Swapraja di lain pihak, yang menimbulkan pro dan kontra. Karena situasi yang memburuk Pemerintah RI Daerah Surakarta berada dan dikendalikan dari luar kota. ††††††††††††††††††††††††††††† Ibid, hal 67-68 Tetapi pada pertengahan Februari 1949 tersusun Pemerintahan Pamong Praja dalam kota yang para anggotanya sebagian besar terdiri dari para pelajar. Pemerintahan ini di bawah perlindungan Tentara Pelajar Rayon Kota, yang dikomandani oleh Achmadi. Munculnya “Pemerintahan Swapraja” yang dibuat oleh Belanda tersebut, telah memperkuat gerakan anti Swapraja, dan pada gilirannya juga memperkuat anti Daerah Istimewa Surakarta. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Setelah Belanda meninggalkan Surakarta pada akhir tahun 1949, Pemerintah RI melakukan berbagai penataan pemerintahan, termasuk pengembalian keberadaan Karesidenan Surakarta. Melalui surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. F.X.31131950 tertanggal 3 Maret 1950, pemeritnahan Kasunanan dan Mangkunegaran dibekukan, dan hanya terbatas pada pemerintahan di dalam keraton saja. Dengan terbitnya surat keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, telah memantapkan keberadaan Karesidenan Surakarta, yang meliputi wilayah Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, Klaten, Karanganyar, dan Sragen. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Ibid BAB IV : PROFIL WILAYAH BEKAS KARESIDENAN SURAKARTA

A. Cakupan Wilayah