Perkembangan Berikutnya Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

dilakukan karena berlaku “parlementer” dengan megikuti “mazhab” Amerika Serikat. Tetapi revisi Depdagri berlaku “presidensial” mengikuti “mazhab” Belanda. Menurut Supriady, “Ini bukan revisi lagi, tetapi membuat undang-undang otonomi daerah baru”. Seperti dijelaskan Supriady, bahwa yang paling jelas, kesalahan UU No.221999 itu terlalu banyak meminta peraturan pemerintah PP, sehingga tidak operasional UU-nya. Waktu itu agar lebih aman daripada disalahkan ebih baik dikatakan akan diatur denganPP. PP itu dalam kerangka katup pengaman, karena waktu yang terbatas. Supriady setuju dengan revisi UU No.221999, tetapi kata-kata PP harus dihilangkan. Selain itu, salah satu yang menghambat UU No.221999 itu ada 16 UU tata Ruang, UU Jalan UU Lingkungan Hidup, masih sentralistik. ††††††††††††††

3. Perkembangan Berikutnya

Sebanyak 282 anggota DPR dari sembilan fraksi telah menyetujui draft revisi UU No.221999 tentang Pemerintah Daerah, susunan Badan egislasi Nasional sebagai RUU usul inisiatif Dewan. Keputusan penting itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR. Dalam sistem legislasi kita, usulan RUU oleh DPR dimungkinkan. Bahkan dalam pasal 20 ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen I ditegaskan: “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”. Hal ini berbeda dengan masa sebeumnya, dewan lebih banyak menunggu usulan eksekutif. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Sejak disahkan pada bulan Mei 1999, dan mulai berlaku efektif, polemik revisi UU No. 221999 berlangsung seru. Bila dibuat peta posisi, mereka yang terlibat terbagi dalam tiga kubu, pertama, kelompok prorevisi terutama Depdagri dan pelaku bisnis; kedua, kelompok kontrarevisi seperti asosiasi pemerintah daerah; dan ketiga, di tengahnya, sebut saja kelompok “pro dengan reverse” yakni setuju revisi, tetapi berdasar dan didahului †††††††††††††† Harian Kompas, “Dr. Deddy Supriady Bratakusumah: Ini seperti Membuat UU Baru”, 9 Pebruari 2002. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Robert Endi Janeeng, “Ihwal Revisi UU Nomer 22 Tahun 1999”, Harian Kompas, 20 Desember 2003. evaluasi komprehensif. Dalam perkembangan terakhir, nampaknya posisi runcing itu banyak mengalami moderasi karena semua pihak sepakat, bahwa revisi UU itu merupakan kepincangan. Banyaknya substansi pasal yang dinilai salah lemah atau yang bersifat multitafsir menyebabkan kesimpangsiuran dalam praktek bergayut dengan muncunya tuntutan baru seperti elektoral bagi pemilihan kepala daerah langsung atau pembaruan arsitektur fiskal yang lebih bermbang antar daerah horisontalmaupun pusat vertikal merupakan alasan yang melatarinya. §§§§§§§§§§§§§§ Selanjutnya perlu dilakukan perhatian yang lebih terhadap draft usul inisiatif DPR, terutama karena sesuai dengan tatacara legislasi kita bahwa draft usul inisiatif DPR itu akan menjadi acuan RUU oleh dewan dan pemerintah. Sementara, draft yang lain, khusunya versi Depdagri, hanya akan menjadi sandingan y7ang akan dilengkapi daftar isian masalah DIMyang ditemukan dalam draft DPR. Pada titik inilah letak ironisnya, karena dari segi jangkauan dab bobot pengaturan draft inisiatif DPR ini belum apa-apa dibandingkan dengan versi pihak lain, terutama Depdagri dan LIPI. Letak pokok soal draft ini ada pada keterbatasan dan kesenjangan cakupan materi yang mestinya direvisi. Pertama, dari matriks kebutuhan muatan materio draft ini belum menjangkau sejumlah poin kunci seperti relasi kekuasaan dan pembagian wewenang pusat-daerah yang masih ambivalen dalam UU No.221999 dan beberapa UU sektoral; rancang kelembagaan pemerintahan daerah yang mengbaikan asas check and balances legislatif dan eksekutif; serta sistem akuntabilitas DPRD dan kepala daerah yang menutup akses peranan masyarakat. Selain itu, problem pihak lain yang juga harus diselesaikan kerangka legalnya ialah ihwal hubungan bermasalah antara kabupaten kota dan provinsi sebagai daerah otonom dan administratif; pengaturan kepegawaian yang tidak berorientasi pada prinsip profesionalisme kerja dan jaminan karier yang §§§§§§§§§§§§§§ Ibid Ibid jelas; perimbangan keuangan pusat dan daerah maupun antar daerah yang belum berkeadilan dan mencukupi fiscal need bagi terselenggaranya pelayanan dasar pada sebagian besar daerah; dan sebagainya. Keua, terkait dengan itu, nampaknya draft ini memberi tekanan perhatian kalau bukan satu-satunya kepada perbaikan sistem pemilihan kepala daerah pilkada. Soal kepala daerah dan pemilihannya hampir menyita semua pasal, dan menyisakan porsi tak berarti bagi pengaturan DPRD dan perangkat daerah. Ketidakberartian penyertaan kedua materi ini juga dutunjukkan kenyataan, sejatinya tidak ada penyempurnaan signifikasi dari yang telah diatur dalam UU No. 221999. Ketiga, draft ini ketiadaan paradigma yang jelas sebagai kerangka perspektif dalam mematri konstruksi desntralisasi dan otonom daerah ke depan. ††††††††††††††† 4. Beberapa Catatan 4.1.Persoalan DPRD dapat dibubarkan oleh Presiden pada abad era reformasi ini, dengan kecenderungan ketatanegaraan yang lebih bersifat “parlementer”, lembaga legislatif cenderung mendominasi lembaga eksekutif, termasuk dominasi DPRD terhadap pemerintah daerah dalam proses-proses pengambilan keputusan. Hal demikian, tentunya berlainan dengan masa sebelumnya masa orde baru yang lebih bersifat “presidensial” dan lembaga eksekutif lebih cenderung mendominasi lembaga legislatif. Dengan menguatnya keberadaan lembaga legislatif, maka mekanisme check and balances akan berjalan secara wajar tetapi situasi yang demikian pada akhirnya jauh dari harapan, ketika orang mulai meragukan kinerja lembaga legislatif terutama DPRD di sejumlah daerah, dengan penampilan yang tidak simpatik di mata masyarakat seperti adanya berbagai upaya untuk menambah penghasilan selain penghasilan formal yang telah ada, termasuk “pesangon purna bhakti”, yang seringkali di luar kepatutab. Sementara, akses masyarakat terhadap DPRD cenderung tertutup, dan belum ada sistem kontrol yang efektif terhadap perilaku DPRD. ††††††††††††††† Ibid Munculnya gagasan bahwa Presiden dapat membubarkan DPRD, juga tidak terlepas dari kondisi objektif dan perilaku DPRD seperti di atas. Tetapi gagasan yang demikian juga tidak memiliki dasar yang kuat, karena DPRD dipilih oleh rakyat, sehingga berhak membubarkan adalah rakyat yang memilihnya. Hal yang terakhir ini peru ketegasan dan mekanisme yang diatur dalam undang-undang. Gagasan tentang Presiden dapat membubarkan DPRD, yang dianggap sebagai upaya sentralisasi kembali juga beralasan. 4.2.Pemilihan kepala Daerah secara langsung Pemilihan Kepala Derah Pilkada secara langsung akan memilik beberapa efek positif yaitu pertama, bahwa kepala daerah hasil pilihan rakyat hanya dapat diberhentikan oleh rakyat. Karena keberadaannya yang demikian, maka posisi kepala daerah menjadi lebih kuat di hadapan DPRD, sehingga terjadi keseimbangan antara lembaga legislatif di daerah. Kedua, menambah bobot suasana demokratis, sebagai proses belajar menuju masyarakat demokaratis. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa draft usul inisiatif DPR untuk merevisi UU No. 221999, yang lebih terfokus pada sistem Pilkada secara langsung dengan aturan-aturan secara detail, ada yang mengusulkan draft inisiatif itu lebih tepat jika diberi judul “RUU tentang Kepala Wakil Kepala Daerah”, atau bahkan lebih sempit lagi sebagai “RUU tentang Sistem dan Tata Cara Pilkada secara Langsung”. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Besarnyaperhatian usul inisiatif terhadap Pilkada ini, karena melihat arti penting Pilkada dalam proses peningkatan kualitas demokrasi dan otonomi daerah. Dalam kaitan ini, berbagi aturan baru mengarah pada penguatan akses rakyat kepada lembaga legislatif dan eksekutif dengan mekanisme yang benar. ‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Robert Endi Jaweng, Op. cit

B. Perspektif Makro