tentang Daerah Istimewa Surakarta mulai ditanggalkan, dan terus bergulir adalah ide tentang kemungkinan terbentuknya “Provinsi Surakarta”, dengan
cakupan wilayah Bekas Karesidenan Surakarta.
§§§§§§§
Sekali lagi penulis tegaskan, bahwa kajian tentang kemungkinan terbentuknya Provinsi Surakarta di sini, tidak ada kaitannya dengan gagasan
untuk menghidupkan kembali Daerah Istimewa Surakarta. Tetapi untuk melakukan studi yang komprehensif tentang keberadaan
wilayah Bekas Karesidenan Surakarta, terutama aspek kewilayahan budaya, di samping kewilayahan ekonomi dan kewilayahan politik, mau tidak mau harus
meninjau aspek historis terutama latar sejarah sosial di wilayah ini, yang sebelumnya adalah wilayah Vorstenlanden Surakarta. Dari sini akan terlihat
segi-segi perubahan dan kelangsungannya, termasuk kedudukan dan peranan Keraton Surakarta sebagai pusat dan sumber kebudayaan Jawa, di tengah-
tengah kehidupan modern dan perubahan masyarakat yang berlangsung dengan dahsyat.
B. Pemberdayaan: Kelayakan dan Kemanfaatan
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa konsep pemberdayaan empowerment mengandung dua arti. Arti pertama adalah memberikan
§§§§§§§
Harian Radar SoloJawa Pos, “Provinsi Surakarta, Bukan Daerah Istimewa Surakarta”, 12 Pebruari 2002, hal. 5; Harian Kompas, “Layak, Surakarta Jadi Provinsi”, 6 Maret 2002,
hal. 2. Pada tanggal 20 Mei 2003, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum-Universitas Muhammadiyah Surakarta menyelenggarakan acara Talk Show, dengan fokus bahasan
mengenai “Kemungkinan Terbentuknya Propinsi Surakarta”, yang hadiri oleh sejumlah cendekiawan, para mahasiswa, dan LSM, baik LSM dari Surakarta maupun Yogyakarta, lihat
juga harian Solopos, “Dibahas, Ide Provinsi Surakarta”, 21 Mei 2003.
Karaton merupakan sumber utama nilai-nilai tradisional. Sumber-sumber nilai-nilai tradisional yang lain, dengan karakteristik masing-masing adalah pesantren dan paguron. Di
wilayah Surakarta pesantren tradisional relatif kurang berkembang, misalnya dibandingkan dengan kehidupan pesantren di beberapa wilayah Jawa Timur. Sementara, paguron umurnya
cenderung tidak lebih dari usia sang guru. Karena itu, keberadaan Karaton Surakarta sebagai sumber nilai-nilai tradisional Jawa cenderung dominan, baik bagi masyarakat sekitarnya
maupun orang Jawa yang berada di luar wilayah Surakarta. Seperti dikatakan oleh Frans Magnis-Suseno: “Ciri khas kekayaan Jawa terletak dalam kemampuannya yang luar biasa
kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang yang datang dari luar dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak
menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural dari luar, liaht: Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa
Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: PT. Gramedia, 1990, hal. 1
kekuasaan, mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Arti kedua, adalah upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan sebagai suatu proses,
pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, pertama adalah proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi dengan
membangun aset materiil guna mendukung pembanguann kemampuan mereka melalui organisasi, dan kecenderungan ini juga tersebut kecenderungan primer
dari makna pemberdayaan. Sementara, kecenderungan kedua merupakan kecenderungan sekunder yang menekankan pada proses menstimulasi,
mendorong atau memotivasi agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan. Berkaitan dengan pemberdayaan hukum otonomi daerah dan
pemberdayaan potensi wilayah mencakup kedua pengertian tersebut, karena unsur mendelegasikan otoritas, memberikan kekuasaan, mengalihkan
kekuatan, memberikan kemampuan atau keberdayaan masuk dalam pengertian itu. Begitu pula, pemberdayaan sebagai suatu proses, juga tercakup
kecenderungan primer dan sekunder tersebut, karena proses pemberdayaan memerlukan unsur materiil dan bukan materiil. Dengan kata lain, bahwa
membuat sesuatu yang belum berdaya menjadi berdaya, dan sesuatu yang relatif sudah berdaya menjadi lebih berdaya lagi.
Dalam konteks pemberdayaan hukum otonomi daerah dan pemberdayaan potensi wilayah, pada tahap pertama adalah menafsirkan dan
menerapkan peraturan dan ketentuan yang terkait dengan otonomi daerah,
khususnya studi tentang kelayakan Bekas Karesidenan Surakarta jika
dikembangkan menjadi sebuah provinsi. Karena Bekas Karesidenan Surakarta tersebut menjadi bagian dari wilayah Propinsi Jawa Tengah, sesuai dengan PP
No. 1292000 pasal 1 ayat 4, bahwa jika wilayah Bekas Karesidenan Surakarta untuk dikembangkan menjadi sebuah provinsi tergolong dalam kategori
pemekaran daerah, sesuai dengan pasal 13 PP No. 1292000, bahwa pemekaran daerah memiliki 7 tujuh kriteria. Ketujuh kriteriapersyaratan itu
dilengkapi dengan 19 indikator dan 43 sub indikator, definisi indikator dan
sub indikator, rumuscara penghitungan sub indikator, metode penilaian,
††††††††
dan seterusnya. Karena itu, studi tentang kelayakan wilayah Bekas Karesidenan Surakarta untuk dikembangkan menjadi sebuah propinsi
berdasarkan kriteriasyarat formal seperti yang dimaksud. Karena pemberdayaan hukum otonomi daerah pada hakekatnya juga
pemberdayaan wilayah, yaitu pemberdayaan seluruh potensi wilayah,
‡‡‡‡‡‡‡‡
yang tentunya menurut skala prioritas sesuai dengan tujuan pembangunan wilayah, maka untuk mengembangkan wilayah Bekas Karesidenan Surakarta
menjadi sebuah propinsi sudah tentu harus dilihat dari aspek kemanfaatan khususnya bagi wilayah yang bersangkutan. Kemanfaatan di sini juga dapat
dilihat dari dasar pertimbangan untuk mengembangkan wilayah Bekas Karesidenan Surakarta menjadi sebuah propinsi,
§§§§§§§§
yang kiranya sesuai dengan tujuan pembangunan di era reformasi yang mencoba mengedepankan
demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan supremasi hukum. Sebelum
melihat segi kemanfaatan tersebut, terlebih dahulu akan dilihat kondisi objektif dan kecenderungannya yang ada di wilayah itu.
C. Kelayakan Bagi Wilayah Bekas Karesidenan Surakarta untuk