3. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 30 orang perawat, ditemukan bahwa seluruh perawat 100.00 di RSUD Dr. Djasamen Saragih
Pematangsiantar tidak menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien. Walaupun penggunaan bahan perawatan luka mayoritas
tidak sesuai dengan karakteristik luka, masih ada penggunaan bahan yang tepat yaitu pemakaian salin normal sebagai larutan pembersih luka. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa seluruh perawat 30 orang menggunakan salin normal sebagai cairan pembersih pada perawatan luka akut seperti luka operasi, luka
superfisial, dan luka kronik, termasuk luka kronik yang menghasilkan jaringan nekrotik. Menurut pedoman AHCPR 1994 menyatakan bahwa cairan pembersih
yang dianjurkan adalah normal salin Sodium klorida. Sodium klorida atau Natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang memiliki komposisi sama seperti
plasma darah, dengan demikian aman bagi tubuh Morrison, 2004. Berdasarkan hasil penelitian ini seluruh perawat 100.00 menggunakan
povidone iodine sebagai larutan antiseptik pada luka bedah akut dan 23 perawat 76.60 menggunakan povidone iodine sebagai larutan antiseptik pada luka
kronik, termasuk juga pada luka kronik yang menghasilkan jaringan nekrotik. Penggunaan povidone iodine di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar
belum tepat karena tidak sejalan dengan WHO yang tidak menyarankan penggunaan povidone iodine pada luka bersih seperti luka hasil pembedahan dan
luka kronis. Hal ini disebabkan povidone iodine bersifat toksik yang dapat merusak perkembangan jaringan baru WHO, 2010. Penelitian lain yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh Brena, et al., 1980 menunjukkan bahwa pengunaan antiseptik menunjukkan efek buruk terhadap fisiologi penyembuhan luka. Penggunaan
povidone iodine pada luka bersih seperti luka operasi dapat menyebabkan berhentinya aliran pembuluh darah kecil. Berdasarkan pemaparan diatas dapat
disimpulkan penggunaan antiseptik pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar belum tepat.
Berdasarkan hasil penelitian ini penggunaan balutan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar menunjukkan bahwa 30 perawat 100.00
menggunakan balutan basah kering untuk merawat semua jenis luka akut. Penggunaan balutan basah kering dapat menghambat proses penyembuhan luka.
Hal ini disebabkan karena kasa konvensional terbuat dari material tekstil katun yang tersusun dari serabut-serabut anyaman yang akan menyebabkan kasa
melekat pada permukaan luka. Hal ini akan menyebabkan luka kembali ke fase inflamasi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gates
dan Holloway 2002 yang dilakukan pada 40 orang ibu yang menjalani operasi Caesar menunjukkan bahwa luka yang dirawat dengan balutan yang dapat
mempertahankan kelembaban lebih cepat menutup 5 hari jika dibandingkan dengan luka yang dibalut dirawat dengan balutan basa kering 8 hari.
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa penggunaan balutan pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen belum tepat.
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa 93.38 28 perawat menggunakan balutan basah kering wet to dry pada luka kronik termasuk luka
Universitas Sumatera Utara
kronik yang disertai dengan jaringan nekrotik. Penggunaan balutan basah kering dapat menyebabkan trauma pada jaringan yang akan sembuh dan menimbulkan
nyeri pada pasien. Penelitian yang dilakukan Mwipatayi 2004 pada 10 orang pasien luka kronik dengan jaringan nekrotik, dua diantaranya dilakukan
debridemen autolisis menggunakan balutan polyacrylate mengalami penurunan luas area luka dari 26,4 cm
2
menjadi 21,4 cm
2
dalam waktu 5 hari. Sedangkan delapan orang pasien lagi dirawat menggunakan balutan basah kering mengalami
penurunan luas area luka dari 25 cm
2
menjadi 23 cm
2
dalam waktu 5 hari. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa debridemen autolisis dengan balutan
polyacrylate sangat efektif pada semua jenis luka. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa manajemen
luka modern tidak lagi menyarankan penggunaan debridemen mekanik sebagai pilihan utama. Peneliti lebih menyarankan penggunaan debridemen autolisis pada
luka yang memiliki jaringan nekrotik. Penggunaan debridemen autolisis memberikan banyak manfaat seperti cara pemakaian yang efektif, lebih aman,
karena debridemen ini menggunakan mekanisme pertahanan tubuh sendiri untuk membersihkan jaringan nekrotik, tidak menimbulkan nyeri.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 100,00 30 perawat di RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tidak menggunakan balutan yang
dapat mempertahankan kelembaban moist wound healing seperti balutan oklusif ataupun balutan yang menyerap cairan absorben dressing. Penggunaan balutan
oklusif dapat mempercepat proses penyembuhan luka karena balutan ini dapat menciptakan lingkungan luka yang lembab yang akan mempertahankan sel
Universitas Sumatera Utara
makrofag tetap hidup dan penting untuk reaksi enzim yang tergantung terhadap air dan oksigen sehingga proses penyembuhan luka tidak terganggu Novriansyah,
2008. Manfaat lain yang didapatkan dari penggunaan balutan yang dapat
mempertahankan kelembaban adalah frekuensi pergantian balutan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan balutan basah kering wet to dry. Berkurangnya
frekuensi penggantian balutan di rumah sakit akan mengurangi waktu perawat dalam merawat luka, dengan demikian perawat bisa mengerjakan pekerjaan lagi
lebih efektif. David 2010 menyatakan bahwa tidak banyak rumah sakit yang menerapkan metode perawatan luka modern. Di Indonesia sendiri hanya ada 25
rumah sakit atau 2.47 dari total 1012 rumah sakit yang ada dan RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar merupakan salah satu rumah sakit yang tidak
menerapkan perawatan luka modern. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar belum menggunakan
balutan yang sesuai dengan karakteristik luka. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa seluruh perawat 30 responden
tidak menggunakan silastic foam untuk menutup luka kronik yang berbentuk cawan. Silastic foam adalah balutan yang direkomendasikan untuk luka yang
berada di daerah yang sulit di mana proteksi dan immobilisasi sangat bermanfaat. Balutan ini juga dapat digunakan pada luka dengan jumlah eksudat sudah
berkurang, khususnya pada luka dalam yang bersih berbentuk cawan, seperti sinus
Universitas Sumatera Utara
pilonidal yang sudah dieksisi, atau dekubitus luas didaerah sakrum Morrison, 2004.
RSUD Dr. Djasamen tidak menyediakan balutan silastic foam pada luka yang berbentuk cawan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan
perawat, perawat biasanya menggunakan kasa deeper sebagai pengisi lukanya. Pengisian luka menggunakan kasa deeper bertujuan untuk menyerap cairan yang
berlebih dan mengontrol perdarahan. Pengunaan kasa deeper pada perawatan luka menyebabkan pergantian balutan yang lebih sering, Pergantian balutan yang
sering akan menyebabkan jaringan granulasi yang tumbuh menjadi rusak. Hal ini akan membuat penyembuhan luka menjadi terlambat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh perawat 100.00 di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar menggunakan plester cokelat
sebagai perekat balutan pada perawatan luka akut dan kronik. Penelitian yang dilakukan Cutting 2007 menunjukkan bahwa luka yang dirawat menggunakan
plester cokelat menyebabkan peningkatan pelapasan kulit secara paksa peel force selama dua minggu pertama periode perawatan, dan meningkat secara
signifikan jika dibandingkan dengan luka yang dirawat menggunakan perekat hidrokoloid. Pada penggunaan perekat hidrokoloid pegangkatan kulit secara paksa
dapat dicegah, karena perekat ini dapat mempertahankan kelembaban kulit secara konsisten. Plester cokelat lebih cocok digunakan sebagai fiksasi infus atau kateter.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan penggunaan balutan sekunder jenis balutan perekat adhesive dressing lebih baik jika dibandingkan dengan pita
Universitas Sumatera Utara
perekat adhesive tape. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan penggunaan balutan sekunder di RSUD Dr. Djasmen Pematangsiantar belum tepat.
Pada luka yang megalami infeksi yang menghasilkan eksudat yang berbau busuk, dapat digunakan balutan arang aktif activated charcoal dressing, sebagai
penghilang bau deodoriser yang efektif Morrison, 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100.00 30 responden perawat tidak menggunakan
balutan arang aktif sebagai penghilang rasa bau pada luka yang menghasilkan bau. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Hamptomp 2003 yang
melakukan penelitian pada 20 orang pasien luka kronik yang menghasilkan bau, diperoleh bahwa 50.00 dari pasien menyatakan bau pada luka pasien hilang
sama sekali, dan 35.00 menyatakan bau pada luka bisa dikontrol. Menurut peneliti, bau yang ditimbulkan oleh luka dapat mempengaruhi
psikologi pasien. Pasien dapat mengalami perubahan citra diri, merasa malu, dan depresi. Perawatan luka yang holistik tidak hanya berpusat pada kesembuhan luka
pasien tapi juga berusaha untuk mengatasi akibat dari luka yang dialami pasien. Dengan demikian peneliti menyarankan manajemen luka RSUD Dr. Djasamen
Pematangsiantar sebaiknya menggunakan balutan arang aktif pada luka kronik.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dapat diambil kesimpulan dan saran mengenai gambaran penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD
Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.
1. Kesimpulan
Gambaran pengunaaan bahan pada perawatan luka dikategorikan tidak sesuai dengan karakteristik luka 100,00. Berdasarkan hasil penelitian, dapat
disimpulkan bahwa manajemen luka RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar masih menerapkan metode perawatan luka konvensional. Perawat di RSUD Dr.
Djasamen Saragih Pematangsiantar membersihkan luka menggunakan normal salin, menggunakan povidone iodine sebagai antiseptik. Untuk penggunaan balutan,
manajemen luka RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar masih mengandalkan balutan basah kering wet to dry baik pada luka akut maupun luka
kronik. Balutan basah kering wet to dry adalah balutan yang menggunakan kasa yang dibasahi dengan normal salin dan difiksasi menggunakan plester cokelat.
Perawat menggunakan bahan yang sama untuk merawat semua jenis luka akut dan kronik.
Universitas Sumatera Utara