SISTEM PENENTUAN KURS VALUTA ASING

BAB IV SISTEM PENENTUAN KURS VALUTA ASING

A. Pendahuluan

Kegiatan ekonomi akhir-akhir ini sangat diwarnai dengan gejolak yang sering terjadi secara beruntun. Krisis ekonomi yang terjadi di satu negara berdampak pada negara lain. Saling ketergantungan perekonomian dunia menyebabkan yang menyebabkan para decision maker dalam sebuah perusahaan sulit untuk membuat keputusan dalam mencapai stabilitas harga dan full employment. Saling ketergantungan oleh pengaturan moneter dan kurs yang dipakai oleh banyak negara dan menunjukkan perlunya sistem moneter internasional.

B. Sejarah Sistem Moneter Internasional Secara historis, Sistem Moneter Internasional mengalami evolusi mulai

dijelaskan secara berurutan sebagai berikut:

1. Sistem Standar Emas (1821-1914) Konsep tradisional mengenai konvertibilitas mata uang mengajarkan bahwa standar komoditi beroperasi atas dasar full-bodied coins artinya nilai mata uang adalah sama dengan nilai logam pembuatnya. Dengan kata lain, nilai intrinsik (nilai logam pembuat uang) sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tertera pada mata uang tersebut). Oleh karena itu system ini sering disebut gold specie standard karena nilai uang logam emas persis sama dengan nilai intriksiknya. Pada saat yang hamper bersamaan berlaku pula system emas batangan (gold bullion standard) dimana tidak ada hubungan langsung antara emas dengan mata uang: mata uang dapat berbentuk emas atau kertas, namun nilai nominal dapat lebih besar disbanding nilai intrinsiknya.

Standar emas memiliki cirri-ciri penting yang dapat dilihat dari beberapa aturan dasar : Pertama adalah suatu Negara yang menganut standar emas menetapkan nilai mata uangnya dalam nilai emas. Caranya, pemerintah di Negara tersebut menentukan harga emas dalam mata uangnya dan siap membeli serta menjual emas pada tingkat harga itu.

Aturan dasar yang kedua dari standar emas murni adalah bahwa aliran impor dan ekspor emas dizinkan bebas (tanpa hambatan) antar Negara.

Aturan dasar ketiga menyebutkan bahwa otoritas moneter harus memegang cadangan emas dalam kaitannya dengan uang kertas yang dikeluarkannya. Cadangan emas ini memungkinkan otoritas moneter untuk membeli dan menjual emas tanpa takut tidak dapat memenuhi permintaan masyarakat.

Nilai emas terhadap harga barang maupun jasa relatif stabil dalam jangka panjang, dan periode sebelum PD I merupakan masa dimana system gold standard ini berjalan dengan baik dimana hamper semua Negara di dunia menetapkan nilai tukar terhadap emas.

Pada masa setelah PD II Standar emas ini tidak dapat dipertahankan, karena banyaknya inflasi yang terjadi di Negara-negara terkemuka di dunia serta industrialisasi yang semakin berkembang. Arus konsumsi, investasi, ekspor-impor maupun government spending semakin tidak dapat diimbangi oleh produksi emas, dengan demikian kurs nilai tukar mata uang dunia menjadi semakin ‘volatile’.

2. Non System (1914-1946) Begitu dahsyatnya Perang Dunia I pada tahun 1914 terbukti ikut menggoncangkan stabilitas standar emas. Begitu perang tersebut berakhir, SMI berada dalam kondisi berantakan. Sebagian besar mata uang mengalami fluktuasi yang tajam dan ekonomi Negara-negara Eropa rusak berat akibat perang.

Depresi besar tahun 1929 menyebabkan goncangan system perbankan di seluruh dunia dan menimbulkan krisis kepercayaan terhadap kemampuan menjaga konvertabilitas mata uang mereka terhadap emas. Beban ini begitu berat dirasakan oleh Inggris yang meninggalkan standar emas pada tanggal 21 September 1931.

System moneter dunia belakangan mengalami disintegrasi menjadi blok-blok mata uang, seperti blok sterling atau blok dolar. Dalam setiap blok mata uang terdapat beberapa Negara anggota yang tidak menganut system pengawasan devisa, namun semua anggota secara bersama-sama menerapkan control devisa terhadap Negara di luar blok. Suatu blok mata uang masih berdasarkan emas dengan mengambangkan kurs mereka. Apa yang terjadi ternyata adalah kekacauan moneter. Maka bermuncullanlah system kurs dirty float (mengambang dengan campur tangan pemerintah), runtuhnya blok-blok mata uang, dan system moneter yang disepakati pun hancur berantakan. Ini diperparah dengan menjamurnya pengawasan devisa, tarif dan restriksi perdagangan lainnya.

Fenomena yang terakhir inilah yang dinamakan nonsystem dalam SMI di mana nilai mata uang ditentukan secara arbitrer oleh penguasa dan mekanisme pasar. Devaluasi sterling diikuti oleh 25 negara yang mendevaluasi mata uangnya untuk mempertahankan daya saing produk perdagangannya. Perang perdagangan yang dikenal dengan nama beggar-thy-neighbor (politik memiskinkan Negara tetangga) terjadi, di mana semua Negara menurunkan nilai mata uangnya agar dapat menaikkan ekspor dan menurunkan impor.

3. Sistem Bretton Woods (1946-1968) Untuk mencegah kebijakan ekonomi yang destruktif di masa mendatang, pada bulan Juli 1944 diadakan konferensi moneter internasional di Bretton Woods. New Hampshire. Konferensi ini dihadiri 44 negara dan berhasil menciptakan dua lembaga baru, yaitu Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (IBRD), yang bertugas melaksanakan SMI baru yang dikenal dengan nama system Bretton Woods. Hasil keseluruhan perjanjian:

- semua Negara menetapkan nilai tukar mata uangnya terhadap emas, tetapi tidak diwajibkan untuk mengkonversikannya terhadap emas. - Hanya dollar yang tetap dapat dikonversikan terhadap emas (pada US$ 35 per ons) - Dengan demikian semua Negara dapat menentukan sendiri nilai tukarnya terhadap dollar sehingga ‘par value’ dari mata uangnya terhadap emas dapat ditentukan pada nilai yang dikehendaki.

- Semua Negara partisipasi sepakat untuk menjaga nilai tukar mata uangnya agar berfluktuasi hanya 1% dari par, dengan cara menjual/belikan mata uang atau emas dengan jumlah seperlunya.

- Devaluasi tidak boleh digunakan untuk meningkatkan daya saing perdagangan internasional, kecuali apabila nilai mata uang Negara tersebut terlalu lemah maka dapat didevaluasi sampai 10% tanpa persetujuan IMF

- Devaluasi lebih dari 10% memerlukan persetujuan Internastional Monetary Funds (IMF). - Pembentukan lembaga moneter internasional untuk membantu Negara anggota di dalam masalah neraca pembayaran dan kebijakan nilai tukar, terkenal dengan nama The International Monetary Fund (IMF). Lembaga lain juga dibentuk untuk membantu Negara dalam membangun perekonomiannya, - Devaluasi lebih dari 10% memerlukan persetujuan Internastional Monetary Funds (IMF). - Pembentukan lembaga moneter internasional untuk membantu Negara anggota di dalam masalah neraca pembayaran dan kebijakan nilai tukar, terkenal dengan nama The International Monetary Fund (IMF). Lembaga lain juga dibentuk untuk membantu Negara dalam membangun perekonomiannya,

C. Era Sistem Kurs Mengambang

Pada bulan Desember 1971, di bawah Persetujuan Smithsonian, dolar didevaluasi menjadi 1/38 per ons emas, dan Negara lain direvaluasi berdasarkan jumlah yang disetujui terhadap dolar. Setelah berbulan-bulan mencoba menerapkan kurs tetap baru, dunia akhirnya beralih menganut kurs mengambang pada tahun 1973.

Transisi menuju kurs mengambang (floating exchange rates) tidak melalui persetujuan formal seperti saat system kurs tetap ala Bretton Woods dicanangkan. System ini terjadi karena system sebelumnya telah runtuh dan tidak ada persetujuan formal untuk menggantikan system lama. Kenyataannya memang tidak ada persetujuan umum mengenai pengaturan kurs yang sesuai bagi setiap Negara. Akibatnya saat ini dikenal berbagai system kurs yang dianut oleh kelompok Negara yang berbeda.

Ciri penting system ini adalah selain tidak konvertibel terhadap emas, kurs ditentukan oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh otoritas moneter. Dalam system kurs mengambang dikenal dua macam kurs mengambang, yaitu Pertama, mengambang bebas (murni) dimana kurs suatu mata uang ditentukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah. System ini sering disebut clean floating atau pure/freely floating rates karena otoritas moneter tidak berupaya untuk menetapkan ataupun memanipulasi kurs.

Kedua, mengambang terkendali (managed or dirty floating rates) dimana otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena otoritas moneter perlu membeli atau menjual valuta asing di pasar untuk mempengaruhi pergerakkan kurs.

D. Jenis Sistem Kurs

D.1. Sistem Kurs Tertambat Dalam system ini, suatu Negara mengaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang lain atau sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang Negara partner dagang yang utama. “Menambatkan” ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya D.1. Sistem Kurs Tertambat Dalam system ini, suatu Negara mengaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang lain atau sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang Negara partner dagang yang utama. “Menambatkan” ke suatu mata uang berarti nilai mata uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi hanya

D.2. Sistem Kurs Tertambat Merangkak Dalam system ini, suatu Negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodic dengan tujuan untuk bergerak menuju suatu nilai tertentu pada rentang waktu tertentu. Namun, system ini dapat dimanfaatkan oleh spekulan valas yang dapat memperoleh keuntungan besar dengan membeli atau menjual mata uang tersebut sebelum terjadi revaluasi atau devaluasi. Keuntungan utama system ini adalah suatu Negara dapat mengatur penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding system kurs tertambat. Oleh karena itu system ini dapat menghindari kejutan-kejutan terhadap perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan tajam.

D.3. Sistem Sekeranjang Mata Uang Banyak Negara, terutama Negara sedang berkembang, menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan sekeranjang mata uang. Ini mirip dengan penilaian SDR (Special Drawing Rights). Keuntungan utama system ini adalah menawarkan stabilitas mata uang suatu Negara karena pergerakan mata uang disebar dalam sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang dimasukkan dalam “keranjang” umumnya ditentukan oleh peranannya dalam membiayai perdagangan Negara tertentu.

D.4. Sistem Kurs Tetap Dalam system ini, suatu Negara mengumumkan suatu kurs tertentu atas mata uangnya dan menjaga kurs ini dengan menyetujui untuk membeli atau menjul valas dalam jumlah tidak terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit. Saat ini boleh dikata hamper tidak ada Negara

E. Faktor-faktor Penentu Nilai Tukar

Seperti halnya komoditi lainnya, mata uang pada dasarnya dapat dianggap sebagai komoditi selain sebagai alat pembayaran. Dengan demikian harga atau daya beli atau nilai tukar satu mata uang terhadap mata uang negara lain ditentukan oleh Seperti halnya komoditi lainnya, mata uang pada dasarnya dapat dianggap sebagai komoditi selain sebagai alat pembayaran. Dengan demikian harga atau daya beli atau nilai tukar satu mata uang terhadap mata uang negara lain ditentukan oleh

Permintaan Rupiah ditentukan permintaan barang dan jasa buatan Indonesia oleh orang Amerika. Semakin banyak impor Amerika dari Indonesia maka semakin besar kebutuhan Rupiah untuk membayar impor dari Indonesia. Transaksi impor dari Indonesia juga akan mempengaruhi penawaran US$, semain besar impor dari Indonesia berarti penawaran US$ meningkat, karena semakin banyak US$ harus ditukar/ditawarkan terhadap Rupiah untuk membayar impor tersebut.

Faktor kedua yang mempengaruhi nilai tukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain adalah tingkat inflasi . Tingkat inflasi di Indonesia pada tahun 1998 mencapai 80% berarti terjadi kenaikan harga barang-barang secara umum sebesar delapan puluh persen. Sementara itu inflasi di Amerika Serikat pada tahun yang sama hanya sekitar 4% berarti daya beli US$ mengalami penurunan kurang lebih empat persen. Akibat inflasi yang tinggi di Indonesia tersebut maa orang Indonesia melihat bahwa barang-barang buatan Amerika Serikat menjadi relatif lebih murah. Akibatnya orang Indonesia akan meminta atau pengimpor barang-barang dan jasa buatan Amerika lebih banyak. Impor yang meningkat mengakibatkan permintaan US$ meningkat untuk membayar impor tersebut.

Faktor yang ketiga yang berpengaruh terhadap nilai tukar adalah tingkat bunga. Tingkat bunga secara teoritis mencerminkan tingkat keuntungan riil ditambah dengan tingkat keuntungan premi risiko. Yang dimaksud dengan premi risiko adalah tingkat keuntungan untuk menutup risiko seperti halnya risiko inflasi, risiko likuiditas dan risiko-risiko lainnya.

Keempat adalah pengharapan pasar atau market expectation atau kondisi dimasa datang. Apabila pasar berpengharapan inflasi akan tinggi di masa datanga, maka pemilik modal akan segera membelanjakan uangnya baik untuk barang-barang durable yang diperkirakan akan mengalami kenaikan harga ataupun untuk dibelanjakan/ditukarkan dalam bentuk mata uang lain yang nilainya stabil.

Reputasi bank sentral dipandang sebagai salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap stabilitas nilai tukar. Reputasi bank sentral sering diartikan dengan kredibilitas pimpinan puncak bank sentral kemandirian atau independensi pengelola bank sentral dari campur tangan pemerintah.

Faktor terakhir yang berpengaruh terhadap nilai tukar adalah intervensi bank sentral di pasar valuta asing. Bank sentral sebagai pengendali pembayaran pemerintah juga perlu melakukan invensi, baik melalui mekanisme tingkat bunga ataupun melalui operasi pasar.