LDC Debt-Equity SWAPS
D. LDC Debt-Equity SWAPS
Berkembangnya pasar modal belakangan ini memungkinkan bagi para investor untuk memperoleh hutang eksternal dari negara yang kurang, berkembang atau biasa disebut less-developed countries (LDC) untuk memperoleh modal atau mata uang domestik dalam negara tersebut. Negara-negara debitor yang masuk dalam LDC antara lain Chili, Brasil, Meksiko, Venezuela, Argentina dan Fhilipina.
Perdagangan pinjaman LDC umumnya dengan tingkat diskon yang besar dari nilai nominalnya, hal ini mencerminkan tingkat risiko yang substansial. Sebagai contoh, pada tahun 1987 hutang Chili dijual pada harga 70% dari nilai nominalnya.
Masalah lain dari debt swaps adalah bahwa debt swaps dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dalam LDC debitur. Brasil mengharapkan dapat membeli kembali hutangnya, jika pemerintah tidak memiliki surplus dana maka mereka akan mencetak uang baru untuk membayar hutangnya tersebut, dan hal ini akan menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi.
Debt equity swap dapat saja dilakukan dalam konteks antara kreditur dan debitur di dalam negeri. Pengalaman dari krisis menunjukkan bahwa banyak perusahaan nasional yang jatuh pailit, kesulitan membayar hutangnya. Untuk menyelesaikan persoalan utang tersebut banyak alternatif yang tersedia.
Pertama adalah menilai apakah lebih berharga mempertahankan perusahaan tetap hidup atau membiarkan mati. Jika Kesimpulannya lebih baik mempertahankan untuk hidup, maka selanjutnya harus dicari cara-cara penyelamatan yakni melalui penjadualan kembali pembayaran utang yang diharapkan memberikan kesempatan Pertama adalah menilai apakah lebih berharga mempertahankan perusahaan tetap hidup atau membiarkan mati. Jika Kesimpulannya lebih baik mempertahankan untuk hidup, maka selanjutnya harus dicari cara-cara penyelamatan yakni melalui penjadualan kembali pembayaran utang yang diharapkan memberikan kesempatan
Alternatif selanjutnya adalah mengubah utang menjadi ekuitas atau debt equity swap. Jika hal ini juga tidak dapat memperbaiki perusahaan maka langkah terakhir adalah penghapusbukuan utang dan likuidasi. Kita dapat menyemak bagaimana Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengenai perusahaan yang bermasalah. Ada yang memperoleh penjadualan utang kembali dan ada juga yang terpaksa harus dilikuidasi. Khusus untuk bank-ban, yang besar memang nampaknya mereka jeli memanfaatkan pemikiran bahwa bank yang besar tidak akan dibiarkan bangkrut atau too big to be failed.
Akibatnya muncullah moral zarad yang sangat besar. Indonesia yang menghadapi beban utang sangat besarpun secara teoritis tidak akan dibiarkan bangkrut oleh lembaga donor, karena dampaknya akan sangat besar. Jadi mengapa Bank Dunia dan lembaga donor bekerja keras untuk membantu Indonesia, alasannya adalah selain menyangkut kepentingan pasar produk industri dari negara-negara tersebut juga multiplier effect yang ditimbulkan sangat besar dan luas.
Dalam konteks negara langkah-langkah semacam ini juga berlaku. Kita menyaksikan bagaimana anggota kabinet bidang ekonomi secara aktif untuk melobi negara-negara donor agar mau menegosiasi ulang jadual pembayaran utang yang sudah jatuh tempo baik dengan IMF maupun melalui CGI dan Paris Club.
Pemikiran lain termasuk alternatif meminta pengurangan beban utang hingga alternatif untuk tidak membayar utang. Yang lebih krusial lagi adalah tidak hanya sisi keuangan yang harus dibenahi, tetapi sisi manajemen dan asset atau investasi juga harus diperbaiki. Cara untuk memperbaiki manajemen tentu saja melalui pergantian pemerintahan, dicari pemerintahan yang credible dan reliable. Perampingan birokrasi dan penataan ulang struktur organisasi untuk meningkatkan efisiensi juga harus dilakukan. Termasuk pemberantasan korupsi guna menekan biaya.
Di bidang asset atau investasi, diperlukan langkah-langkah untuk mengidentifikasi asset-asset yang produktif dan tidak produktif. Tentu saja asset yang tidak produktif harus dijual agar tidak membebani keuangan negara. Hal itu lalu ditempuh melalui privatisasi. Resep umum semacam itu telah diterapkan di beberapa negara Di bidang asset atau investasi, diperlukan langkah-langkah untuk mengidentifikasi asset-asset yang produktif dan tidak produktif. Tentu saja asset yang tidak produktif harus dijual agar tidak membebani keuangan negara. Hal itu lalu ditempuh melalui privatisasi. Resep umum semacam itu telah diterapkan di beberapa negara
Ada negara yang memilih untuk menjual asset yang tidak produktif dan tetap mempertahankan asset yang produktif. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk membayar kembali utang negara. Tetapi uniknya Indonesia lebih memilih untuk menjual asset yang produktif. Hal itu disebabkan karena pertama, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan uang tunai untuk pebiayaan pembangunan.
Kedua adalah agar asset produktif berupa perusahaan negara tidak dijadikan sapi perah oleh individu-individu dari departemen yang memiliki kewenangan. Memang ada rasa skeptif terhadap kebijakan semacam ini. Jangan-jangan akhirnya uang hasil penjualan asset produktif habis dipergunakan untuk menyehatkan asset yang tidak produktif. Akibatnya Indonesia tidak lagi memiliki apa-apa karena semuanya telah dijual yang tinggal hanyalah kerangka asset tua yang tidak produktif.