Pertempuran di Kebumen

B. Pertempuran di Kebumen

Badan Koordinasi Kabupaten Kebumen terbentuk belum cukup lama, Belanda mulai menjalankan agresi dengan perang kolonialnya yang pertama pada tanggal 21 Juli 1947 dengan menyerang seluruh wilayah Republik. Rakyat dan pemerintah Kebumen segera mengadakan tindakan. Untuk menghadang laju tentara Belanda yang sudah sampai di Buntu (perbatasan Banyumas-Kedu) seluruh rakyat dikerahkan untuk menebang pohon-pohon pada malam hari disepanjang jalan, membuat tankval, merusak jembatan-jembatan dan memperkuat penjagaan. Beberapa tindakan segera diambil untuk mengantisipasi serangan Belanda diantaranya yaitu mengumpulkan semua bangsa Tionghoa yang berada di dalam Kabupaten Kebumen untuk diungsikan ke tempat yang jauh dari kota, kemudian dikirim ke Jogjakarta.

50 Kebumen Berdjuang, OP. Cit. hal. 26.

Panitia Pembelaan Rakyat Kabupaten Kebumen (PPRDK) dibentuk. Badan ini menangani berbagai masalah mengenai pertahanan rakyat yang diketuai oleh Bupati dan Wakil Bupati Kebumen. Untuk mengantisipasi serangan Belanda yang semakin hari semakin mendekati perbatasan daerah Kebumen, Pemerintah Kabupaten Kebumen segera menjalankan politik bumi hangus yang pertama kali di distrik Gombong. Asrama Polisi, Kantor Pos, Kantor Telegram, Kawedanan, Rumah gadai, Stasiun, Tangsi, Gedung Bioskop, dan sebagainya dibumihanguskan. Sangat disayangkan, taktik bumihangus ini tidak berjalan sesuai rencana sehingga beberapa tangsi militer yang dibakar tidak seluruhnya hancur sehingga dapat digunakan oleh pasukan Belanda yang memasuki kota Gombong pada tanggal 4 Agustus 1947 sebagai markas. Pasukan Belanda meneruskan penyerangannya ke Karanganyar tetapi terhenti akibat adanya gencatan senjata yang diprakarsai oleh Dewan Kemanan PBB. Gencatan senjata ini tidak brlangsung lama karena dilanggar oleh pasukan Belanda sehingga

menimbulkan pertempuran-pertempuran di kota Kebumen. 51 Panitia Pembantu Garis Depan dibentuk di Kebumen dan pada saat yang

bersamaan datang bantuan pasukan lascar rakyat yang berasal dari kota Yogyakarta dan Solo. Mayor Jendral Abdul Kadir dari Kementerian Pertahanan yang semula bermarkas di Kebumen terpaksa pindah ke Kutowinangun karena situasi semakin gawat.

Tanggal 22 Oktober 1947 semua Jawatan yang ada di kota Kebumen diungsikan dan Kebumen dijadikan kota tentara. Sementara itu gerakan bumi

51 Ibid.

hangus terus dijalankan oleh para pejuang untuk menghambat gerakan tentara Belanda. Untuk mempertahankan ibukota Kabupaten (Kebumen) dari tentara Belanda, didatangkan pasukan Gobed pimpinan Dr. Moestopo . Bersamaan dengan itu datang pula Tim Panitia Jasa-jasa Baik dari Australia. Tepat pada hari Natal tanggal 25 Desember 1947 Panglima Besar Jendral Soedirman dan para pengawalnya datang ke Kebumen. Pada clash I, kota Kebumen mengalami pertempuran-pertempuran yang heroik yaitu pertempuran Karanggayam,

Kanonade Desa Candi, dan Peristiwa Sidobunder. 52

1. Pertempuran Karanggayam

Pada hari Jumat tanggal 19 Agustus 1947, Belanda dengan kekuatan sekitar satu batalyon menyerang pertahanan pasukan Batalyon 62 TKR di daerah Kajoran, Karanggayam. Pada awalnya pasukan Belanda bergerak dari daerah Gombong kearah utara melalui Sidayu, Panimbun, Kenteng menuju Karanggayam. Kedatangan pasukan Belanda ini diketahui oleh pasukan TKR dan pada pukul 23.00 waktu setempat, telah terjadi baku tembak antara pasukan Belanda tersebut dengan pasukan TKR yang tengah berpatroli di Panimbun.

Setelah baku tembak di daerah Panimbun tersebut, pasukan Belanda mengatur strategi dan membagi pasukannya menjadi beberpa kesatuan dengan tujuan untuk menyerang pertahanan pasukan RI yang ada di Gunung Pukul maupun Markas Komando Sektor yang berada di Kalipancur. Pasukan Belanda berhasil mengepung pasukan RI. Akibatnya, pada sekitar pukul 05.00 sampai dengan 10.00 waktu setempat terjadilah pertempuran sengit antara tentara RI

52 Ibid.

melawan agresi yang dilakukan oleh pasukan Belanda tersebut. Pasukan RI yang ada di Gunung Pukul adalah pasukan Seksi Jatiman Kompi I. Pertempuran ini meluas hingga ke wilayah kuburan Pamekas. Pasukan tentara RI terdesak dan mundur dari wilayah Gunung Pukul, sehingga bisa dikatakan pasukan Belanda

mampu menduduki wilayah tersebut. 53 Telah dijelaskan di awal bahwa akibat baku tembak di daerah Penimbun,

pasukan Belanda membagi dirinya menjadi beberapa kelompok atau kesatuan. Pasukan Belanda yang lain, mencoba untuk menyusup melalui daerah Pejaten. Tujuan mereka sama, yaitu berusaha untuk mengambil alih wilayah pertahanan pasukan RI yang ada di Gunung Pukul. Pasukan Belanda yang telah bersusah payah menyusup melalui daerah Pejaten tersebut tidak mengetahui bahwa pos pertahanan Gunung Pukul telah direbut oleh pasukan Belanda yang semula berada di kuburan Pamekas. Baku tembak kemudian terjadi antar pasukan Belanda itu sendiri yang berujung dengan jatuhnya korban dari kedua belah pihak yang notabene sama-sama tentara Belanda.

Sekitar pukul 10.00 pagi sampai dengan pukul 14.00 waktu setempat, terjadi lagi pertempuran sengit antara pasukan tentara RI melawan pasukan Belanda. Pertempuran kali ini terjadi antara pasukan RI markas Batalyon 62 di pos komando Kalipancur dengan pasukan belanda yang menduduki wilayah Gunung Kradonan dan simpang empat Kajoran. Dalam pertempuran tersebut,

53 Wawancara dengan Soemrah, tanggal 26 April 2009.

kurang lebih 60 orang serdadu Belanda tewas dan sekitar 20 orang pasukan RI gugur. 54

Gambar 1. Peta Wilayah Karanggayam (Koleksi H. R. Soenarto).

Melihat posisi dan keadaan pasukan Batalyon 62 yang dinilai kritis, Mayor Panuju selaku Komandan Batalyon pada pagi harinya memerintahkan agar pasukan pindah ke desa Clapar. Setelah semalam di desa Clapar, pasukan ini kembali lagi bertempur untuk mempertahankan Karanggayam pada tanggal 20 Agustus 1947, sembari mengadakan pembersihan dan penguburan anggota

pasukan yang gugur dalam pertempuran yang telah terjadi. 55

54 Ibid.

55 Wawancara dengan H. R. Soenarto, tanggal 2 Maret 2009.

Berikut ini adalah daftar nama anggota pasukan RI yang menjadi korban dalam pertempuran Karanggayam: 56

No

Nama

Asal Kesatuan

1 Johanes (Prj I) Markas Batalyon 62 Res. 20 Div III Gombong

2 Aminas (Kopral) Kompi I Batalyon 62 Res. 20 Div. III

3 Iamadi (Prj I) Kompi I Batalyon 62 Res. 20 Div. III

4 Usman Koopor (Jepang) Regu III Sekai I Klp. II Batalyon 62 Res 20 Div III

5 Soemarto (Sersan dan Ru III) Kompi III Bat. 62 Res. 20 Div. III

6 Sapar (prj I) Kompi III Bat. 62 Res. 20 Div. III

7 Boediman (Prj I) Kompi III Bat. 62 Res. 20 Div. III

8 Kasimin (Sersan anggota markas KI. Kompi III Bat. 62 Res. 20 Div. III

IV)

9 Saproel (Prj I) Anggota kesehatan Batalyon 62 Res. 20 Div. III

10 Ngadiran (Serma) Anggota Kader school Gombong

11 Gonggo (Prj I) Kesatuan Inspektorat Infanteri Gombong

12 Keman

Penduduk desa Karanggayam yang membantu di dapur umum

13 Daslam

Penduduk desa Karanggayam yang membantu di dapur umum

14 Tujuh orang anggota Infanteri Inspektorat yang tidak dikenal

namanya (berdasarkan kesaksian

56 Ibid.

Serma Purnawirawan dari Kaderschool Gombong)

Sumber: wawancara dengan HR. Sunarto.

Untuk mengenang jasa korban tewas dalam pertempuran Karanggayam, maka di daerah yang dulu terjadi peristiwa pertempuran tersebut kini didirikan sebuah monumen perjuangan.

2. Peristiwa Kanonade Desa Candi

Pada masa agresi militer Belanda yang pertama, terjadi peristiwa Kanonade. Disebut peristiwa kanonade karena dalam pertempuran tersebut pihak Belanda membumihanguskan desa Candi dengan senjata kanon (canon). Kanon merupakan jenis senjata dengan ukuran di atas senapan mesin. Pada perang dunia (PD) II, sejumlah negara yang terlibat perang sudah menggunakan senjata jenis ini. Negara Jerman adalah negara yang mendobrak dengan menggunakan kanon untuk mempersenjatai pasukannya (dari internet, blognya ondo). Dengan kekuatan ledak yang cukup tinggi, maka dampak ledakan dari senjata jenis ini luar biasa bagi seseorang yang terkena meskipun hanya berupa serpihan dari senjata ini.

Peristiwa Kanonade terjadi di desa Candi Kecamatan Karanganyar Kabupaten Kebumen. Belanda dengan agresi militer pertamanya atau yang juga dikenal dengan Kles I, membumihanguskan desa tersebut pada 19 Oktober 1947. Sasaran tembak senjata kanon yang digunakan oleh Belanda adalah pasar Candi, dimana tempat tersebut merupakan salah satu area yang ramai dikunjungi oleh warga sipil. Ditengah kegiatan jual beli dan hiruk pikuk warga, pada pukul 07.00 Peristiwa Kanonade terjadi di desa Candi Kecamatan Karanganyar Kabupaten Kebumen. Belanda dengan agresi militer pertamanya atau yang juga dikenal dengan Kles I, membumihanguskan desa tersebut pada 19 Oktober 1947. Sasaran tembak senjata kanon yang digunakan oleh Belanda adalah pasar Candi, dimana tempat tersebut merupakan salah satu area yang ramai dikunjungi oleh warga sipil. Ditengah kegiatan jual beli dan hiruk pikuk warga, pada pukul 07.00

rusak dan tidak kurang dari 786 warga meregang nyawa. 57 Serangan Belanda terhadap desa Candi terjadi dalam tiga tahap. Tahap I,

pada pukul 07.00, lima menit kemudian terjadi serangan kedua samai dengan pukul 11.00, dan jeda beberapa saat, kemudian dilancarkan serangan ketiga yang berakhir pada pukul 13.00. Desa Candi menjadi sasaran serangan Belanda karena pada waktu itu desa ini menjadi markas TRI, dapur umum, dan gudang logistik tentara Indonesia. Tentara bersama rakyat bersatu melakukan perlawanan sebab saat itu Belanda sudah menguasai Gombong sementara daerah pertahanan Indonesia berada di Kemit. Di sektor Kemit pertahanan dibagi menjadi tiga yakni di bagian selatan yang bermarkas di Puring, desa Sidobunder, di tengah yaitu

Karanganyar, dan di utara yaitu Karanggayam. 58

57 Kebumen Berdjuang, Op. Cit. hal. 27.

58 Wawancara dengan Suparman, tanggal 6 Maret 2009.

Desa Candi luluh lantak sehingga warga yang masih selamat mencoba untuk mengungsi ke daerah lain bahkan ada juga yang mengungsi ke goa yang ada di sekitar daerah tersebut. Trauma akan kejadian tersebut membuat banyak warga takut untuk kembali ke rumah mereka dan lebih memilih untuk mengungsi ke daerah gunung di wilayah Giripurno. Selama rentang waktu hampir satu tahun, Desa Candi menjadi desa mati karena ditinggal pergi oleh warganya. Peristiwa penyerangan Belanda terhadap desa Candi merupakan sebuah peristiwa yang cukup besar di Jawa Tengah pada masa Agresi Militer I karena memakan korban hampir mencapai 1000 orang.

Peristiwa Candi sangat dirasakan oleh Pemerintah dan rakyat Kebumen, untuk menyelamatkan dan mengurangi penderitaan korban penduduk oleh pemerintah daerah diambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Sekolah-sekolah yang berada di dalam kota dan sekitarnya ditutup.

2. Rumah penjara Kebumen di pindahkan ke Purworejo.

3. Pasar Temenggungan (Kebumen) untuk sementara ditutup.

4. Jawatan-jawatan dipindahkan ke Prembun

5. pengosongan kota Kebumen dengan mengungsikan penduduk ke daerah- daerah yang aman. Wilayah dalam kota hanya diduduki oleh pasukan

bersenjata TKR, TNI Masyarakat, Polisi, Pasukan rakyat. 59 Untuk mengenang korban peristiwa Candi / Kanonade, pada tahun 1950 di

kawasan pasar Candi didirikan sebuah monumen yang diberi nama monumen Kanonade.

59 Ibid.

3. Peristiwa Sidobunder

Tanggal 2 September 1947, di desa Sidobunder Kecamatan Puring Kabupaten Kebumen terjadi pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia Markas Tentara Pelajar yang dikenal dengan kompi Tjok (kompi 320) dari detasement 300 di bawah komando Kapten Martono yang berkedudukan di Yogya karta diserang oleh Belanda dari dua penjuru. Pada waktu itu adalah musim hujan dan desa Sidobunder tergenang banjir sehingga warga kesulitan untuk memperoleh bahan makanan, namun demikian, karena kecintaan dan semangat juang yang tinggi, warga bersama dengan tentara tetap melakukan

perlawanan dengan gigih. 60 Sekitar pukul 11.00 waktu setempat, sejumlah tentara pelajar yang

bermarkas di rumah Kartowiyoto mendengar suara tembakan. Dalam suasana hujan, mendung tebal dan minimnya alat komunikasi, maka sulit bagi mereka untuk mengetahui dari arah mana datangnya suara tembakan tersebut. Selang berapa lama, dari informasi yang didapat dari penduduk setempat, ternyata mereka telah dikepung oleh pasukan tentara NICA dari dua jurusan. Arah timur laut dari dukuh Bedil desa Madurejo dan dari arah tenggara dari desa Bumirejo dan Kaleng. Pasukan Belanda datang dengan jumlah yang banyak dan persenjatan lengkap. Dikepung demikian, sulit bagi pasukan TP untuk mencari posisi yang tepat dan strategis untuk bertahan. Terjadilah pertempuran dahsyat dengan kekuatan yang sama sekali tidak berimbang.

60 Wawancara dengan K.H Munji Masturo, tanggal 2 Maret 2009.

Pertempuran terjadi mulai pukul 11.00 sampai dengan pukul 19.00 waktu setempat. Dalam peristiwa tersebut, tercatat sejumlah 23 orang gugur dari pihak pasukan Tp dan 10 orang warga sipil tewas, beberapa rumah juga hangus terbakar karena dibakar oleh tentara Belanda. Dari 23 orang anggota TP yang gugur, hanya

10 orang jenasah yang dapat ditemukan. Jenazah lainnya diduga dibawa lari oleh pasukan NICA atau hanyut terbawa banjir. Korban dari pihak lawan tidak diketahui secara pasti, sebab situasi sangat kacau dan kekuatan Belanda jauh lebih

besar. 61 Satu pasukan TP Seksi 321 dari kompi 320 Batalyon 300 dengan

komandan Seksinya Anggoro mendapat perintah untuk menduduki Sidobunder dengan maksud untuk memperkut pasukan lainnya yang telah ada di sana. Pada tangga 31 Agustus 1947 seksi tersebut sudah memasuki desa Sidobunder. Bersamaan dengan itu datang pula pasukan PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi) dibawah pimpinan Maulwi Saelan juga beberapa anggota TP dari Purworejo. Kedua pasukan tersebut datng dari Yogyakarta. Pasukan pimpinan Maulwi Saelan persenjataanya cukup lengkap untuk ukuran pada waktu itu. Pada saat itu Karangbolong sudah diduduki oleh pasukan Belanda. Mendengar informasi demikian, maka pada tanggal 1 September 1947 saudara Losung dari PERPIS dan tiga orang anggota lainnya ditugaskan untuk menelusuri kebenaran informasi yang mengatakan bahwa Belanda sudah menduduki Karangbolong. Setelah dilakukan cek, maka didapati bahwa informasi tersebut benar namun pasukan Belanda itu tidak terlalu banyak jumlahnya.

61 Ibid.

Akhirnya terjadilah peristiwa Sidobunder pada tanggal 2 September 1947. Pada saat itu, pada waktu pagi buta, markas pasukan TP di datangi oleh seseorang yang bertujuan untuk memberikan ubi rebus. Ditengah situasi yang sulit untuk mendapatkan bahan makanan, pasukan TP yang terdiri dari pelajar SLTP dan SLTA itu sama sekali tidak menaruh curiga atas niat dari orang tidak dikenal tersebut. Baru setelah peristiwa terjadi, diketahui bahwa orang yang memberikan ubi rebus tersebut merupakan mata-mata pihak NICA. Telah disebutkan di atas bahwa pasukan TP terdesak dan terkepung cara tapal kuda oleh pasukan

Belanda. 62 Dalam keadaan terkepung, komandan pasukan memerintahkan agar semua

bergerak ke arah timur untuk meloloskan diri dari kepungan musuh. Arah ke timur ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa di sebeleha timur ada markas pasukan AOI. Sangat disayngkan, dikarenakan cuaca yang mendung gelap dan juga banjir, tidak semua anggota pasukan dapat bergerak dengan cepat. Gerakan ke arah timur ini dipercayakan kepada Maulwi Saelan dan anak buahnya dengan disertai sebuah Juki Kanju (jenis senapan mesin Jepang). Komandan seksi, Anggoro, lewat seorang kurir memerintahkan agar regu Djokopramono untuk segera bergabung dengan seksinya. Pada saat menunggu kedatangan regu Djokopramono inilah Belanda yang datang dari arah Utara menyerang pasukan TP. Pasukan TP mampu bertahan pada awalnya, namun karena kekuatan yang

tidak berimbang, akhirnya Belanda berhasil mendesak kedudukan pasukan TP. 63

62 Ibid.

63 Ibid.

Bagian tersulit yang harus dihadapi oleh pasukan TP adalah bahwa sebagian besar pasukan dari pihak Belanda adalah warga asli/pribumi Indonesia. Dalam kondisi yang gelap dan hujan deras, sulit bagi pasukan TP untuk mengenali apakah mereka kawan atau lawan sebab seragam yang digunakan juga nampak sama dalam kegelapan. Selain itu, kehancuran dari seksi yang dipimpin oleh Anggoro ini adalah karena mundurnya pasukan Hisbullah tanpa pemberitahuan kepada pasukan TP. Mundurnya pasukan Hisbullah di sebelah utara dan kanan pos pertahanan tanpa pemberitahuan ini telah membuka jalan bagi tentara Belanda untuk masuk ke dalam pos pertahanan TP.

Gambar 2. Peta Pertempuran dan Tugu Peringatan Sidobunder (Koleksi H. R. Soenarto).

Berikut adalah nama-nama korban meninggal pada pertempuran mempertahankan kemerdekaan yang terjadi di Sidobunder, Kebumen yaitu Abunandir, Achmad Surjomihardjo, Bayu, Ben Rumayar, Djokopramono, Harun,

Kodara Sam, La Indi, Laksudi, Losung F, Poernomo, Pramono, Rachmat, Ridwan, Soegiyono, Soehapto, Soepardi, Soeryoharjono (hary), Tadjoedin, Willy Hutauruk, Rinanggar Benny, Herman Fernandes, Sinriang, Rasikun Madmusin, Keonarso. Sedangkan warga sipil yang meninggal adalah Kartowiyoto, Mujadi, Sungkowo, Diman, Sawal, Sawikromo, Miran alias Madkarta, Ny. Djawinangun, Paing alias Bajang, Ngalimun, dan Ny. Kalyem merupakan korban cacat tetap

karena terkena peluru tepat di atas bibir. 64 Sebagian besar anggota TP yang gugur berasal dari Yogyakarta, oleh

sebab itu maka jenasah mereka diupayakan untuk dibawa ke Yogyakarta, dan karena sulitnya alat transportasi pada waktu itu, maka perlu sampai 5 hari untuk membawa jenasah-jenasah tersebut sampai di Yogyakarta. Jenasah-jenasah tersebut sebelumnya terlebih dahulu disemayamkan di gedung BPKKP ( Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) di Gondomanan dan keesokan harinya dikebumikan. Jenasa para korban in diterima secara langsung oleh Kapten Martono yang saat itu menjabat sebagai komandan Detasemen 300/TP.