Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Nias Termasuk Di Kota Medan

2.3 Gambaran Umum Kebudayaan Masyarakat Nias Termasuk Di Kota Medan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada pendahuluan, bahwa masyarakat Nias merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki kebudayaan tersendiri dengan ciri dan nilai yang terkandung didalamnya. Kebudayaan masyarakat Nias ini telah ada dan terjaga sejak masyarakat Nias berada di Pulau Nias dan pada akhirnya juga terbawa dan tetap dilestarikan oleh masyarakat itu sendiri yang sebagian telah berpindah dan menetap diluar Pulau Nias. Masyarakat Nias yang ada di Kota Medan juga salah satu kelompok masyarakat yang masih tetap menjalankan nilai-nilai budaya yang nyatanya telah mereka bawa dari tempat asal mereka. Subbab ini akan menjelaskan tentang bagaimana gambaran umum kebudayaan masyarakat Nias sehari-hari yang tentunya juga meliputi unsur-unsur kebudayaan yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Nias. Penjelasan dalam subbab ini meliputi asal-usul orang Nias, bahasa, sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, teknologi tradisional, dan keseniannya.

2.3.1 Asal – Usul Masyarakat Nias

Sekumpulan orang-orang yang pada akhirnya membentuk sebuah komunitas atau masyarakat tentulah tidak terlepas dari asal-usul nya. Demikian juga halnya dengan masyarakat Nias baik yang berada di Pulau Nias maupun yang telah bermigrasi dan menetap diluar Pulau Nias, termasuk di Kota Medan. Munculnya banyak pendapat dan mitos tentang asal-usul masyarakat Nias menimbulkan kesimpangsiuran mengenai realita yang sebenarnya. Beberapa Sekumpulan orang-orang yang pada akhirnya membentuk sebuah komunitas atau masyarakat tentulah tidak terlepas dari asal-usul nya. Demikian juga halnya dengan masyarakat Nias baik yang berada di Pulau Nias maupun yang telah bermigrasi dan menetap diluar Pulau Nias, termasuk di Kota Medan. Munculnya banyak pendapat dan mitos tentang asal-usul masyarakat Nias menimbulkan kesimpangsiuran mengenai realita yang sebenarnya. Beberapa

Dalam buku yang ditulis oleh Ketut Wiradnyana (2010), dikatakan bahwa manusia sudah mulai ada di Pulau Nias sejak masa Paleolitik dan berlanjut hingga ke masa berikutnya. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan pada tahun 1999 menghasilkan temuan berupa peralatan batu dan sisa pengerjaannya, masing-masing berupa 3 buah kapak perimbas, 3 buah

kapak genggam, sebuah serpih dengan retus 3 , 2 buah serpih tanpa retus dan sebuah batu inti. Peralatan tersebut memiliki morfologi dan terknologi yang

hampir sama dengan peralatan-peralatan yang ditemukan pada situs-situs masa Paleolitik di Indonesia. Temuan tersebut ditemukan pada dasar Sungai Muzöi, di

Pekan Muzöi yang terletak di Dusun Hiliwaele I, Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias. Hal ini mengiindikasikan adanya aktifitas manusia ditempat ini pada Masa Paleolitik.

Penelitian ini juga menemukan adanya peninggalan artefak dan ekofak 4 di Gua Tögi Ndrawa yang terletak di Dusun II, Desa Lolowonu Niko’otano,

Kecamatan Gunungsitoli dan di Gua Tögi Bögi yang terletak di Desa Binaka, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi. Artefak dan ekofak yang ditemukan berupa tulang, tanduk, kapak batu, alat serpih yang menyerupai mata panah, sisa cangkang moluska (kerang) sebagai bahan makanan, dan debu sisa pembakaran. Hasil penemuan ini mengiindikasikan adanya aktifitas manusia pada masa

3 Upaya penyerpihan yang dilakukan untuk mendapatkan tajaman dari sebuah alat. 4 Artefak adalah penyebutan atas sisa aktifitas yang dengan sengaja dibuat manusia masa lalu.

Ekofak dikaitkan dengan sisa dari aktifitas manusia masa lalu, seperti sisa makanan, sisa pembakaran, dan lainnya.

Mesolitik di Pulau Nias. Selain penemuan diatas, gerabah juga merupakan salah satu temuan yang ditemukan pada kedua Gua ini. Adanya gerabah menggambarkan evolusi kebudayaan dari tradisi Mesolitik ke Neolitik. Masa Neolitik ditandai dengan pola hidup manusia yang sudah menetap, adanya tradisi pembuatan alat-alat batu yang diupam halus, sudah menggunakan teknologi pengolahan logam, dan sudah menggunakan peralatan berbahan tanah liat pada masa bercocok tanam. Masa Neolitik ini memilki rentang waktu berkisar 3.000

SM sampai 4 M. Penemuan Kalabubu 5 berbahan perunggu yang dipenuhi berbagai ornamen bercirikan budaya Dong Son (Vietnam) di bagian Utara Pulau Nias menandakan masa Neolitik yang pernah ada di Pulau Nias.

Kebudayaan Megalitik yang sekarang masih dapat kita temukan peninggalan nya di Pulau Nias diperkirakan telah berusia 600 tahun yang lalu atau sekitar abad ke-14 Masehi (Ketut Wiradnyana 2010:113). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Medan dan Institut de Recherche Pour Ie Developpement (IRD) Perancis menemukan beberapa daerah Boronadu di bagian Selatan Pulau Nias telah dihuni sekitar 576 ±

30 BP, yaitu sekitar 600 tahun yang lalu. Kebudayaan Megalitik ini dibawa oleh manusia dari kelompok

migrasi kedua yang menempati wilayah selatan Pulau Nias. Sementara manusia yang masih bertahan dengan tradisi Neolitik yang terdapat di wilayah utara Pulau Nias merupakan kelompok migrasi pertama yang memasuki Pulau Nias.

Kebudayaan Megalitik yang berkembang pertama sekali di wilayah selatan Pulau Nias ini pada perkembangannya mulai diikuti oleh manusia dengan

5 Kalabubu merupakan hiasan leher (kalung) yang dibuat dari batok kelapa yang direkatkan hingga membentuk sebuah kalung.

kebudayaan Neolitik yang berada di wilayah utara Pulau Nias. Hal ini dibuktikan dengan penemuan situs Hili Gowe di wilayah utara Pulau Nias yang diperkirakan baru berusia sekitar 260 tahun yang lalu. Kedua kelompok manusia yang bermigrasi ke Pulau Nias ini didominasi oleh ras Mongoloid yang juga sama dengan ras manusia yang bermigrasi ke seluruh bagian Barat Indonesia pada masa itu. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, diperkirakan bahwa leluhur masyarakat Nias yang ada saat ini telah hidup sekitar 12.000 tahun sebelum Masehi dan merupakan golongan dari ras Mongoloid dengan ciri kebudayaan yang mirip dengan Dong Son (Vietnam) yang mulai terlihat dari peninggalan kebudayaan megalitik sekitar 600 tahun yang lalu.

Dalam berbagai mitos dan juga didukung oleh folklor lisan berupa hoho asal-usul leluhur masyarakat Nias yang sering dituturkan, dikatakan bahwa leluhur masyarakat Nias diturunkan dari langit di daerah Boronadu, Kecamatan Gomo bagian selatan Pulau Nias. Hoho asal-usul leluhur masyarakat Nias ini mengisahkan bahwa Sirao Uwu Zahono sebagai penguasa langit atas menurunkan anaknya yang bernama Hia Walangi Adu ke daerah Boronadu, Kecamatan Gomo, Nias Selatan. Keturunan dari Hia Walangi Adu inilah yang pada akhirnya menjadi cikal bakal masyarakat Nias yang ada sampai saat ini. Demikian halnya masyarakat Nias yang berada di Kota Medan merupakan masyarakat dengan leluhur yang sama dengan masyarakat Nias yang masih berada di Pulau Nias.

2.3.2 Bahasa

Bahasa merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang dimiliki oleh setiap suku bangsa di dunia ini. Lewat bahasa memungkinkan setiap manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya dan membuat proses sosialisasi menjadi lebih mudah. Demikian halnya dengan masyarakat Nias yang juga memiliki bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Bahasa Nias dikenal dengan sebutan Li Niha . Dr. Lea Brown, seorang ahli linguistik dari Australia menulis disertasi doktoralnya yang berjudul “A Grammar of Nias Selatan”, mengatakan bahwa “Barangkali misteri terpenting dari yang paling menarik bagi para ahli bahasa adalah ciri khas gramatikal Li Niha yang hingga sekarang tidak dikenal dalam bahasa-bahasa lain di dunia” (Chical Teodali Telaumbanua, 2012:37).

Li Niha termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia tetapi agak berbeda dengan bahasa Nusantara lainnya, karena sifatnya yang vokal yaitu tidak mengenal konsonan di tengah maupun di akhir kata. Bahasa nias mengenal adanya 6 huruf vokal yaitu : a, i, u,e, o, dan ö (dibaca seperti menyebut huruf e pada kata ‘gendang’). Logat dan intonasi bahasa Nias berbeda-beda yaitu karena memiliki dua logat, antara lain logat Nias bagian Utara dan logat Nias Bagian Selatan. Hal ini menurut penulis mungkin dikarenakan adanya dua gelombang migrasi yang memasuki wilayah Pulau Nias dimana masyarakat yang ada di bagian utara Pulau Nias lebih dahulu datang dibandingkan dengan masyarakat yang ada di bagian selatan Pulau Nias. Logat bahasa di bagian selatan Nias intonasinya lebih tegas dan penekanan bunyi konsonan lebih sering. Penggunaan imbuhan berupa awalan, akhiran, dan sisipan terbatas penggunaannya.

Penggunaan morfologi lebih banyak terjadi karena ada perubahan bunyi secara sintaksis bukan semantik.

Bahasa Nias sebagai bahasa daerah saat ini masih digunakan oleh masyarakat Nias dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara-upacara adat sebagai alat komunikasi. Interferensi bahasa juga tidak terlepas dari bahasa Nias pada perkembangannya. Dewasa ini, bahasa Nias mulai mengalami perubahan baik dari sisi kosakata dan juga elemen-elemen lainnya. Dalam penulisan di bahasa Nias harus memiliki ciri dan ketentuan seperti : penulisan kata yang memiliki huruf double harus mengunakan tanda pemisah (‘) seperti kata Ga’a, hal ini dimaksudkan untuk mempertegas penekanan bunyi pada kata tersebut. Ciri yang lainnya yaitu seluruh kata dalam bahasa Nias selalu diakhiri atau ditutup dengan huruf vokal.

2.3.3 Sistem Kepercayaan dan Agama

Sistem kepercayaan atau religi merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang didalamnya terdapat sistem dengan satuan unsur-unsur yang ada padanya saling terkait. Adapun satuan unsur-unsur yang ada pada religi diantaranya ialah emosi (getaran jiwa); sistem kepercayaan (kosmologis, dewa, makhluk halus, dan sebagainya); sistem upacara (ritus, pendeta, tempat upacara, dan sebagainya); dan kelompok keagamaan (keluarga, komunitas, perkumpulan khusus, dan sebagainya) (Koentjaraningrat, 1981:228-266). Masyarakat Nias pada zaman dahulu memiliki konsep kepercayaan akan alam lain (kosmologi) yang percaya adanya 9 tingkatan langit dan Alam Manusia adalah tingkatan Sistem kepercayaan atau religi merupakan salah satu dari unsur kebudayaan yang didalamnya terdapat sistem dengan satuan unsur-unsur yang ada padanya saling terkait. Adapun satuan unsur-unsur yang ada pada religi diantaranya ialah emosi (getaran jiwa); sistem kepercayaan (kosmologis, dewa, makhluk halus, dan sebagainya); sistem upacara (ritus, pendeta, tempat upacara, dan sebagainya); dan kelompok keagamaan (keluarga, komunitas, perkumpulan khusus, dan sebagainya) (Koentjaraningrat, 1981:228-266). Masyarakat Nias pada zaman dahulu memiliki konsep kepercayaan akan alam lain (kosmologi) yang percaya adanya 9 tingkatan langit dan Alam Manusia adalah tingkatan

1. Tuha Sihai

2. Lawalangi, roh baik, roh buruk

3. Fuli, Tuha Baregedano

4. Golu Banua

5. Tarewe Kara

6. Hulunogia

7. Drundru Tanö

8. Sirao

9. Alam Manusia

Konsep kosmologi ini memiliki keterkaitan dalam hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Nias zaman dahulu. Sembilan tingkatan langit ini dapat dikaitkan dengan proses berkembangnya bayi dalam kandungan yang memerlukan waktu selama 9 bulan untuk lahir kembali. Hal ini dianut oleh masyarakat Nias dengan menghubungkannya dengan 9 tingkatan owasa (upacara adat) yang dimiliki oleh masyarakat Nias, yang mana bila seluruh tingkatan owasa itu telah dilaksanakan maka dia akan berada dalam tingkatan langit yang tertinggi dan akan lahir kembali (Ketut Wiradnyana, 2010:146-148).

Selain konsep kepercayaan seperti diatas, masyarakat Nias juga memiliki kepercayaan terhadap leluhur. Hal ini terlihat dari adanya patung- patung menyerupai manusia sebagai simbol dari pada leluhur mereka. Berbagai jenis patung yang ada pada masyarakat Nias seperti : Adu Nama, Adu Nina, Adu

Nuwu, Adu Lawölö, Adu Siraha Horö, Adu Horö, dan lainnya. Patung-patung ini terbuat dari bahan batu atau kayu dan disimpan dalam rumah. Masyarakat Nias zaman dahulu juga percaya terhadap kekuatan supranatural yang terdapat pada pohon-pohon besar dan gunung. Oleh karena masyarakat Nias mempercayai banyak dewa, menyembah patung leluhur, dan kekuatan supranatural lainnya, maka sering disebut bahwa masyarakat Nias menganut kepercayaan politeisme. Dalam sistem kepercayaan masyarakat Nias, kepercayaan ini sering disebut Sanömba Adu. Kata-kata ini secara etimologis bila diartikan yaitu : sanömba berarti menyembah atau memuja, dan adu berarti patung yang terbuat dari bahan batu atau kayu yang dipercayai sebagai media tempat roh bersemayam (Daniel Zai, 2014).

Gambar 2.1

Patung (Adu) yang terbuat dari bahan Kayu

Pada abad ke-19 Masehi, masyarakat Nias mulai dimasuki ajaran agama Kristen yang dibawa oleh Denninger pada tahun 1865 tepatnya di Kota

Gunungsitoli. Sebelum masuk ke Pulau Nias, Denninger telah belajar bahasa Nias dan bergaul dengan orang Nias yang ada di Padang. Orang Nias yang berada di Padang pada saat itu berjumlah sekitar 3000 orang dan merupakan pendatang di daerah itu. Dari mereka inilah Denninger belajar dan mengetahui kebiasaan-kebiasan serta adat-istiadat masyarakat Nias dan tertarik untuk menyebarkan dan mengajarkan agama Kristen ke Pulau Nias dan ternyata membuahkan hasil yang baik.

Misi selanjutnya diteruskan oleh Thomas yang datang ke Nias pada tahun 1873. Masa terpenting pada penyebaran agama Kristen di Pulau Nias terjadi pada rentang tahun 1915 – 1930 dimana pada tahun-tahun ini terjadi pertobatan massal yang kerap disebut Fangesa Dödö Sebua oleh masyarakat Nias. Hal ini ditandai dengan sikap masyarakat Nias yang sudah mulai berani menghanyutkan patung-patung nenek moyang mereka, menhir, patung-patung dewa, dan benda-benda peninggalan leluhur lainnya. Keberhasilan penyebaran agama Kristen di Pulau Nias didukung oleh strategi yang cerdik dalam mengkonversi ritual-ritual adat sehingga makna ritual tersebut bergeser. Seperti ritual famaoso dalo (mengangkat tengkorak kepala orang yang sudah meninggal) digantikan dengan ritual fananö buno (menanam bunga) yang sarat akan nilai- nilai Kristen.

Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias yang berada di Pulau Nias maupun di Kota Medan menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63). Sistem kepercayaan ini Setelah penyebaran Injil oleh misionaris ke pulau Nias, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Pada saat itu, seluruh masyarakat Nias yang berada di Pulau Nias maupun di Kota Medan menganut agama yang dikenal sekarang, yaitu dengan komposisi agama Kristen Protestan 60%, Katolik 30%, 9% Islam, dan 1% Hindu dan Budha (S. Zebua, 1984:63). Sistem kepercayaan ini

2.3.4 Sistem Kemasyarakatan dan Organisasi Sosial

Masyarakat Nias sejak zaman dahulu telah terstruktur dalam sistem kemasyarakatan yang tersusun sedemikian rupa. Struktur masyarakat ini juga merupakan simbol dari kosmologis yang dipercaya masyarakat yang memiliki pola makna, baik itu berbentuk fisik maupun nonfisik, yang merupakan milik bersama dan memiliki tujuan tertentu, diantaranya melestarikan struktur masyarakat. Sistem struktur sosial masyarakat Nias umumnya mengenal tiga bagian kelompok, yaitu : kelompok bangsawan (si’ulu, si’ila, salawa), kelompok masyarakat biasa (sato), dan kelompok budak (sawuyu, harakana). Namun, dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya, masyarakat Nias membagi masyarakat atas empat bagian, yaitu : kelompok bangsawan (si’ulu, salawa ), kelompok penasehat (si’ila), kelompok masyarakat biasa (sato), dan kelompok budak (sawuyu, harakana) . Sedangakan dalam kegiatan religi, masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan masyarakat, yaitu : si’ulu (bangsawan), ere (pemuka agama), ono mbanua/sato (rakyat biasa), dan sawuyu (budak).

Beberapa kelompok menyatakan bahwa lapisan masyarakat si’ulu dibagi menjadi dua golongan, yaitu balö si’ulu (yang memerintah) dan si’ulu

(bangsawan kebanyakan). Ono mbanua juga terbagi menjadi dua golongan, yaitu si’ila (para ahli dan pemuka rakyat), dan sato (rakyat kebanyakan). Sawuyu juga terbagi menjadi tiga golongan, yaitu binu (budak yang kalah perang atau diculik), sondrara hare (budak karena tak mampu bayar hutang), dan hölitö

(budak yang ditebus orang lain setelah mendapatkan hukuman mati) 6 . Lapisan- lapisan masyarakat tersebut diatas bersifat eksklusif, perubahan hanya terjadi pada lapisan antar golongan saja. Kalau masyarakat ingin menaikkan status sosialnya maka yang bersangkutan harus terlebih dahulu melaksanakan upacara owasa/faulu yang tingkatannya disesuaikan dengan besaran upacara.

Dalam struktur masyarakat Nias zaman dahulu juga terdapat hukum adat yang menjadi pengatur setiap tatanan kehidupan masyarakat pada masa itu.

Hukum adat ini disebut dengan fondrakö oleh masyarakat Nias. Menurut sejarahnya yang dilihat dari folklor yang berkembang pada masyarakat, fondrakö pada awalnya ditetapkan oleh 2 orang raja yang wilayahnya ditengah-tengah Pulau Nias, yaitu Balugu Samono Bauwa Danö yang memerintah di Talu Idanoi (Marga Harefa), dengan Balugu Tuha Badanö yang memerintah di Laraga (Marga Zebua). Fondrakö ini sewaktu-waktu dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan, namun harus tetap berdasarkan peraturan lama yang sudah digariskan. Pada setiap akhir perubahan fondrakö selalu dilakukan pendirian bangunan batu (gowe).

Masyarakat Nias zaman dahulu juga memiliki beberapa upacara- upacara adat yang kerap dilakukan dan berhubungan dengan kehidupan sehari-

6 Informasi didapatkan pada saat wawancara dengan Ariston Manao, pada tanggal 28 Januari 2016 di Desa Bawomataluo, Nias Selatan. Ariston Manao merupakan kepala desa

Bawomataluo yang tergolong dalam golongan Si’ulu pada struktur sosial.

hari. Upacara-upacara tersebut berisikan tahapan-tahapan yang memiliki ketentuan dan proses yang telah disusun sebelumnya pada masyarakat itu. Upacara yang kerap dilakukan berupa Upacara Kelahiran, Upacara Perkawinan, Upacara Kematian, Upacara Owasa/Fa’ulu, Upacara Fome’ana, dan Upacara Fondrakö. Beberapa dari upacara tersebut dewasa ini sudah jarang kita temukan dikarenakan oleh perkembangan zaman, termasuk karena berubahnya sistem religi dan sistem kemasyarakatan yang dianut saat ini.

Masyarakat Nias zaman dahulu juga telah mengenal sistem organisasi sosial pada masyarakatnya. Didalam organisasi sosial terdapat serangkaian hubungan antara individu satu sama lainnya, yang masing-masing menduduki

posisi-posisi tertentu. Posisi seseorang ditentukan oleh besaran upacara dan juga kedekatan garis keturunan dengan leluhur (Georges Balandier, 1986 dalam Ketut Wiradnyana, 2010). Dalam masyarakat Nias, kelompok organisasi sosial yang terkecil disebut gana. Kelompok organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa keluarga batih dari satu marga, atau dapat juga dari beberapa marga yang di dalam desa itu tidak cukup banyak anggotanya dalam membentuk gana tersebut. Kumpulan dari beberapa gana disebut nafolu dan kumpulan dari beberapa nafolu disebut banua, yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya disebut salawa di Nias bagian Utara dan si’ulu di Nias bagian Selatan. Sedangkan kumpulan dari beberapa banua disebut öri (negeri) dan dipimpin oleh tuhenöri . Dulu sebuah banua di Nias didasarkan atas genealogis teritorial, oleh karena itu sebuah desa hanya didiami oleh orang yang berdasarkan satu keturunan darah, namun masih dalam satu mado (marga).

Di Kota Medan sendiri, organisasi sosial masyarakat Nias saat ini banyak kita temui. Tetapi organisasi sosial yang terdapat di Kota Medan telah mengalami perubahan dari organisasi sosial yang ada pada masyarakat Nias zaman dahulu. Organisasi sosial masyarakat Nias yang terdapat di Kota Medan bermacam-macam bentuk organisasinya dan bermacam-macam pula acuan dasar pembentukannya. Ada terdapat organisasi sosial yang terbentuk didasarkan dari kampung asal nya di Pulau Nias, seperti PERMASGOM (Persatuan Masyarakat Gomo), STM Boronadu (Masyarakat Nias yang berasal dari desa Boronadu), dan organisasi lainnya. Ada juga terdapat organisasi sosial yang terbentuk berdasarkan marga (mado), seperti STM Marga Larosa, STM Marga Mendrofa, STM Marga Zalukhu, STM Marga Telaumbanua, dan organisasi lainnya. Selain itu ada juga organisasi sosial yang terbentuk berdasarkan kedekatan tempat tinggal mereka di Medan, seperti STM Saradödö, STM Faomakhöda, STM Sehati, STM Kasih Karunia, yang kesemuanya beranggotakan masyarakat Nias yang tinggal di daerah yang berdekatan. Organisasi sosial yang general dan bersifat umum dan dapat beranggotakan seluruh masyarakat Nias tanpa melihat dari marga, asal daerahnya, dan daerah tempat tinggalnya, seperti HIMNI (Himpunan Masyarakat Nias), FORMANI (Forum Masyarakat Nias), PMN (Persatuan Masyarakat Nias), dan organisasi sosial lainnya.

Kelompok mahasiswa Nias yang juga berada di Kota Medan tampaknya tidak mau ketinggalan dalam hal ini. Hal ini terlihat dengan adanya organisasi sosial diranah kampus yang dimana terdapat mahasiswa Nias yang belajar disana. Seperti ForMaN-USU (Forum Mahasiswa Nias USU), Kesatuan Mahasiswa Nias UDA, KAMNI UNIMED, KMN Nomensen, AMN Universitas

Sari Mutiara, Generasi Muda Nias (GEMA NIAS) dan organisasi mahasiswa Nias lainnya. Baru-baru ini juga telah dideklarasikan pembentukan organisasi masyarakat Nias yang berdasarkan bidang pendidikan dan profesi, yaitu PESTANI (Persatuan Sarjana Teologi dan Pendidikan Agama Kristen Nias) yang berpusat di Kota Medan. Budaya berorganisasi ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Nias sejak dulu dan terbawa ketempat mereka berpindah dan menetap, walaupun dengan orientasi dan dasar pembentukan yang berubah, namun tujuannya tetap untuk wadah persatuan dan komunikasi.

2.3.5 Sistem Mata Pencaharian

Masyarakat Nias merupakan masyarakat yang pada awalnya menggantungkan hidupnya pada alam. Hal ini terlihat dari pola hidup masyarakat Nias pada zaman dahulu yang memenuhi kebutuhannya dengan mengusahakan dan mengolah sumber daya alam yang ada. Masyarakat Nias didukung oleh iklim dan kondisi alam yang menjadikan masyarakat Nias lebih mudah mencukupi kebutuhannya dari alam. Bercocok tanam merupakan salah satu cara masyarakat Nias untuk mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Nias telah mengenal sistem bercocok tanam sejak masa leluhur dahulu kala. Bercocok tanam yang dimaksud seperti membuka ladang, sawah, menanam buah-buahan, menyadap karet, dan lain sebagainya.

Selain bercocok tanam, masyarakat Nias zaman dahulu juga beternak guna mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Nias memiliki hewan-hewan ternak yang dibudidayakan seperti babi, ayam, kerbau, kambing, dan sebagainya. Budidaya peternakan seperti ini hingga saat ini masih melekat dan sering kita temui pada setiap Selain bercocok tanam, masyarakat Nias zaman dahulu juga beternak guna mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Nias memiliki hewan-hewan ternak yang dibudidayakan seperti babi, ayam, kerbau, kambing, dan sebagainya. Budidaya peternakan seperti ini hingga saat ini masih melekat dan sering kita temui pada setiap

Masyarakat Nias pada perkembangannya melakukan migrasi atau perpindahan ke luar Pulau Nias untuk beberapa kepentingan. Masyarakat Nias yang berpindah ke luar Pulau Nias ada yang dikarenakan oleh mencari pekerjaan dan pada akhirnya menetap ditempat yang mereka tuju. Kedatangan orang Nias di Kota Medan berlangsung secara berkelompok dan juga secara individual. Para pemuda Nias melakukan perjalanan (merantau) bersama-sama dengan teman sekampung ke Kota Medan dengan tujuan untuk mencari pekerjaan. Kelompok ini menyebar ke berbagai wilayah Kota Medan untuk bekerja di pabrik, bertani, bud idaya peternakan seperti ternak bab i, membuka usaha sendiri sep erti rumah makan, menjad i tukang becak, karyawan swasta, dan ada ju ga yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Instansi Pemerintahan dan

Lembaga Pendidikan atau TNI / POLRI, serta menjadi buruh lepas dengan pekerjaan yang tidak menetap.

Masyarakat Nias yang telah mempunyai ketetapan dan merasa nyaman tinggal di Kota Medan pada akhirnya berbaur dengan masyarakat lainnya dan melakukan perkawinan antara orang Nias maupun orang dari etnis lain. Pada saat ini diperkirakan jumlah orang Nias yang tinggal dan menetap di Kota Medan sekitar 25.000 jiwa yang tersebar di wilayah Medan seperti Belawan, Perumnas Mandala, Perumnas Simalingkar, Padang Bulan, Helvetia, serta daerah lainnya dalam jumlah kecil (BPS Kota Medan 2014).

2.3.6 Sistem Kekerabatan

Masyarakat Nias memiliki sistem kekerabatan sebagai salah satu unsure kebudayaan yang masih melekat kuat hingga saat ini dimanapun masyarakat Nias berada. Kelompok kekerabatan yang terkecil yang ada pada masyarakat Nias adalah keluarga batih yang disebut fangambatö (di bagian Utara Nias) atau gagambatö (di bagian Selatan Nias). Dalam masyarakat Nias, kelompok yang terpenting ialah sambua mohelo atau sambua faono (keluarga luas), yaitu keluarga batih senior beserta keluarga batih putera-puteranya yang tinggal bersama di dalam satu rumah, dan merupakan satu kesatuan ekonomis. Keluarga luas ini boleh berpisah jika keluarga anaknya dapat membangun sendiri rumah yang tentunya dibarengi dengan pesta adat. Kelompok kekerabatan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga luas dari satu leluhur disebut mado (marga) (Ketut Wiradnyana, 2010:161-162).

Masyarakat Nias memiliki sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ayah (patrilineal) dan mado (marga) menjadi lambang dan klasifikasi keluarga seseorang. Mado (marga) dari ayah pada masyarakat Nias selalu diturunkan kepada anak-anaknya dan selalu diletakkan dibelakang nama lahir yang diberikan dan menjadi satu kesatuan utuh dari nama tersebut sampai kapanpun. Masyarakat Nias juga memiliki sebutan dalam bahasa Nias untuk memanggil kerabat-kerabatnya, seperti : Ama (untuk menyebut Ayah), Ina (untuk menyebut Ibu), Ga’a (untuk menyebut Abang), Akhi atau Nakhi (untuk menyebut Adik), Sibaya (untuk memanggil saudara laki-laki dari Ibu), Dua atau Tua (untuk menyebut Kakek), Gawe (untuk menyebut Nenek), Ina Lawe (untuk menyebut Tante), Gasiwa (untuk menyebut Sepupu), Onombene’ö (untuk menyebut keponakan), dan masih ada yang lainnya.

Perkawinan bagi masyarakat Nias bersifat monogami, sekalipun poligami diijinkan, hanya saja pada umumnya dilakukan oleh kelompok bangsawan tertentu pada zaman dahulu. Perkawinan dari satu garis keturunan patrilineal dapat dilakukan jika pasangan tersebut paling tidak sudah dalam tingkatan 9 generasi. Begitu juga dengan perkawinan dalam bentuk cross causin, yaitu mengawini anak paman tidak boleh dilakukan. Jika perkawinan yang dilakukan kurang dari 9 generasi, maka perkawinan itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya dengan memisahkan perrtalian kesatuan patung leluhur (Zebua, 1987:315).

Adapun beberapa mado (marga) yang terdapat dalam masyarakat Nias seperti : Amazihönö, Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu,

Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i Menewi, Boda Hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fa’u, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana, Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, Lazira, Lawolo, Lawelu, Laweni, Lasara, Laeru, Löndru Go'o, Lase, Larosa, Maduwu, Manao, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya, Möhö, Marundruri, Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Nduru, Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu, Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago Zamauze.

2.3.7 Teknologi Tradisional

Kehidupan masyarakat Nias sejak zaman prasejarah telah ditandai dengan adanya peradaban yang telah memiliki dan menciptakan beberapa teknologi dan peralatan hidup guna membantu kehidupan sehari-hari. Beberapa dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Pulau Nias menemukan peninggalan budaya masa lampau berupa teknologi peralatan hidup yang digunakan oleh masyarakat Nias pada masa itu. Penelitian di DAS Muzoi, Gua Tögi Ndrawa, dan Gua Tögi Bögi yang ada di Pulau Nias menemukan peninggalan berupa peralatan hidup yang terbuat dari bahan batu, tulang dan Kehidupan masyarakat Nias sejak zaman prasejarah telah ditandai dengan adanya peradaban yang telah memiliki dan menciptakan beberapa teknologi dan peralatan hidup guna membantu kehidupan sehari-hari. Beberapa dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Pulau Nias menemukan peninggalan budaya masa lampau berupa teknologi peralatan hidup yang digunakan oleh masyarakat Nias pada masa itu. Penelitian di DAS Muzoi, Gua Tögi Ndrawa, dan Gua Tögi Bögi yang ada di Pulau Nias menemukan peninggalan berupa peralatan hidup yang terbuat dari bahan batu, tulang dan

Pada perkembangan zaman selanjutnya, masyarakat Nias telah memasuki masa megalitik yang dibawa kelompok migrasi kedua ke Pulau Nias yang menempati wilayah Selatan Nias. Masa ini juga meninggalkan benda-benda kebudayaan yang terkait dengan penggunaan teknologi peralatan hidup yang berkembang paada masa itu. Masyarakat Nias telah mengenal peralatan memahat dan mengukir untuk membuat sesuatu. Hal ini terlihat dari peninggalan budaya berupa batu-batu besar yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran dengan berbagai macam motif dan ornamen. Beberapa situs peninggalan budaya seperti ini masih bertahan sampai saat ini dan dapat kita temui di perkampungan atau desa di Pulau Nias seperti di desa Bawömataluo,Börönadu, Hilisimaetanö,Onozitoli, Balödanö, dan lainnya (Ketut Wiradnyana, 2010:11-80).

Selain teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatan bahan dasar batu, masyarakat Nias zaman dahulu juga telah mengenal pemanfaatan dan pengolahan berbahan dasar logam. Misalnya, pembuatan beberapa jenis pedang dan golok yang disebut seno gari dan telögu (Chical Teodali Telaumbanua, 2012). Peninggalan benda-benda sejenis ini juga dapat kita lihat dari peralatan yang digunakan dalam Tari Faluaya yang menggunakan pedang dan tombak serta penutup kepala berbahan logam. Teknologi pemanfaatan dan pengolahan berbahan dasar kayu juga turut mewarnai kebudayaan masyarakat Nias. Hal ini Selain teknologi yang berkaitan dengan pemanfaatan bahan dasar batu, masyarakat Nias zaman dahulu juga telah mengenal pemanfaatan dan pengolahan berbahan dasar logam. Misalnya, pembuatan beberapa jenis pedang dan golok yang disebut seno gari dan telögu (Chical Teodali Telaumbanua, 2012). Peninggalan benda-benda sejenis ini juga dapat kita lihat dari peralatan yang digunakan dalam Tari Faluaya yang menggunakan pedang dan tombak serta penutup kepala berbahan logam. Teknologi pemanfaatan dan pengolahan berbahan dasar kayu juga turut mewarnai kebudayaan masyarakat Nias. Hal ini

Gambar 2.2

Rumah Adat (Omo Hada) Nias Selatan

Namun, oleh karena pengaruh budaya luar dan perkembangan zaman menyebabkan adanya pergeseran nilai dan menurunnya keahlian dalam

pembuatan perkakas dan oranamen-ornamen budaya oleh masyarakat Nias. Saat pembuatan perkakas dan oranamen-ornamen budaya oleh masyarakat Nias. Saat

2.3.8 Kesenian

Masyarakat Nias merupakan salah satu suku bangsa yang kaya akan aneka ragam kesenian tradisional yang tetap terjaga hingga saat ini. Kesenian tradisional yang dimiliki masyarakat Nias berupa seni suara, seni tari, seni rupa, dan seni ukir dan ornamentasi yang menjadi ciri khas masyarakat Nias yang mewarnai setiap aspek kehidupan mereka. Masyarakat Nias memiliki alat-alat musik tradisional yang mereka gunakan dalam upacara-upacara adat dan juga dalam kehidupan sehari-hari. Alat musik tradisional yang dimiliki masyarakat Nias seperti : göndra (gendang besar, sejenis membranophone), faritia (canang, sejenis idiophone), mamba (gong, sejenis idiophone), lagia (rebab spike fiddle), nduri dana (sejenis jew’s harp), doli-doli (sejenis xylophone), tamburu, surune (sejenis aerophone), riti-riti, tutu, nduri mbalöduhi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Selain alat musik, masyarakat Nias juga memiliki tarian tradisional yang juga tetap terjaga hingga saat ini dan sering dipertunjukkan pada upacara-upacara

adat dan acara-acara kebudayaan baik di Pulau Nias maupun di luar Pulau Nias seperti di Kota Medan contohnya. Beberapa tarian tradisional yang dimiliki masyarakat Nias seperti : tari maena, tari moyo, tari tuwu, tari ya’ahowu, tari famadögö omo, tari baluse, dan tari faluaya yang juga akan dibahas selanjutnya dalam tulisan ini serta masih banyak tarian tradisional lainnya. Setiap tarian ini memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang terkandung dalam gerakan tarian tersebut. Tarian tradisional ini mengandung aspek-aspek estetika dan saat ini sering diperuntukkan untuk kebutuhan hiburan. Beberapa tarian tradisional ini juga mengalami perubahan seperti dari segi musik pengiringnya, misalnya tari maena yang saat ini lebih sering menggunakan keyboard sebagai alat musik pengiringnya. Kesenian tradisional lainnya selain alat musik dan tarian, msayarakat Nias juga memiliki kesenian dibidang seni rupa, seni arsitektur bangunan, dan seni ukir (ornamentasi). Banyaknya patung-patung yang terbuat dari bahan batu dan kayu serta arsitektur rumah adat Nias yang khas merupakan hasil karya yang memiliki nilai seni yang tinggi.

Gambar 2.3 Göndra (Membranophone)

Gambar 2.4 Doli-doli (Xylophone)

Gambar 2.5

Pertunjukan Tari Faluaya di Desa Bawömataluo, Nias Selatan

Gambar 2.6 Penari Sanggar Fanayama Medan