Sekepal Menjadi Segunung

Sekepal Menjadi Segunung

Segera setelah terjadinya huru hara di Sri Lanka pada bulan Juli 1983, saya kebetulan sedang menetap di sebuah vihara di distrik Bandarawela yang kepala viharanya terkenal dengan sentimen-sentimennya yang anti-Tamil.

Suatu pagi beberapa orang laki-laki duduk di bawah kaki beliau sambil berdiskusi soal-soal yang berkaitan dengan kejadian-kejadian baru-baru ini. Kepala vihara tersebut memberikan pendapatnya; dan, saya masih mengingat bahwa salah satu hal yang dikatakannya adalah bahwa orang-orang Tamil haruslah diusir, dan kalau mereka menolak maka mereka semuanya harus dibunuh. Sambil terus melanjutkan bicara, ia pun berbicara semakin kuat dan keras.

Setelah sekitar satu jam, seseorang yang duduk di barisan paling depan mengganggu perhatiannya dan menepuk-nepuk jam tangannya. Kepala vihara ini melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 11.35 pagi, dan ia mengakhiri semburan kata-kata marah Setelah sekitar satu jam, seseorang yang duduk di barisan paling depan mengganggu perhatiannya dan menepuk-nepuk jam tangannya. Kepala vihara ini melihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 11.35 pagi, dan ia mengakhiri semburan kata-kata marah

Mereka yang hadir tentu saja setuju sekali dengan apa yang dikatakan oleh kepala vihara itu, tetapi kalau ia tidak segera beranjak pergi untuk makan sebelum tengah hari maka dipastikan ia akan memberengut dan menyalahkan mereka.

Ketika Bhikkhu jahat Buddharakshita sedang berada di penjara menunggu proses pengadilan karena membunuh perdana menteri Sri Lanka pada tahun 1959, rutinitas penjara terpaksa diubah supaya Bhikkhu tersebut dapat menerima pemberian dana makanannya sebelum tengah hari. Kebanyakan orang menganggap ini sebagai sesuatu yang pantas.

‘Kecanduan pada hal-hal yang sepele’ (addiction to trivia) seperti itu, meminjam ungkapan Thomas

More, sangatlah mewabah di antara para penganut tradisi Theravada. Hal ini acapkali membutakan mata mereka terhadap hal-hal yang benar-benar penting.

Sebuah contoh lagi yang amat mengejutkan, baru- baru ini telah menjadi perhatian umum bahwa beberapa Bhikkhu di sebelah timur laut Thailand yang miskin telah membantu mendapatkan anak-anak perempuan untuk dipekerjakan sebagai pelacur di

Bangkok. Para agen dari rumah-rumah pelacuran membiayai pelaksanaan upacara-upacara di vihara- vihara. Penduduk setempat membanjiri vihara-vihara. Rekruitmen pun diadakan dan kepala vihara pun mendapatkan bagiannya berdasarkan seberapa banyak anak-anak gadis yang dapat dijerat.

Untuk meringankan perasaan bersalah dan perasaan segan pada anak-anak gadis itu, para Bhikkhu memberitahu mereka bahwa menjadi pelacur adalah semata-mata akibat dari karma buruk mereka di masa lampau, yang dampaknya dapat mereka kurangi bila mereka mengirimkan sebagian pendapatan mereka nanti ke vihara; dan, banyak dari

antara mereka yang melakukannya. 10 Tampaknya hal seperti ini telah terjadi selama bertahun-tahun; dan, ini hanya mungkin terjadi karena para Bhikkhu dan penduduk lokal tidak melihat pelacuran sebagai bertentangan dengan kata- kata dalam Vinaya. Bahkan, para Bhikkhu yang terlibat dalam bisnis kotor ini pun bisa berargumentasi secara panjang lebar.

Aturan Vinaya apakah yang dilanggar? Apabila

10 Bangkok Post, 11, Feb. 1991.

uang yang ‘disumbangkan’ kepada vihara itu diberikan kepada pengurus vihara dengan cara semestinya? Kalau ada resiko bahwa Vinaya akan dilanggar, ketika sedang terjadi tawar-menawar dengan agen-agen rumah pelacuran, maka hal itu dapat dengan mudah dihindarkan; yaitu, dengan ‘memakai kata-kata yang terkesan benar.’ Tetapi, apakah ini tidak ada kaitannya dengan para Bhikkhu tadi? Bila akibat dari semua ini toh adalah eksploitasi dan penderitaan? Menurut Vinaya maupun ortodoksi tradisi Theravada, ada pemahaman bahwa para Bhikkhu hanya bekerja untuk kebebasan dirinya sendiri dan mereka tidak terlibat dalam urusan-urusan keduniawian.

Namun, sebaliknya satu hal dapat dipastikan. Bila seorang Bhikkhu dari salah satu dari vihara-vihara yang membantu menyediakan gadis-gadis tadi kelihatan bersalaman dengan seorang turis perempuan, atau makan biskuit pada siang hari, atau menendang bola kaki, maka dipastikan akan ada kegaduhan yang dahsyat; dan, Bhikkhu tersebut akan menghadapi banyak sekali keberatan. Faktanya adalah praktek-praktek yang memalukan seperti ini masih berlangsung terus dan tak seorangpun, Namun, sebaliknya satu hal dapat dipastikan. Bila seorang Bhikkhu dari salah satu dari vihara-vihara yang membantu menyediakan gadis-gadis tadi kelihatan bersalaman dengan seorang turis perempuan, atau makan biskuit pada siang hari, atau menendang bola kaki, maka dipastikan akan ada kegaduhan yang dahsyat; dan, Bhikkhu tersebut akan menghadapi banyak sekali keberatan. Faktanya adalah praktek-praktek yang memalukan seperti ini masih berlangsung terus dan tak seorangpun,

Ketika pendiri Shanti Asoka yang kontroversial itu, Phra Phutirak, menjalankan praktek-praktek Vinaya yang sedikit tidak biasa, petinggi-petinggi agama Buddha Thailand dengan begitu cepatnya memanggil organisasi sekuler di bawahnya dan segera meminta agar Phra Phutirak dilepas-jubahkan.

Sepanjang pengetahuan saya para Bhikkhu yang membantu bisnis pelacuran dari sebelah timur laut Thailand itu tidaklah pernah berdisiplin, walaupun sejak pemberitaan pers tersebut, mereka mungkin sudah lebih sedikit bijaksana.

Kebenarannya adalah bahwa dalam tradisi Theravada mengikuti bunyi setiap kata dalam Vinaya ternyata lebih penting dibandingkan dengan mengajarkan Dhamma. Ia lebih penting daripada merepotkan orang lain. Ia lebih penting daripada melakukan kebaikan dan meditasi dan lebih penting daripada menentukan sebuah sikap moral.

Sesungguhnya, tradisi Theravada membuatnya menjadi begitu jelas bahwa mengikuti Vinaya jauh lebih penting daripada kehidupan itu sendiri. Dalam Sesungguhnya, tradisi Theravada membuatnya menjadi begitu jelas bahwa mengikuti Vinaya jauh lebih penting daripada kehidupan itu sendiri. Dalam

Dalam tradisi lainnya, kisah seperti itu dipakai untuk menjelaskan belenggu kedua dari Sepuluh Belenggu—yakni, menjadikan moralitas dan aturan- aturan itu semata-mata sebagai ritual. Tetapi, dalam tradisi Theravada, Bhikkhuni memang senantiasa disodorkan sebagai sebuah model untuk perbuatan baik.

Memang benar, pada sebuah teks tertentu Buddhaghosa ada mengatakan bahwa seorang Bhikkhu mungkin akan mempertimbangkan untuk melanggar sebuah aturan kecil demi mempraktekkan cinta kasih—salah satu dari begitu sedikitnya Memang benar, pada sebuah teks tertentu Buddhaghosa ada mengatakan bahwa seorang Bhikkhu mungkin akan mempertimbangkan untuk melanggar sebuah aturan kecil demi mempraktekkan cinta kasih—salah satu dari begitu sedikitnya

Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa bahkan bila ibu seorang Bhikkhu terjatuh ke dalam sungai yang airnya deras sekalipun, ia tidak boleh sama sekali menolongnya apabila harus bersentuhan dengan ibunya sendiri secara fisik. Kemudian, Buddhaghosa mengatakan bahwa bila seorang Bhikkhu jatuh ke dalam sebuah lubang, ia pun tidak boleh menggali- gali tanah untuk menyelamatkan dirinya sendiri karena perbuatan ini akan melanggar Vinaya yang tidak memperbolehkan seorang Bhikkhu menggali tanah.

Sekarang, tatkala aturan-aturan kecil seperti itu Sekarang, tatkala aturan-aturan kecil seperti itu

Tradisi Mahayana justru muncul sebagai sebuah protes terhadap egoisme yang kejam dan mementingkan hal-hal sepele semacam itu. Bodhicariyavatarapanjika mengatakan bahwa welash asih dan kebahagiaan orang lain haruslah lebih diutamakan ketimbang menaati aturan-aturan kecil atau, bahkan, kadangkala aturan-aturan yang besar sekalipun.

‘ Setelah merealisasi kebenaran tertinggi, ia seharusnya memiliki komitmen untuk

memperjuangkan kesejahteraan dan kebaikan mahluk-mahluk lain. Dan bila ada orang yang berkeberatan dan mengatakan, ‘Bagaimana mungkin ia dapat menghindar dari berbuat jahat dengan melakukan yang dilarang?’ Jawabannya adalah bahwa Yang Maha Suci mengajarkan bahwa yang dilarang dapat dilakukan oleh seseorang manakala ia melihat keuntungan-keuintungan orang lain di dalamnya memperjuangkan kesejahteraan dan kebaikan mahluk-mahluk lain. Dan bila ada orang yang berkeberatan dan mengatakan, ‘Bagaimana mungkin ia dapat menghindar dari berbuat jahat dengan melakukan yang dilarang?’ Jawabannya adalah bahwa Yang Maha Suci mengajarkan bahwa yang dilarang dapat dilakukan oleh seseorang manakala ia melihat keuntungan-keuintungan orang lain di dalamnya