Orang Samaria yang baik hati dan penganut Theravada yang baik

Orang Samaria yang baik hati dan penganut Theravada yang baik

Seorang laki-laki bertanya kepada Jesus apa yang harus ia lakukan agar dapat diselamatkan; dan, Jesus bertanya kepadanya apakah yang diajarkan kitab suci tentang hal itu. Laki-laki tersebut mengutip dua ayat dari Alkitab ‘Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap pikiranmu’ dan ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Jesus setuju dengan ini dan kemudian laki- Seorang laki-laki bertanya kepada Jesus apa yang harus ia lakukan agar dapat diselamatkan; dan, Jesus bertanya kepadanya apakah yang diajarkan kitab suci tentang hal itu. Laki-laki tersebut mengutip dua ayat dari Alkitab ‘Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap pikiranmu’ dan ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ Jesus setuju dengan ini dan kemudian laki-

‘ Suatu ketika seorang laki-laki sedang mengadakan perjalanan dari Jerusalem ke Jericho

ketika sejumlah perampok menyerangnya, melucuti semua miliknya dan memukulinya hingga ia setengah hidup. Kebetulan sekali seorang pendeta sedang mengadakan perjalanan pada jurusan yang sama dan, ketika dilihatnya laki-laki itu, pendeta itupun menghampirinya di tepi jalan yang lain. Lalu seorang Levite juga datang, mendekat dan melihat laki-laki tersebut, dan kemudian berjalan pergi ke seberang jalan. Tetapi, seorang Samaria yang berada di jalan yang sama menghampiri laki-laki tersebut dan ketika dilihatnya laki-laki tersebut maka hatinya pun dipenuhi rasa kasihan. Orang Samaria tersebut mendekati laki-laki itu, menuangkan minyak dan anggur di bekas lukanya dan membungkusnya dengan kain perban; lalu ia mengangkat laki-laki tersebut ke atas keledai miliknya sendiri dan membawanya ke sebuah tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan hatinya ia mengeluarkan dua ketika sejumlah perampok menyerangnya, melucuti semua miliknya dan memukulinya hingga ia setengah hidup. Kebetulan sekali seorang pendeta sedang mengadakan perjalanan pada jurusan yang sama dan, ketika dilihatnya laki-laki itu, pendeta itupun menghampirinya di tepi jalan yang lain. Lalu seorang Levite juga datang, mendekat dan melihat laki-laki tersebut, dan kemudian berjalan pergi ke seberang jalan. Tetapi, seorang Samaria yang berada di jalan yang sama menghampiri laki-laki tersebut dan ketika dilihatnya laki-laki tersebut maka hatinya pun dipenuhi rasa kasihan. Orang Samaria tersebut mendekati laki-laki itu, menuangkan minyak dan anggur di bekas lukanya dan membungkusnya dengan kain perban; lalu ia mengangkat laki-laki tersebut ke atas keledai miliknya sendiri dan membawanya ke sebuah tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan hatinya ia mengeluarkan dua

Perumpamaan Jesus ini dan kata-katanya bahwa ‘Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari Saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku’ (Matius 25: 34-40) telah mempunyai dampak yang mendalam dan positif pada agama Kristen.

Kisah Buddha merawat seorang Bhikkhu yang sakit dan nasihatnya bahwa ‘Barang siapa yang ingin merawat Aku, biarlah ia merawat orang-orang sakit,’ amat mirip dengan kata-kata Jesus, tetapi hal ini tidak memiliki pengaruh yang sama pada pemikiran dan Kisah Buddha merawat seorang Bhikkhu yang sakit dan nasihatnya bahwa ‘Barang siapa yang ingin merawat Aku, biarlah ia merawat orang-orang sakit,’ amat mirip dengan kata-kata Jesus, tetapi hal ini tidak memiliki pengaruh yang sama pada pemikiran dan

Versi Theravada tentang perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati itu barangkali seperti ini. Suatu ketika ada seorang laki-laki yang tengah melakukan perjalanan dari Bangkok ke Ayudhya ketika sejumlah perampok menyerangnya, melucuti semua harta miliknya dan memukulinya hingga ia setengah hidup. Kebetulan sekali seorang Bhikkhu lewat, melihat laki-laki tersebut dan berfikir ‘Sebaiknya saya tidak melakukan apapun juga karena saya bisa saja melanggar Vinaya dan, disamping itu, kalau saya tidak buru-buru nanti saya akan terlambat untuk acara dana’; dan, ia pun melanjutkan perjalanannya kembali. Setelah itu seseorang yang menjalankan meditasi lewat, melihat laki-laki tersebut, lalu mendekatkan kedua tangannya dan mengatakan sambil tersenyum, ‘Semoga engkau baik dan berbahagia’; dan, ia pun meneruskan perjalanannya dengan kesadaran penuh. Terakhir, seorang perempuan tua yang berbakti lewat, melihat laki-laki malang tersebut dan berfikir, ‘Sekarang kalau saya menolong laki-laki tersebut saya akan Versi Theravada tentang perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati itu barangkali seperti ini. Suatu ketika ada seorang laki-laki yang tengah melakukan perjalanan dari Bangkok ke Ayudhya ketika sejumlah perampok menyerangnya, melucuti semua harta miliknya dan memukulinya hingga ia setengah hidup. Kebetulan sekali seorang Bhikkhu lewat, melihat laki-laki tersebut dan berfikir ‘Sebaiknya saya tidak melakukan apapun juga karena saya bisa saja melanggar Vinaya dan, disamping itu, kalau saya tidak buru-buru nanti saya akan terlambat untuk acara dana’; dan, ia pun melanjutkan perjalanannya kembali. Setelah itu seseorang yang menjalankan meditasi lewat, melihat laki-laki tersebut, lalu mendekatkan kedua tangannya dan mengatakan sambil tersenyum, ‘Semoga engkau baik dan berbahagia’; dan, ia pun meneruskan perjalanannya dengan kesadaran penuh. Terakhir, seorang perempuan tua yang berbakti lewat, melihat laki-laki malang tersebut dan berfikir, ‘Sekarang kalau saya menolong laki-laki tersebut saya akan

Kadang-kadang saya bertemu para Bhikkhu muda di Sri Lanka yang benar-benar suka mempraktekkan Metta atau Karuna melalui perbuatan; tetapi, mereka acapkali menemui kesulitan besar. Umat awam selalu saja mengawasi para Bhikkhu itu untuk memastikan agar mereka mengikuti pola-pola prilaku tradisional; dan, mereka cepat sekali menunjukkan ketaksetujuannya bila para Bhikkhu tidak melakukannya.

Pandangan bahwa para Bhikkhu adalah orang- orang yang sangat berharga dan dihormati adalah hambatan terhadap upaya-upaya untuk mempraktekkan Metta dan Karuna tersebut. Misalnya, bila seorang Bhikkhu Sri Lanka tampak mencoba membersihkan tubuh seseorang yang tengah sakit; maka, dapat dipastikan akan ada enam orang umat awam yang merasa kaget dan lalu terburu-buru mengatakan, ‘Saya akan lakukan itu untuk Bhante.’ ‘Tidak Bhante. Biarkan saya melakukannya.’ Mereka Pandangan bahwa para Bhikkhu adalah orang- orang yang sangat berharga dan dihormati adalah hambatan terhadap upaya-upaya untuk mempraktekkan Metta dan Karuna tersebut. Misalnya, bila seorang Bhikkhu Sri Lanka tampak mencoba membersihkan tubuh seseorang yang tengah sakit; maka, dapat dipastikan akan ada enam orang umat awam yang merasa kaget dan lalu terburu-buru mengatakan, ‘Saya akan lakukan itu untuk Bhante.’ ‘Tidak Bhante. Biarkan saya melakukannya.’ Mereka

Bila ada Bhikkhu dari Thailand ataupun Burma yang cukup bodoh untuk membersihkan tubuh seseorang yang sedang sakit, ia akan segera dijuluki ‘seorang Bhikkhu yang buruk’; dan, ia mungkin harus meninggalkan daerah tersebut, bahkan harus lepas jubah. Ide tentang seorang Bhikkhu yang merawat seorang perempuan yang tengah sakit, bahkan bila perempuan tersebut adalah saudara perempuannya sendiri, atau seorang bayi perempuan atau seorang perempuan tua yang berada dalam keadaan sedarurat apapun, betul-betul tak mungkin terlintas dalam pikiran orang-orang Thailand ataupun Burma.

Ketika terjadinya serangan udara di London, Bhikkhu terkenal dari Burma U Thittila yang dikenal selalu saja sedikit tak konvensional, mengenakan helm dan jas hujan tentara; dan, ia membantu menyelamatkan orang-orang yang tinggal di gedung- Ketika terjadinya serangan udara di London, Bhikkhu terkenal dari Burma U Thittila yang dikenal selalu saja sedikit tak konvensional, mengenakan helm dan jas hujan tentara; dan, ia membantu menyelamatkan orang-orang yang tinggal di gedung-

Saya bertemu dengannya sebelum ia meninggal dunia dan bertanya padanya tentang insiden tersebut. Ia tertawa kecil dan menjawab, ‘kami orang Burma tidak mengetahui Karuna bila kami tersandung kata itu’ atau kata-kata yang bertujuan sama.I Theravada pastilah merupakan agama satu-satunya di dunia ini dimana sebuah perbuatan kebaikan yang spontan yang dilakukan oleh ulamanya dapat saja dianggap sebagai sebuah pelanggaran.

Di Sri Lanka dan Thailand, kerja sosial yang dilakukan para Bhikkhu sedikit lebih dapat diterima dibandingkan dengan di Burma sepanjang para Bhikkhu membatasi pekerjaan mereka hanya pada bagian administrasi, penggalangan dana atau mengatur umat awam dan tidak sampai bekerja keras atau mengotori tangan mereka. Walaupun demikian, sang Bhikkhu akan tetap berjuang keras untuk mendapatkan sokongan dan dukungan dari masyarakat agar bisa melakukan kerja sosial tersebut.

Ketika mengomentari keadaan tersebut di Burma, Spiro mengatakan, ‘Sekelompok Bhikkhu yang peduli dengan melakukan tindakan-tindakan amal telah membangun panti-panti asuhan di vihara-vihara mereka… Pada tahun 1962, sudah terdapat sebanyak

77 panti asuhan yang tersebar di seluruh Burma dan di wilayah-wilayah Shan dan mereka berafiliasi dengan viara-vihara dengan lebih dari 600 anak-anak laki-laki yatim piatu penghuni panti. Namun, seperti dapat diperkirakan…hanya sedikit minat yang telah ditunjukkan orang terhadap gerakan yang dilakukan ini, baik dari para Bhikkhu lainnya maupun dari para umat awam. Dukungan finansial untuk kegiatan- kegiatannya, hingga kelompok tersebut diusir dari Burma pada tahun 1962, terutama diberikan oleh Yayasan Asia (di Amerika). Sebenarnya, salah satu dari otak penggerak pekerjaan para Bhikkhu tersebut, dan juga alasan mengapa perkumpulan ini diadakan, adalah adanya seorang pegawai Burma yang bekerja di sebuah yayasan misionaris Kristen—seorang umat Buddhis awam yang berpendidikan Barat—yang, setelah terekspos dan terpengaruh oleh pekerjaan misionaris Kristen tersebut, berusaha membuat para Bhikkhu meniru pola-pola kerja para misionaris

Kristen.’ Yang dikatakan Spiro di atas ini adalah pengamatan yang tajam. Dana-dana yang dipakai untuk kerja sosial di dalam lingkungan Theravada yang ada seringkali berasal dari luar masyarakat tersebut; dan, kerja sosial semacam itu pun biasanya dilakukan oleh orang-orang Barat atau mereka yang telah dipengaruhi oleh agama Kristen, mereka yang meniru kerja sosial Kristen; atau, kerja sosial tersebut dilakukan untuk membalas hal serupa yang dilakukan

oleh umat Kristiani. 27 Tentu saja, ini jauh lebih baik daripada tidak ada yang dilakukan sama sekali; tetapi, ini merupakan bukti bahwa pelaksanaan welas asih tidak benar-benar merupakan bagian dari tradisi Theravada.

Namun, semua ini tidaklah berarti bahwa para penganut Theravada tidak baik ataupun murah hati. Kadang-kadang, mereka justru kelihatannya sangat baik dan murah hati. Tetapi, kebaikan dan kemurahan hati mereka untuk orang-orang yang kurang beruntuhg biasanya dilakukan hanya dengan cara sedikit-sedikit dan secara perorangan. Seorang umat

27 Lebih jauh mengenai sindrom ini, lihatlah H. L. Seniviratna,

The Work of Kings, 1999, hal.319.

awam akan melemparkan beberapa keping uang logam kepada seorang gelandangan; tetapi, ia sendiri sangat jarang sekali ingin melakukan sesuatu tentang keadaan orang-orang gelandangan itu.

Pelayanan yang berkelanjutan dan efektif tampaknya diserahkan hampir seluruhnya kepada Sangha. Para Bhikkhu bisa saja sama baiknya; meskipun, Vinaya dan harapan-harapan masyarakat mencegah mereka untuk melakukan apapun yang melebihi sekedar merasakan kebaikan tersebut. Komentar Mendelson tentang Burma juga relevan dengan negara-negara Theravada lainnya:

‘ Walaupun ada kegiatan-kegiatan pelayanan sosial sekali-sekali yang biasa dilaksanakan vihara-

vihara di Burma, perasaannya adalah bahwa di negara tersebut tugas utama para Bhikkhu adalah untuk menemukan pencerahan batin; dan, oleh sebab itu, mereka tidak boleh diganggu dengan urusan- urusan keduniawian—sekalipun dengan urusan yang paling dermawan sekalipun. Oleh sebab itu, tindakan pelayanan sosial biasanya tidak dilakukan sebagaimana selayaknya—atau, tidak dijalankan sesuai dengan teori Buddhis yang manapun juga mengenai hal tersebut—melainkan terlebih-lebih vihara di Burma, perasaannya adalah bahwa di negara tersebut tugas utama para Bhikkhu adalah untuk menemukan pencerahan batin; dan, oleh sebab itu, mereka tidak boleh diganggu dengan urusan- urusan keduniawian—sekalipun dengan urusan yang paling dermawan sekalipun. Oleh sebab itu, tindakan pelayanan sosial biasanya tidak dilakukan sebagaimana selayaknya—atau, tidak dijalankan sesuai dengan teori Buddhis yang manapun juga mengenai hal tersebut—melainkan terlebih-lebih

Para penganut Theravada akan mengatakan bahwa saya menilai mereka dengan menggunakan standar agama Kristen dan bahwa para Bhikkhu memang dimaksudkan untuk menjadi para pertapa, bukan pekerja sosial. Ini memang benar dan saya tidak akan bertengkar mengenai soal ini. Tetapi ada dua asumsi yang salah di belakang pernyataan ini.

Pertama-tama, kenyataannya adalah mayoritas para Bhikkhu di negara-negara Theravada tidaklah mejalani kehidupan pertapaan. Mereka paling-paling adalah cendekiawan atau spesialis dalam bidang ritual; tetapi, sebaliknya mereka adalah …. Tapi, kita tidak akan kembali ke hal itu lagi! Kedua, anggapan Pertama-tama, kenyataannya adalah mayoritas para Bhikkhu di negara-negara Theravada tidaklah mejalani kehidupan pertapaan. Mereka paling-paling adalah cendekiawan atau spesialis dalam bidang ritual; tetapi, sebaliknya mereka adalah …. Tapi, kita tidak akan kembali ke hal itu lagi! Kedua, anggapan

Keterlibatan dalam kehidupan sosial dapat juga menjadi sebuah latihan kontemplasi—ia bisa menjadi latihan untuk melepaskan ego, sebuah cara untuk melihat dan mengecilkan ego, sebuah cara untuk mengembangkan Metta dan Karuna. Ambillah praktek kesadaran sebagai contoh.

Dalam Satipatthana Sutta, Buddha mengatakan, ‘Lebih lanjut, seorang Bhikkhu adalah seseorang yang melakukan tindakan-tindakannya dengan kesadaran—ketika sedang datang ataupun pergi, ketika sedang melihat ke depan ataupun ke belakang, ketika sedang memberikan lengannya ataupun menarik kembali lengannya, ketika sedang memakai jubah ataupun sedang merawat jubah dan mangkuknya, ketika sedang makan ataupun minum, ketika sedang meneguk ataupun mengecap, ketika sedang buang air besar ataupun kecil, ketika sedang berjalan ataupun berdiri, ketika sedang tertidur ataupun sedang terbangun, ketika sedang berbicara ataupun sedang berdiam diri.’ (M.I,57).

Intinya disini adalah bahwa kegiatan apapun dapat dan seharusnya dilakukan dengan penuh kesadaran. Ketimbang melekat pada aturan-aturan yang steril dan misterius sebagai sebuah cara untuk mengembangkan kesadaran, seperti yang disarankan oleh Bhikkhu Thanissaro dan para fundamentalis lainnya, mengapa tidak memanfaatkan kebermanfaatan terhadap orang lain? Bila seseorang dapat makan dengan penuh kesadaran ketika sedang menjalani latihan meditasi, mengapa ia tidak dapat mempersiapkan makanan untuk orang-orang lapar dengan penuh kesadaran?

Lalu, ada lagi sesuatu yang amat disukai dalam tradisi Theravada; yakni, merenungkan jijiknya badan jasad ini. Bila seseorang dapat menjadi tidak melekat dan tenang dengan memikirkan aspek-aspek yang tidak menyenangkan dari tubuh jasad ini, mengapa ia tidak melakukan hal yang sama ketika sedang merawat pasien yang telah mendekati ajal? Sikap Theravada yang pedantik dan konservatif telah

memperlambat perkembangan pendekatan- pendekatan yang kreatif untuk spiritualitas. Dapat ditambahkan disini pula penekanan yang berlebihan pada kepentingan diri sendiri yang narsisistik di dalam Theravada serta pemusatan memperlambat perkembangan pendekatan- pendekatan yang kreatif untuk spiritualitas. Dapat ditambahkan disini pula penekanan yang berlebihan pada kepentingan diri sendiri yang narsisistik di dalam Theravada serta pemusatan

Pada tahun 2000, saya menjadi seorang relawan untuk bekerja selama beberapa lama di Rumah Bunda Theresa untuk Kaum Miskin Papa dan Kaum Sekarat di Calcutta. Pengalaman tersebut membuka mata saya.

Hal pertama yang saya perhatikan adalah bahwa walaupun terdapat begitu banyak pekerjaan, kesengsaraan dan tak jarang tekanan-tekanan, banyak suster dan relawan lainnya memiliki kualitas-kualitas yang kita umat Buddhis acapkali mencoba untuk mengembangkan melalui meditasi—yakni, keihlasan, ketakmelekatan, rasa puas diri, demikian juga welas asih dan cinta kasih. Pekerjaan mereka adalah sebuah cara untuk menolong orang lain, sebuah cara untuk mentransformasi diri dan sebuah persembahan untuk Tuhannya mereka. Tampak pada saya bahwa ide inilah yang disarankan dalam Mahaparinibbana Sutta.

Beberapa jam menjelang wafatnya Buddha, Ananda pergi memasuki kamarnya, bersandar di tiang pintu dan lalu menangis karena berfikir bahwa segera Beberapa jam menjelang wafatnya Buddha, Ananda pergi memasuki kamarnya, bersandar di tiang pintu dan lalu menangis karena berfikir bahwa segera

‘ Cukuplah Ananda, jangan lagi menangis, ‘kata Buddha. ‘Bukankah Aku telah katakan padamu

bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai adalah bersifat sementara, akan berubah dan bersifat tidak abadi? Telah begitu lama, Ananda, engkau berada di dekat Tathagata, mengekspresikan cinta kasih dengan tubuh, mengeskpresikan cinta kasih dengan ucapan, mengekspresikan cinta kasih dengan pikiran, dengan bermanfaat, dengan menyenangkan, dengan sepenuh hati, dengan tak henti-hentinya. Engkau telah mencapai banyak kebaikan, Ananda. Berjuanglah untuk yang terakhir kali dan dalam waktu singkat engkau akan bebas dari kekotoran batin.’ (D.II,144).

Namun, apa sebenarnya makna dari frase ‘mengekspresikan cinta kasih dengan tubuh’ (mettena kaya kamena) disini? Sudah barang tentu Buddha menjelaskan bahwa yang dilakukan Ananda selama Namun, apa sebenarnya makna dari frase ‘mengekspresikan cinta kasih dengan tubuh’ (mettena kaya kamena) disini? Sudah barang tentu Buddha menjelaskan bahwa yang dilakukan Ananda selama

Hal lain yang juga saya perhatikan ketika bekerja di Rumah untuk Kaum Miskin Papa dan Kaum Sekarat adalah bahwa setiap malam ketika saya kembali ke kamar saya, pikiran saya sebagian besarnya telah dibersihkan dan terbebaskan dari segala halangan, terutama kammacchanda. Walaupun secara fisik saya telah lelah, namun pikiran saya tetap cerah seperti yang saya rasakan setelah melakukan meditasi sendirian dalam waktu yang lama sekali. Hal ini sangat nyata sekali sehingga saya begitu ingin mengetahui apa yang menyebabkan hal tersebut.

Karena seharian saya telah membersihkan kotoran dan luka-luka yang telah mengalami infeksi, maka, saya yakin, saya telah melakukan perenungan tentang jijiknya badan jasad manusia itu. Suatu ketika, selama dua belas bulan, saya melakukan meditasi secara Karena seharian saya telah membersihkan kotoran dan luka-luka yang telah mengalami infeksi, maka, saya yakin, saya telah melakukan perenungan tentang jijiknya badan jasad manusia itu. Suatu ketika, selama dua belas bulan, saya melakukan meditasi secara

Tetapi, ketakmelekatan dan kejernihan yang saya rasakan di Calcutta kiranya berbeda secara kualitatif. Pengalaman tersebut disertai dengan perasaan suka cita dan kehangatan karena saya mengetahui bahwa setidak-tidaknya saya telah membawa sedikit perubahan bagi kehidupan seorang anak manusia seperti kita.

Sering secara logika saya mencoba memaknai paradoks yang demikian jelas antara keadaan tak melekat dan sifat peduli tentang orang lain. Di Calcutta saya tidak memaknainya secara logika, tetapi saya belajar dari pengalaman bahwa kedua hal tersebut dapat terjadi secara bersama-sama. Seorang bhikshu Barat aliran agama Buddha Tibet yang menjalankan bisnis rumah persinggahan mengatakan kepada saya bahwa ia telah pernah mengalami hal yang sama dengan pengalaman saya.