MENGAPA SAYA SEORANG BUDDHIS?

MENGAPA SAYA SEORANG BUDDHIS?

Oleh: Parakrama

Sekitar satu abad yang lalu, jurnal-jurnal agama Buddha di Ceylon di zaman penjajahan dulu, yang begitu terpesona dengan keglamoran orang-orang Eropah yang memeluk agama Buddha, dengan sangat Sekitar satu abad yang lalu, jurnal-jurnal agama Buddha di Ceylon di zaman penjajahan dulu, yang begitu terpesona dengan keglamoran orang-orang Eropah yang memeluk agama Buddha, dengan sangat

Saya sering bertanya kepada diri saya seperti itu, bukan karena saya meragukan Buddha Dhamma, tetapi karena saya benar-benar gelisah melihat penyimpangan-penyimpangan yang tak pantas yang dilakukan oleh ‘eksponen’ dan ‘praktisi’ agama Buddha Sinhala di Sri Lanka hari ini. Di bawah ini, saudara-saudara pembaca sekalian, adalah sebuah tulisan yang memang sengaja dibuat provokatif agar, saya harap, dapat membuat umat Buddhis Sinhala berfikir keras dan dalam-dalam.

Ingatan membawa saya kembali ke masa 25 tahun yang lalu tatkala para pendukung—yang berniat baik memberikan penghormatan pada peringatan ulang tahun yang ke-80 dari seorang Bhikkhu yang sangat dihormati—mentahbiskan 80 orang anak-anak laki-laki menjadi samanera. Anak-anak ini semuanya Ingatan membawa saya kembali ke masa 25 tahun yang lalu tatkala para pendukung—yang berniat baik memberikan penghormatan pada peringatan ulang tahun yang ke-80 dari seorang Bhikkhu yang sangat dihormati—mentahbiskan 80 orang anak-anak laki-laki menjadi samanera. Anak-anak ini semuanya

Suara jerit tangis yang tak henti-hentinya dari salah seorang anak tersebut, yang membuatnya tidak tidur semalaman hingga pagi harinya, masih terus bergema dalam telinga saya. Insiden ini, bagi saya, merupakan suatu perlambang bahwa ada banyak yang salah dalam Sangha Sinhala.

Pertama-tama, tampaknya hampir-hampir tidak ada orang yang benar-benar dengan ‘sukarela’ meminta untuk mengenakan jubah keBhikkhuan karena mereka benar-benar mengerti dan menganggapnya sebagai semacam pekerjaan. Kebanyakan orang masuk ke dalam Sangha karena ‘kewajiban.’ Anak-anak desa dipaksa untuk masuk ke Sangha oleh orang tua mereka yang miskin karena mereka ingin mengurangi sebuah lagi tanggungan mulut untuk disuapi. Disebutkan di dalam Nikaya- nikaya yang lebih tua dan mapan bahwa keturunan- keturunan dari beberapa keluarga tertentu telah memonopoli kedudukan Mahanayaka dan berniat untuk terus mempertahankan daerah kekuasaan mereka yang menguntungkan itu.

Anak-anak itu seluruhnya adalah anak-anak desa yang sangat kurang pendidikannya, tidak siap menjadi Bhikkhu dan acapkali tidak mau menjadi Bhikkhu. Ini adalah kenyataan pahit yang harus kita hadapi; dan, ini pula merupakan akar permasalahan dari terjadinya pembusukan di dalam Sangha Sinhala.

Tidaklah mengherankan bahwa anak-anak kecil yang ‘diwajibkan’ menjadi anggota Sangha tersebut dengan tak disengaja telah direbut dari masa kanak-kanak dan masa muda mereka. Akhirnya, mereka tumbuh dewasa menjadi mahasiswa- mahasiswa berambut gondrong dan urakan yang, ketika sedang menuntut ilmu yang tidak relevan dengan Dhamma, berjongkok-jongkok di pinggir- pinggir jalan dan di atap-atap rumah serta berseliweran sambil meneriakkan slogan-slogan dan melambai-lambaikan kepalan tinju mereka. Yang lainnya, setelah menjadi lebih tua dan lebih lihai, memulai karir-karir yang menguntungkan—beberapa di antara karir tersebut masuk dalam daftar di bawah ini:

(1) Dokter-dokter Ayurwedik dan ahli astrologi yang menjalankan usahanya demi uang dan tidak pernah melaksanakan latihan-latihan keagamaan (1) Dokter-dokter Ayurwedik dan ahli astrologi yang menjalankan usahanya demi uang dan tidak pernah melaksanakan latihan-latihan keagamaan

(2) Pegawai-pegawai di instansi pemerintah yang dibayar, utamanya, untuk menjadi guru, yang mengantongi sendiri upah mereka. Beberapa di antara mereka juga sedang berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan administratif lainnya.

(3) Penghuni-penghuni liar di tanah milik negara, di tepi-tepi sungai dan lingkungan kumuh yang tak sehat, yang membangun kamar-kamar untuk disewakan, sering dengan tujuan-tujuan yang jahat. Sebuah tempat seperti itulah yang akhir-akhir ini dihuni oleh seorang teroris Macan Tamil; dan, ia menyimpan amunisi di bawah tanah.

(4) Orang-orang yang menyewakan tempat di vihara-vihara untuk tempat parkir mobil, teksi dan truk. Sebuah truk teroris bermuatan bom baru-baru ini ditemukan di ‘vihara’ seperti itu.’

(5) Guru-guru yang mengadakan kelas-kelas bimbingan ujian yang dibayar untuk persiapan ujian- ujian negara; sedangkan, mereka gagal mengadakan sekolah-sekolah minggu Buddhis untuk anak-anak.

(6) Orang-orang yang mendirikan organisasi- organisasi Front Nasional (yang berpura-pura religius) untuk menyedot uang dalam jumlah besar dari orang-orang Jepang dan Korea yang kaya yang suka berfoto bersama dan bergaul rapat dengan VIP Sri Lanka yang dapat diatur untuk mereka oleh para Bhikkhu.

(7) Para perampok vihara yang menjarah relik- relik, artefak-artefak kuno dan buku-buku dari daun lontar untuk dijual kepada para penadah barang antik.

(8) Pejabat-pejabat serikat buruh, organisasi- organisasi politik dan non-agama yang mengontrol dana yang besar dan bergelimangan publisitas.

(9) Para Bhikkhu yang bertindak sebagai pendeta- pendeta Sai Baba, ‘manusia dewa’ dari India Selatan, dan yang memprostitusikan vihara mereka dan memberikan ibu-ibu Sinhala yang kaya raya sebuah agama Buddha yang palsu demi praktek berhala mereka yang primitif. Baru-baru ini sebuah ‘perjalanan suci’ mengunjungi Sai Baba diadakan untuk menjalankan kelima Sila dalam Pancasila Buddhis pada hari Waisak dan di ‘Kaki Teratai-Nya!’ Perlukah lebih banyak lagi dikatakan mengenai ibu- ibu ‘beragama Buddha’ tersebut yang memberikan (9) Para Bhikkhu yang bertindak sebagai pendeta- pendeta Sai Baba, ‘manusia dewa’ dari India Selatan, dan yang memprostitusikan vihara mereka dan memberikan ibu-ibu Sinhala yang kaya raya sebuah agama Buddha yang palsu demi praktek berhala mereka yang primitif. Baru-baru ini sebuah ‘perjalanan suci’ mengunjungi Sai Baba diadakan untuk menjalankan kelima Sila dalam Pancasila Buddhis pada hari Waisak dan di ‘Kaki Teratai-Nya!’ Perlukah lebih banyak lagi dikatakan mengenai ibu- ibu ‘beragama Buddha’ tersebut yang memberikan

(10) Para pemahat, pelukis dan penulis lagu yang mengadakan eksibisi di depan umum dan mengumumkan karya-karya ‘artistik’ mereka di pasar komersil.

Daftar yang menyedihkan ini adalah sebuah ilustrasi dan ia belumlah mencakup keseluruhannya. Contoh-contoh yang lain masih banyak sekali.

Kami umat Buddhis Sinhala harus menghadapi kenyataan bahwa kebanyakan Bhikkhu mempermalukan Sangha; dan, umat awam yang mengetahui itu cenderung menutup sebelah mata terhadap perbuatan-perbuatan para Bhikkhu yang salah. Terlampau sedikit Bhikkhu yang benar-benar menjalankan Vinaya atau mempelajari Dhamma secara mendalam dan melakukan meditasi secara berarti.

Kita semua tahu bahwa acapkali kotbah-kotbah hanyalah bersifat hafalan dan kualitasnya benar-benar parah. Tidak ada pemikiran, komentar ataupun penafsiran yang orisinil dalam diskusi maupun dalam tulisan. Penekanannya di banyak vihara hanyalah pada ritual dan hari besar keagamaan yang ditujukan Kita semua tahu bahwa acapkali kotbah-kotbah hanyalah bersifat hafalan dan kualitasnya benar-benar parah. Tidak ada pemikiran, komentar ataupun penafsiran yang orisinil dalam diskusi maupun dalam tulisan. Penekanannya di banyak vihara hanyalah pada ritual dan hari besar keagamaan yang ditujukan

Semua omong kosong ini melibatkan vihara-vihara dalam sebuah pemburuan para pelanggan yang tak henti-hentinya. Ada sebuah usaha yang terus menerus untuk mencari orang-orang kaya dan para pendukung yang secara sosial-politik adalah orang terkemuka yang bila mereka terhubungkan dengan vihara, maka vihara tersebut akan semakin memperoleh kemuliaannya dan para pendukungnya akan memperoleh lebih banyak ‘pahala.’

Ada sebuah ketakpedulian yang tragis terhadap kebutuhan-kebutuhan religius anggota masyarakat dimana vihara tersebut berada; sedangkan, para pendukung berupa orang terkemuka terus dicari kemana-mana. Ini merupakan sebuah kontras yang jelas sangat menyedihkan bila dibandingkan dengan gereja-gereja Kristen yang dengan tekun melayani masing-masing jemaatnya.

Tim-tim manajemen vihara kita hanyalah merupakan organisasi-organisasi yang jinak yang hanya memikirkan bagaimana memperjuangkan lebih Tim-tim manajemen vihara kita hanyalah merupakan organisasi-organisasi yang jinak yang hanya memikirkan bagaimana memperjuangkan lebih

Ada lagi ciri-ciri tragikomedi lainnya yaitu kehausan Sangha Sinhala untuk ‘dihormati.’ Setiap sudut dan celah menyombongkan seorang Mahanayaka atau Anunayaka yang gemar untuk difoto atau disiarkan dalam televisi karena menerima lencana jabatannya dari seorang politisi yang integritasnya diragukan dan ketenarannya pun sementara. Fenomena yang lainnya adalah bahwa para Bhikkhu Sinhala ekspatriat yang di ‘lantik’ dengan publisitas yang hebat sebagai Mahanayaka dari sebuah negara non-Buddhis yang letaknya jauh sekali. Kesombongan mereka itu sangatlah tragikomedi dan itu melambangkan kemerosotan dari nilai-nilai Buddhis Sinhala yang sederhana.

Kami umat Buddhis Sinhala hampir selalu mengabaikan isu kasta yang terletak pada akar permasalahan dari kemerosotan Sangha Sinhala itu. Hal ini merupakan sebuah lelucon yang tragis sekali karena tidak ada organisasi apapun di Sri Lanka yang dikuasai oleh sistim kasta seperti Sangha Sinhala.

Setiap kasta menyombongkan Nikaya atau sub- Nikayanya masing-masing. Tidak ada seorangpun dari sebuah ‘kasta’ luar yang dapat menyusup ke dalam hirarki tersebut. Mereka acapkali diberikan gelar-gelar tak bernilai yang mentereng dan yang tidak memiliki kewenangan apapun.

Namun, mereka menutup sebelah mata terhadap orang kulit putih yang mereka terima dengan tangan terbuka dalam setiap Nikaya. Sangatlah menyakitkan hati melihat ‘Mahanayaka’ kita menerima kemuliaan yang sementara itu ketika mereka diminta oleh para VIP yang akan segera menduduki jabatan baru untuk memberikan ‘pemberkahan.’

Akibat-akibat yang tragis dari proliferasi Nikaya- nikaya yang disusupi sistim kasta tersebut adalah hilangnya disiplin atau ketidaksiapan total untuk menerapkan disiplin terhadap Bhikkhu-Bhikkhu yang menyimpang dari Nikaya-nikaya yang mentahbiskan mereka. Surat-surat kabar mencengangkan kita dengan laporan-laporan mengenai para ‘Bhikkhu’ yang terbukti bersalah karena melakukan penyerangan, pemerkosaan, pembunuhan, penipuan finansial dan mabuk-mabukan.

Tidak ada satu pun dari para pelaku pelanggaran Tidak ada satu pun dari para pelaku pelanggaran

Politik telah menjadi kutukan dalam Sangha Sinhala. Para anggota Sangha muncul di podium- podium politik dan tempat-tempat lain dimana, di belakang penyamaran untuk ‘menyelamatkan agama Buddha’, mereka terlibat dalam komunalisme yang paling jahat. Bagi kebanyakan mereka, agama Buddha berada jauh sekali di belakang ke-Sinhala-an mereka. Para ‘Bhikkhu’ secara hiruk-pikuk menyokongi berbagai partai politik—masing-masing mengklaim melindungi suku Sinhala lebih baik daripada lawan-lawannya. Seruan Buddha untuk menunjukkan cinta kasih kepada semua mahluk tampak tidak menjangkau orang-orang non-Sinhala di Sri Lanka—kalau kita mendengar para ‘Bhikkhu aktivis’ kita.

Hari ini para pemuda Buddhis kita terhanyutkan tanpa kemudi ke dalam abad ke-21 tanpa bimbingan yang cerdas dari Sangha. Kita sungguh-sungguh membutuhkan sebuah kelompok Bhikkhu yang berpendidikan dan terlatih dalam pemikiran modern agar mereka dapat memberikan bimbingan Buddhis kepada para kawula muda yang dewasa ini yang dilanda beribu-ribu godaan kehidupan modern. Itulah yang kita butuhkan—bukan vihara-vihara yang lebih besar, lebih mewah dan lebih berisik.

Inilah tantangan utama yang harus dihadapi oleh Sangha Sinhala. Janganlah kita menipu diri sendiri karena visibilitas yang tinggi dari sekolah-sekolah minggu yang dipadati oleh anak-anak laki-laki dan perempuan yang berpakaian putih-putih. Mereka itu adalah korban tak berdosa dari para guru yang kurang persiapan dan tak bersemangat yang hanya mengulang-ulang bahasa klise yang baik-baik dan menjejali semua itu kepada mereka untuk kompetisi ujian-ujian akademik tentang Dhamma.

Kita harus ingat bahwa para pemberontak pada tahun 1971 tersebut juga mengaku, ketika diinterogasi, bahwa mereka semuanya pergi ke Kita harus ingat bahwa para pemberontak pada tahun 1971 tersebut juga mengaku, ketika diinterogasi, bahwa mereka semuanya pergi ke

Sebuah omelan terakhir terhadap organisasi Buddhis terkemuka kita yang telah mengeras menjadi tempat-tempat singgah untuk para pensiunan lansia. Tidak ada umat Buddhis muda yang memperlihatkan minat untuk mengambil kedudukan-kedudukan yang sudah beku itu. Beberapa dekade yang lalu, memang ada organisasi yang aktif dan efektif seperti yang dipimpin oleh Anagarika Dhammapala, Baron Jayatillala dan G. P. Malalasekera pada masa muda mereka dahulu.

Kita membutuhkan semua cendekiawan Buddhis muda yang dapat kita peroleh untuk memimpin masyarakat sekali lagi dan berjuang mengembalikan Sangha yang telah merosot itu kepada wujudnya yang suci semula. Tetapi apakah organisasi-organisasi ini dan panitia-panitia Sangha yang sayangnya sangat terbatas itu berfikiran cukup terbuka?

Bila mereka tidak mereformasi diri supaya Bila mereka tidak mereformasi diri supaya

Sebagai kesimpulan, izinkanlah saya mencoba menjawab pertanyaan di awal tulisan ini—‘Mengapa Saya Menjadi Seorang Buddhis?’ Jawabannya adalah karena saya meyakini kebenaran Buddha Dhamma; dan, sebagai orang Sinhala, saya terkait dengan agama Buddha dan leluhur kami yang pertama sekali memeluk agama Buddha lebih 2300 tahun yang lalu. Harapan saya yang sungguh-sungguh adalah agar kita akan menjauhkan diri kita dari segala sampah yang melekat pada praktek agama Buddha di Sri Lanka dan agar supaya Dhamma yang murni itu dapat mengantarkan negara kita ke milenia yang akan datang. (hbs)