Ekses dan pemborosan

Ekses dan pemborosan

Di negara-negara Theravada, sumber-sumber dana yang banyak itu kiranya dihabiskan secara umum untuk kepentingan-kepentingan agama dan, secara khusus, untuk Sangha. Kitab Mahavamsa mencatat dengan pujian bahwa selama pemerintahan Raja Udaya selama tujuh tahun, sang raja telah menghabiskan 1,300,000 keping emas untuk keperluan Sangha dan upacara-upacara keagamaan lainnya. Nissankamalla menghabiskan sebanyak 4,700,000 keping emas hanya untuk melaksanakan dua upacara keagamaan di sebuah vihara tertentu.

Pemborosan seperti itu acapkali disebutkan dalam sejarah keviharaan sebagai bukti dari rasa bakti seorang raja; dan, sekaligus, sebagai sebuah himbauan untuk para raja berikutnya supaya melakukan yang lebih dan lebih lagi dibandingkan dengan raja pendahulu mereka.

Pagoda Shwedagon di Rangoon dilapisi dengan lebih dari enam puluh ton emas dan dimahkotai dengan sebuah payung yang dihiasi dengan ribuan berlian dan batu-batuan berharga lainnya. Semua ini ditambah lagi dengan sebuah berlian raksasa yang tujuh puluh enam karat. Setiap tahun bagian yang lebih rendah dari pagoda tersebut dan juga tempat- tempat persembahan lainnya dilapisi dengan dua puluh delapan ribu lembar daun emas. Hasil dari semua ini adalah mereka berhasil menciptakan salah satu monumen keagamaan yang paling indah untuk dipandang dimananpun juga.

Namun demikian, orang terus berfikir apakah Buddha, yang menolak bahkan untuk menyentuh emas, tidak merasa lebih senang dihargai apabila keberlimpahan kekayaan tersebut dipakai untuk membantu meringankan kemiskinan negara Burma yang mengerikan itu. Spiro memberikan taksiran Namun demikian, orang terus berfikir apakah Buddha, yang menolak bahkan untuk menyentuh emas, tidak merasa lebih senang dihargai apabila keberlimpahan kekayaan tersebut dipakai untuk membantu meringankan kemiskinan negara Burma yang mengerikan itu. Spiro memberikan taksiran

Tetapi, masalahnya bukanlah bahwa para Bhikkhu mendapatkan demikian banyak, melainkan bahwa apa yang diberikan kepada mereka pun hilang percuma.

Di Sri Lanka, ketika para Bhikkhu sedang makan, umat awam akan datang untuk melihat apakah para Bhikkhu itu memerlukan tambahan makanan lagi. Yang khas sekali adalah bahwa para Bhikkhu tersebut membiarkan makanan terus-menerus ditambahkan ke atas piring mereka; sehingga, setelah mereka usai makan, jumlah makanan yang bersisa sama saja banyaknya dengan makanan yang baru saja mereka konsumsi.

Sewaktu piring-piring dikumpulkan setelah para Bhikkhu selesai makan, di atas piring-piring itu masih terdapat potongan-potongan kue/keik yang bagian atasnya yang manis saja yang telah dimakan, dan buah-buah apel dengan bekas satu atau dua gigitan saja, serta biskuit-biskuit yang baru setengahnya saja Sewaktu piring-piring dikumpulkan setelah para Bhikkhu selesai makan, di atas piring-piring itu masih terdapat potongan-potongan kue/keik yang bagian atasnya yang manis saja yang telah dimakan, dan buah-buah apel dengan bekas satu atau dua gigitan saja, serta biskuit-biskuit yang baru setengahnya saja

Saya pernah melihat para Bhikkhu Theravada dari Bangladesh, sebuah negara dimana kelaparan dan kekurangan gizi begitu merajalelanya, melakukan hal yang persis sama. Karena selalu ada kepastian bahwa mereka akan diberikan lagi makanan yang selengkapnya pada keesokan harinya, dan mereka pun tidak harus membayar sepeser pun untuk makanan itu, maka mereka tidak peduli. Bila orang menawarkan anda sabun atau handuk, anda bisa saja mengatakan dengan sopan bahwa anda telah punya lebih dari yang anda butuhkan; tetapi, itu tidak akan ada bedanya. Mereka tetap akan memaksa agar para Bhikkhu menerima pemberian-pemberian mereka itu.

Sering saya melakukan percakapan yang bunyinya kira-kira seperti ini: ‘Bhante, apakah Bhante ingin minum kopi?’ ‘Tidak. Terima kasih.’ ‘Kopi?’ ‘Tidak. Terima kasih.’ ‘Kalau begitu, apakah Bhante ingin jus buah barangkali?’ ‘Tidak. Jangan sekarang. Mungkin nanti.’ ‘Kalau begitu, bagaimana kalau segelas Milo?’ ‘Tidak.’ ‘Lalu, bolehkah saya bawakan air mineral?’ dst. dst.

Pengunjung vihara yang pertama akan melakukan Pengunjung vihara yang pertama akan melakukan

Tradisi Theravada menganjurkan agar kita memberikan dalam jumlah banyak kepada Sangha dan juga bagaimana serta apa yang seharusnya diberikan. Semakin mewah pemberiannya atau semakin sulit pemberiannya, semakin besar pula rasa bakti yang diperlihatkan dan semakin besar pahala karma yang akan diterimanya.

Anjuran untuk memberikan secara berlebihan kepada Sangha telah ada diperkenalkan pada saat Vinaya itu ditulis. Kita diberitahu bahwa ada beberapa orang yang ‘tidak makan makanan padat yang lezat maupun minum, mereka tidak memberikannya kepada orang tua mereka, tidak pula kepada istri dan anak-anak mereka, tidak kepada pelayan atau budak mereka, tidak kepada teman ataupun kolega mereka dan mereka tidak Anjuran untuk memberikan secara berlebihan kepada Sangha telah ada diperkenalkan pada saat Vinaya itu ditulis. Kita diberitahu bahwa ada beberapa orang yang ‘tidak makan makanan padat yang lezat maupun minum, mereka tidak memberikannya kepada orang tua mereka, tidak pula kepada istri dan anak-anak mereka, tidak kepada pelayan atau budak mereka, tidak kepada teman ataupun kolega mereka dan mereka tidak

Kita juga diberitahu bahwa ketika sedang terjadi wabah kelaparan di Vesali, orang-orang sengaja tidak memberi makan pada anak-anak mereka sehingga mereka dapat memberikan makanan tersebut kepada para Bhikkhu (Vin. I, 86-7).

Dalam komenteri-komenteri dan teks-teks Theravada yang kemudian, ide tersebut muncul dalam bentuk yang paling memalukan dan paling mementingkan diri sendiri.

Ada sebuah kisah tentang seorang laki-laki bernama Darubhandaka Mahatissa yang menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak supaya ia dapat membelikan makanan mewah untuk para Bhikkhu. Setelah bekerja selama setengah tahun, ia dapat mengumpulkan cukup uang untuk menebus anak perempuannya itu. Tetapi, begitu ia akan melakukannya, ia melihat seorang Bhikkhu yang hampir telat untuk makan sebelum tengah hari, dan maka ia menghabiskan semua uangnya itu untuk Ada sebuah kisah tentang seorang laki-laki bernama Darubhandaka Mahatissa yang menjual anak perempuannya untuk dijadikan budak supaya ia dapat membelikan makanan mewah untuk para Bhikkhu. Setelah bekerja selama setengah tahun, ia dapat mengumpulkan cukup uang untuk menebus anak perempuannya itu. Tetapi, begitu ia akan melakukannya, ia melihat seorang Bhikkhu yang hampir telat untuk makan sebelum tengah hari, dan maka ia menghabiskan semua uangnya itu untuk

Teks tersebut kemudian menggambarkan istana surgawi yang menakjubkan sebagai tempat kelahiran perempuan tersebut nanti setelah ia mati kelaparan dalam kehidupan ini.

Coba bandingkan kisah terakhir ini dengan kisah Rukmavati dari sebuah kitab Mahayana berjudul Avadanakalpalata. Rukmavati terkenal karena welas asihnya pada orang miskin. Suatu hari ia melihat seorang perempuan yang sangkin laparnya sehingga ia siap untuk segera melahap anaknya sendiri. Rukmavati bingung mengenai apa yang harus Coba bandingkan kisah terakhir ini dengan kisah Rukmavati dari sebuah kitab Mahayana berjudul Avadanakalpalata. Rukmavati terkenal karena welas asihnya pada orang miskin. Suatu hari ia melihat seorang perempuan yang sangkin laparnya sehingga ia siap untuk segera melahap anaknya sendiri. Rukmavati bingung mengenai apa yang harus

Kedua kisah di atas secara sempurna memberikan contoh mengenai kepedulian yang berbeda yang diajarkan dalam Theravada dan Mahayana.

Kisah-kisah seperti laki-laki yang menjual anak perempuannya itu, yang tentunya banyak sekali, tidaklah pernah dilengkapi dengan sebuah penjelasan bahwa apa yang dilakukan disana sangatlah ekstrim; atau, bahwa para Bhikkhu tidaklah menganjurkan rasa bakti yang salah arah tersebut. Sebaliknya, sifat seperti itu pula yang ditinggikan dan dijadikan sebuah contoh yang ideal.

Tentu, semua ini tidak berarti bahwa ada orang yang, demi berdana kepada Sangha, benar-benar menjual anak-anak mereka dan tidak memberikan mereka makanan apapun. Tetapi, jelas sekali bahwa Tentu, semua ini tidak berarti bahwa ada orang yang, demi berdana kepada Sangha, benar-benar menjual anak-anak mereka dan tidak memberikan mereka makanan apapun. Tetapi, jelas sekali bahwa

Di Singapura dan Malaysia dewasa ini, sangatlah populer sekali mengundang para Bhikkhu dalam jumlah besar dari luar negeri semata-mata agar mereka menerima dana. Kadang-kadang sebanyak seratus orang Bhikkhu diterbangkan dari Thailand atau Sri Lanka supaya orang-orang dapat memberikan dana makanan kepada para Bhikkhu. Biaya tiket dan biaya akomodasi serta biaya lain-lainnya untuk menjaga para Bhikkhu tersebut selama beberapa hari lamanya dapat mencapai $1000 atau lebih untuk setiap Bhikkhunya.

Pemborosan yang dilakukan demi Sangha sangatlah lumrah; dan, ini menggambarkan bahwa kemurahan hati, sebagaimana diajarkan dalam tradisi Theravada, agaknya berbeda dari dugaan kebanyakan orang. Biasanya kita memberi dan berbagi untuk alasan-alasan yang berbeda, tetapi yang paling umum adalah untuk memenuhi kebutuhan yang spesifik dari si pemberi dana. Tetapi, hal ini tidaklah begitu penting bagi para penganut Theravada.

Suatu ketika saya diundang untuk tinggal beberapa Suatu ketika saya diundang untuk tinggal beberapa

Dalam kunjungan saya yang terakhir di Burma, saya tinggal di sebuah vihara; dan, di ruangan yang luas dimana Bhikkhu kepala berbicara dengan para pengunjung vihara, ada terdapat tujuh puluh empat buah jam dinding yang tergantung di dinding! Saya tak perlu mengatakan bahwa, karena ini adalah sebuah vihara Theravada, kebanyakan dari jam-jam tersebut menunjukkan waktu yang berbeda.

Saya mengenal sekelompok Bhikkhu dari Burma Saya mengenal sekelompok Bhikkhu dari Burma

Saya juga tahu bahwa apa yang dibutuhkan oleh para Bhikkhu di Burma sebenarnya bukanlah jubah, karena para umat selalu saja memberikan kepada para Bhikkhu itu banyak jubah. Lemari-lemari pakaian dan gudang-gudang di vihara-vihara biasanya penuh dengan jubah-jubah tersebut. Jadi, ketika para Bhikkhu di Burma menerima jubah-jubah yang sudah melakukan perjalanan cukup jauh itu, saya curiga keras bahwa mereka pasti menjualnya ke took-toko jubah—ini adalah sebuah cara yang lazim untuk Saya juga tahu bahwa apa yang dibutuhkan oleh para Bhikkhu di Burma sebenarnya bukanlah jubah, karena para umat selalu saja memberikan kepada para Bhikkhu itu banyak jubah. Lemari-lemari pakaian dan gudang-gudang di vihara-vihara biasanya penuh dengan jubah-jubah tersebut. Jadi, ketika para Bhikkhu di Burma menerima jubah-jubah yang sudah melakukan perjalanan cukup jauh itu, saya curiga keras bahwa mereka pasti menjualnya ke took-toko jubah—ini adalah sebuah cara yang lazim untuk

Saya pernah menyaksikan seorang Bhikkhu Thailand yang diyakini masyarakat setempat sebagai seorang arahat yang tengah melakukan Pindapata. Beberapa ribu orang berdiri dalam dua barisan yang berhadap-hadapan ketika ia berjalan di antara mereka dan menerima pemberian makanan dari mereka. Ketika mangkuk Pindapatanya sudah penuh, ia akan mengosongkannya ke dalam kotak-kotak kardus besar yang dibawa oleh para pendampingnya. Bhikkhu tersebut melakukannya berulang-ulang dan pada akhir ‘Pindapata’ tersebut terdapat dua ratus kotak kardus yang penuh berisi makanan. Saya diberitahu bahwa sebagian dari makanan ini akan diberikan kepada fakir miskin dan mungkin sekali memang demikian. Orang ramai juga memakan sebagian dari makanan itu, tetapi karena makanan tersebut telah diremas- remas, menjadi layu, dan telah diaduk-aduk menjadi semacam bubur yang sangat tidak membangkitkan selera makan lagi, maka akhirnya makanan itu pun dibuang begitu saja.

Pemborosan makanan bukanlah hal yang baik—ia memperlihatkan ketakpedulian dan kurangnya rasa hormat kepada kedua-duanya masyarakat dan linkungan. Tetapi, di Sri Lanka, Burma, Laos dan Cambodia—yang termasuk negara-negara paling miskin di dunia—memboroskan makanan itu benar- benar sebuah kejahatan. Mengapa orang masih saja memberikan kepada para Bhikkhu walaupun para Bhikkhu itu telah memiliki lebih dari yang mereka sanggup manfaatkan? Mengapa kemurahan hati kepada orang-orang yang membutuhkan, bila kemurahan hati itu benar-benar ada, bukan sesuatu yang dipikirkan dengan hati-hati sekali? Mengapa kemurahan hati dalam Theravada itu mengakibatkan begitu banyak pemborosan?

Bab keempat dalam buku The Teachings of the Buddha (Ajaran-ajaran Buddha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Burma sebagai buku teks untuk mengajarkan agama Buddha Theravada diberi judul Dispensing Charity (Menyalurkan Kemurahan Hati). Di dalamnya, kemurahan hati dijelaskan secara eksklusif sebagai memberikan kepada Sangha atau memberikan persembahan kepada patung Buddha. Tidak ada sedikitpun isyarat di dalamnya yang Bab keempat dalam buku The Teachings of the Buddha (Ajaran-ajaran Buddha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Burma sebagai buku teks untuk mengajarkan agama Buddha Theravada diberi judul Dispensing Charity (Menyalurkan Kemurahan Hati). Di dalamnya, kemurahan hati dijelaskan secara eksklusif sebagai memberikan kepada Sangha atau memberikan persembahan kepada patung Buddha. Tidak ada sedikitpun isyarat di dalamnya yang

Sebuah buku yang baru saja saya baca berjudul A Course in Basic Buddhism (Sebuah Kursus Agama Buddha Dasar) yang diterbitkan oleh the Klang and Coast Buddhist Society di Malaysia menyoroti secara lebih baik lagi karakteristik dari kemurahan hati sebagaimana diajarkan dalam Theravada.

Dalam bab mengenai Dana, ada bagian-bagian yang menjelaskan arti dari Sanghika Dana, waktu yang tepat untuk berdana kepada para Bhikkhu, cara yang benar untuk memberikan persembahan dan, tentu saja, juga tentang ‘kekayaan berlimpah, harta benda dan kemakmuran’ yang akan diterima seseorang bila telah berdana kepada para Bhikkhu. Tidak ada disebutkan sama sekali tentang kemurahan hati terhadap sesama kecuali kepada para Bhikkhu.

Bab mengenai Sepuluh Perbuatan Berpahala memberikan sepuluh contoh kemurahan hati. Delapan di antaranya berkaitan dengan berdana kepada para Bhikkhu atau vihara; sedangkan, hanya satu saja— yakni, mendonorkan organ tubuh seseorang setelah Bab mengenai Sepuluh Perbuatan Berpahala memberikan sepuluh contoh kemurahan hati. Delapan di antaranya berkaitan dengan berdana kepada para Bhikkhu atau vihara; sedangkan, hanya satu saja— yakni, mendonorkan organ tubuh seseorang setelah

Pada halaman 48 buku tersebut, terdapat sebuah diagram yang bermanfaat yang mencantumkan daftar keempat belas penerima dana beserta jumlah pahala karma baik yang akan diperoleh seseorang bila berdana kepada setiap penerima dana itu. Pahala paling kecil yang terdapat di bawah daftar tersebut dapat diperoleh dengan berdana kepada hewan. Persis setingkat di atasnya adalah pahala yang diperoleh dengan berdana kepada kaum fakir miskin. Namun, jumlah pahala karma yang akan diperoleh dengan berdana kepada mereka-mereka yang telah mencapai salah satu dari empat tingkat kesucian (yang dalam tradisi Theravada hal ini hampir selalu berarti para Bhikkhu saja) sungguh ‘tak terhingga.’ Jadi, jelaslah disini bahwa hanya orang bodoh saja yang ingin bersusah-payah berdana kepada hewan ataupun memberi bantuan kepada kaum fakir miskin. Oleh karena itu, para penganut Theravada jarang sekali mau melakukan ini.

Pada halaman 55 dari buku ini, ada dua kalimat— saya ulangi, ada dua kalimat saja—yang mengusulkan Pada halaman 55 dari buku ini, ada dua kalimat— saya ulangi, ada dua kalimat saja—yang mengusulkan

Saya mempunyai sebuah buklet yang ditulis oleh seorang guru meditasi Thailand yang sangat dihormati bernama Phra Panyapatipo. Penulis tersebut sangatlah jujur tentang tujuan penulisan bukletnya itu yang diberi judul How to Get Good Results from Doing Merit (Bagaimana Memperoleh Pahala dengan Melakukan Kebajikan).

Phra Panyapatipo mengatakan bahwa bila anda memberi dana makanan kepada para Bhikkhu, maka anda akan memiliki kesehatan dalam kehidupan anda berikutnya. Bila anda memberikan mereka lilin atau lampu senter, maka anda akan memiliki penglihatan yang baik; dan, bila anda menghadiahkan patung Buddha, maka anda akan menjadi secantik patung Buddha. Berilah sabun dan losion kulit untuk para Bhikkhu, maka anda akan memiliki kulit yang indah.

Berilah uang atau materi untuk membangun sebuah vihara, maka anda akan mendapatkan sebuah rumah yang cantik; sedangkan, bila anda memberikan odol dan sikat gigi, maka anda akan memiliki gigi yang baik.

Pada akhir daftar yang panjang ini, Phra Panyapatipo menambahkan bahwa bila anda membangun sebuah klinik/rumah sakit mata, maka anda akan memiliki mata yang sehat; dan, bila anda mendonorkan anggota tubuh, maka anda akan mempunyai sebuah tubuh yang sehat.

Seperti klaim-klaim yang lainnya, hal ini memang sangat simplistik sekali (walaupun sejalan dengan ajaran dalam Theravada); tetapi, setidak-tidaknya, daftar ini menyatakan bahwa kemurahan hati dapat diperluas hingga melampaui batas lingkungan Sangha —sebuah pendekatan yang kiranya agak jarang terjadi.

Theravada telah membuat salah satu perbuatan kebajikan yang semestinya paling indah itu—yakni, memberi—menjadi sebuah bentuk lain dari menerima dengan mementingkan diri sendiri. Pemberian yang penuh perhitungan ini sangat berbeda sekali dengan apa yang diajarkan dalam sutra-sutra Mahayana Theravada telah membuat salah satu perbuatan kebajikan yang semestinya paling indah itu—yakni, memberi—menjadi sebuah bentuk lain dari menerima dengan mementingkan diri sendiri. Pemberian yang penuh perhitungan ini sangat berbeda sekali dengan apa yang diajarkan dalam sutra-sutra Mahayana

Narayanapariprccha, sebagai contoh, mengatakan, ‘Yang Mulia, Bodhisatwa haruslah berfikir seperti ini, ‘saya telah mengabdikan tubuh saya ini untuk kebaikan orang lain. Apalagi dengan benda-benda materi?… saya akan melepaskan semua harta milikku untuk dimiliki mereka—tanpa penyesalan, tanpa keragu-raguan, tanpa mengharapkan pahala, tanpa membedakan siapapun, tetapi semata-mata karena kebaikan hati, karena welas asih—sehingga mahluk-mahluk ini …dapat mengenal Dhamma yang baik.’’

Harus ditekankan disini pula bahwa ketiga buku yang disebutkan di atas itu tidaklah ditulis oleh para petani sederhana yang tidak berpendidikan. Buku-buku itu pun tidaklah dimaksudkan untuk dibaca oleh orang-orang yang tidak berpendidikan seperti para petani sederhana itu. Buku-buku ini, sebaliknya, ditulis oleh para penganut tradisi Theravada yang berwawasan luas dan sangat mengetahui ajaran-ajaran ortodoks; dan, mereka semata-mata mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang telah begitu lama diuraikan dalam komenteri- Harus ditekankan disini pula bahwa ketiga buku yang disebutkan di atas itu tidaklah ditulis oleh para petani sederhana yang tidak berpendidikan. Buku-buku itu pun tidaklah dimaksudkan untuk dibaca oleh orang-orang yang tidak berpendidikan seperti para petani sederhana itu. Buku-buku ini, sebaliknya, ditulis oleh para penganut tradisi Theravada yang berwawasan luas dan sangat mengetahui ajaran-ajaran ortodoks; dan, mereka semata-mata mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang telah begitu lama diuraikan dalam komenteri-

Oleh karena itu, pemikiran-pemikiran tersebut kiranya adalah jaminan bahwa organisasi-organisasi amal akan terus-menerus mengemis dana dan bahwa vihara-vihara akan terus menjadi tempat yang jemu dan boros. Sama buruknya dengan itu, pemikiran- pemikiran tersebut pun memperlihatkan serta menguatkan kesalahfahaman yang mendalam selama ini mengenai apa sesungguhnya arti dari memberi dan berbagi itu.

Bahwa berdana seharusnya dilakukan karena semata-mata kebahagiaan untuk berbagi; bahwa berdana dilakukan semata-mata karena welas asih; serta, berdana dilakukan hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan, sangat jarang dibicarakan dalam teks-teks tradisional Theravada atau, bahkan, dalam uraian-uraian modern sekalipun. Berdana secara diam-diam atau dengan kerendahan hati juga sama jarangnya dibicarakan. Jadi, seseorang memberi semata-mata supaya ia dapat memperoleh pahala; tetapi, bila ia mendapatkan pujian dan dipuja oleh teman-teman sejawatnya, maka itu akan lebih baik Bahwa berdana seharusnya dilakukan karena semata-mata kebahagiaan untuk berbagi; bahwa berdana dilakukan semata-mata karena welas asih; serta, berdana dilakukan hanya untuk mereka yang benar-benar membutuhkan, sangat jarang dibicarakan dalam teks-teks tradisional Theravada atau, bahkan, dalam uraian-uraian modern sekalipun. Berdana secara diam-diam atau dengan kerendahan hati juga sama jarangnya dibicarakan. Jadi, seseorang memberi semata-mata supaya ia dapat memperoleh pahala; tetapi, bila ia mendapatkan pujian dan dipuja oleh teman-teman sejawatnya, maka itu akan lebih baik

Keberlimpahan yang membosankan yang terlihat di vihara-vihara, pemborosan yang tak dikira-kira, dan keanehan tentang para Bhikkhu yang meninggalkan keduniawian namun tetap saja hidup dalam kemewahan (sedangkan umat biasa hidup dalam keadaan serba kekurangan)—semua itu adalah akibat yang logis dari doktrin-doktrin Theravada yang mengajarkan bahwa orang harus terlebih dahulu memberi sebelum mereka menerima; dan, bahwa pihak yang paling pantas menerima kemurahan hati dari orang lain hanyalah Sangha.