Hamba-hamba Sangha
Hamba-hamba Sangha
Formalisme Vinaya dan pemusatan perhatian pada Sangha telah berpengaruh demikian besar dalam memperlambat welas asih sosial dan, sebagai akibatnya, turut memperlambat reformasi sosial di negara-negara Theravada. Praktek perbudakan adalah sebuah contoh yang terbaik untuk hal ini.
Buddha mengatakan bahwa pembelian dan penjualan manusia adalah cara bermata pencaharian yang salah (A.III, 207). Para Bhikkhu pun dilarang untuk menerima pemberian berupa budak-budak (D.I, 5). Penolakan terhadap perbudakan ini berlanjut sekurang-kurangnya hingga saat penyusunan Vinaya yang juga melarang para Bhikkhu mempunyai budak.
Namun, kita juga mengetahui melalui sejarah bahwa Sangha adalah institusi yang memiliki budak- budak selama berabad-abad lamanya. Prasasti Galapata yang terkenal dari Sri Lanka abad ke-12 menyinggung pemberian sebanyak sembilan puluh orang budak kepada sebuah vihara sehingga mereka Namun, kita juga mengetahui melalui sejarah bahwa Sangha adalah institusi yang memiliki budak- budak selama berabad-abad lamanya. Prasasti Galapata yang terkenal dari Sri Lanka abad ke-12 menyinggung pemberian sebanyak sembilan puluh orang budak kepada sebuah vihara sehingga mereka
Bila seseorang datang ke vihara untuk menawarkan anda seorang budak, anggap saja budak tersebut adalah ‘seorang pembantu’ dan katakanlah ‘saya menerima pembantu ini.’ Ini adalah sebuah contoh dari strategi ‘menyulap definisi-definisi’ sebagaimana juga disarankan oleh Bhikkhu Thanissaro.
Pada sebuah masa dalam sejarah Sri Lanka, membebaskan para budak memang dianggap sebuah kebajikan—sesuatu yang barangkali sudah seharusnya memang demikian. Ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh sepanjang sejarah Theravada dimana, setidak-tidak secara periodik, sejumlah Bhikkhu dan umat awam pernah secara bersungguh-sungguh mencoba mempraktekkan roh ajaran Dhamma dan mempraktekkannya dalam ranah sosial.
Namun, cukup menyedihkan pula bahwa kejadian tersebut juga merupakan sebuah contoh bagaimana upaya-upaya seperti itu akhirnya akan menemui nasib mereka. Permintaan para Bhikkhu agar diberikan perhatian dan dimanjakan, ditambah lagi dengan kotbah-kotbah mereka yang terus-menerus mengajarkan perbuatan kebajikan dengan banyak- banyak memberi kepada para Bhikkhu, memiliki makna bahwa pada abad ke-5 M, praktek manusiawi tersebut di atas telah mengalami kemunduran; sehingga, ia merosot menjadi sebuah permainan semata-mata..
Kejadiannya barangkali seperti ini. Seorang laki-laki yang kaya akan menawarkan istri-istri atau anak-anak mereka kepada para Bhikkhu sebagai ‘budak.’ Mereka akan berada di vihara sepanjang hari untuk melayani para Bhikkhu dan kemudian pada malam hari laki-laki itu akan membayar para Bhikkhu untuk membebaskan mereka. Para istri dan anak-anak tersebut akan mendapatkan pahala dengan melayani para Bhikkhu, laki-laki itu pun akan memperoleh pahala karena menawarkan dan sekaligus membebaskan ‘para budak’ tadi; dan, vihara mendapatkan uang tebusannya. Barangkali pihak Kejadiannya barangkali seperti ini. Seorang laki-laki yang kaya akan menawarkan istri-istri atau anak-anak mereka kepada para Bhikkhu sebagai ‘budak.’ Mereka akan berada di vihara sepanjang hari untuk melayani para Bhikkhu dan kemudian pada malam hari laki-laki itu akan membayar para Bhikkhu untuk membebaskan mereka. Para istri dan anak-anak tersebut akan mendapatkan pahala dengan melayani para Bhikkhu, laki-laki itu pun akan memperoleh pahala karena menawarkan dan sekaligus membebaskan ‘para budak’ tadi; dan, vihara mendapatkan uang tebusannya. Barangkali pihak
Selama dua ratus tahun, hal seperti ini menjadi semacam mode; dan, catatan-catatan sejarah memperlihatkan bahwa vihara-vihara tersebut mendapatkan penghasilan yang baik dari keadaan itu. Sementara itu, dorongan untuk benar-benar membebaskan para budak sungguhan menjadi pudar perlahan-lahan.
Di vihara-vihara di Sri Lanka, Laos dan Cambodia, budak-budak dan perbudakaan masih dapat dijumpai hingga akhirnya dihapuskan oleh para penjajah pada abad ke-19. Hal yang sama juga terjadi di Burma dimana yang disebut dengan ‘budak-budak pagoda’ sangatlah banyak dan mereka membentuk sebuah masyarakat kelas bawah berdasarkan keturunan.
Raja Chulalankhorn menghapuskan perbudakan pada akhir abad ke-19, bukan karena hal tersebut tidak sesuai dengan roh ajaran Dhamma ataupun sebagai menjawab petunjuk dari Sangha, melainkan karena adanya tekanan dari misionaris Kristen dan Raja Chulalankhorn menghapuskan perbudakan pada akhir abad ke-19, bukan karena hal tersebut tidak sesuai dengan roh ajaran Dhamma ataupun sebagai menjawab petunjuk dari Sangha, melainkan karena adanya tekanan dari misionaris Kristen dan
Sebagaimana juga terhadap banyak masalah sosial yang lain, para Bhikkhu jarang sekali angkat bicara, dengan menggunakan pengaruh mereka yang cukup besar ataupun karena rasa simpati, dan memprotes kekejaman-kekejaman terhadap mereka-mereka yang tak beruntung. Para apologis Theravada akan mengatakan bahwa para Bhikkhu memang tidaklah dimaksudkan untuk terlibat dalam masalah-masalah sosial. Namun, seperti diperlihatkan oleh sejarah, para Bhikkhu ternyata cukup bersedia melibatkan diri dalam hal perbudakan sepanjang hal tersebut sesuai dengan keinginan mereka—kendatipun perbudakan sangat bertentangan dengan semangat ajaran Dhamma dan perintah-perintah yang secara spesifik diberikan oleh Buddha. Masih banyak contoh-contoh yang sejenis mengenai hal ini yang dapat diberikan.