Pembenaran untuk Vinaya

Pembenaran untuk Vinaya

Bhikkhu Thanissaro dan para fundamentalis Theravada lainnya mengklaim bahwa pelaksanaan Vinaya yang ketat dapat membantu menciptakan keharmonisan dalam Sangha. Tetapi, tidak ada banyak bukti historis yang dapat membenarkan klaim ini. Buku Thanissaro memuat banyak kalimat yang berbunyi seperti, ‘Pada titik-titik dimana komenteri- Bhikkhu Thanissaro dan para fundamentalis Theravada lainnya mengklaim bahwa pelaksanaan Vinaya yang ketat dapat membantu menciptakan keharmonisan dalam Sangha. Tetapi, tidak ada banyak bukti historis yang dapat membenarkan klaim ini. Buku Thanissaro memuat banyak kalimat yang berbunyi seperti, ‘Pada titik-titik dimana komenteri-

Tentu saja bagi mereka yang telah menjadikan Dhamma sebagai satu-satunya hal yang utama dalam hidup mereka, perbedaan-perbedaan dan kontradiksi- kontradiksi menyangkut aturan-aturan kecil tidak akan menjadi masalah sama sekali. Tetapi orang- orang yang suka sekali mempersoalkan hal-hal yang kecil-kecil dan yang teramat sangat telitinya dapat saja membesar-besarkan masalah yang hanya sekepal itu dan, kemudian, menjadikannya sebuah gunung yang sesungguhnya; dan, itulah kiranya yang biasa dilakukan oleh para penganut tradisi Theravada.

Kebanyakan perpecahan yang terjadi di dalam Sangha Theravada disebabkan karena pertengkaran- pertengkaran yang berkaitan dengan aspek-aspek

Vinaya. Pertengkaran-pertengkaran ini secara khas menyangkut hal-hal yang yang luar biasa sepelenya. Beberapa di antaranya telah terjadi berlarut-larut selama berabad-abad lamanya dan mereka sering menimbulkan pertengkaran yang hebat, kebencian dan, bahkan, kekerasan.

Bhikkhu Thanissaro mengatakannya dengan benar bahwa, ‘Karena alasan tertentu, kendatipun orang cenderung sangat toleran terhadap penafsiran- penafsiran tentang Dhamma yang berbeda, mereka dapat pula menjadi sangat tidak toleran mengenai penafsiran-penafsiran mengenai Vinaya dan dapat bertengkar dengan hebat mengenai isu-isu yang yang sangat tak berarti ….’

Karena suatu alasan tertentu, orang dapat memperlakukan aturan-aturan yang sifatnya sementara—karena dimaksudkan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan tertentu—tetapi mengatakan bahwa aturan-aturan tersebut adalah perintah Buddha sendiri serta menjadikannya aturan- aturan yang mutlak secara moral. Mereka kemudian mengklaim bahwa kepatuhan pada aturan tersebut sangatlah penting untuk pencapaian pencerahan. Karena hal inilah, pertikaian pun hampir-hampir tak Karena suatu alasan tertentu, orang dapat memperlakukan aturan-aturan yang sifatnya sementara—karena dimaksudkan untuk menyelesaikan sebuah permasalahan tertentu—tetapi mengatakan bahwa aturan-aturan tersebut adalah perintah Buddha sendiri serta menjadikannya aturan- aturan yang mutlak secara moral. Mereka kemudian mengklaim bahwa kepatuhan pada aturan tersebut sangatlah penting untuk pencapaian pencerahan. Karena hal inilah, pertikaian pun hampir-hampir tak

Pertengkaran Ekamsika Parupanu (Satu Bahu Dua Bahu) pada abad ke-18 mengenai cara yang benar dalam memakai jubah berlangsung hingga lebih seratus tahun. Pertengkaran Adhikamasa Vadaya di Sri Lanka pada abad ke-19 yang akhirnya melibatkan petinggi-petinggi dalam organisasi Sangha di Burma dan Thailand berkaitan dengan sepotong kayu yang membuat sebuah bangunan sima menjadi tidak sah.

Persengketaan ini memanas hingga tiga puluh tahun dan, akhirnya, terselesaikan.

Percekcokan yang lain, yang akhirnya mengoyak- ngoyak Sangha Sri Lanka, terjadi karena ketidaksetujuan mengenai, antara lain, cara yang tepat untuk mempersembahkan makanan kepada para Bhikkhu.

Pada tahun 1914, sebagai bagian dari sebuah upaya yang gigih untuk mempersatukan Sangha di Thailand, pemerintah Thailand membangun sebuah vihara dimana para Bhikkhu dari kedua sekte yang ada dapat hidup bersama sebagai ‘sebuah contoh persatuan dan keharmonisan.’ Namun, sebagaimana kebiasaan yang berlaku, percekcokan yang tak berkesudahan mengenai Vinaya segera mengakhiri ikhtiar tersebut.

Pola kejadian yang sama terjadi kembali berulang kali dalam sejarah tradisi Theravada. Ada yang memberi tahu saya bahwa para murid seorang guru terkenal asal Thailand yang dewasa ini sangat populer di Barat suatu ketika bahkan menolak untuk mengikuti acara yang dihadiri raja, bila mereka tidak didudukkan secara terpisah dari para Bhikkhu yang mempraktekkan Vinaya dengan cara yang sedikit berbeda.

Seperti dikatakan oleh Bhikkhu Thanissaro, pembenaran lainnya terhadap fundamentalisme atas Vinaya adalah bahwa ia dapat ‘membantu mengembangkan hidup berkesadaran dan kehati- hatian dalam perbuatan-perbuatan mereka, kualitas- kualitas yang akan terbawa ke dalam pelatihan hati dan pikiran.’ Klaimnya disini adalah bahwa aturan- aturan tersebut dapat membuat seseorang menjadi lebih berkesadaran atau bahwa aturan-aturan itu dapat merupakan meditasi itu dengan sendirinya. Ini memang benar tetapi adalah juga benar bahwa seseorang dapat saja membalikkan beberapa aturan atau memiliki aturan yang sama sekali berbeda; dan, aturan-aturan tersebut dapat saja sama kondusifnya terhadap pencapaian hidup berkesadaran (mindfulness). Intinya disini adalah hidup berkesadaran itu sendiri, bukan objek ataupun prilaku yang dijadikan seseorang sebagai sasaran dari hidup berkesadaran tersebut.

Tetapi, aturan-aturan tersebut dapat saja dijalankan dengan kelewat kritisnya sehingga seluruh perhatian tertumpu pada bentuk luaran saja dan tidak pada transformasi di dalam diri kita. Pada kenyataannya, ini pula yang acapkali terjadi. Beberapa orang Tetapi, aturan-aturan tersebut dapat saja dijalankan dengan kelewat kritisnya sehingga seluruh perhatian tertumpu pada bentuk luaran saja dan tidak pada transformasi di dalam diri kita. Pada kenyataannya, ini pula yang acapkali terjadi. Beberapa orang

tinggal bersama Bhikkhu-Bhikkhu yang fundamentalis akan mengetahui betapa tidak benarnya hal ini.

Suatu hari saya pernah tinggal sekamar dengan seorang Bhikkhu dari Australia yang sangat keras menjalankan Vinaya. Suatu hari saya memasuki kamar dan mendapati ia dalam keadaan jauh lebih muram daripada biasanya. ‘Ada apa?’ saya bertanya. ‘Saya telah menjadi tidak suci selama setahun karena tidak mengakuinya,’ begitu katanya. ‘Aturan yang manakah yang telah kamu langgar?’ saya bertanya. ‘Nissaggiya Pacittiya 18,’ ia menjawab; yakni, aturan yang melarang para Bhikkhu menyentuh emas atau perak; yaitu, uang. Pengakuannya ini mengejutkan saya karena saya tahu bahwa ia benar-benar keras Suatu hari saya pernah tinggal sekamar dengan seorang Bhikkhu dari Australia yang sangat keras menjalankan Vinaya. Suatu hari saya memasuki kamar dan mendapati ia dalam keadaan jauh lebih muram daripada biasanya. ‘Ada apa?’ saya bertanya. ‘Saya telah menjadi tidak suci selama setahun karena tidak mengakuinya,’ begitu katanya. ‘Aturan yang manakah yang telah kamu langgar?’ saya bertanya. ‘Nissaggiya Pacittiya 18,’ ia menjawab; yakni, aturan yang melarang para Bhikkhu menyentuh emas atau perak; yaitu, uang. Pengakuannya ini mengejutkan saya karena saya tahu bahwa ia benar-benar keras

aturan itu,’ kata saya. Ia menundukkan kepala dan mengatakan, ‘Saya telah melakukan itu sejak saya menjadi Bhikkhu.’ ‘Bagaimana? Kapan?’ Tanya saya lagi. Ia membuka mulutnya dan menunjuk pada sebuah tambalan gigi belakang yang terbuat dari emas yang tampaknya baru saja ia sadari.

Sebuah aturan Vinaya menegaskan bahwa seorang Bhikkhu tidak boleh memakai barang-barang yang menjadi milik Sangha tanpa menutupnya. Ini tampak seperti sebuah aturan yang cukup masuk akal. Tetapi, cobalah bandingkan hal itu dengan kecendrungan obsesif yang lazim di kalangan penganut Theravada; dan, ini bisa menjadi sebuah persoalan besar.

Saya mengenal seorang Bhikkhu, lagi-lagi Bhikkhu yang berasal dari Australia, yang senantiasa menderita sekali akibat aturan ini. Ia selalu tidur dengan gelisah dan, pada pagi harinya, ia bangun dan mendapati seperainya telah lepas dari tempatnya pada malam hari. Oleh karena itu, tubuhnya menyentuh tempat tidur; yakni, menyentuh barang milik Sangha. Namun, apabila ia terbangun dan tubuhnya tidak menyentuh tempat tidur secara langsung, ia tetap saja Saya mengenal seorang Bhikkhu, lagi-lagi Bhikkhu yang berasal dari Australia, yang senantiasa menderita sekali akibat aturan ini. Ia selalu tidur dengan gelisah dan, pada pagi harinya, ia bangun dan mendapati seperainya telah lepas dari tempatnya pada malam hari. Oleh karena itu, tubuhnya menyentuh tempat tidur; yakni, menyentuh barang milik Sangha. Namun, apabila ia terbangun dan tubuhnya tidak menyentuh tempat tidur secara langsung, ia tetap saja

Sedikit menyimpang dari pokok pembicaraan, saya melihat ada dua hal mengenai mereka yang bersikap amat fundamentalis terhadap Vinaya. Yang pertama adalah bahwa para fundamentalis tampaknya mempunyai tingkat kemungkinan melepas jubah yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan para Bhikkhu yang sedikit lebih ‘longgar.’ Kedua, dan ini tidak akan mengejutkan siapapun juga yang telah memahami psikologi, bila para fundamentalis itu akhirnya lepas jubah, mereka acapkali akan menjadi liar dan tak jarang bahkan meninggalkan agama Buddha sama sekali. Ini merupakan sebuah contoh dimana orang yang ekstrim terhadap sesuatu pada awalnya, akan menjadi ekstrim pula nantinya terhadap hal lain.

Kedua Bhikkhu yang disebutkan di atas itu, segera setelah mereka lepas jubah, satu di antaranya kemudian bersikap memusuhi agama Buddha dengan semangat yang berapi-api; sedangkan, yang kedua Kedua Bhikkhu yang disebutkan di atas itu, segera setelah mereka lepas jubah, satu di antaranya kemudian bersikap memusuhi agama Buddha dengan semangat yang berapi-api; sedangkan, yang kedua

Kaum fundamentalis Vinaya tampak banyak menghabiskan waktu merenungkan hal yang kecil- kecil menyangkut aturan-aturan yang tak jelas; dan, dengan gelisah, terus memandangi jam dinding serta membicarakan yang mana dari skenario hipotetis yang banyak itu yang merupakan atau tidak merupakan sebuah pelanggaran dari aturan-aturan yang ada.

Pembicaraan dapat berkisar dari topik apakah Pembicaraan dapat berkisar dari topik apakah

Lalu, ada pokok pembicaraan mengenai apakah dengan meletakkan sebuah sapu tangan di kursi dan lalu duduk di atasnya dapat membuat seorang Bhikkhu lebih tinggi daripada umat awam yang kebetulan duduk pada jenis kursi yang sama.

Saya tahu ada sebuah vihara di Eropah dimana di dapurnya terdapat dua buah toples madu; yang satu diberi label ‘Madu Pagi’ dan yang lain ‘Madu Siang.’ Alasan untuk pengaturan yang aneh ini adalah karena para Bhikkhu dilarang untuk makan makanan yang padat selepas tengah hari; tetapi, mereka diizinkan meminum madu (Nissaggiya Pacittiya 23). Ketika seorang Bhikkhu mengoleskan madu di atas rotinya pada pagi hari, serpihan roti mungkin saja ikut terjatuh ke dalam toples tersebut. Jika serpihan roti tadi termakan saat Bhikkhu tersebut minum madu pada siang harinya, maka ia akan melanggar aturan

Vinaya. Jadi, untuk menghindari perbuatan dosa tersebut itu, maka kedua toples itu harus dipisahkan.

Pengaturan-pengaturan seperti itu menandakan tingkat kekhawatiran yang tidak proporsional terhadap pentingnya aturan Vinaya dan juga terhadap ukuran serpihan roti yang barangkali secara tidak sengaja masuk ke dalam pencernaan. Jauh dari memberikan kelegaan, pelaksanaan Vinaya secara fundamentalistis tak jarang menimbulkan kecemasan, kekhawatiran, perasaan bersalah dan prilaku yang obsesif.

Sebuah lagi pembenaran lain yang diberikan terhadap pelaksanaan Vinaya secara keras adalah bahwa, dengan tidak memperbolehkan seorang Bhikkhu meminta apapun, hal ini akan membangun sikap pasrah dan menipisnya rasa keakuan. Lagi-lagi, ini bisa saja benar; namun, kebalikannya yang justru lebih sering terjadi.

Para Bhikkhu yang menjalankan Vinaya secara keras biasanya menjadi sangat ahli dalam meminta apapun yang mereka inginkan dan sekaligus memaksakannya tanpa mempedulikan apa sebenarnya yang dikatakan dalam aturan-aturan itu. Karena ada banyak cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan

—misalnya, melalui isyarat, sindiran, tatapan yang memelas, dan kerutan-keruta pada wajah—dan, seperti akan kita lihat lebih jauh di bawah ini nanti, tradisi Theravada kiranya telah mengembangkan sebuah budaya untuk mengelabui aturan-aturan tersebut.