Kehidupan keviharaan

Kehidupan keviharaan

Pada zaman dahulu, kehidupan para Bhikkhu lebih bebas, tetapi tidak terjamin. Bila seorang Bhikkhu pergi memohon makanan, ia kemungkinan akan mendapatkan makanan yang baik atau tidak mendapatkan makanan sama sekali. Kemungkinan ada orang yang menghormati para Bhikkhu, namun ada juga yang mencemoohkan para Bhikkhu itu. Pada saat yang baik, para Bhikkhu dapat melanjutkan hidupnya; tetapi, pada saat kesusahan atau ketika terjadi wabah kelaparan, dapat bertahan hidup saja sudah termasuk sebuah perjuangan yang berat. Tetapi, saat-saat seperti itu sudah lama tidak ada lagi.

Para Bhikkhu Theravada dewasa ini diberi penghormatan, perlakuan istimewa, rasa hormat dan penghargaan yang barangkali tidak pernah dapat tersaingi oleh kelompok manapun di dunia ini, kecuali beberapa raja/ratu yang masih tersisa. Dengan hanya menjadi seorang Bhikkhu saja, seseorang akan segala memenuhi persyaratan untuk mendapatkan pelayanan seperti itu. Di Burma, berjalan di atas bayangan tubuh seorang Bhikkhu pun, seseorang akan dianggap tidak menunjukkan rasa hormat.

Anggapan-anggapan seperti itu membuat kehidupan keBhikkhuan yang dulunya keras atau gaya hidup yang dulunya sederhana itu menjadi sebuah ketidakmungkinan. Para Bhikkhu Theravada dewasa ini kiranya belumlah benar-benar meninggalkan keduniawian. Mereka, sebaliknya, telah dinaikkan derajatnya ke sebuah posisi yang paling tinggi di dunia ini.

Jauh dari kehidupan keBhikkhuan sebenarnya yang keras, sebagian besar Bhikkhu hidup dalam keadaan dimanja, terjamin dan sangat menyenangkan; walaupun, hampir setiap saat, mereka tampak sedikit berpura-pura menjalani kehidupan keBhikkhuan. Kepura-puraan ini mulai, bahkan, jauh sebelum seseorang benar-benar telah ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu.

Pentahbisan untuk menjadi Bhikkhu dalam tradisi Theravada bisa menjadi sebuah urusan yang mahal. Di Thailand, serang Bhikkhu kepala hanya dapat mentahbiskan seseorang menjadi Bhikkhu kalau ia telah diberi kuasa untuk melakukannya oleh Departemen Agama Thailand; dan, setelah mendengar usulan dari Dewan Sangha. Para Bhikkhu kepala tersebut dapat memperoleh cukup banyak uang Pentahbisan untuk menjadi Bhikkhu dalam tradisi Theravada bisa menjadi sebuah urusan yang mahal. Di Thailand, serang Bhikkhu kepala hanya dapat mentahbiskan seseorang menjadi Bhikkhu kalau ia telah diberi kuasa untuk melakukannya oleh Departemen Agama Thailand; dan, setelah mendengar usulan dari Dewan Sangha. Para Bhikkhu kepala tersebut dapat memperoleh cukup banyak uang

Di Sri Lanka pada tahun 1990-an, biaya upacara pentahbisan Bhikkhu bisa sama tingginya dengan total gaji pekerja kantoran selama empat bulan. Di Burma, ada anggapan bahwa menanggung seluruh biaya pentahbisan seorang pemuda miskin, bilamana orang tuanya sendiri tak sanggup, merupakan sebuah kebajikan.

Merupakan sebuah paradoks bahwa, dalam tradisi Theravada, untuk meninggalkan keduniawiaan saja kita memerlukan biaya yang demikian besar sehingga orang-orang miskin tidak akan menyanggupinya.

Di Thailand dan Burma, semua laki-laki muda menjadi Bhikkhu sekurang-kurangnya sekali dalam hidupnya dan memiliki keinginan penuh untuk meninggalkan keBhikkhuan setelah beberapa waktu lamanya. Sikap mereka adalah, ‘Saya akan meninggalkan keduniawian untuk sementara waktu.

Maukah anda menjaga mobil saya atau menjaga pacar saya sewaktu saya pergi?’

Sebenarnya, ‘meninggalkan keduniawian secara sementara’ seperti itu merupakan sebuah penghinaan terhadap gambaran keseluruhan mengenai kehidupan seorang Bhikkhu. Pada zaman Buddha, para pertapa yang tak berpakaian juga sering meminta para murid mereka untuk menjalani pentahbisan sementara seperti itu. Mereka akan menanggalkan pakaiannya, berpura-pura meninggalkan semua harta benda, berkelakuan seperti layaknya seorang pertapa; dan, pada hari berikutnya, mereka semua kembali berpakaian dan menjalani hidup mereka kembali seperti biasa. Buddha mengatakan bahwa, kata-kata mereka bahwa mereka telah ‘meninggalkan’ keduniawiaan, tidak lebih dari sebuah kebohongan. (A.I,205).

Kalau demikian, siapapun akan dapat menjadi Bhikkhu, dengan atau tanpa keinginan yang sesungguhnya, dan memasuki suatu kehidupan yang dipenuhi oleh perlakuan-perlakuan istimewa serta berkelimpahan. Satu-satunya masalah yang mungkin dihadapinya hanyalah berkaitan dengan sebuah frustasi seksual; tetapi, ia akan mencoba untuk Kalau demikian, siapapun akan dapat menjadi Bhikkhu, dengan atau tanpa keinginan yang sesungguhnya, dan memasuki suatu kehidupan yang dipenuhi oleh perlakuan-perlakuan istimewa serta berkelimpahan. Satu-satunya masalah yang mungkin dihadapinya hanyalah berkaitan dengan sebuah frustasi seksual; tetapi, ia akan mencoba untuk

Di vihara-vihara yang lebih baik, ada banyak hal yang dapat dilakukan; seperti, menyapu halaman, melakukan Pindapata dan menghafal beberapa sutta; dan, semua ini hampir-hampir bukanlah sebuah rutinitas yang berat. Di tempat-tempat seperti di utara dan timur Sri Lanka dan di daerah pedalaman Burma, ada vihara-vihara yang agak miskin; dan, walaupun demikian, para Bhikkhu dapat hidup dengan lebih baik ketimbang umat awam disana.

Banyak vihara yang dilengkapi dengan perabotan lengkap. Banyak pula—terutama di Thailand—yang dapat dikatakan sangat mewah sekali. Di daerah terpencil, adalah lumrah bahwa vihara merupakan tempat satu-satunya dimana dapat dijumpai televisi, AC atau kipas angin, bangunannya sudah dengan semen, atap genteng, air leding, sebuah mobil dan para pelayan. Tetapi, semua ini diperoleh bukan karena kerja keras, melainkan karena ada orang yang mengenakan jubah kuning.

Baru-baru ini, saya tinggal bersama seorang Bhikkhu yang ramah sekali dari Thailand. Beliau telah saya kenal beberapa lama. Saya perhatikan Baru-baru ini, saya tinggal bersama seorang Bhikkhu yang ramah sekali dari Thailand. Beliau telah saya kenal beberapa lama. Saya perhatikan

Saya tak pernah berhenti merasa kagum melihat betapa banyak benda-benda berharga yang mampu dikumpulkan oleh para Bhikkhu Theravada; kendatipun, mereka tetap saja mengatakan bahwa mereka adalah para pertapa sederhana yang telah meninggalkan keduniawian.

Walaupun memiliki gaya hidup yang sudah benar-benar seperti perumahtangga (domesticated), para Bhikkhu tetap memakai bahasa keBhikkhuan sepanjang waktu. Tak persoalan betapa mewahnya sebuah vihara Sri Lanka adanya, vihara itu tetap saja disebut sebagai ‘pansala,’ yakni, sebuah gubuk dari Walaupun memiliki gaya hidup yang sudah benar-benar seperti perumahtangga (domesticated), para Bhikkhu tetap memakai bahasa keBhikkhuan sepanjang waktu. Tak persoalan betapa mewahnya sebuah vihara Sri Lanka adanya, vihara itu tetap saja disebut sebagai ‘pansala,’ yakni, sebuah gubuk dari

Walaupun hampir seluruh Bhikkhu di Sri Lanka dan Burma adalah pemilik yang sah atas vihara mereka dan juga lahan tanah yang mengitarinya, setiap tahun pada awal ritrit musim hujan, umat awam ‘mengundang’ para Bhikkhu untuk menetap di vihara selama tiga bulan berikutnya. Kadang-kadang, kehidupan asketik yang palsu itu sampai melampaui apa, yang oleh adat kebiasaan setempat, dianggap sebagai kekecualian; sehingga, ia menjadi benar- benar menggelikan.

Dalam satu dekade atau lebih yang lalu, telah menjadi semacam mode bagi para Bhikkhu Thailand untuk melakukan dhutanga. Dhutanga artinya ketiga belas latihan asketik yang diizinkan oleh Buddha. Seorang Bhikkhu akan meminta pendukungnya untuk membelikan semuanya—mangkuk cantik dengan semua peralatannya (termasuk dudukannya, penutupnya, tali pengikatnya, tas pembawanya, dll), payung, kelambu nyamuk dan, tentu saja, jubah Dalam satu dekade atau lebih yang lalu, telah menjadi semacam mode bagi para Bhikkhu Thailand untuk melakukan dhutanga. Dhutanga artinya ketiga belas latihan asketik yang diizinkan oleh Buddha. Seorang Bhikkhu akan meminta pendukungnya untuk membelikan semuanya—mangkuk cantik dengan semua peralatannya (termasuk dudukannya, penutupnya, tali pengikatnya, tas pembawanya, dll), payung, kelambu nyamuk dan, tentu saja, jubah

Kemudian, para pendukungnya itu akan membawa Bhikkhu itu ke sebuah taman nasional yang menyenangkan dimana ia dapat menghabiskan akhir minggu yang panjang dengan tidur-tiduran di bawah pohon atau bergaya untuk difoto; sedangkan, para pendukungnya itu berkemah di dekatnya untuk mempersiapkan makanan yang lezat bagi sang Bhikkhu.

Bhikkhu tersebut akan kembali ke viharanya dengan perasaan puas bahwa ia telah menjalankan latihan asketik; dan, para pendukungnya pun merasa yakin bahwa mereka telah mendapatkan pahala yang lebih banyak daripada biasanya dengan membantu seorang Bhikkhu pertapa. Tentu saja ada beberapa Bhikkhu dhutanga yang sungguh-sungguh di Thailand; tetapi, hingga akhir-akhir ini, mereka ini pun dilihat dengan sedikit kecurigaan.

Pada tahun 1970-an, Jane Bunnag mendapatkan bahwa para Bhikkhu tersebut ‘sering dianggap sederajat dengan para gelandangan, peminta-minta dan macam-macam orang jalanan lainnya.’

Jadi, orang Thailand ingin benar-benar yakin terlebih dahulu bahwa seseorang itu benar-benar Bhikkhu (yakni, ia mempunyai bisuthee, semacam KTP resmi untuk para Bhikkhu yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah benar-benar menjalankan upacara pentahbisan yang semestinya), sebelum mereka memberinya apapun. Bila tidak, kebajikan mereka itu tentu tidak akan menghasilkan pahala bagi diri mereka. Dan, anda tak mungkin dapat begitu saja yakin terhadap para Bhikkhu, yang berpakaian kumal dan bau keringat, yang tidak tinggal di dalam vihara. Barangkali para pertapa akhir minggu di atas adalah investasi yang jauh lebih aman lagi tentunya.

Kenyataannya adalah, walaupun mengaku sebagai pertapa dan meminta perlakuan istimewa dari masyarakat sebagai pertapa serta memakai bahasa asketisisme, kehidupan rata-rata Bhikkhu Theravada kiranya sangat sedikit sekali perbedaannya dengan rata-rata umat awam, kecuali barangkali dalam tiga hal berikut ini. Kebanyakan umat awam tidaklah selibat, sedangkan semua Bhikkhu haruslah selibat. Umat awam haruslah bekerja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sedangkan para Bhikkhu Kenyataannya adalah, walaupun mengaku sebagai pertapa dan meminta perlakuan istimewa dari masyarakat sebagai pertapa serta memakai bahasa asketisisme, kehidupan rata-rata Bhikkhu Theravada kiranya sangat sedikit sekali perbedaannya dengan rata-rata umat awam, kecuali barangkali dalam tiga hal berikut ini. Kebanyakan umat awam tidaklah selibat, sedangkan semua Bhikkhu haruslah selibat. Umat awam haruslah bekerja untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sedangkan para Bhikkhu

Saya mengingat sebuah insiden yang terjadi pada saya pada bulan-bulan pertama saya di Sri Lanka. Dengan tiga orang Bhikkhu Barat lainnya, saya berziarah ke Anuradhapura. Tak seorang pun dari kami yang telah cukup lama menjadi anggota Sangha; dan, oleh karenanya, kami masih sangat naif dan berfikir bahwa kehidupan yang keras atau menjadikannya sedikit lebih keras lagi adalah bagian dari kehidupan seorang Bhikkhu Theravada. Lalu, kami tiba di vihara tersebut dalam keadaan sedikit terlambat—semua lampu telah dimatikan dan semua orang tampaknya telah pergi tidur.

Daripada membangunkan yang lain, kami memutuskan untuk merebahkan jubah kami di bawah sebuah pohon di halaman yang luas di depan vihara tersebut, dan tidur begitu saja disana. Keesokan Daripada membangunkan yang lain, kami memutuskan untuk merebahkan jubah kami di bawah sebuah pohon di halaman yang luas di depan vihara tersebut, dan tidur begitu saja disana. Keesokan

Ketika Bhikkhu senior, Ven. Madihe Pannasiha, mendengar apa yang telah terjadi, ia memanggil kami ke kamarnya; dan, dengan keras, ia mengomeli kami. Apa sebenarnya yang kami permainkan? Syukurlah tidak ada seorang umat awam pun yang telah menyaksikan kami. Apa yang kami sedang lakukan? Merendahkan kewibawaan Sangha di mata para dayakas? Kami seharusnya menjadi Bhikkhu, bukan gelandangan! Itu intinya! Ia mengakhiri omelannya dengan membuatnya begitu jelas bahwa jika kami melakukan lagi tindakan-tindakan seperti itu, maka ia akan mengusir kami. Selama beberapa hari kami tinggal di vihara tersebut, para Bhikkhu yang lain akan terkekeh-kekeh bila mereka melihat kami.

Selama berabad-abad, para Bhikkhu yang tulus kadang-kadang mencoba hidup secara keras, tetapi mereka jarang bisa bertahan dalam waktu Selama berabad-abad, para Bhikkhu yang tulus kadang-kadang mencoba hidup secara keras, tetapi mereka jarang bisa bertahan dalam waktu

Kita membaca di Culavamsa bahwa seorang raja menawarkan kepada mereka jubah yang terbuat dari gaun raja dari emas miliknya sendiri dan peralatan yang ‘sesuai untuk para bangsawan.’ Teks yang lain bahkan merinci daftar makanan mewah yang diberikan kepada mereka. Tentu saja, tak lama setelah itu para Pansakulakas pun menjadi malas dan kaya; dan, akhirnya, mereka menjadi sama korup dan duniawinya dengan orang-orang lainnya juga.

Memang benar mengatakan bahwa tradisi Theravada mengandung sebuah mekanisme yang menyatu di dalamnya yang dapat menyebabkan degenerasi pada Sangha dan membuat umat awam menjadi pasif sekali dalam melakukan hal-hal lain Memang benar mengatakan bahwa tradisi Theravada mengandung sebuah mekanisme yang menyatu di dalamnya yang dapat menyebabkan degenerasi pada Sangha dan membuat umat awam menjadi pasif sekali dalam melakukan hal-hal lain