Patung Buddha yang Dicetakkan Kembali

Patung Buddha yang Dicetakkan Kembali

Agama Buddha Theravada sedang mengalami krisis dimana-mana. Semua negara Theravada menderita akibat demokrasi yang korup dan tidak stabil, kediktatoran maupun perang saudara. Kebanyakan dari mereka pun sedang menjalani sebuah masa dimana pembangunan semerawut dan perubahan sosial terjadi begitu cepatnya. Orang melirik ke Sangha untuk memperoleh jawaban dan bimbingan; tetapi, yang mereka dapatkan adalah yang itu-itu juga. Seperti kaum bahmana pada zaman Buddha, Sangha tersebut tampaknya hanya dapat ‘mengatakan apa yang telah dikatakan dan menyanyikan apa yang telah dinyanyikan.’

Kebanyakan tokoh-tokoh agama Buddha begitu jauh dari realita; sehingga, mereka bahkan tidak Kebanyakan tokoh-tokoh agama Buddha begitu jauh dari realita; sehingga, mereka bahkan tidak

‘ Lebih sering ketimbang tidak, umat Buddhis modern hidup secara nyaman dalam lindungan

rumusan-rumusan solusi siap-pakai yang diturunkan kepada mereka oleh nenek moyang mereka; mereka tidak hanya lupa terhadap posisi agama Buddha yang berbahaya dewasa ini, tetapi juga terhadap persoalan- persoalan yang ditimbulkan dari doktrin agama Buddha sendiri sebagai sebuah agama dunia di abad ini dan terhadap isu-isu yang menghampiri agama Buddha hari ini.’

Permintaan-permintaan untuk segera dilakukan reformasi mulai terdengar; tetapi, solusinya dilihat semata-mata bahwa kita harus kembali mempraktekkan Vinaya secara lebih ketat lagi; yakni, dengan mempersiapkan para Bhikkhu untuk hidup di abad ke-2 Sebelum Masehi daripada untuk hidup di abad ke-21 Masehi. Perubahan yang berarti tak mungkin dapat terjadi.

Dorongan untuk melakukan reformasi biasanya dibangunkan dengan mempertegas kesalahfahaman- kesalahfahaman, mengkritik malpraktek, dan Dorongan untuk melakukan reformasi biasanya dibangunkan dengan mempertegas kesalahfahaman- kesalahfahaman, mengkritik malpraktek, dan

Di Sri Lanka, kritik terhadap agama Buddha yang paling didasari niat baik sekali pun akan didiamkan dan dicap sebagai ‘sebuah rencana Kristen untuk menghancurkan agama Buddha.’ Sikap mereka untuk menolak mendengar apapun yang negatif tentang Theravada, terutama lagi mengenai Sangha, hampir- hampir boleh dikatakan sudah total.

Nasib yang dihadapi Mahayana di Korea, Jepang, Singapura, dan, hingga tahap tertentu juga Taiwan—negara-negara yang mengalami proses modernisasi pada tahun 50-an dan 60-an— memperlihatkan kepada kita apa yang akan terjadi terhadap Theravada. Statistik dari negara-negara tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar kecenderungannya untuk berpindah ke sekularisme ataupun pindah ke agama Kristen.

Bila bukti diperlukan untuk menunjukkan betapa Theravada gagal dalam menjawab kebutuhan- kebutuhan emosional dan spiritual dari banyak orang

Sri Lanka modern, seseorang cukup melihat betapa semakin populernya pemujaan terhadap Sai Baba dan Kataragama (Dewa Perang Hindu) dalam tiga puluh tahun terakhir ini. Para petani dan rakyat biasa di negara-negara Theravada mungkin masih setia dengan agama mereka, tetapi anak-anak muda, kaum terdidik dan kaum intelektual akan pindah agama bila tidak ada perubahan-perubahan. Proses ini telah terjadi di Sri Lanka dan, hingga taraf tertentu, juga di Thailand; dan, dengan terjadinya modernisasi secara perlahan-lahan, Burma pun akan mengalaminya cepat atau lambat.

Yang menyedihkan sekali adalah bahwa sebenarnya ajaran-ajaran Buddha dalam Pali Pitaka barangkali lebih mampu dalam menghadapi masalah- masalah kontemporer ketimbang ajaran-ajaran kuno lainnya. Tetapi, sayangnya, bukan psikologi praktis yang terdapat di dalam Pali Pitaka, bukan pula semangat bertanya (spirit of inquiry), ataupun implikasi-implikasi sosial dari etika ataupun dari pandangan humanistiknya yang diberi penekanan di Asia. Di Asia, tradisi Theravada justru sangat bersungguh-sungguh mengembangkan formalisme yang tak masuk akal, tidak mempedulikan persoalan Yang menyedihkan sekali adalah bahwa sebenarnya ajaran-ajaran Buddha dalam Pali Pitaka barangkali lebih mampu dalam menghadapi masalah- masalah kontemporer ketimbang ajaran-ajaran kuno lainnya. Tetapi, sayangnya, bukan psikologi praktis yang terdapat di dalam Pali Pitaka, bukan pula semangat bertanya (spirit of inquiry), ataupun implikasi-implikasi sosial dari etika ataupun dari pandangan humanistiknya yang diberi penekanan di Asia. Di Asia, tradisi Theravada justru sangat bersungguh-sungguh mengembangkan formalisme yang tak masuk akal, tidak mempedulikan persoalan

Mungkin kelihatannya, dari semua yang telah saya katakan di atas, bahwa barangkali saya setuju agar patung Buddha yang sudah begitu tua itu— dengan segala keretakannya, bagian-bagiannya yang telah hilang dan penyokan-penyokannya—agar dibuang saja ke atas tumpukan barang-barang yang tak diperlukan lagi serta meninggalkannya di sana demikian saja. Tetapi, mungkin ada alternatif yang lain. Bahan logam yang dijadikan bahan untuk pembuatan patung tersebut mungkin saja telah rusak dan berkarat; namun, ia masih mempunyai nilai yang tak ternilai. Gaya pembuatan patung tersebut barangkali bertentangan dengan selera modern; tetapi, seorang pematung yang ahli dapat membuat sebuah patung yang mempunyai bentuk yang lebih kontemporer dan indah. Patung Buddha tua dari logam tersebut perlu dilebur kembali dan dicetakan kembali dalam sebuah cetakan yang sama sekali baru.

Apa yang akan terjadi terhadap tradisi Theravada di Asia tentu saja merupakan sesuatu yang akan kita lihat bersama; tetapi, sekarang ini tanda-tanda yang ada tidaklah membesarkan hati kita sama sekali.

Walaupun menekankan pentingnya perubahan sebagai sebuah konsep, kebanyakan penganut Theravada mempunyai—apa yang dikatakan oleh Henry Olcott sebagai—‘sebuah resistensi pasif yang terbawa sejak lahir terhadap inovasi apapun juga’; dan, ini terutama benar sekali dalam kaitannya dengan Sangha.

Namun, keadaan di luar negeri tradisional Theravada—Eropah, Amerika, Australia, India dan bagian-bagian lain dari Asia Tenggara—sangatlah berbeda. Tempat-tempat tersebut menawarkan sebuah kemungkinan terjadinya pembaharuan, kemungkinan untuk mengekplorasi Dhamma (terlepas dari hal-hal yang telah ditambahkan ke dalamnya selama berabad- abad yang lampau), dan kemungkinan untuk menarik makna dan implikasi yang baru atau apa yang masih dapat dihidupkan kembali.

Sayangnya, dengan beberapa pengecualian, hal tersebut tampaknya belumlah terjadi. Kebanyakan para penganut tradisi Theravada yang baru tersebut, bukannya mengambil ajaran Dhamma yang bersifat abadi, mereka malahan hanya mengikuti begitu saja asumsi-asumsi yang dapat lapuk oleh waktu dan bentuk-bentuk yang masih bertahan di negeri-negeri asal Theravada itu.

Saya kadang-kadang mendengar dari mereka yang mengetahui persis keadaan sebenarnya yang terjadi dalam tradisi Theravada itu bahwa, bila Theravada lenyap di Asia, setidak-tidaknya ia akan bertahan hidup di Barat. Ini mungkin saja merupakan sebuah pemikiran yang melegakan; tetapi, apakah hal tersebut mungkin terjadi?

Salah satu karakteristik kelompok-kelompok Theravada di Barat yang paling kasat mata adalah betapa sedikitnya mereka itu, betapa lambatnya mereka berkembang dan betapa seringnya mereka itu menghilang kekuatannya. Hal ini sangat jelas sekali terutama bila dibandingkan dengan minat yang berkembang di Barat terhadap spiritualitas dari Timur di tengah-tengah masyarakat umum dan keberhasilan Agama Buddha Tibet, Zen, Vedanta dan Yoga.

Kelompok-kelompok Theravada memang masih menarik perhatian banyak orang; tetapi, suasana yang kurang membangkitkan semangat dan kurang ramah yang biasanya mereka pancarkan juga berarti bahwa hanya beberapa orang saja yang akan terdorong untuk tinggal. Kehadiran seorang Bhikkhu di sana pun acapkali merupakan sebuah masalah pula. Hal ini menjadi pusat dari perhatian semua orang. Sebagian Kelompok-kelompok Theravada memang masih menarik perhatian banyak orang; tetapi, suasana yang kurang membangkitkan semangat dan kurang ramah yang biasanya mereka pancarkan juga berarti bahwa hanya beberapa orang saja yang akan terdorong untuk tinggal. Kehadiran seorang Bhikkhu di sana pun acapkali merupakan sebuah masalah pula. Hal ini menjadi pusat dari perhatian semua orang. Sebagian

Aura kesaktian dan otoritas yang menyelimuti Bhikkhu tersebut akan menghambat orang lain untuk maju ke depan dan menjadi pengajar-pengajar Dhamma. Bila Bhikkhu tersebut tidak hadir, maka semangat kelompok tersebut menjadi terhenti seketika; bila ia pergi atau meninggal dunia, maka kelompok itupun akan memudar perlahan-lahan.

Persoalan lainnya adalah terlalu banyak Bhikkhu Asia yang berada di negara-negara Barat bukan untuk tujuan melakukan siar Dhamma. Di antara tujuan- tujuan mereka yang kurang mulia tersebut adalah: untuk mendapatkan PR atau kewarganegaraan, menyelesaikan pendidikan mereka dan kemudian lepas jubah dan—dalam hubungannya dengan para Bhikkhu yang pergi ke Taiwan, Malaysia dan Singapura—mereka juga berniat

untuk mengumpulkan uang. Bahkan para Bhikkhu yang benar-benar ingin mengajarkan Dhamma di Barat, mereka terlalu lambat dalam mengembangkan keterampilan yang untuk mengumpulkan uang. Bahkan para Bhikkhu yang benar-benar ingin mengajarkan Dhamma di Barat, mereka terlalu lambat dalam mengembangkan keterampilan yang

Saya kebetulan bergabung dengan sebuah kelompok Theravada di Australia pada usia tujuh belas tahun. Ketika saya mengunjungi kelompok tersebut lagi sekitar empat belas tahun kemudian, jumlah anggotanya masih tetap saja sama. Mereka semuanya sudah berbeda kecuali tim inti yang kecil; dan, laki-laki yang sebelumnya adalah presiden perkumpulan tersebut pun telah berpindah ke agama Katolik.

Di London saya diundang untuk berbicara selama beberapa minggu pada sebuah kelompok Buddhis yang telah berdiri selama hampir empat puluh tahun. Jumlah terbesar dari mereka yang hadir mendengarkan ceramah-ceramah saya hanyalah sebanyak sebelas orang dan kepada saya diberi tahu bahwa inilah jumlah yang biasa bila ada seorang Bhikkhu yang ceramah; jumlah yang datang bahkan lebih sedikit lagi kalau yang berceramah adalah seorang umat awam.

Saya tahu di Singapura ada sebuah Buddhist Center yang mendatangkan para Bhikkhu dari Sri Lanka secara tetap selama kurang lebih dua puluh Saya tahu di Singapura ada sebuah Buddhist Center yang mendatangkan para Bhikkhu dari Sri Lanka secara tetap selama kurang lebih dua puluh

vihara-vihara berbau etnis di Barat mungkin sekali mempunyai umat dalam jumlah yang banyak sekali; tetapi, mereka ini biasanya terdiri dari orang-orang Asia yang bekerja di Barat. Kebanyakan aktivitas mereka pun bersifat ritualistik dan pun dilakukan dalam bahasa-bahasa Asia—artinya mereka hanyalah menarik perhatian segelintir orang Barat saja. Segera setelah generasi orang Asia yang kedua dan ketiga menjadi dewasa dan mereka mempunyai harapan- harapan yang khas Barat dan mereka berbicara dalam bahasa-bahasa Barat, mereka pun akan menemukan kenyataan bahwa vihara-vihara etnis tersebut tidak banyak dapat memberikan apapun kepada mereka lagi. Dalam dua generasi ke depan, vihara-vihara itu pun perlahan-lahan akan hilang.

Sebenarnya, para penganut Theravada dari Asia Sebenarnya, para penganut Theravada dari Asia

negeri mereka. 30 Memang tidak ada yang salah tentang hal ini. Sebaliknya, hal ini pantas mendapat pujian. Tetapi, kenyataan ini tidak memberikan kontribusi apapun sepanjang menyangkut siar Dhamma di luar kalangan mereka sendiri atau bahkan untuk generasi penerus mereka.

Walaupun demikian, ada terdapat empat organisasi Theravada di luar negeri tradisional Theravada yang telah menarik cukup banyak orang dan, bahkan, memiliki sebuah profil internasional. Barangkali kita dapat belajar daripadanya dengan melihat apa kunci keberhasilan di balik vitalitas mereka yang dapat dikatakan sangat tidak Theravada tersebut.

30 Untuk melihat beberapa poin mengenai hal ini, baca buku Paul David Numrich berjudul Old Wisdom in the New World, 1996.

Organisasi yang paling besar dan paling tersebar di Barat hari ini adalah yang didirikan oleh S. N. Goenka. Walaupun Goenka sejak awal menekankan bahwa apa yang ia ajarkan bukanlah Theravada atau, bahkan, bukan agama Buddha, namun cukup jelas bahwa ajarannya memang agama Buddha dan saya akan memperlakukannya seperti itu pula. Dalam beberapa hal, gerakan ini sangat khas Theravada. Gerakan ini sangatlah sekterian sekali. Meditasinya sangat berorientasi pada teknik dan sangat didasarkan sekali pada AbhiDhamma.

Goenka menggabungkan berbagai ajaran rakyat tentang superstisi dan konsep-konsep yang pseudo- ilmiah ke dalam prakteknya (teknik-teknik ‘murni’ and lokasi, vibrasi, mengalami setiap atom, dst.). Namun dalam hal-hal lain, gerakan tersebut tidaklah khas. Aktivitas utamanya adalah meditasi. Gerakan tersebut adalah sepenuhnya gerakan umat awam biasa. Ia memiliki aroma siar agama dan terlibat dalam pekerjaan sosial. Goenka sendiri adalah seorang manusia yang sangat menyemangati; dan, ia pun telah mengikutkan dorongan dan ketajaman bisnisnya ke dalam gerakannya itu. Ia pun menaruh perhatikan kepada upaya untuk mendukung dan Goenka menggabungkan berbagai ajaran rakyat tentang superstisi dan konsep-konsep yang pseudo- ilmiah ke dalam prakteknya (teknik-teknik ‘murni’ and lokasi, vibrasi, mengalami setiap atom, dst.). Namun dalam hal-hal lain, gerakan tersebut tidaklah khas. Aktivitas utamanya adalah meditasi. Gerakan tersebut adalah sepenuhnya gerakan umat awam biasa. Ia memiliki aroma siar agama dan terlibat dalam pekerjaan sosial. Goenka sendiri adalah seorang manusia yang sangat menyemangati; dan, ia pun telah mengikutkan dorongan dan ketajaman bisnisnya ke dalam gerakannya itu. Ia pun menaruh perhatikan kepada upaya untuk mendukung dan

Pada tahun 1977, para murid Ajahn Chah yang pertama tiba di Barat; dan, sejak itu, mereka telah mendirikan tiga belas vihara di seluruh dunia dan telah mendapatkan pengikut yang banyak. Di Inggris, misalnya, hampir terdapat empat puluh kelompok meditasi yang berhubungan dengan gerakan ini. Walaupun praktek Vinayanya masih fundamentalis, pemusatan perhatiannya masih pada keBhikkhuan dan kemelekatannya yang kuat pada budaya Thailand.

Keberhasilan gerakan Ajahn Chah tersebut betul- betul merupakan semacam kejutan. Keberhasilan tersebut dapat dijelaskan terutama dari jumlah guru- guru inspirasional dan sangat berbakat yang dihasilkan oleh gerakan tersebut sejauh ini. Guru- guru ini sanggup menarik pengikut yang banyak dikarenakan oleh standar etika mereka yang tinggi, komitmen mereka dan cara mereka menyajikan meditasi secara praktis dan memikat. Kemampuan mereka dalam merasionalisasi praktek Vinaya yang Keberhasilan gerakan Ajahn Chah tersebut betul- betul merupakan semacam kejutan. Keberhasilan tersebut dapat dijelaskan terutama dari jumlah guru- guru inspirasional dan sangat berbakat yang dihasilkan oleh gerakan tersebut sejauh ini. Guru- guru ini sanggup menarik pengikut yang banyak dikarenakan oleh standar etika mereka yang tinggi, komitmen mereka dan cara mereka menyajikan meditasi secara praktis dan memikat. Kemampuan mereka dalam merasionalisasi praktek Vinaya yang

Bagaimana gerakan tersebut akan terus berjalan dalam jangka panjang tentu akan kita lihat bersama. Bila ia dapat berlanjut dalam memikat calon-calon Bhikkhu dan dalam menghasilkan guru-guru yang inspirasional, maka gerakan tersebut akan terus berkembang. Bila gerakan tersebut tak sanggup dalam melakukan hal tersebut, ia mungkin harus semakin bergantung pada Bhikkhu-Bhikkhu dari Thailand dan akan secara perlahan menurun dan menjadi sebuah organisasi etnis yang melayani kebutuhan-kebutuhan ritual orang-orang Asia yang bekerja di Barat.

Masalah yang secara potensial lebih serius lagi dari gerakan ini adalah bahwa semua vihara Ajahn Chah di Barat benar-benar bergantung pada dana-dana yang terkumpul di Thailand. Bila karena alasan tertentu uang tersebut dihentikan, maka gerakan tersebut kemungkinan tidak akan sanggup lagi bertahan.

Dua gerakan lainnya di Barat yang sangat menjanjikan dan berdasarkan ajaran Buddha dari Tipitaka Pali adalah Insight Meditation Society (IMS) di Massachusetts dan Spirit Rock Meditation

Center (SRMC) di California. Sejak didirikan pada tahun 1976, IMS telah perlahan-lahan dan secara diam-diam telah bertumbuh. Dewasa ini, ia telah memiliki lebih dari seratus center dan kelompok- kelompok meditasi yang berafiliasi dengannya di Amerika dan Kanada.

Pada tahun 1984, Jack Kornfield, salah seorang pendiri IMS yang mula-mula, memulai Spirit Rock Meditation Center dan kedua kelompok tersebut masih mempunyai hubungan yang akrab satu sama lain. Semua pendiri IMS dan SRMC adalah umat Buddhis laki-laki dan perempuan yang biasa namun yang telah berguru dengan banyak guru di Asia dan mereka membawa apa yang mereka pelajari kembali ke Barat. Baru-baru ini IMS meresmikan Barre Institute of Buddhist Studies dimana mereka-mereka yang mempraktekkan meditasi dapat datang dan mempelajari Psikologi Buddhis dan Filsafat Buddhis dan disiplin spiritual lainnya.

Walaupun kedua grup tersebut mengambil banyak inspirasi dari Tipitaka Pali, mereka juga mengakomodasi tradisi-tradisi yang berhubungan dengan agama Buddha. Tetapi, mereka tidak sekedar menyampaikan retorika Zen, Vajrayana, Krishnamurti Walaupun kedua grup tersebut mengambil banyak inspirasi dari Tipitaka Pali, mereka juga mengakomodasi tradisi-tradisi yang berhubungan dengan agama Buddha. Tetapi, mereka tidak sekedar menyampaikan retorika Zen, Vajrayana, Krishnamurti

Juga sama pentingnya adalah bahwa IMS dan SRMC mencoba secara kreatif menerapkan nilai-nilai Dhamma terhadap kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan kontemporer. Kode Etik Guru mereka adalah salah satu dari begitu banyak contoh untuk hal ini. Kedua-duanya IMS dan SRMC dijalankan di sekitar sebuah komunitas guru-guru dan proses pengambilan keputusan terhadap segala masalah dilakukan secara terbuka dan transparan dan bukan, sebagaimana yang lazim dilakukan dalam struktur dalam tradisi Theravada, dimana hanya satu orang, biasanya seorang Bhikkhu, yang mendominasi.

Dalam mencoba mengidentifikasi faktor- faktor yang sama dalam semua grup di atas, dua hal segera muncul dalam pikiran saya. Yang pertama adalah semua kelompok di atas itu menekankan Dalam mencoba mengidentifikasi faktor- faktor yang sama dalam semua grup di atas, dua hal segera muncul dalam pikiran saya. Yang pertama adalah semua kelompok di atas itu menekankan

Yang kedua, baik kekuatan-kekuatan pendorong di balik semua gerakan tersebut maupun kebanyakan dari keanggotaan mereka tidaklah berasal dari latar belakang Theravada tradisional. Inspirasi di balik gerakan Ajahn Chah tentu saja berkaitan dengan Thailand, namun vihara-viharanya di Barat seluruhnya dibangun oleh para Bhikkhu keturunan Barat dan dijalankan oleh mereka maupun pegawai- pegawai yang keturunan Barat pula. Goenka dilahirkan di Burma dan berasal dari keluarga Hindu ortodoks dan seluruh pendiri IMS dan SRMC adalah orang-orang Amerika.

Pengondisian kultural Theravada tampaknya seperti sebuah obat tidur yang mematikan kreativitas dan melemahkan kemampuan orang untuk melakukan apapun kecuali mengulangi pola-pola prilaku lama yang telah dikenal. Mereka yang bebas dari pengondisian semacam itu lebih mungkin mengambil inisiatif, menyesuaikan diri atau mempertimbangkan Pengondisian kultural Theravada tampaknya seperti sebuah obat tidur yang mematikan kreativitas dan melemahkan kemampuan orang untuk melakukan apapun kecuali mengulangi pola-pola prilaku lama yang telah dikenal. Mereka yang bebas dari pengondisian semacam itu lebih mungkin mengambil inisiatif, menyesuaikan diri atau mempertimbangkan