Hilangnya Cinta Kasih

Hilangnya Cinta Kasih

Buku H.B.Aronson berjudul Love and Sympathy in Theravada Buddhism menghimpun hampir setiap referensi mengenai cinta kasih, welas asih, rasa kasihan, simpati, empati dan kebaikan dalam Tipitaka Pali dan komenteri-komenterinya. Buku ini juga merupakan hasil dari sebuah riset yang teliti dan menyeluruh dan, oleh sebab itu, ia menarik untuk dibaca.

Buku ini memperlihatkan secara tanpa sengaja betapa kurangnya pemahaman tentang cinta kasih di dalam tradisi Theravada. Marilah kita melihat temuan-temuan Aronson sekarang.

Salah satu diskursus Buddha yang lebih signifikan tentang cinta kasih, yang implikasi-implikasinya penting bagi ekspresi cinta kasih secara praktis,

adalah Desaka Sutta. 28 * Dalam Sutta ini, Buddha mengatakan, ‘Para Bhikkhu, mereka yang melindungi diri sendiri, juga melindungi orang lain; dan, mereka yang melindungi orang lain, juga melindungi diri sendiri. Tetapi, bagaimanakah mereka yang melindungi diri sendiri juga melindungi orang lain?

Dengan mengulangi dan terus-menerus mempraktekkan meditasi. Dan, bagaimana pula mereka yang melindungi orang lain, juga melindungi diri sendiri? Dengan kesabaran, dengan tidak mencelakai orang lain, dengan cinta kasih dan dengan memberikan perhatian yang melindungi.’ (S.V,169).

Bila ada ucapan Buddha yang lebih bermakna untuk diuraikan lebih jauh lagi dan yang lebih mengisyaratkan agar implikasi-implikasinya dieksplorasi dan diterapkan secara lebih mendalam

28 Nyanaponika secara benar menyatakan bahwa Desaka Sutta adalah ‘tersembunyi seperti sebuah harta karun, tak dikenal dan tak dipakai.’ Lagi-lagi ini merupakan sebuah contoh lagi mengenai sebuah sutta penting yang tidak diberi makna yang signifikan dalam Theravada.

lagi, maka sudah barang tentu inilah ucapan Buddha itu. Namun, dalam komenterinya mengenai sutta itu, Buddhaghosa mengatakan bahwa melindungi orang lain hanyalah berkaitan dengan pencapaian ketiga jhana pertama untuk diri kita sendiri; dan, beliau tidak mengatakan apapun lagi tentang hal tersebut.

Seperti kita lihat di atas, dalam Mahaparinibbana Sutta, Buddha memuji-muji Ananda karena mempraktekkan ‘cinta kasih dengan tubuh.’ Lagi-lagi, kita dapat belajar dengan melihat bagaimana Buddhaghosa memaknai frase tersebut. Berikut ini adalah definisi Buddhaghosa tentang perbuatan yang diliputi oleh cinta kasih seperti diterjemahkan oleh Aronson:

‘ Aktivitas-aktivitas fisik yang penuh cinta kasih adalah perbuatan-perbuatan fisik yang dilakukan

dengan sebuah pikiran yang dipenuhi cinta kasih… Ini disyaratkan kepada para Bhikkhu untuk dilakukan; tetapi, umat awam juga boleh mempraktekkannya. Ketika para Bhikkhu, termotivasi oleh sebuah pikiran yang dipenuhi cinta kasih, menjaga tingkah lakunya, ini dapat dikatakan aktivitas fisik mereka yang dipenuhi cinta kasih. Bila para perumahtangga pergi ke tempat penyimpanan dengan sebuah pikiran yang dipenuhi cinta kasih… Ini disyaratkan kepada para Bhikkhu untuk dilakukan; tetapi, umat awam juga boleh mempraktekkannya. Ketika para Bhikkhu, termotivasi oleh sebuah pikiran yang dipenuhi cinta kasih, menjaga tingkah lakunya, ini dapat dikatakan aktivitas fisik mereka yang dipenuhi cinta kasih. Bila para perumahtangga pergi ke tempat penyimpanan

Jadi kita lihat disini bahwa satu-satunya cara yang diusulkan oleh Buddhaghosa bagi umat awam untuk mempraktekkan cinta kasih dengan tubuh adalah dengan cara menyembah sebuah tulang peninggalan yang sudah tua atau menyembah sebuah pohon dan, tentu saja, dengan melayani para Bhikkhu. Sedangkan untuk para Bhikkhu sendiri, cara terbaik untuk mempraktekkan cinta kasih dengan tubuh adalah dengan mengikuti Vinaya secara amat teliti.

Selama dua ribu tahun, orang telah membaca ucapan-ucapan

merenunginya, menganalisanya dan menguraikan maknanya; namun, inilah yang terbaik yang dapat dipersembahkan oleh tradisi Theravada. Sungguh sebuah gambaran yang sangat menyedihkan; dan, ini dapat menjelaskan

Buddha, Buddha,

Hingga kira-kira pertengahan buku tersebut (hal. 64), Aronson memperhatikan bahwa, walaupun

acapkali kata-kata seperti cinta kasih dan welas asih dipakai dalam bahan-bahan yang dipelajarinya, tidak ada disebutkan sedikit pun tentang upaya-upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan apapun juga yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai perbuatan yang dipenuhi kebaikan dan cinta kasih.

Ketika berusaha menjelaskan kekosongan tersebut, Aronso mengatakan, ‘...dapatlah diasumsikan bahwa mengembangkan sikap-sikap ini (yaitu brahma vihara) dapat memberikan pengaruh pada sikap dan skop kegiatan persaudaraan yang nyata dari seorang praktisi meditasi. Seorang praktisi meditasi yang tengah mengembangkan cinta kasih dan welas asih universal yang terpusat akan benar-benar tersentuh untuk menolong semua orang, tanpa kecuali.’

Tetapi, apakah hal ini dapat diasumsikan demikian? Komenteri-komenteri itu tentu saja tidak berasumsi seperti itu. Dalam ribuan halaman di dalamnya, komenteri-komenteri itu sedikitpun tidak Tetapi, apakah hal ini dapat diasumsikan demikian? Komenteri-komenteri itu tentu saja tidak berasumsi seperti itu. Dalam ribuan halaman di dalamnya, komenteri-komenteri itu sedikitpun tidak

Namun, Aronson tidak dapat menemukan dalam komenteri-komenteri Theravada—yang jumlahnya empat ribu halaman itu—referensi apapun tentang perlunya bersifat ramah tamah kepada orang asing, memberi makan orang lapar, melindungi para janda dan yatim piatu, menjaga orang sakit, menghibur orang yang sedang berkabung atau hal-hal sejenis lainnya. Hal-hal ini lazim disebutkan sebagai contoh- contoh dari cinta kasih dan welas asih atau sebagai Namun, Aronson tidak dapat menemukan dalam komenteri-komenteri Theravada—yang jumlahnya empat ribu halaman itu—referensi apapun tentang perlunya bersifat ramah tamah kepada orang asing, memberi makan orang lapar, melindungi para janda dan yatim piatu, menjaga orang sakit, menghibur orang yang sedang berkabung atau hal-hal sejenis lainnya. Hal-hal ini lazim disebutkan sebagai contoh- contoh dari cinta kasih dan welas asih atau sebagai

Tetapi, semua ini berasal dari abad ke-5 M. Mungkin praktek dan teori dalam tradisi Theravada telah sedikit bergerak maju sejak saat itu. Jadi, marilah kita melihat Brahmavihara Dhamma, sebuah eksposisi modern mengenai cinta kasih dan welas asih yang ditulis oleh Mahasi Sayadaw. Mahasi mungkin adalah master Theravada yang paling terkenal dan paling berpengaruh dari abad sebelumnya.

Tidak ada di mana pun juga di dalam risalah tersebut dikatakan oleh Mahasi Sayadaw bahwa bersikap baik dapat membantu seseorang untuk mengembangkan cinta kasih ataupun welas asih. Hanya di dua tempat saja dalam risalah tersebut dimana penulisnya menyinggung bahwa memberikan bantuan praktis kepada orang lain dapatlah merupakan sebuah manifestasi dari cinta kasih dan welas asih. Di tempat yang pertama, ia memuji-muji seorang laki-laki Burma yang dikenalnya yang dahulu sering memberi makan anjing-anjing liar; dan, di tempat kedua, pada halaman 192, ia secara singkat membicarakan perbuatan merawat orang sakit. Ini Tidak ada di mana pun juga di dalam risalah tersebut dikatakan oleh Mahasi Sayadaw bahwa bersikap baik dapat membantu seseorang untuk mengembangkan cinta kasih ataupun welas asih. Hanya di dua tempat saja dalam risalah tersebut dimana penulisnya menyinggung bahwa memberikan bantuan praktis kepada orang lain dapatlah merupakan sebuah manifestasi dari cinta kasih dan welas asih. Di tempat yang pertama, ia memuji-muji seorang laki-laki Burma yang dikenalnya yang dahulu sering memberi makan anjing-anjing liar; dan, di tempat kedua, pada halaman 192, ia secara singkat membicarakan perbuatan merawat orang sakit. Ini

Untuk membuat agar pesan tersebut dapat difahami—yakni, bahwa bila seseorang meninggalkan bantalan meditasinya untuk menolong orang lain, maka hal ini dapatlah merugikan kebaikan duniawi dan spiritualnya—Mahasi menceritakan sebuah insiden dramatis yang diambil dari kehidupan nyata. Saya akan mengutipnya sebagai berikut:

‘ Pada suatu saat, seorang dokter dikatakan mengidap penyakit maag karena ia terlalu

memperhatikan para pasien yang sakit sehingga ia lupa makan secara teratur. Dokter tersebut akhirnya mati pada usia muda akibat penyakit perutnya tersebut. Disini, Karuna, rasa kasihan dan welas asih ternyata dapat menghalangi kebahagiaan kita sendiri. Hal ini sesungguhnya benar.’

Begitulah sifat mementingkan diri sendiri, yang ditandai dengan perhitungan untung-rugi, yang dipandang sebagai welas asih—menurut master

Theravada terbesar saat ini. 29

Ketika mengadakan perjalanan untuk mengajar di Malaysia dan Singapura, saya menemukan enam belas buku tentang Metta Bhavana yang bersirkulasi di dalam komunitas Thravada, baik yang dijual maupun yang diberikan secara cuma-cuma. Namun, tidak ada satu pun dari buku-buku tersebut yang menyinggung Metta lebih dari sekedar memancarkan pikiran-pikiran ataupun harapan-harapan yang baik. Tidak satu pun dari buku tersebut yang mendeskripsikan Metta secara positif sebagai sebuah kekuatan untuk kebaikan, tetapi hanya secara negatif sebagai lawan (antidote) untuk kebencian. Semua buku tersebut menyinggung daftar standar yang biasa yang terdiri dari sebelas keuntungan yang akan diperoleh mereka yang bermeditasi bila melakukan Metta Bhavana; sedangkan, tak satu pun dari buku- buku tersebut yang membicarakan keuntungan- keuntungan yang dapat diperoleh oleh orang lain bila

29 Buku ini juga berisi sebuah contoh yang luar biasa tentang kegandrungan para penganut Theravada terhadap reduksionisme. Mahasi berhasil membagi-bagi welas asih ke dalam seratus tiga puluh dua jenis macam welas asih yang berbeda; walaupun, beliau hampir-hampir tidak mengatakan apapun yang berarti tentang jenis yang manapun juga; lihat hal. 201-5.

seseorang mempraktekkan cinta kasih terhadap mereka.

Yang terbaik dari semua buku tersebut—karya Venerable Visuddhacara—ditulis dengan penuh pemikiran dan sangat praktis. Di belakang sampul buku tersebut terdapat sebuah kutipan dari Henry Van Dyke yang bunyinya ‘Cinta kasih bukanlah mengambil melainkan memberi.’

Tentu saja, cinta kasih lebih dari sekedar memberikan sesuatu; namun, kebanyakan orang akan setuju bahwa memberi adalah sebuah aspek penting dari cinta kasih. Memberikan waktu, memberikan materi, mengulurkan tangan untuk membantu, memberi semangat, mendengarkan penderitaan orang, dan lain-lain dapatlah merupakan ungkapan-ungkapan dari sebuah hati yang penuh cinta kasih. Namun demikian, selain memancarkan pikiran yang baik, Visuddhacara lupa menyebutkan di dalam bukunya itu bahwa masih ada jenis pemberian atau sharing (berbagi) yang lain.

Lebih jauh lagi, seperti juga halnya dengan terbitan-terbitan yang lain, buku ini mempunyai sebuah bagian yang membicarakan keuntungan- keuntungan yang anda akan dapatkan dari Lebih jauh lagi, seperti juga halnya dengan terbitan-terbitan yang lain, buku ini mempunyai sebuah bagian yang membicarakan keuntungan- keuntungan yang anda akan dapatkan dari

Saya akan membicarakan sebuah lagi penerbitan kontemporer untuk menjelaskan bagaimana cinta kasih itu dimengerti di dalam tradisi Theravada; yakni,

Majalah Bhavana—organ perkumpulan bernama Bhavana Society di Amerika Serikat. Venerable Henapola Gunaratana, seorang Bhikkhu Theravada yang terbuka, aktif dan secara spiritual memiliki wawasan luas, memimpin perkumpulan ini. Ven. Gunaratana telah tinggal di Barat selama bertahun-tahun, kebanyakan murid beliau adalah orang-orang Barat dan ia dapat diharapkan mengambil sebuah pendekatan Barat yang lebih kreatif dan modern terhadap Theravada.

Terbitan Musim Gugur 2001 dari Majalah Bhavana dikhususkan untuk tema Metta. Dalam tajuk rencananya, para pembaca diberitahu bahwa semua artikel dalam terbitan tersebut akan berkaitan dengan ‘hubungan antara duduk dan bergerak, antara diri kita dengan semua mahluk hidup.’ Ini kedengarannya sangat menjanjikan. Tetapi, begitu kita mulai membaca, kita akan temukan artikel-artikel dengan Terbitan Musim Gugur 2001 dari Majalah Bhavana dikhususkan untuk tema Metta. Dalam tajuk rencananya, para pembaca diberitahu bahwa semua artikel dalam terbitan tersebut akan berkaitan dengan ‘hubungan antara duduk dan bergerak, antara diri kita dengan semua mahluk hidup.’ Ini kedengarannya sangat menjanjikan. Tetapi, begitu kita mulai membaca, kita akan temukan artikel-artikel dengan

Dalam diskursus Theravada modern tentang Metta, jenis bahasa yang kesannya sentimental secara berlebihan seperti ini acapkali dijadikan sebuah pengganti bagi pedoman dan himbauan yang jelas agar orang melakukan lebih daripada sekedar duduk- duduk saja, agar orang melakukan sesuatu yang praktis untuk mereka-mereka yang sedang membutuhkan, dan agar orang mengekpresikan Metta melalui tindakan-tindakan kebaikan serta mengembangkan Metta dengan mencari dan menolong orang lain. Cukup menyedihkan bahwa kiranya Majalah Bhavana juga melakukan hal demikian itu.

Walaupun telah dijanjikan di dalam tajuk rencana dan pun telah diklaim bahwa ‘Metta bukanlah sesuatu yang kita lakukan dengan duduk di atas bantalan meditasi di suatu tempat, sambil berfikir, berfikir, dan Walaupun telah dijanjikan di dalam tajuk rencana dan pun telah diklaim bahwa ‘Metta bukanlah sesuatu yang kita lakukan dengan duduk di atas bantalan meditasi di suatu tempat, sambil berfikir, berfikir, dan

Pada halaman 16, Venerable Gunaratana mengalamatkan sebuah surat terbuka kepada para pembacanya mengenai isu pemboman teroris akhir- akhir ini di New York. Beliau mengatakan ,‘Kami meminta agar semua teman dan anggota dari masyarakat Buddhis kita agar mengirimkan pikiran- pikiran mereka yang dipenuhi cinta kasih kepada semua orang yang menderita akibat kehilangan teman dan sanak saudara serta kepada semua orang yang menderita, baik secara jasmani maupun rohani.’

Venerable Gunaratana tidak menyarankan agar mereka melakukan apapun juga kecuali itu. Beliau tidak mengusulkan, misalnya, agar anggota masyarakat Buddhis tersebut segera memberikan sumbangan untuk dana amal secara sengaja guna membantu para keluarga korban. Seperti lazimnya norma-norma yang berlaku dalam Theravada, mengirimkan pikiran-pikiran yang baik tatkala sedang duduk bermeditasi di atas bantalan duduk sudahlah cukup.

Teolog Jerman Albert Schweitzer mengatakan Teolog Jerman Albert Schweitzer mengatakan