Sebuah kasus diare

Sebuah kasus diare

Sangatlah jelas dari sutta-sutta bahwa aspek kepribadian Buddha yang paling kelihatan jelas adalah kehangatan dan welas asihnya. Welas asih tersebut bukanlah sesuatu yang dimiliki Buddha semata-mata untuk orang lain atau sesuatu yang Sangatlah jelas dari sutta-sutta bahwa aspek kepribadian Buddha yang paling kelihatan jelas adalah kehangatan dan welas asihnya. Welas asih tersebut bukanlah sesuatu yang dimiliki Buddha semata-mata untuk orang lain atau sesuatu yang

Buddha mengunjungi dan menghibur orang sakit ‘karena welas asih’ (A.III, 378); Ia mengajarkan Dhamma ‘karena welas asih’ (A.III, 167). Suatu ketika, Buddha memasuki hutan untuk mencari seorang pembunuh berantai; karena, Ia mengasihi calon-calon korban dari pembunuh tersebut dan, sekaligus, Buddha mengasihi pembunuh itu juga.

Welas asih Buddha tampak menembus batas-batas waktu. Buddha kadang-kadang digambarkan melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu ‘karena welas asih-Nya untuk generasi-generasi yang akan datang’ (M.I,23). Sekali waktu, Buddha mengatakan bahwa alasan bagi keberadaan-Nya adalah semata-mata ‘untuk kebaikan orang banyak, untuk kebahagiaan orang banyak, karena welas asih- Nya bagi dunia, untuk kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan para dewa dan manusia’ (A.II,146).

Kisah tentang Buddha dan seorang Bhikkhu yang sedang sakit adalah bukti yang lebih meyakinkan lagi bahwa kebaikan dan welas asih

Buddha bukanlah semata-mata perasaan, tetapi juga sebuah kekuatan yang aktif yang mengekspresikan dirinya dalam prilaku yang dapat menyebabkan perubahan positif dalam kehidupan orang-orang tersebut.

‘ Pada suatu saat, seorang Bhikkhu tertentu sedang menderita diare dan ia berbaring persis di

atas kotorannya sendiri. Guru Junjungan dan Ananda sedang mengunjungi tempat kediaman tersebut, mereka menghampiri tempat dimana Bhikkhu tersebut berbaring dan Guru Junjungan menanyainya, ‘Bhikkhu, apa yang terjadi padamu?’ ‘Saya menderita diare.’ ‘Tidak adakah orang yang merawatmu?’ ‘Tidak ada, Guru Junjungan.’ ‘Lalu mengapa para Bhikkhu yang lain juga tidak merawatmu?’ ‘Karena saya tidak lagi berguna bagi mereka, Guru Junjungan.’ Kemudian Buddha mengatakan kepada Ananda, ‘Pergi dan ambillah air dan kita akan memandikan Bhikkhu ini.’ Maka Anda membawa air dan Guru Junjungan menyiramkannya; sedangkan, Ananda membasuh sekujur tubuhnya. Kemudian dengan mengangkat kepala dan kakinya, Buddha dan Ananda bersama-sama mengangkat dan membaringkannya ke atas tempat tidur. Setelah itu,

Guru Junjungan memanggil para Bhikkhu lainnya dan menanyai mereka, ‘Mengapa engkau, para Bhikkhu, tidak merawat Bhikkhu yang sakit ini?’ ‘Karena ia tidak lagi berguna bagi kami, Guru Junjungan.’ Buddha lalu mengatakan, ‘Para Bhikkhu, engkau tidak mempunyai ibu dan bapak untuk merawatmu. Bila engkau tidak saling merawat, siapa lagi yang akan merawatmu? Dia yang ingin merawatKu, biarlah ia merawat orang yang sedang sakit.’ (Vin.IV,301).

Kejadian dalam kehidupan Buddha tersebut cukup dikenal, setidak-tidaknya dewasa ini. Tetapi, kalau kita melihat teks-teks yang dihasilkan dalam kebudayaan-kebudayaan Theravada selama lebih dua ribu tahun—misalnya, puisi, biografi-biografi Buddha, kumpulan-kumpulan kisah, kisah-kisah orang suci, penuntun-penuntun kehidupan keviharaan, karya-karya kosmologi, dll—saya hanya mendapat satu teks saja yang merujuk kepada hal tersebut.

Saya sangat mengetahui lukisan dinding dan seni pahatan yang berasal dari Thailand, Burma dan Sri Lanka yang menggambarkan kehidupan Buddha; tetapi, saya tidak pernah melihat kejadian di atas tersebut digambarkan disana. Karya biografi Buddha Saya sangat mengetahui lukisan dinding dan seni pahatan yang berasal dari Thailand, Burma dan Sri Lanka yang menggambarkan kehidupan Buddha; tetapi, saya tidak pernah melihat kejadian di atas tersebut digambarkan disana. Karya biografi Buddha

Satu-satunya teks dalam kaitannya dengan bidang sastra, seni pahat dan lukisan tradisional di negara- negara Theravada dimana kisah welas asih Buddha itu dimunculkan adalah Saddhammopayana—sebuah sajak abad ke-10 dari Sri Lanka. Syair-syairnya yang ke-557 sampai 560 memuji-muji welas asih Buddha dalam merawat Bhikkhu yang sakit itu dan menghimbau agar para pembacanya mengikuti contoh yang Buddha berikan.

Sajak tersebut bahkan berbicara tentang memberikan perlindungan bagi yang membutuhkan pertolongan (syair 307) dan tidak hanya membantu para Bhikkhu saja; dan, memberi pertolongan kepada orang lain hendaknya semata-mata dikarenakan oleh kebahagiaan memberi semata-mata (syair 324), bukan karena pandangan Theravada yang mengajarkan agar kita memberi untuk mendapatkan pahala karma baik.

Kata-kata kebaikan yang menyentuh hati dan praktis ini membuat Saddhammopayana hampir- Kata-kata kebaikan yang menyentuh hati dan praktis ini membuat Saddhammopayana hampir-

Menurut para pakar, Saddhammopayana ditulis oleh seorang Bhikkhu dari sekte Abhayagirivasin, sebuah sekte yang diejek oleh kalangan Theravada sebagai kelompok yang menyimpang dan dikeluarkan dari Theravada karena mereka adalah pengikut Mahayana. Jadi, kendatipun Saddhammopayana mengambil bahannya dari Tipitaka Pali, ia bukanlah karya dalam tradisi Theravada.

Tetapi, mengapa kisah luar biasa mengenai Buddha dan Bhikkhu yang sakit itu—begitu manusiawi, begitu memperlihatkan cinta kasih dan welas asih, begitu sempurna untuk dijadikan sebuah contoh untuk

23 Himne Shwegugyi yang indah ciptaan Alaungsithu pada tahun 1131 dan doa yang diciptakan oleh seorang perempuan dari kalangan istana Raja Narasihapati pada tahun 1266 juga merupakan contoh teks Theravada yang sangat langka yang menjelaskan kepedulian yang tulus dan tak egoistis serta kasih sayang untuk orang-orang lain. Tetapi, seperti dapat ditebak, kedua karya tersebut tetap saja tak dikenal. Luce barangkali benar ketika menyarankan bahwa kedua teks tersebut merefleksikan ‘pengaruh yang tak pernah hilang dari tradisi Mahayana.’ 23 Himne Shwegugyi yang indah ciptaan Alaungsithu pada tahun 1131 dan doa yang diciptakan oleh seorang perempuan dari kalangan istana Raja Narasihapati pada tahun 1266 juga merupakan contoh teks Theravada yang sangat langka yang menjelaskan kepedulian yang tulus dan tak egoistis serta kasih sayang untuk orang-orang lain. Tetapi, seperti dapat ditebak, kedua karya tersebut tetap saja tak dikenal. Luce barangkali benar ketika menyarankan bahwa kedua teks tersebut merefleksikan ‘pengaruh yang tak pernah hilang dari tradisi Mahayana.’