Sekterianisme dan etnosentrisitas

Sekterianisme dan etnosentrisitas

Di semua negara-negara Theravada, Sangha terbelah menjadi beberapa sekte—dua di Thailand, tiga di Sri Lanka dan lebih dari dua belas di Burma. Di Sri Lanka, sekte Siam dan Amarapura Nikaya juga terpecah lagi menjadi yang disebut dengan cabang- cabang. Setiap sekte atau cabang ini memiliki seorang kepala yang mempunyai otoritas dan hak atas para Bhikkhu yang berada di bawahnya, walaupun dalam kenyataannya mereka hanya mempunyai sedikit sekali pengaruh. Sangharaja Burma dan Thailand mempunyai sejumlah kekuasaan yang diberikan kepada mereka oleh pemerintah, tetapi mereka jarang sekali mempergunakannya kecuali bila mereka diminta oleh pihak yang berkuasa. Maha Nayaka Sri Lanka tidak lebih dari tokoh-tokoh yang tidak mempunyai hak jurisdiksi di luar vihara-vihara mereka sendiri.

Jadi, dalam kenyataannya, tidak ada atau tidak Jadi, dalam kenyataannya, tidak ada atau tidak

Seperti telah dikatakan sebelumnya, faktor utama yang mengatur para Bhikkhu dan vihara bukanlah Dhamma atau bahkan bukan Vinaya, melainkan tradisi yang telah lama ada; dan, tradisi-tradisi ini biasanya lebih disebabkan oleh praktek-praktek feodalisme dan nilai-nilai monarkisme daripada oleh apapun yang diajarkan oleh Buddha.

Tidak ada lagi kekompakan di antara sesama penganut Theravada di negara-negara yang berbeda dan, demikian juga, di antara sesama mereka sendiri.

Yang lebih sering tampak dengan jelas adalah ekspresi-ekspresi populer dan eksternal tentang tradisi Theravada saja ketimbang persamaan-persamaan di antara mereka. Yang dapat ditambahkan pula disini adalah semangat nasionalisme dan etnosentrisitas yang tinggi di antara orang Sri Lanka, Burma dan, terutama, Thailand. Mereka hampir-hampir tidak mengakui diri mereka masing-masing sebagai pemeluk agama yang sama.

Ketika Raja Chulalankhorn dari Thailand mengunjungi Pagoda Shwedagon di Burma pada tahun 1870, ia melangkah masuk dengan memakai sepatu. Benar, bahwa Shwedagon adalah sebuah vihara Buddhis; tetapi, karena ia bukan salah satu dari ‘vihara kami’, jadi memakai sepatu tidak merupakan masalah. Orang Burma sendiri tampak tidak terlalu kecewa dengan sikap sang raja itu. Bagaimanapun, raja tersebut bukanlah orang Burma. Jadi, ia hampir- hampir tidak memenuhi syarat untuk menjadi seorang Buddhis.

Memang, para Bhikkhu Barat yang tinggal di Asia dilayani dengan rasa hormat dan keramahtamahan yang tertinggi; tetapi, mereka jarang sekali dianggap sebagai benar-benar Bhikkhu atau benar-benar

Buddhis. Bagi orang Burma, untuk menjadi seorang Buddhis yang ‘sejati’, anda haruslah terlahir menjadi seorang Burma terlebih dahulu. Orang Thailand berfikiran sama; orang Sri Lanka juga, walaupun yang terakhir ini telah sedikit berkurang.

Phra Peter mengatakan, ‘Merupakan sebuah fakta bahwa banyak orang Thailand tidak menganggap saya dengan serius sebagai seorang Bhikkhu dan saya telah

mendengar Phra Farang 21 lainnya mengatakan bahwa mereka telah mengalami ‘penolakan’ yang sama. Walaupun memakai jubah Bhikkhu yang sama, mencukur rambut dan mengikuti aturan Vinaya seperti teman-teman saya orang Thailand, saya masih saja belum benar-benar dianggap sebagai seorang Bhikkhu…Ketika, kadang-kadang, saya bertanya mengapa saya tidak dianggap dengan serius, saya diberi tahu bahwa, ‘Anda bukan orang Thailand and anda tidak membaca parita.’ Secara lembut saya tunjukkan kepada mereka bahwa Buddha sendiri pun bukanlah orang Thailand, dan—sepanjang yang saya ketahui—Buddha sendiri pun tidak banyak berbicara tentang perlunya ataupun manjurnya membaca parita. Tetapi, ini tampak tidak ada bedanya bagi mereka.’

21 Para Bhikkhu asing di Thailand.

Keadaan yang sama juga terjadi sewaktu para Bhikkhu Barat tersebut mengunjungi vihara-vihara di negara-negara kelahiran mereka sendiri yang dikepalai oleh Bhikkhu-Bhikkhu asal Thailand atau oleh Bhikkhu-Bhikkhu Barat yang telah menjalani latihan keBhikkhuan di Thailand. Jauh sebelum mereka mendalami Dhamma, para Bhikkhu Barat itu mengira bahwa mereka harus mengikuti etiket Thailand, melafalkan bahasa Pali dengan aksen Thailand, duduk dengan tata cara Thailand, membungkuk memberi hormat dengan cara Thailand; pendeknya menjadi seorang Thailand yang di- cloning. Orang akan mengira bahwa para Bhikkhu Barat itu lebih sesuai lagi sikapnya bila mereka memakai bendera Thailand daripada jubah kuning di tempat-tempat tersebut. Tidaklah mengejutkan bahwa ketika seorang manusia Barat ditahbiskan di Thailand, orang tidak mengatakan, ‘Ia telah menjadi Bhikkhu’. Mereka mengatakan, ‘Ia telah menjadi orang Thailand.’

Baru-baru ini saya menghadiri sebuah upacara yang dilakukan oleh para Bhikkhu dari Burma dimana sejumlah Bhikkhu dari Thailand juga hadir. Ketika orang-orang Burma mulai membaca parita, Baru-baru ini saya menghadiri sebuah upacara yang dilakukan oleh para Bhikkhu dari Burma dimana sejumlah Bhikkhu dari Thailand juga hadir. Ketika orang-orang Burma mulai membaca parita,

Bila sebuah vihara Theravada di Barat, yang dijalankan terutama oleh orang-orang Barat, kedatangan seorang Bhikkhu dari Burma, maka orang-orang Burma akan segera datang dan memberikan dukungannya dengan segala kemurahan hati. Tetapi, bila vihara itu kedatangan seorang Bhikkhu dari Sri Lanka, maka orang-orang Burma tersebut perlahan-lahan akan menghilang dan orang- orang Sri Lanka yang sebelumnya tak pernah datang akan segera berdatangan dalam jumlah besar.

Para penganut tradisi Theravada Asia di Barat lebih suka dengan seorang Bhikkhu yang berasal dari negara mereka sendiri walaupun ia tidak melakukan apapun ketimbang seorang Bhikkhu dari negara lain yang adalah guru yang kompeten. Seorang Bhikkhu asal Sri Lanka di Inggris memberitahu saya sebuah cerita yang amat khas dan lucu tentang sesuatu yang terjadi padanya beberapa tahun yang lalu.

Seorang laki-laki dari Burma baru saja tiba di London. Ia datang ke vihara tersebut dan mengungkapkan keinginannya yang antusias untuk datang ke vihara itu secara teratur ketika ia masih tinggal di kota London, dan kemudian memberikan sumbangan lima puluh pound. Ternyata, pada siang hari itu juga, ia menemukan sebuah vihara Burma di London. Keesokan harinya ia datang ke vihara Sri Lanka tersebut dan meminta kembali uang sumbangannya dan, setelah itu, ia tak pernah datang lagi.

Penganut Theravada dari berbagai negara yang berbeda memang tidaklah bermusuhan satu sama lain, hanya saja mereka tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di luar lingkungan mereka yang kecil. World Fellowship of Buddhists didirikan pada tahun 1950 untuk mencoba mengoreksi keadaan ini; tetapi, dengan adanya etnosentrisitas dalam agama Buddha tradisional dan ketakpeduliannya secara umum, WFB tersebut tampak belum mencapai hasil apapun.

Christmas Humphreys menggambarkan konferensi-konferensi WFB sebagai terdiri dari orang-orang yang ‘banyak berbicara tentang apa yang harus dilakukan tetapi sedikit sekali tentang siapa Christmas Humphreys menggambarkan konferensi-konferensi WFB sebagai terdiri dari orang-orang yang ‘banyak berbicara tentang apa yang harus dilakukan tetapi sedikit sekali tentang siapa