Tujuan dan Manfaat Penelitian Sistematika Penulisan

1. Apakah Restorative Justice dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia? 2. Bagaimana kedudukan dan mekanisme Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian: 1. Untuk mengkaji dan memahami mengenai penerapan Restorative Justice sebagai alternatif dalam perkara hukum di Indonesia 2. Untuk mengetahui kedudukan dan mekanisme Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

3. Untuk mengetahui bagaimana analisis kasus yang berkaitan dengan Restorative

Justice mengenai perkara Pidana Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai penerapan Restorative Justice dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia . b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan atau diterapkan dalam mengambil kebijakan oleh aparat penegak hukum dengan menerapkan konsep-konsep Restorative Justice dalam perkara pidana. D . Keaslian Penulisan Pembahasan skripsi ini berjudul “Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah Dalam Perkara Pidana”. Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi ini belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila ternyata dikemuadian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan 1.

Restorative Justice Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall di dalam Mrlina dalam tulisannya mengemukakan bahwa Restorative Justice adalah: 9 “Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future” Restorative Justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebutb demi kepentingan masa depan. 9 Tony f. Marshall1998. Restorative Justice On Overview, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan Restorative Justice sebagai: 10 “Suatu sistem huku yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut”. Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan. 11 Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB memberikan pengertian Restorative Justice yaitu suatu proses dimana semua pihak yang berhungungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana akibatnya dimasa yang akan dating. 12 Pengertian keadilan restoratif diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak “UU SPPA” yang berbunyi sebagai berikut: 13 “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.” Di dalam penjelasan umum UU SPPA juga dijelaskan bahwa: Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih 10 http:manshurzikri.wordpress.com20110601restorative ‐justice‐sebagai‐mekanisme‐ penyelesaian ‐perkara‐yang‐mengedepankan‐kepentingan‐perempuan‐sebagai‐korban‐ kekerasan ‐seksual , diakses pada tanggal 18 april 2013 pukul 13:38 wib. 11 http:yuyantilalata.blogspot.com201210restorative ‐justice‐dalam‐sistem.html , diakses pada tanggal 18 april 2013 pukul 13:40 wib. 12 Ibid 13 Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.” Berbeda halnya dengan keadilan restoratif yang merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara pidana khususnya pidana anak, APS merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara perdata Jadi, perbedaan antara keadilan restoratif dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah keadilan restoratif digunakan untuk menyelesaikan perkara pidana anak sedangkan APS digunakan untuk menyelesaikan perkara perdata, Persamaan di antara keduanya adalah merupakan bentuk penyelesaian di luar jalur pengadilan. 14

2. Batasan Anak

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam. 15 Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, di antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah. 16 Undang- Undang No. 23 Tahun tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masi di dalam kandungan, 17 sedangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapi usia 8 tahun tetapi belum mencapai 14 Ibid 15 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 33 16 Pasal 292, 294,295 dan pasal 297 KUHPidana. 17 Pasal 1 Angka 1 Undang‐Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindunagn Anak. usia 18 tahun dan belum pernah menikah. 18 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 yaitu : 19 “bahwa anak yang berkonflik dengaan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 dua belas tahun, tetapi belum berumur 18 delapan belas tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif. 20 Definisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan definisi menurut hukum islam dan hukum adat. Menurut hukum islam dan hukum adat sama-sama menentukan seseorang masi anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing- masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum islam menentukan definisi anak dilihat dari tanda-tanda seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan seabagi anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalah hukum islam. Menurut Ter Haar seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri. 21 Menurut Nicholas McBala 18 Pasal 1 Angka 1 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. 19 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 20 Dr. Marlina SH., M.Hum, Op.Cit., hlm.36 21 Op.Cit., hlm. 34. dalam bukum Juvenile Justice System mengtakan anak adalah periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain. 22

3. Anak Yang Berkonflik dengan Hukum

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 23 Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum ABH, dan saat ini Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum. 24 Ada 2 dua kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu: 25 1 Status offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah; 2 Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Namun sebenarnya terllau ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak tersebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya ank-anak memiliki 22 Op.Cit., hlm. 36. 23 M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 32. 24 Op.Cit., hlm. 33. 25 Ibid kondisi kejiwaan yang labil proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak. Sementara itu, dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku.

4. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif penelitian hukum droktiner. 26 Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan adatu studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum droktiner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau pun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. 26 Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI PRESS, 1986, hlm. 42.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang tujuannya untuk memberikan gambara lengkap mengenai setting sosial atau hubungan mengenai hubungan antara fenomena yang diuji.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen atau bahan pustaka. 27 Studi dokuen atau badan pustaka dilakukan dibeberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, maupun mengakses internet. Jenis Data Data sekunder yang terdiri atas : 1. Bahan buku primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain : 28 a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai Restorative Justice b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai perlinungan anak dan sistem peradilan pidana anak c. Hasil-hasil penelitian, tulisan, majalah dan lain-lain.

4. Analisis Data

27 Op.Cit., hlm. 52. 28 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif‐suatu tinjauan singkat, Jakarta, 2003, hlm. 13. Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori- teori hukum pidana khususnya tentang penerapan restorative justice di Indonesia. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di indonesia tentang sistem peradilan pidana anak yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memehami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai perngertian restorative justice, alternatif penyelesaian sengketa, pengertian anak dan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum.

Bab II Tinjauan Umum mengenai Hukum Perlindungan Anak,

Restorative Justice dan Sitem Peradilan Pidana Bab ini memberikan pemaparan tentang pengertian restorative justice, prinsip, manfaat dan karakteristik, perngertian anak, hukum perlindungan anak dan pemaparan tentang mekanisme restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak.

Bab III Gambaran Umum Tentang Peradilan Anak di Indonesia,

Mekanisme Restorative Justice di Beberapa Negara dan Restorative Justice di Indonesia Bab ini memberikan pemaparan tentang pengadilan anak di Indonesia, tahap-tahap dalam pengadilan anak di Indonesia serta konsep dan praktik restorative justice dibeberapa Negara dan di Indonesia.

Bab IV Kasus Posisi dan Analisis Kasus

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh anak bernama Muhammad Ilham dan Budi Ardiansyah Als. Andre Saputra dan Analisis Kasus restorative justice dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara pidana anak yang berkonflik dengan hukum serta kedudukan restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak agar dapat mengembangkan teori dan praktik penerapan restorative justice dalam menangani perkara pidana anak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. BAB II PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian Anak Secara Umum