Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Pada Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum(Studi Kasus Putusan No. 2209/Pid.B/2012/PN.Mdn)

(1)

RESTO PERK Disus ORATIVE J KARA PIDA (Studi K

un dan Dia Syarat-S Pada F U JUSTICE S ANA PADA Kasus Putu ajukan untu Syarat untu Fakultas Hu UNIVERSI FA SEBAGAI A ANAK Y HUKU usan No. 22

SKRIP uk Memen uk Mencap ukum Univ Oleh HADE BR 0902003 Hukum P ITAS SUM AKULTAS MEDA 2013 ALTERNA YANG BER UM 209/Pid.B/2 PSI nuhi Tugas-pai Gelar Sa

versitas Sum h RATA 397 idana MATERA U HUKUM AN 3 ATIF PENY RKONFLIK 2012/PN.M -Tugas dan arjana Huk matera Uta UTARA NYELESAIA K DENGA Mdn) n Memenuh kum ara AN N hi


(2)

RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN

HUKUM

(Studi Kasus Putusan No. 2209/Pid.B/2012/PN.Mdn)

SKRIPSI

Disusun Oleh : HADE BRATA

090200397

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Medan

Diketahui Oleh

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001

Edi Yunara, SH, M.Hum. Dr. M Eka Putra, SH, M.H NIP. 19601222198603100 NIP. 197110051998011001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK * Hade Brata ** Edi Yunara *** M. Eka Putra

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.

Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana. Karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian ini bahwa setiap anak adalah baik. Faktor yang membuat anak menjadi tidak baik yaitu dikarenakan kurangnya perhatian dan bimbingan yang diperoleh dari orang tua/wali. Faktor lingkungan juga berperan besar dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Oleh sebab itu, pemberian perhatian yang lebih terhadap anak sangat penting karena anak masih dianggap rentan dan memerlukan bimbingan sampai anak dianggap dewasa dalam kehidupannya.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Departmen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Staf Pengajar Hukum Piadana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan karya ilmiah dengan judul “Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaia Perkara Pidana Pada Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum, (Studi Kasus Putusan No. 2209/Pid.B/2012/PN.MDN)” yang disusun dan diajukan untuk memenuhi syrarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan judul ini didasari atas ketertarikan terhadap permasalahan yang terjadi pada anak yang berkonflik dengan hukum yang sekarang semakin meluas dan terjadi dikalangan remaja. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca, walaupun disadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Dalam penulisan skipsi ini penulis penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, serta masukan dari berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan lancar dan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis dengan ketulusan hati mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua yang sangat penulis sayangi, Ayah penulis Bpk. Aiptu Irawadi dan Ibu penulis Ibu Frida Dewi Sumbayak atas support moral, spiritual maupun materi, kesabaran, perhatian dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kakak penulis Yusy Fatrisia atas doa, kasih sayang dan hiburan yang diberikan kepada penulis.


(5)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH. DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, SH. M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Edi Yunara, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I penulis yang dengan sabar membimbing, memberi masukan dan saran serta mendorong dan mengingatkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

8. Bapak Dr. M. Eka Putra, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis atas bimbingannya yang dengan sabar membimbing, waktu yang disediakan yang banyak membantu, memberikan masukan, menambah ilmu kepada penulis;

9. Bapak Edi Ikhsan, SH. L.L.M. selaku Dosen Wali yang senantiasa pembimbing penulis selama menjalankan studi di Almamater tercinta;

10. Bapak Muhammad Hayat, SH. Selaku Dosen penulis yang senantiasa memberikan motivasi agar penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini;


(6)

11. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, seluruh staf Akademik, Sub Bagian Akademik, dan Sub Bagian Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12. Sahabat spesial penulis Diah Meisary Surahman, SH yang telah banyak membantu penulis dan memberikan support dan doa dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga kita sukses dunia akhirat;

13. Sahabat-sahabat seperjuangan penulis yang sudah seperti keluarga sendiri wak genk Ariansyah, Nancy, Alif Oemry, Raja yang telah banyak mengajarkan arti mendiri dan berbagi, i hope we always be a family ever after;

14. Sahabat junior penulis adek Nnud, Cai, Ega, Melisa yang sudah seperti adek sendiri terimakasi ya adek-adek abg uda banyak menghibur dan menyemangati buat abg, semoga kalian segera menyusul SH yaaa;

15. Sahabat penulis kakak Putri Rahayu Surahman, SH. Yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

16. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Stambuk 2009 atas segala kenangan dan tertawa yang kita bagi.

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan dengan penuh keikhlasan. Terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu. Akhir kata penulis menyadari segala keterbatasan penulis. Penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam skripsi ini. Untuk itu,


(7)

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran bagi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2013

Penulis

Hade Brata 090200397


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...vi

BAB I : PENDAHULUAN...1

A.Latar Belakang Masalah...1

B.Perumusan Masalah...6

C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian...7

D.Keaslian Penulisan...8

E. Tinjauan Kepustakaan...8

1. Pengertian Restorative Justice...8

2. Batasan Anak...12

3. Anak Yang Berkonflik dengan Hukum...14

F. Metode Penelitian...15

G.Sistematika Penulisan...17

BAB II : PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK...20

A.Pengertian Anak dan Pengertian Hukum Perlindungan Anak...20

B.Mekanisme Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Anak...36

BAB III : PERADILAN ANAK DI INDONESIA DAN MEKANISME RESTORATIVE JUSTICE ... 40


(9)

A.Pengadilan Anak di Indonesia...40

B. Sistem Peradilan Pidana ( Criminal Justice System)...49

C.Praktik Restorative Justice Di Indonesia dan Negara Philipina...52

D. Institusi-Institusi yang dibutuhkan dalam Pelaksanaan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak...63

BAB IV: RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PADA ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (STUDI HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI STABAT NO.2235/Pid.B/2012/PN.Stb.)...70

A. Kasus...70

B. Analisis Kasus...80

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN...100

A. Kesimpulan...100

B. Saran...101


(10)

ABSTRAK * Hade Brata ** Edi Yunara *** M. Eka Putra

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.

Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana. Karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Dari hasil penelitian ini bahwa setiap anak adalah baik. Faktor yang membuat anak menjadi tidak baik yaitu dikarenakan kurangnya perhatian dan bimbingan yang diperoleh dari orang tua/wali. Faktor lingkungan juga berperan besar dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Oleh sebab itu, pemberian perhatian yang lebih terhadap anak sangat penting karena anak masih dianggap rentan dan memerlukan bimbingan sampai anak dianggap dewasa dalam kehidupannya.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Departmen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara

** Staf Pengajar Hukum Pidana, Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Staf Pengajar Hukum Piadana, Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang No. Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Pasal 5 ayat 3 menyebutkan bahwa, “ Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”. Dalam penjelasannya, yang dimaksudkan dengan kelompok rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Anak1 merupakan bukti atas kebesaran Tuhan Yang Maha Esa sekaligus amanah yang senantiasa harus kita jaga dan kita bina karena di dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak asasi sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara,, membina dan melindungi anak adalah bagian dari upaya untuk membangun peradaban suatu bangsa, sebab anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia seutuhnya bagi pembangunan nasional.

Anak dikelompokkan sebagai orang yang lemah dan rentan karena sifatnya yang masih bergantung pada orang dewasa, karena tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral, dan spiritual belum matang. Anak belum dapat berfikir seperti orang dewasa, belum mampu membuat keputusan mana

      

1 Pengertian anak dalam Skripsi ini mengacu kepada Pasal 1 ayat (1) UndangUndang No. 

3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang mengatur bahwa: Anak adalah orang yang dalam  perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18  (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.   


(12)

yang baik dan kurang baik.2 Anak-anak di Indonesia saat ini sedang mengalami situasi yang pelik. Hal ini dapat dilihat pada pemberitaan di berbagai media massa, anak-anak yang menjadi korban bahkan pelaku tindak pidana itu sendiri.

Perilaku kenakalan anak juga disebabkan oleh berbagai faktor eksternal, yang antara lain adanya dmpak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat, arus gobalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua, telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa kasus yang paling banyak dilakukan adalah kasus pencurian sedangkan kasus yang paling banyak melibatkan anak adalah tindakan melangar ketertiban umum (MKU). Kebanyakan dari pelanggaran tersebut sifatnya ringan atau disebut juga petty crime. Tetapi hampir 90% kasus ini berakhir dengan pemenjaraan apapun bentuknya apakah berupa penahanan, pemberian putusan, pidana penjara, ataupun memutus anak menjadi anak negara yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP).3 Padahal sesuai dengan Pasal 37 (b) Konvensi Hak Anak, Pasal 16 (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Butir 13 (1) The Beijing Rules, Pasal 17 Peraturan-peraturan PBB bagi Perlindungan Anak Yang Kehilangan Kebebasannya, Pasal 66 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, meyatakan bahwa penangkapan dan penahanan terhadap anak harus

      

2 Sulaiman Z. Manik (ed), Kalingga: 

Anak yang Berkonflik dengan Hukum Antara  Hukuman dan Perlindungan, November‐Desember 2003, hlm. 1.   

3 

Andi Akbar (ed), RESTORASI: Merangkai Fakta, Edisi VI / Volume II, LAHA;  (Bandung:2006,) hlm.2. 


(13)

dilakukan sesuai hukum dan akan diterapkan sebagai upaya terakhir (The Last Resort).4

Upaya satu-satunya dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum melalui sistem peradilan pidana yaitu pemenjaraan dimana kenyataannya hampir 100% keputusan tersebut berakhir dengan pemenjaraan padahal hal itu bukan merupakan upaya terakhir (last resort). Pemenjaraan tidak hanya menghilangkan kemerdekaan anak tetapi juga menghilangkan hak-hak yang melekat pada anak tersebut. Penjara menempatkan anak pada dua keadaan yaitu menjadi korban kekerasan dan lebih intens belajar kriminal.5 Anak-anak yang ditahan sangat rentan dan menghadapi resiko mendapatkan pelecehan dan kekerasan tidak hanya oleh para tahanan dewasa tetapi juga dari aparat penegak hukum.

Kegagalan pencapaian tujuan dari sistem peradilan pidana, khususnya dalam penanganan perkara anak konflik hukum, dapat dilihat dari bukti-bukti yang menunjukkan tingginya angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Tingginya kasus anak yang harus berakhir di penjara, sepertinya tidak sebanding

      

4 

Undang‐Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 16 ayat (3), “Penangkapan, Penahanan, atau  tindak pidana penjara anak hanya dilakukan sebagai upaya terakhir”. 

Konvensi Hak Anak Pasal 37 (b), “Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara  tidak sah dan sewenang‐wenang. Penangkapan, penahanan atau penghukuman anak akan  disesuaikan dengan undang‐undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan  untuk masa yang paling singkat dan layak” 

Peraturan‐peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa‐Bangsa Mengenai Admnistrasi  peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Butir 13 ayat (1), “Penahanan Sebelum pengadilan hanya  akan digunakan sebagai pilihan langkah terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin”  Peraturan‐peraturan PBB bagi Perlindungan Anak Yang Kehilangan Kebebasannya 

Pasal 17,”...., Penahanan sebelum perdilan sedapat mungkin dihindari dan dibatasi pada  keadaan‐keadaan yang luar biasa. Denan demikian....” 

Undang‐Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 66, “.... penangkapan,  penahanan, atau pidana penjara anak hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir”. 


(14)

dengan keberhasilan model pemenjaraan menekan juvenile delinquency. Tidak aneh kalau kemudian bermunculan banyak kritik terhadap efektifitas pemenjaraan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana dalam menekan dan menangani kriminalitas, terlebih yang dilakukan oleh anak-anak. Seperti pernah diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat Bantuan Hukum PERADI Ahmad Fikri Assegaf di jakarta pada hari senin tanggal 28 maret 2011 lalu yaitu “Pemenjaraan terhadap anak karena berhadapan dengan hukum tanpa mempertimbangkan jenis pemidanaan lainnya adalah bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan Standar Internasional perlindungan hak asasi anak sehingga dalam mengadili anak-anak yang berhadapan dengan hukum, pengadilan wajib memutus berdasarkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak”.6

Kondisi anak-anak yang berkonflik dengan hukum selama ini, maka diperlukan pembenahan yang komperehensif dan berkelanjutan terhadap sistem peradilan pidana anak yang mencakup lembaga beserta aparat penegak hukumnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dikarenakan sampai saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia hanya mengenal sistem penghukuman yang bersifat menghukum atau pembalasan (retributif)7 dimana penyelesaiannya akhir dilaksanakan melalui lembaga peradilan yang merupakan upaya terakhir dalam menangani kenakalan atau kejahatan yang dilakukan oleh anak. Padahal tidak semestinya semua penyelesaian perkara anak diselesaikan melalui lembaga peradilan, perlu dilakukan pemilahan secara selektif terhadap

      

6 http://edukasi.kompas.com diakses pada tanggal 18 april 2013 pukul 08:16 wib  7 

Retributif merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang paling tua, dimana pidana  dijatuhkan untuk melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balasan  antara yang hak dan yang batil. 


(15)

perilaku kenakalan anak. Hal tersebut sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 16 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku.

Kini sudah saatnya untuk mengubah model penanganan terhadap pelaku kenakalan anak yang Retributif dengan model Restorative Justice (Keadilan Pemulihan).

Sistem Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif merupakan suatu model pendekatan dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Hal ini membuat semakin meningkatnya pengaruh pada dunia luas karena dianggap dapat menjadi alternatif penyelesain konflik hukum. Tujuan utama dari sistem peradilan adalah pemulihan, sedangkan pembalasan adalah tujuan kedua. Berbeda dengan pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesain perkara pidana.8

Berdasarkan hal-hal tersebut maka penulis melakukan penulisan hukum

dengan judul “RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ALTERNATIF

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PADA ANAK YANG

BERKONFLIK DENGAN HUKUM (STUDI HUKUM PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.2209/Pid.B/2012/PN.Mdn) B. Perumusan Masalah

Permasalahan-permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini antara lain:

      


(16)

1. Apakah Restorative Justice dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia?

2. Bagaimana kedudukan dan mekanisme Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian:

1. Untuk mengkaji dan memahami mengenai penerapan Restorative Justice sebagai alternatif dalam perkara hukum di Indonesia

2. Untuk mengetahui kedudukan dan mekanisme Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

3. Untuk mengetahui bagaimana analisis kasus yang berkaitan dengan Restorative Justice mengenai perkara Pidana

Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum khususnya mengenai penerapan Restorative Justice dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia .

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan atau diterapkan dalam mengambil kebijakan oleh aparat penegak hukum dengan menerapkan konsep-konsep Restorative Justice dalam perkara pidana.


(17)

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan skripsi ini berjudul “Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Masalah Dalam Perkara Pidana”.

Penulis telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, dan hasilnya bahwa judul skripsi ini belum ada dan belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis dalam rangka melengkapi dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan apabila ternyata dikemuadian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Restorative Justice

Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall di dalam Mrlina dalam tulisannya mengemukakan bahwa Restorative Justice adalah:9

“Restorative Justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future” (Restorative Justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebutb demi kepentingan masa depan).

      

9 

Tony f. Marshall(1998). Restorative Justice On Overview, Pengantar Konsep Diversi dan  Restorative Justice Dalam Hukum Pidana 


(18)

Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan Restorative Justice sebagai:10

“Suatu sistem huku yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut”.

Menurut Agustinus Pohan, Restorative Justice adalah sebuah pendekatan

untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.11

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengertian Restorative

Justice yaitu suatu proses dimana semua pihak yang berhungungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana

akibatnya dimasa yang akan dating. 12

Pengertian keadilan restoratif diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang berbunyi sebagai berikut:13

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”

Di dalam penjelasan umum UU SPPA juga dijelaskan bahwa:

Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih

      

10 

http://manshurzikri.wordpress.com/2011/06/01/restorative‐justice‐sebagai‐mekanisme‐ penyelesaian‐perkara‐yang‐mengedepankan‐kepentingan‐perempuan‐sebagai‐korban‐ kekerasan‐seksual/, diakses pada tanggal 18 april 2013 pukul 13:38 wib. 

11 http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/restorativejusticedalamsistem.html, diakses 

pada tanggal 18 april 2013 pukul 13:40 wib. 

12 

Ibid 


(19)

baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.

Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.”

Berbeda halnya dengan keadilan restoratif yang merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara pidana khususnya pidana anak, APS merupakan bentuk penyelesaian di luar pengadilan untuk perkara perdata Jadi, perbedaan antara keadilan restoratif dengan alternatif penyelesaian sengketa adalah keadilan restoratif digunakan untuk menyelesaikan perkara pidana anak sedangkan APS digunakan untuk menyelesaikan perkara perdata, Persamaan di antara keduanya adalah merupakan bentuk penyelesaian di luar jalur pengadilan.14

2. Batasan Anak

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum Islam.15 Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, di antaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah.16 Undang-Undang No. 23 Tahun tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan bahkan masi di dalam kandungan,17 sedangkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapi usia 8 tahun tetapi belum mencapai

      

14 

Ibid 

15 Marlina, 

Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009),        hlm. 33 

16 

Pasal 292, 294,295 dan pasal 297 KUHPidana. 


(20)

usia 18 tahun dan belum pernah menikah.18 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 3 yaitu :19 “bahwa anak yang berkonflik dengaan Hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Pembatasan anak dari segi umurnya tidaklah selamanya tepat, karena kondisi umur seseorang dihubungkan dengan kedewasaan merupakan sesuatu yang bersifat semu dan relatif.20 Definisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan definisi menurut hukum islam dan hukum adat. Menurut hukum islam dan hukum adat sama-sama menentukan seseorang masi anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum islam menentukan definisi anak dilihat dari tanda-tanda seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan seabagi anak tersebut belum memiliki tanda-tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalah hukum islam. Menurut Ter Haar seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.21 Menurut Nicholas McBala

      

18 

Pasal 1 Angka 1 Undang‐Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1997 tentang  Peradilan Anak. 

19 UndangUndang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan 

Pidana Anak. 

20 

Dr. Marlina SH., M.Hum, Op.Cit., hlm.36 

21 


(21)

dalam bukum Juvenile Justice System mengtakan anak adalah periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain.22

3. Anak Yang Berkonflik dengan Hukum

Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya anak-anak yang bermasalah dikategorikan dalam istilah kenakalan anak, yang mengacu pada Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.23 Setelah diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Anak, maka istilah tersebut berubah menjadi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), dan saat ini Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pun menggunakan istilah anak yang berkonflik dengan hukum.24 Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu:25

1) Status offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

2) Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum. Namun sebenarnya terllau ekstrim apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak tersebut dengan kejahatan, karena pada dasarnya ank-anak memiliki

      

22 

Op.Cit., hlm. 36. 

23 

M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 32. 

24 

Op.Cit., hlm. 33. 

25 


(22)

kondisi kejiwaan yang labil proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan tingkah laku yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum dapat dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan yang ditimbulkan akibat dari kondisi psikologis yang tidak seimbang dan si pelaku belum sadar dan mengerti atas tindakan yang telah dilakukan anak. Sementara itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya karena adanya kesadaran diri dari yang bersangkutan dan juga telah mengerti bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku.

4. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif (penelitian hukum droktiner).26 Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bagian pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian kepustakaan adatu studi dokumen. Penelitian hukum normatif disebut penelitian hukum droktiner karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau badan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau pun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.

      

26 

Soerjono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI PRESS, 1986), hlm. 42. 


(23)

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yang tujuannya untuk memberikan gambara lengkap mengenai setting sosial atau hubungan mengenai hubungan antara fenomena yang diuji.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen atau bahan pustaka.27 Studi dokuen atau badan pustaka dilakukan dibeberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, maupun mengakses internet.

Jenis Data

Data sekunder yang terdiri atas :

1. Bahan buku primer yaitu bahan hukum yang mengikat yang berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain :28

a. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai Restorative Justice b. Tulisan dan pendapat pakar hukum pidana mengenai perlinungan anak dan

sistem peradilan pidana anak

c. Hasil-hasil penelitian, tulisan, majalah dan lain-lain.

4. Analisis Data

      

27 

Op.Cit., hlm. 52. 

28 

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif‐suatu tinjauan  singkat, (Jakarta, 2003), hlm. 13. 


(24)

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan anak dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif yang berpedoman kepada teori-teori hukum pidana khususnya tentang penerapan restorative justice di Indonesia. Analisis secara deduktif artinya semaksimal mungkin penulis berupaya memaparkan data-data sebenarnya. Metode deduktif artinya berdasarkan yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berlaku di indonesia tentang sistem peradilan pidana anak yang dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memehami makna dan dapat pula memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini merupakan bab yang menguraikan latar belakang penulisan skripsi ini, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang tinjauan kepustakaan yang membahas mengenai perngertian restorative justice, alternatif penyelesaian sengketa, pengertian anak dan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum.


(25)

Bab II Tinjauan Umum mengenai Hukum Perlindungan Anak, Restorative Justice dan Sitem Peradilan Pidana

Bab ini memberikan pemaparan tentang pengertian restorative justice, prinsip, manfaat dan karakteristik, perngertian anak, hukum perlindungan anak dan pemaparan tentang mekanisme restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak.

Bab III Gambaran Umum Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Mekanisme Restorative Justice di Beberapa Negara dan Restorative Justice di Indonesia

Bab ini memberikan pemaparan tentang pengadilan anak di Indonesia, tahap-tahap dalam pengadilan anak di Indonesia serta konsep dan praktik restorative justice dibeberapa Negara dan di Indonesia.

Bab IV Kasus Posisi dan Analisis Kasus

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan kasus posisi tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh anak bernama Muhammad Ilham dan Budi Ardiansyah Als. Andre Saputra dan Analisis Kasus restorative justice dapat dijadikan sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara pidana anak yang berkonflik dengan hukum serta kedudukan restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.


(26)

Bab V Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari masalah-masalah yang telah dibahas pada bab-bab terdahulu dan saran yang berguna bagi semua pihak agar dapat mengembangkan teori dan praktik penerapan restorative justice dalam menangani perkara pidana anak dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.


(27)

BAB II

PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengertian Anak Secara Umum

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.29 Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.30

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) memiliki politik hukum yang responsif terhadap perlindungan anak. Anak ditempatkan pada posisi yang mulia sebagai amanah Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki peran strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi negara ini. Melalui UU No. 23 Tahun 2002 tersebut,

      

29 

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk DiHukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8 


(28)

jaminan hak anak dilindungi, bahkan dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan efektivitas perlindungan anak.31

Betapa pentingnya posisi anak bagi bangsa ini, menjadikan kita harus bersikap responsif dan progresif dalam menata peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kita melihat definisi anak sebagaimana diungkapkan di atas, kita dapat bernafas lega karena dipahami secara komprehensif. Namun, untuk menentukan batas usia dalam hal definisi anak, maka kita akan mendapatkan berbagai macam batasan usia anak mengingat beragamnya definisi batasan usia anak dalam beberapa undang-undang, misalnya:32

1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mensyaratkan usia perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki.

2. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.

3. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefiniskan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin.

4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin. 5. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja

15 tahun.

      

31 

Ibid 


(29)

6. 6. UU0 No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional member-lakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun.

Berbagai macam definisi tersebut, menunjukkan adanya disharrnonisasi perundang-undangan yang ada. Sehingga, pada praktiknya di lapangan, akan banyak kendala yang terjadi akibat dari perbedaan tersebut.33

Sementara itu, mengacu pada Konvensi PBB tentang Hak Anak (Convention on the Right of the Child), maka definisi anak: "Anak berarti setiap manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal". Untuk itu, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan betas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.34

Hadi Supeno mengungkapkan bahwa semestinya setelah lahir UU Perlindungan Anak yang dalam strata hukum dikategorikan sebagai lex specialist,

       33 Pasal 330 KUH Perdata:   

  "Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dulu telah  kawin.  

  Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi  dalam kedudukan belum dewasa. 

  Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan orang tua,  berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur di dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima,  dan ke enam bab ini." Penentuan arti istilah "belum dewasa" yang dipakai dalam beberapa peraturan perundang‐ undangan terhadap bangsa Indonesia. Berdasarkan ordonatie 31 Januari 1931, L.N. 1931‐1954, untuk menghilangkan  segala keragu‐raguan yang timbul karena ordonatie 21 September 1917, L.N. 1917‐1938, dengan mencabut ordonatie  ini ditentukan sebagai berikut: 

1. Apabila peraturan perundang‐undangan memakai istilah "belum dewasa" maka, sekadar mengenai bangsa  Indonesia, dengan istilah itu yang dimaksudkan: segata orang yang belum mencapai umur dua putuh tahun dan  tidak lebih dulu telah kawin. 

2. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebalum mulai dua puiuh satu tahun, maka tidaklah mereka kembali lagi dalam  istilah "belum dewasa". Dalam paham parka‐winan tidaklan terrnasuk perkawinan anak‐anak," 


(30)

semua ketentuan lainnya tentang definisi anak harus disesuaikan, termasuk kebijakan yang dilahirkan serta berkaitan dengan pemenuhan hak anak.35

Terhadap hal tersebut, karena memang sudah seha-rusnya peraturan perundang-undangan yang ada memiliki satu (mono) de-finisi sehingga tidak akan menimbulkan tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang pada tataran praktis akan membuat repot penyelenggaraan pemerintahan. Untuk itu, UU Perlindungan Anak memang seyogianya menjadi rujukan dalam menentukan kebijakan yang berhubungan dalam pemenuhan hak anak.36

1. Hak-Hak dan Kewajiban Anak

Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah kewajiban kita bersama, agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini.

Berkaitan dengan perlakuan terhadap anak tersebut, maka penting bagi kita mengetahui hak-hak anak dan kewajiban anak.

a. Hak-Hak Anak

Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri yang khas. Walaupun dia dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiraan dan kehendaknya sendiri, ternyata lingkungan sekitar mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. Untuk itu bimbingan,

      

35 Ibid 


(31)

pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru, serta orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan oleh anak di dalam perkembangannya.37

Pasal 16 ayat (3) Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. DUHAM adalah instrumen internasional HAM yang memiliki sifat universal, dalam arti setiap hak-hak yang diatur di dalamnya berlaku untuk semua umat manusia di dunia tanpa kecuali. Dengan demikian sudah pasti pemenuhannya tidak tentukan oleh batas usia. Anak, sebagai bagian dari keluarga memerlukan pemeliharaan dan perlindungan khusus dan tergantung pada bantuan dan pertolongan orang dewasa, terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya.38

Terlebih dalam pemenuhan haknya, seorang anak tidak dapat melakukannya sendiri disebabkan kemampuan dan pengalamannya yang masih terbatas. Orang dewasa, khususnya orang tua memegang peranan penting dalam memenuhi hak-hak anak.39

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.40 Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal

      

  37

Di dalam Naskah Akademis RUU tentang Sistern Peradilan Pidana Anak 

38 

Op.Cit, hlm. 12. 

39 Ibid    40


(32)

penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari-hari.41

Di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dirumuskan 15 pasal42 yang khusus merumuskan hak-hak anak, karena pembentuk UU menyadari bahwa anak merupakan kelompok yang rentan terhadap pelanggaran HAM.43

Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, juga diatur secara khusus dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Dalam Pasal 1 butir 12 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, disebutkan, bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara". UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sendiri merupakan bentuk konkretisasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Dengan peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan keputusan Pr44esiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak/KHA), maka sejak Tahun 1990 tersebut Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaktub di dalam Konvensi Hak-Hak Anak.45

      

41 Op.Cit, hlm. 12  42

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak anak terdapat dalam Pasal 52-66.  43 

Ibid 

44 

Ibid, hlm. 13  45


(33)

Menurut Ema Sofyan Syukrie, Negara-negara pihak (yang telah meratifikasi KHA) wajib menerapkan dengan melakukan harmonisasi hukum:46 a) Memeriksa dan menganalisis perundang-undangan yang ada dan yang masih

dalam proses perencanaan/pembentukannya;

b) Meninjau ulang lembaga-lembaga yang ada hubungannya dengan pelaksanaan Konvensi Hak Anak;

c) Mengusulkan langkah-langkah pintas penyelerasan ketentuan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia;

d) Meninjau ulang bagian perundang-undangan yang masih berlaku tetapi perlu penyempurnaan atau pelaksanaan yang tepat; dan

e) Memprioritaskan acara pembuatan undang-undang yang diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan Konvensi Hak Anak / penyelerasan Konvensi Hak Anak dengan perundang-undangan Indonesia.

Maka sebagaimana telah disebutkan, upaya perlindungan hak-hak anak di Indonesia telah diakomodir dalam UUD 1945 Pasal 28B ayat (2) sebagaimana telah disebutkan di atas, juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.47

Berdasarkan Konvensi Hak-Hak Anak, hak-hak anak secara umum dapat dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, antara lain48:

a) Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup (The Right of Live) dan hak untuk

      

46 Ibid, hlm. 13  47 

Ibid 

  48

Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dala  Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 35. 


(34)

memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Hak ini antara lain termuat dalam pasal-pasal berupa:

1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan;

2) Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali kalau hal ini dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya;

3) Kewajiban Negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse);

4) Hak anak-anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan, dan latihan khusus;

5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai, dan tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara untuk memenuhinya; 6) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar

pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib;

7) Hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika; 8) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual,

termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;

9) Kewajiban Negara untuk menjajagi segala upaya guna mencegah penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak.

b) Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi hak perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri atas 2 (dua) kategori, antara lain:

1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondiskriminasi terhadap hak-hak anak, hak-hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak-hak anak penyandang cacat;

2) Larangan eksploitasi anak, misalnya hak berkumpul dengan keluarganya, kewajiban negara untuk melindungi anak dari segala bentuk salah perlakuan oleh orang tua atau orang lain, perlindungan bagi anak yatim, kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari keterlibatan dalam


(35)

pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan atau perkembangan anak, larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana mati, seumur hidup, dan penahanan semena-mena.

c) Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak (the rights of standart of living). Beberapa hak-hak untuk tumbuh kembang ini, yaitu:

1) Hak untuk memperoleh infomiasi (the rights to information); 2) Hak memperoleh pendidikan (the rights to education); 3) Hak bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);

4) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities);

5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to thought and religion);

6) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality development);

7) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);

8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights to health and physical development);

9) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard); 10)Hak untuk/atas keluarga (the rights to family).

d) Hak untuk berpartisipasi (Participation Rights), yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to express her/his views freely in all matters affecting the child). Hak untuk berpartisipasi juga merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Hak ini memberi makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbangan peran, antara lain:

1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;


(36)

2) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi;

3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung;

4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.

Sementara itu, hak-hak anak di Indonesia secara umum ditentukan dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain:49

1) Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;

3) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;

4) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

5) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;

6) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya;

      


(37)

7) Bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;

8) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

9) Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

10)Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

11)Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya;

12)Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;

13)Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam


(38)

kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan;

14)Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

15)Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum;

16)Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;

17)Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri serta memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum;

18)Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan; dan

19)Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

b. Kewajiban Anak

Selain berbicara mengenai hak-hak anak, maka tidak afdhal rasanya apabila tidak berbicara mengenai kewajiban. Karena antara hak dan kewajiban adalah suatu hal yang beriringan selalu.50

      


(39)

Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan, tugas yang harus dilakukan.51 Menurut Setya Wahyudi, anak melakukan kewajiban bukan semata-mata sebagai beban, tetapi justru dengan melakukan kewajiban-kewajiban menjadikan anak tersebut berpredikat “anak yang baik”.52 Anak yang baik tidak hanya meminta hak-haknya saja, tetapi akan melakukan kewajiban-kewajibannya.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ada lima hal kewajiban anak di Indonesia yang mestinya dilakukan, antara lain:53

a) Menghormati orang tua, wali dan guru;

b) Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c) Mencintai tanah air, bangsa dan negara;

d) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia

2. Hukum Perlindungan Anak

Menurut Arif Gosita, bahwa hukum perlindungan anak sebagai hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak-anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Kemudian Bisman Siregar menyebutkan aspek hukum perlindungan anak lebih dipusatkan kepada hak-hak anak yang

      

  51

Kewajiban berasal dari kata “wajib” mendapat awalan “ke” dan akhiran “‐an”, yang artinya  mesti diamalkan (dilakukan), perlu atau tidak boleh tidak, harus, ataupun sudah sepatutnya harus  dilakukan. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta:  Balai Pustaka, 2005), hlm. 1359 

  52  

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak  di Indonesia,( Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 26. 


(40)

diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.54

Pengaturan mengenai perlindungan anak dalam instrument hukum nasional dapat kita jumpai pada beberapa peraturan perundnag-undangan, bidang hukum perdata, bidang hukum pidana dan bidang hukum ketatanegaraan.Berkaitan dengan karya ilmiah ini, maka penulis mencoba meneliti dari salah satu aturan yang berlaku yakni UU No.23 Tahun 2002.

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Latar belakang dikeluarkannya UU No. 23 Tahun 2002 karena Negara Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia seperti yang termuat dalam Undang-Udang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak anak.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berusia delapan belas tahun.55 Bertitik tolak pada konsep perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif maka undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdaasrkan asas-asas:

1. Asas nondiskriminasi;

2. Asas kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. Asas hak untuk Hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;

      

54 

Irma Setyowati, Op.cit., hlm. 4‐8. 

  55 Rika Saraswati, 


(41)

4. Asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak.

Perlindungan terhadap anak sangat diperlukan karena banyak faktor yang menyebabkan anak beresiko mengalami kekerasan, pengabaian, eksploitasi, dan perlakuan salah lainnya, seperti:56

1. Cara pengasuhan menggunakan kekerasan yang diterapkan lintas generasi; 2. Kemiskinan yang berdampak urbanisasi, perubahan gaya hidup, dan

perubahan harapan terhadap kualitas hidup;

3. Nilai-nilai di masyarakat yang eksploitatif (nilai anak sebagai komoditas) dan diskriminatif;

4. Sistem hukum yang tidak mendukung perlindungan anak. Menurut Pasal 3 UU No.23 tahun 2002 bahwa:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.”

Udang-Undang ini juga mewajibkan pemerintah dan Negara (Pasal 14-20), masyarakat (Pasal 25), serta keluarga dan Orang Tua (Pasal 26) untuk bertanggungjawab dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Selain itu undang-Undang ini juga memuat sanksi bagi mereka yang melakukan kekerasan, eksploitasi, dan melakukan penelantaran. Apabila melakukan diskriminasi dan penelantaran anak sehingga mengakbatkan kerugian/penderitaan, akan dikenai

      

56


(42)

hukuman penjara lima tahun dan/atau denda 100 juta rupiah (Pasal 77). Kemudian apabila memperdagangkan, menjual, atau menculik anak dapat dipidana 3-15 dan/atau denda 60-300 juta rupiah (Pasal 83).

Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan efektibilitas penyelenggaraan perlindungan anak maka melalui undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen (Pasal 74).Komisi ini bertugas melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundnag-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak; mengumpulkan data dan informasi; menerima pengaduan masyarakat; serta melakukan penelaahan, pemantauan, pengevaluasian, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 76).

Pada tahun 1989 Konvensi Hak Anak atau KHA (Convention on the right of the child) disetujui oleh Majelis Umum PBB.Konvensi ini mempertegas hak-hak dan perlindungan terhadap anak karena mereka merupakan generasi penerus, tetapi rentan terhadap berbagai ancaman, perlakuan salah, dan eksploitasi dalam berbgai aspek kehidupan.Konvensi ini mengatur bahwa setiap anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk pelacuran dan keterlibatan dalam pornografi.Selain itu, Negara wajib mencegah penjualan/penyeludupan dan penculikan anak dan wajib menjamin agar anak yang menjadi korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantara, perlakuan salah, atau eksploitasi memperoleh perawatan yang layak.Kesemuaan hak ini diatur dalam Pasal 34, 35, dan 36 Konvensi Hak Anak.


(43)

”Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seks dan penyalahgunaan seksual. Untuk maksud ini, Negara-negara peserta khususnya akan mengambil semua langkah-langkah nasional, bilateral, dan multilateral yang tepat untuk mencegah:

(a) Bujukan atau pemaksaan anak untuk melakukan semua bentuk kegiatan sekual yang tidak sah;

(b) Penggunaan anak-anak secara ekspliotasi dalam pelacuran atau praktik-praktik seksual lainnya yang tidak sah

(c) Penggunaan anak-anak secara ekploitasi dalam pertunjukan-pertunjukan dan bahan-bahan pornografi.”

Pasal 35 Konvensi Hak Anak menyatakan:

“Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah nasional, bilateral, dan multilateral; yang tepat untuk mencegah penculikan, penjualan, atau perdagangan anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun.”

Pasal 36 Konvensi Hak Anak menyatakan:

Negara-negara peserta akan melindungi anak terhadap semua bentuk eksploitasi yang merugikan setiap aspek kesejahteraan anak.

B. Mekanisme Restorative Justice Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Anak.

1. Prinsip Restorative Justice

Liebmann juga memberikan rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai berikut:


(44)

2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan 3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman 4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan 5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari

kejahatan di masa depan

6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun pelaku.

Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).

Kita masih ingat kasus-kasus yang terjadi di negeri ini, contoh kasus yang menimpa nenek Rasminah yang dihukum 130 hari penjara karena dituduh mencuri 6 piring, kemudian kasus pengambilan 3 biji kakao senilai Rp 2.100 yang dilakukan oleh nenek Minah yang harus dibawa ke pengadilan, saya tidak tahu apakah Polisi dan Jaksa kita kekurangan pekerjaan. Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka, di mana kedua tersangka disiksa dan ditahan Polisi selama 2 bulan dan terancam hukuman 5 tahun penjara, belum lagi baru-baru ini kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh seorang siswa di kota Palu berinisial AAL harus berakhir di meja hijau. Sebaliknya, untuk kasus hilangnya uang rakyat senilai Rp 6,7 trilyun di Bank Century, Polisi dan Jaksa nyaris tidak ada geraknya. Hal ini yang kemudian di nilai tidak memenuhi rasa keadilan. Ini


(45)

juga menunjukkan kelemahan penyelesaian perkara dalam sistem peradilan pidana.

Seharusnya contoh kasus diatas, seperti pencurian piring yang dilakukan nenek Rasminah tidak perlu sampai pengadilan. Pertemuan antara pelaku dan korban ataupun antara keluarga pelaku dan korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat di fasilitasi oleh mediator. Demikian juga pada kasus perkosaan yang marak terjadi akhir-akhir ini, meskipun bukan gambaran utuh dari penerapan restorative justice baik pelaku dan korban, tetapi keluarga pelaku dan keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama mencapai suatu kesepakatan, misalnya menikahkan putra putrinya.

Dibutuhkan suatu usaha sosialisasi dari pemerintah dan pejabat/pemangku kepentingan tentang restorative justice kepada masyarakat luas, sebagai cara alternatif (tetapi diutamakan) dalam penyelesaian masalah-masalah yang terkait hal-hal domestik, karena mekanisme ini lebih nyata mengedepankan hak-hak korbannya. Restorative justice merupakan suatu mekanisme yang mutlak diperlukan, terlebih lagi, pada dasarnya mekanisme ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan sistem norma dan nilai adat dari nenek moyang.

2. Manfaat Restorative Justice:

1. Restorative Justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus;

2. Restorative Justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;


(46)

3. Restorative Justice memberikan pertanggung-jawaban langsung dari pelaku secara utuh;

4. Restorative Justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan criminal;

5. Restorative Justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

Penyelesaian secara restorative justice berbeda dengan proses pradilan konvensional. Peradilan konvensional merupakan pengadilan yang menentukan kesalahan dan mengurus kerusakan/penderitaan yang dialami seseorang atau beberapa orang dalam sebuah forum antara pelaku tindak pidana dan negara yang dilangsungkan oleh aturan yang sistemik.

Sedangkan restorative justice menurut Howard Zehr adalah melihat suatu proses peradilan dengan pandangan yang berbeda, yakni kriminal adalah kekerasan yang dilakukan oleh orang kepada orang lain.


(47)

BAB III

PERADILAN ANAK DI INDONESIA, MEKANISME RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA DAN NEGARA LAIN

A. Pengadilan Anak di Indonesia

Hukum acara pidana disebut juga sebagai hukum pidana formal. Menurut Lamintang, hukum pidana formal memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkret. Sementara itu Sudarto mengatakan bahwa hukum pidana fomal mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.57

Dengan demikian, hukum acara peradilan pidana anak merupakan peraturan-peraturan yang mengatur agar hukum pidana anak yang bersifat abstrak diberiakukan secara konkret. Dalam UU No. ii Tahun 2012, acara peradilan pidana anak diatur dalam Bab III mulai dari Pasal 16 sampaid engan Pasal 62, artinya ada 47 pasal yang mengatur hukum acara pidana anak.58

Mengingat hukum acara pidana anak ini sebagai lex specialis dari hukum acara pidana umum (KUHAP), maka ketentuan beracara dalam hukum acara pidana (KUHAP) berlaku juga dalam acara peradilan pidana anak, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.Sebagai bentuk pemberian jaminan perlindungan hak-hak anak, maka, Penyidik, Penuntut Umum, dan hakim wajib memberikan pelindungan khusus bagi anak yang diperiksa karena tindak pidana yang dilakukannya dalam situasi darurat serta

      

57 

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hlm. 10. 

58 

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 151. 


(48)

perlindungan khusus dan dilaksanakan melalui penjatuhan sanksi tanpa pemberatan (Pasali7).59

Apabila tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan di mana setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 2o).

Pada Pasal 21 ditentukan anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pem-bimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil ke-putusan untuk:60

a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau

b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. Keputusan tersebut semuanya diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari. Di samping itu, Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada anak. Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pernyataan di atas, maka anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan,

      

59

Ibid, hlm. 152. 

60


(49)

dan pembimbingan lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.61

lnstansi pemerintah dan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagaimana dijelaskan di atas, wajib menyampaikan laporan per-kembangan anak kepada Bapas secara berkala setiap bulan, serta ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan.

Pada proses persidangan masih menggunakan model yang ada dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, berupa larangan menggunakan toga atau atribut kedinasan bagi petugas.Hal ini terdapat dalam Pasal 22 yang berbunyi:

"Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pem-bimbing Kemasyarakatan, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan petugas lain dalam memeriksa perkara anak, anak korban, dan/atau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan."

Perlakuan ini dimaksudkan agar anak tidak merasa takut dan seram menghadapi hakim, Penuntut Umum, Penyidik, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, dan petugas lainnya, sehingga dapat mengeluarkan perasaannya pada hakim mengapa ia melakukan suatu tindak pidana. Selain itu, juga berguna mewujudkan suasana kekeluargaan agar tidak menjadi peristiwa yang mengerikan bagi anak.62

Disetiap tingkat pemeriksaan, anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lain sesuai

      

61

Ibid 

62 Wagiati Soetodjo, 


(50)

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahkan, dalam setiap tingkat pemeriksaan, anak korban atau anak saksi wajib didampingi oleh orang.tua dan/atau orang yang dipercaya oleh anak korban danfatau anak saksi, atau pekerja sosial. Dalam hal orang tua sebagai tersangka dan/ atau terdakwa perkara yang sedang diperiksa, ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak berlaku bagi orang tua.63

Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke Pengadilan Anak, sedangkan orang dewasa atau anggota Tentara Nasional Indonesia diajukan ke pengadilan yang berwenang. Di dalam register perkara anak dan anak korban wajib dibuat secara khusus oleh lembaga yang menangani perkara anak.64

1. PENYID1KAN

Penyidikan mengandung arti serangkaian tindakan yang dilakukan 'pejabat penyidik sesuai dengan cara dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.65

Dalam Pasal 26 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan:

1) Penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang dite-tapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik In-donesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

      

63 Pasal 23 

Undang‐Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. 

64 

M. Nasir Djamil, Op.Cit, hlm. 154. 

65 

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan  Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 109. 


(51)

2) Pemeriksaan terhadap anak korban atau anak saksi dilakukan oleh penyidik. 3) Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik adalah sebagai berikut:

a. telah berpengalaman sebagai penyidik;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

Untuk melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan se-telah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Dalam hal dianggap perlu, Penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya, bahkan dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan anak saksi, penyidik wajib meminta laporan sosial dari Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan. Sehingga, hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada Penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam setelah permintaan penyidik diterima.66

Pada prinsipnya, penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai, dan proses Diversisebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan paling lama 3o (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi. Dalam hal proses diversi berhasil men-capai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat pe-netapan. Apabila diversi

      

66 M. Nasir Djamil


(52)

gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan danmelimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita acara diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.67

2. PENANGKAPAN DAN PENAHANAN

Wewenang yang diberikan kepada penyidik sedemikian luasnya. Ber-sumber dari wewenang yang diberikan sebuah undang-undang, penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, asal hal itu masih berpijak pada landasan hukum yang sah berupa penangkapan danpenahanan. Hal tersebut juga ada dalam hukum acara peradilan pidana anak.68

Pasal 30 UU Sistem Peradilan Pidana Anak berbunyi:

"(1) Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam.

(2) Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak.

(3) Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS.

(4) Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umumya.

(5) Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial."

      

67

Ibid, hlm. 156 

68


(53)

Di samping itu, dalam melaksanakan penyidikan, penyidik berkoor-dinasi dengan Penuntut Umum serta berkoordinasi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa, dilakukan dalam waktu paling lama -1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak dimulai penyidikan.

Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak mem-peroleh jaminan dari orang tua/wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:69

a. Anak telah berumuri4 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

Ketentuan ini menjadi hal baru sebagai bentuk pemberian batas usia anak yang dapat ditahan, mengingat usia di bawahi4 (empat belas) tahun yang masih rentan untuk bisa ditahan. Jaminan hak anak juga masih harus diberikan selama anak ditahan, berupa kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Untuk melindungi keamanan anak, dapat dilakukan penempatan anak di LPKS.70

Penahanan untuk kepentingan penyidikan dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari, dan jang,ka waktu penahanan dimaksud atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 8 (delapan) hart Apabila jangka waktu itu telah berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum, serta penahanan

      

69

Ibid, hlm. 157 

70


(54)

terhadap anak dilaksanakan di LPAS. Dalam hal tidak terdapat LPAS, penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.71

Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan penuntutan, Pe-nuntut Umum dapat melakukan penahanan paling lama 5 (lima) hari. Jangka waktu penahanan sebagaimana permintaan Penuntut Umum dapat di-perpanjang oleh hakim pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari, dan dalam hal jangka waktu dimaksud telah berakhir, anak wajib dikeluarkan demi hukum. Dalam hal penahanan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim dapat melakukan penahanan paling lama io (sepuluh) hari. Jangka waktu permintaan hakim dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 15 (lima belas) hari. Apabila jangka waktu telah berakhir dan hakim belum memberikan putusan, anak wajib dikeluarkan demi hukum.72

Di samping itu, pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada anak dan orang tua/wali mengenai hak memperoleh bantuan hukum. Apabila pejabat tersebut tidak melak-sanakan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, penangkapan atau penahanan terhadap anak batal demi hukum. 

3. PENUNTUTAN

Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum (PU) untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri (PN), yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim dalam persidangan. Penuntutan dalam acara pidana anak

      

71 

Ibid, hlm. 158. 

72 


(55)

mengandung pengertian tindakan Penuntut Umum Anak untuk melimpakan perkara anak ke pengadilan anak dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim anak dalam persidangan anak.73

Pasa141 menentukan bahwa Penuntut Umum ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penuntut Umum sebagaimana dimaksud di atas meliputi:74

a. Telah berpengalaman sebagai Penuntut Umum;

b. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak; dan

c. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

Apabila belum terdapat Penuntut Umum yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud, tugas penuntutan dilaksanakan oleh Penuntut Umum yang melakukan tugas penuntutan bagi tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa. Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik dan diversi seba-gaimana dimaksud, dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dibuat penetapan. Apabila dalam hal diversi gaga, Penuntut Umum wajib

      

73

Ibid, hlm. 159.  

74

Ibid 


(1)

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

A. KESIMPULAN

1. Restorative Justice dapat dijadikan sebagai upaya alternatif dalam menangani persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebagai pelaku tindak pidana. Penerapan konsep ini biasanya ditujukan untuk anak-anak nakal yang sedang berhadapan dengan hukum. Restorative justice ini merupakan suatu proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal yang dianggap lebih efektif dalam penyelesaian masalah perkara anak dimana memerhatikan hak-hak dan memulihkan keadaan korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita karena masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan. Jadi dapat dikatakan restorative justice tidak hanya mementingkan kepentingan sebelah pihak saja, tetapi menguntungkan kedua belah pihak yaitu kepentingan pelaku dan korban. 2. Kedudukan restorative justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

sudah dimasukkan dalam RUU (Rancangan Undang-Undang) KUHP. Mekanisme pelaksanaan restorative justice dalam Sistem Peradilan Pidana sudah mulai berkembang akan tetapi belum dapat diterapkan secara efektif. Hal ini dapat dilihat dari sudah banyaknya keputusan-keputusan Hakim yang lebih memilih menggunakan konsep restorative justice yaitu dengan


(2)

mengembalikan anak kepada orang tuanya ataupun menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan tetap berpegang teguh pada sila ke-4 Pancasila yaitu musyawarah untuk mufakat.

a. Berdasarkan Analisis yang dilakukan penulis terhadap kasus diatas, maka sebaiknya setiap anak yang berkonflik dengan hukum tidak harus dimasukkan kedalam lembaga permasyarakatan, karena hak-hak anak seperti hak untuk bersekolah, hak untuk mendapatkan lingkungan yang layak, dan hak untuk bermain akan terampas.

B. SARAN

1. Sebaiknya pendekatan keadilan restorative harus selalu diutamakan dalam penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum agar pemenjaraan tidak menjadi alasan upaya terakhir dalam proses peradilan. Karena penjara bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan.

2. Restorative justice harus sesegera mungkin dimasukkan kedalam KUHP agar menjadi bagian tetap dari rangkaian KUHP. Karena restorative justice ini diharapkan bisa memberikan perubahan yang lebih baik dalam proses reformasi peradilan pidana Indonesia khususnya pada anak yang berkonflik dengan hukum.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Andi Akbar (ed), RESTORASI: Merangkai Fakta, Edisi VI / Volume II, LAHA, Bandung, 2006

A. Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, Kejahatan Anak Sutau Tinjauan dari

Psikologis dan Hukum, Yogyakarta, Liberty, 1985

Gunawan Widjaja, Alternati penyelesaian sengketa, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2009 Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum

Pidana, Medan, USU-Press, 2010

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk DiHukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2013 Mohammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak

dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti,

1999

Sulaiman Z. Manik (ed), Kalingga: Anak yang Berkonflik dengan Hukum Antara

Hukuman dan Perlindungan, November-Desember, 2003

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan

singkat, Jakarta, 2003

Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011


(4)

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2005

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009

Romli Atmasasmitha, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Bandung, Amirco, 1983

Peranturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Konvensi Hak Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Naskah Akademis RUU tentang Sistern Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak anak

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Website Internet

www.mandailingonline.com http://edukasi.kompas.com

http://manshurzikri.wordpress.com/2011/06/01/restorative-justice-sebagai- mekanisme-penyelesaian-perkara-yang-mengedepankan-kepentingan-perempuan-sebagai-korban-kekerasan-seksual/


(5)

http://yuyantilalata.blogspot.com/2012/10/restorative-justice-dalam-sistem.html http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50bdf69456b7a/penyelesaian-perkara-pidana-dan-perdata-di-luar-jalur-pengadilan,

http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/alternatif-penyelesaian-sengketa-di-indonesia/

Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Medan, Nomor Perkara: No.2235/Pid.B/2012/PN.Mdn

No.589/Pid.Sus.A/2012/PN.Stb No.2209/Pid.B/2012/PN.Mdn


(6)