Peningkatan Skala Produksi Siklodekstrin Dari Pati Garut

(1)

SCALE-UP OF CYCLODEXTRINS PRODUCTION FROM

ARROWROOT STARCH

Erliza Noor and Imam Nur Pratomo

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Technology

Bogor Agricultural University, IPB Dramaga-Campus, PO BOX 220, Bogor, Wes Java, Indonesia Phone +6285694947784, e-mail : imam.npratomo@gmail.com

ABSTRACT

Cyclodextrins are one type of modified starch is widely used by various industries. This study was aimed to produce cyclodextrin in a pilot scale (25 liter) based on labaratory experiment result. Methods used to scaling up production of cyclodextrin is a similar geometry and analysis dimensional. The pilot reactor was constructed having volume of 25 liters is high tank 323 mm, impeller diameter of 200 mm, diameter tank 370 mm, the liquid height 233 mm, impeller speed 140 rpm, and the power to encourage impeller 7 x 10-7Hp. The power to incourage impeller in pilot scale have increased fifthten times from that laboratory scale. Cyclodextrins are produced, analyzed starting from the yield, density, viscosity, and composition. Results of analysis showed that pilot scale could mantained the level of productivity and quality of cyclodextrin with yield 72 g/L, density 1.045 x 103 kg/m3, a viscosity 4 cP, and the composition is 39.27% α-cyclodextrin and 32.05% β -cyclodextrin. Financial feasibility analysis of the production Cyclodextrin on the reactors scale 25 litre result that IRR 24%, BEP 101.7 kg of cyclodextrin,or Rp 14.242.928, NPV (14%) Rp 5.570.161, PBP 2.74 years, and Net B / C Ratio 1,26. These results indicated that the cyclodextrin industry with scale of 25 liters financially feasible to implement.


(2)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara agraris dengan hasil pertaniannya yang melimpah ruah dan sekaligus memiliki potensi untuk dikembangkan dalam berbagai jenis industri. Salah satu dari hasil pertanian yang memiliki potensi adalah umbi garut(Maranta arundinaceae)dengan pati garut sebagai salah satu hasil olahannya. Garut merupakan tanaman sumber karbohidrat alternatif, dimana selain digunakan untuk pangan juga digunakan untuk bahan baku industri. Pati garut dapat digunakan sebagai bahan baku makanan dan minuman, farmasi atau obat-obatan, kimia, kosmetik, tekstil, kertas dan karton. Dibandingkan umbi lainnya, jenis umbi garut memiliki serat yang lebih pendek sehingga lebih mudah untuk dicerna dan dapat dijadikan makanan bayi serta diet bagi manula dan pasien dalam masa penyembuhan.

Pati pada umumnya digunakan untuk produk pangan. Penggunaan pati dalam dunia industri, termasuk industri pangan, dibatasi oleh sifat yang dimilikinya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya menghasilkan pati yang termodifikasi untuk pemanfaatan pati yang lebih luas. Glicksman (1969) mengemukakan pati termodifikasi sebagai pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat berupa pengggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul.

Siklodekstrin merupakan salah satu jenis pati termodifikasi yang dihasilkan secara biokimiawi oleh enzim Cyclodextrin Glicosyl Transferase (CGTase). Siklodekstrin didefinisikan sebagai oligosakarida non reduksi berbentuk siklik yang terdiri dari 6-8 monomer glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik. Siklodekstrin mempunyai sifat yang khas dibandingkan pati termodifikasi lainnya, yaitu memiliki struktur molekul berbentuk torus siklik dengan lapisan luar bersifak hidrofilik dan bagian rongga yang bersifat hidrofobik, sehingga memiliki kemampuan membentuk senyawa kompleks inklusi. Selain itu siklodekstrin juga mampu meningkatkan kelarutan senyawa organik, tahan terhadap kerusakan kimiawi dan biokimiawi serta dapat menstabilkan senyawa flavor. Pemanfaatan siklodekstrin dalam dunia industri cukup luas, diantaranya adalah untuk mengatur pengeluaran flavor, menutup bau dan rasa, meningkatkan kestabilan emulsi, meningkatkan kekuatan pembusaan, mengontrol dan menutupi warna serta melindungi kandungan makanan dari proses oksidasi, reaksi akibat cahaya, dekomposisi panas dan pengurangan kadar air akibat evaporasi.

Berdasarkan fungsi dan kegunaan dari siklodekstrin yang banyak dibutuhkan oleh industri, maka diperlukan siklodekstrin dalam jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhan industri pengguna siklodekstrin. Hasil penelitian sebelumnya, telah dihasilkan formulasi maupun desain proses yang optimum namun masih dalam skala laboratorium. Untuk itu diperlukan peningkatan skala proses produksi siklodekstrin. Untuk mewujudkan peningkatan skala tersebut, perlu diperhatikan beberapa aspek yang berkaitan, diantaranya bahan-bahan, proses aliran, dan alat-alat yang mendukung rencana peningkatan skala.

Peningkatan skala (scale up) merupakan suatu tindakan atau kegiatan yang menggunakan hasil-hasil yang diperoleh dari studi laboratorium untuk merancang prototype dan proses di pilot plant, serta membangun pilot plant dan menggunakan data pilot plant untuk merancang dan membangun pabrik skala penuh atau memodifikasi pabrik yang sudah ada.


(3)

Percobaan pada peningkatan skala merupakan percobaan pada laboratorium ukuran besar yang dirancang untuk bersifat fleksibel bagi penggunaan peralatan dan penyesuaian operasi. Peningkatan skala merupakan salah satu target penelitian sebagai basis untuk perancangan industri. Oleh karena itu, peningkatatan skala (scale up) merupakan kunci penghubung antara laboratorium dan industri.

Peningkatan skala proses produksi siklodekstrin yang dilakukan dengan menggunakan pati garut sebagai bahan bakunya merupakan suatu tindakan untuk membuat hasil proses yang identik pada laju tingkat produksi yang lebih besar dari perencanaan yang sebelumnya telah teruji dengan baik. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat mengoptimalkan produksi siklodekstrin pada skala produksi 25 l dan dapat dijadikan acuan untuk dibangunnya industri siklodekstrin guna memenuhi kebutuhan siklodekstrin di Indonesia.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Merancang reaktor untuk produksi siklodekstrin skala 25 Liter 2. Mengidentifikasi produk siklodekstrin yang diperoleh

3. Menghitung finansial usaha siklodekstrin dalam rangka komersialisasi produk siklodekstrin skala 25 liter


(4)

A. UMBI GARUT

Garut, ararut atau ir yang menghasilkan umbi yan pokok namun kerap ditanam d Tanaman garut termasuk tana sistem perakaran yang dangk tanaman jenis rumput-rumputa speciesMaranta arundinaceae antara 20-45 cm dan diamete berwarna putih hingga coklat berbentuk pelepah membentu berbentuk oval dengan ukuran banyak dengan posisi sejajar (Linggaet al, 1986).

(a) Gambar 1. Tanaman Ga Penyebaran tanaman garut secara teratur telah dilak dan Sulawesi Tenggara baru Yogyakarta, Jambi, Riau dan secara teratur oleh para petani Sulawesi Selatan dan Malu dipinggir-pinggir hutan. Usaha membumbun dan belum mela para petani di Jawa Timur dan Tanaman garut meru harus terkena sinar matahari s digunakan sebagai tanaman memiliki umur tanam relati Kandungan pati maksimum d akan lebih sulit karena pada Jurkema (1996) menyatakan b Banana. Ke dua jenis kultivar yang berbeda. Kultivar Creole

II. TINJAUAN PUSTAKA

irut (Maranta arundinaceae) adalah sejenis tumbuhan ang dapat dimakan. Tanaman garut tidak pernah menjad di pekarangan pedesaan sebagai cadangan pangan saat naman tahunan dengan ukuran satu hingga satu seteng gkal dan rhizoma menuju ke dalam tanah. Tanaman g utan tegak yang termasuk ke dalam kelas Marantaceae, ge eae L.(Linggaet al, 1986). Rhizoma umbi garut memilik eter 2-5 cm. Garut memiliki umbi yang berwarna putih at muda yang tersusun secara tumpang tindih. Batang tan ntuk dua barisan dengan sisik yang tidak sama. Daun ran panjang antara 10-15 cm dan lebar 3-10 cm, jumlah t jar dan mengalami pembesaran ukuran pada bagian uju

a) (b)

n Garut (a), Umbi Garut (b)

n garut di Indonesia telah menyebar secara luas. Pembud laksanakan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, seda ru sebagian kecil. Penanaman tanaman garut sudah d n Jawa Barat meskipun belum teratur. Tanaman ini belum ni di daerah survei Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, S luku. Tanaman ini terdapat pada ladang yang tidak d aha pemeliharaan tanaman garut oleh para petani baru me

lakukan pemberantasan hama dan penyakit. Pemupukan an D.I. Yogyakarta.

rupakan tanaman yang mudah tumbuh subur di tempat i secara langsung (Syamsudin, 1998). Oleh sebab itu tana n tumpang sari dengan tanaman tahunan seperti jati. atif pendek dengan umur tanam 10-12 bulan sudah dihasilkan oleh umbi yang berumur 12 bulan. Namun a umur tersebut umbi memiliki serat yang lebih banyak n bahwa umbi garut memiliki dua jenis kultivar penting ar ini memiliki umbi yang berwarna putih meskipun mem ole memiliki umbi kurus panjang, menjalar luas dan men

an berbentuk terna jadi sumber pangan at musim paceklik. ngah meter dengan n garut merupakan genus Maranta dan liki ukuran panjang tih, dilindungi sisik tanaman garut yang Daun tanaman garut h tulang daun yang ujung tangkai daun

udidayaan tanaman edangkan Lampung dilakukan di D.I. lum dibudidayakan , Sulawesi Tengah, diusahakan petani meliputi menyiang, an hanya dilakukan at terlindung, tidak naman garut cocok ti. Tanaman garut ah dapat dipanen. un proses ekstraksi ak. Villamajor dan g yaitu Creole dan miliki karakteristik enembus ke dalam


(5)

tanah. Bila kultivar ini tumbuh di daerah yang kurang subur mempunyai kecenderungan menjadi umbi yang kurus dan tidak berguna. Umbi ini dikenal dengan nama akar cerutu atau cigar root dan kultivar jenis ini setelah dipanen mempunyai daya tahan selama tujuh hari sebelum dilakukan pengolahan. Banana, kultivar ini umumnya menjadi ciri atau sifat yang berlainan dengan creole. Kultivar banana memiliki umbi lebih pendek dan gemuk, tumbuh dengan tandan terbuka pada permukaan tanah. Umbinya terdapat dekat dengan permukaan tanah, maka lebih mudah dipanen. Cara pemanenan dengan alat mekanik pun dapat dilakukan dengan aman. Keuntungan lain dari kultivar ini adalah kecenderungan untuk menjadi akar cerutu sangat kecil sekali, hasil panen lebih tinggi dan kandungan seratnya lebih sedikit, sehingga lebih mudah diolah bila dibandingkan dengan creole. Namun kultivar ini juga memiliki kekurangan yakni kualitas umbi setelah dipanen cepat mengalami penurunan sehingga harus segera diolah paling lambat dalam tempo 48 jam setelah panen.

Beberapa ahli telah melakukan penelitian tentang kandungan gizi umbi garut. Menurut Lingga et al (1986) komposisi zat gizi masing-masing kultivar berbeda. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh umur tanam dan keadaan tanah tempat tumbuhnya. Komposisi zat gizi umbi garut yang pernah dihasilkan oleh beberapa peneliti ditampilkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi zat gizi dalam umbi garut Komponen

Umbi garut Kultivar Bananaa

(gram)

Kultivar Creolea (gram)

Umbi Garutb (persen) Karbohidrat :  Pati  Serat  Gula 19,4 0,6 -21,7 1,3 -22,7 1,3

-Protein 2,2 1 2,2

Lemak 0,1 0,1 0,1

Abu 1,3 1,4

-Air 72 69,1 66,1

Mineral - - 1,6

Sumber :aKay (1973) ;bWijana (1995)

B.

PATI GARUT

Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa sebagai produk fotosintesis dalam jangka panjang. Belitz (1999) mengatakan bahwa pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersebar dalam organ tanaman sebagai cadangan makanan. Pati terdapat pada tanaman hijau yang disimpan dalam berbagai tempat : biji (sereal), akar dan rimpang (tapioka, kentang), batang (sagu) dan buah-buahan (pisang) yang semuanya digunakan sebagai makanan (Vail, 1978). Pati merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang paling murni dan memiliki kekentalan yang tinggi. Kekentalan ini sangat dipengaruhi oleh keasaman air yang digunakan dalam proses pengolahannya (Kay, 1973). Menurut Hodge dan Osman (1976), pati merupakan hasil reaksi antara karbon dari udara (CO2) dengan air dari dalam tanah pada proses fotosintesis dengan menggunakan energi sinar matahari dalam bentuk bahan organik polisakarida.

Molekul pati memiliki dua ujung berbeda, yakni ujung non pereduksi dengan gugus OH bebas yang terikat pada atom karbon nomor empat dan ujung pereduksi dengan gugus OH bebas anomerik. Gugus hidroksil dari polimer berantai lurus atau bagian lurus dari struktur berbentuk cabang yang terletak sejajar akan berasosiasi melalui ikatan hidrogen yang mendorong pembentukan kristal pati. Daerah dimana rantai-rantai polimer tersusun secara teratur di dalam molekul pati dinyatakan sebagai daerah kristal. Diantara daerah-daerah teratur tersebut, terdapat susunan


(6)

(7)

rantai-Pada umumnya pati yang telah mengalami keseimbangan dalam keadaan atmosfir biasa dapat mengandung 10-17% air. Air diikat oleh pati dalam tiga bentuk, yaitu sebagai kristal, sebagai air yang diabsorpsi atau sebagai air yang berada diantara rongga. Lapisan luar setiap granula pati tersusun secara rapat oleh molekul-molekul pati sehingga sulit ditembus oleh air dingin. Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi bagian amorphous pada granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Jika suspensi air dengan pati dipanaskan, molekul-molekul pati akan merenggang sehingga air akan menembus lapisan luar granula yang pada akhirnya menyebabkan pembengkakan granula pati. Proses tersebut akan terjadi ketika temperatur meningkat dari 600C hingga mencapai 850C. Proses tersebut dikenal dengan istilah gelatinisasi. Pada proses gelatinisasi granula-granula pati dapat mengembang hingga volumenya lima kali lebih besar dari volume awal. Ketika ukuran granula tersebut semakin besar, maka campuran pati dengan air akan mengental (Winarno, 1995).

Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula tepatnya gugus hidroksil yang bebas menyerap air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati dengan cepat. Winarno (1997) menambahkan karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat besar maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan oleh air yang sebelumnya berada di luar granula pati dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini berada dalam granula dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun (Winarno, 1997). Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4– 7. Pada pH yang terlalu tinggi pembentukan gel terlalu cepat tetapi cepat juga menurun. Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk secara lambat dan apabila pemanasan diteruskan viskositas akan kembali turun.

Menurut Winarno (1997), jika suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi dapat diamati. Pada awalnya suspensi pati dalam air berwarna keruh seperti susu. Lama-kelamaan pada suhu tertentu suspensi pati akan berwarna jernih, suhu yang terjadi berbeda-beda untuk setiap jenis pati. Winarno (1997) menjelaskan proses masuknya air ke dalam butiran pati pada proses gelatinisasi disebabkan oleh semakin kuatnya energi kinetik molekul-molekul air dibandingkan dengan daya tarik antar molekul di dalam granula pati. Setelah masuk dalam butiran pati, daya serap air menjadi semakin besar dengan semakin besarnya jumlah gugus hidroksil dalam pati. Hal tersebut akan disertai dengan peningkatan viskositas karena air yang pada awalnya berada di luar granula dan bergerak bebas kini berada dalam butiran-butiran pati dan tidak dapat lagi bergerak secara bebas.

Kawabata et al. (1984) mengungkapkan bahwa pati garut mengandung amilosa sebesar 19,4% dengan kandungan mineral kalium dalam jumlah yang cukup besar, sedangkan Swinkels (1984) menyatakan kadar amilosa pati garut sebesar 20% dan amilopektin 80%. Hal ini diperkuat oleh Satin (2001) bahwa kadar amilosa pati garut sebesar 21%, sedangkan kadar amilopektin adalah sebesar 79%. Kandungan pati garut sangat dipengaruhi oleh jenis kultivar, umur panen dan kondisi pertumbuhan tanaman garut. Pada Tabel 2 berikut ini diperlihatkan kandungan gizi dari pati garut.

Tabel 2. Kandungan gizi pati garut (per 100 gram)

Komposisi Gizi Kandungan

Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) 355,00 0,70 0,20 85,20 8,00 22,00


(8)

Besi (mg) Vitamin B1(mg) Kadar air (%)

Bahan yang dapat dimakan (%)

1,50 0,09 13,60 100,00 Sumber : Wijanaet al.,(1995)

Kay (1973) mengungkapkan bahwa pati garut yang berkualitas komersial di St. Vincent adalah pati garut yang putih dan bersih, dengan kadar air tidak lebih dari 18,5 %, kadar abu dan kadar serat rendah, pH antara 4,5-7 serta viskositas maksimum antara 512-640 Brabender Unit (BU), sedangkan Brautlecht (1953) menyatakan bahwa pati garut komersial mengandung 80-60 % pati, kadar air 12-18 % dan bahan pengotor berupa protein dan serat sekitar 2 % dengan ukuran granula relatif besar dan berbentuk oval.

Pati garut memiliki sifat-sifat yang mudah larut dalam air dan mudah dicerna sehingga sangat cocok digunakan untuk bahan makanan bayi dan orang sakit, granula pati berbentuk oval dengan ukuran antara 15–17 mikron, suhu awal gelatinisasi sebesar 700C, mudah mengembang jika terkena air panas dengan daya mengembang 45% (Pudjiono, 1998). Hal itu juga dikatakan oleh Kay (1973) bahwa kegunaan penting dari pati garut adalan sebagai bahan makanan bagi orang sakit atau bayi seperti dalam bentuk biskuit, kue atau puding.

C.

SIKLODEKSTRIN

Penggunaan pati sebagai salah satu bahan baku industri sudah sangat luas, terutama industri pangan. Namun penggunaan pati dalam dunia industri, termasuk industri pangan, masih dibatasi oleh sifat yang dimilikinya. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya menghasilkan pati yang termodifikasi untuk pemanfaatan pati yang lebih luas. Glicksman (1969) mengemukakan pati termodifikasi sebagai pati yang diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat lainnya. Perlakuan ini dapat berupa penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul. Pati termodifikasi memiliki kemampuan mengikat air yang jauh lebih banyak dari pati alami, serta mempunyai sifat rekat yang besar. Oleh karenanya penggunaan pati termodifikasi untuk pengental atau perekat akan jauh lebih sedikit daripada menggunakan pati alami.

Siklodekstrin merupakan salah satu jenis pati termodifikasi yang dihasilkan secara biokimiawi oleh enzim siklodekstrin glikosiltransferase (CGTase). Kainuma (1984) mendefinisikan siklodekstrin sebagai oligosakarida non reduksi berbentuk siklik yang terdiri dari 6, 7 dan 8 monomer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4 glikosidik. Berdasarkan monomer glukosa yang menyusunnya, siklodekstrin dibedakan menjadi α-siklodekstrin dengan 6 monomer glukosa, β -siklodekstrin dengan 7 monomer glukosa dan ϒ -siklodekstrin dengan 8 monomer glukosa (Komiyama, 1984). Kitahata (1988) menyatakan bahwa jenis siklodekstrin diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu α-siklodekstrin, β-siklodekstrin, dan ϒ -siklodekstrin. Ke tiga produk tersebut dihasilkan oleh berbagai jenis bakteri. Bacillus macerans adalah golongan bakteri penghasil enzim yang memproduksi siloheptaamilase (β-siklodekstrin) sedangkan ϒ -siklodekstrin dihasilkan oleh Bacillus sp.

Siklodekstrin memiliki struktur molekul yang siklik berbentuk torus seperti kue donat. Charoenlap (2004) menyatakan bahwa siklodekstrin memiliki rongga bagian dalam yang bersifat hidrofobik dan permukaan luar yang bersifat hidrofilik. Oleh sebab itu, siklodekstrin dapat mengikat senyawa organik yang bersifat hidrofobik dan dapat membantu kelarutan dalam air. Sifat molekul siklodekstrin tersebut menyebabkan siklodekstrin memiliki kemampuan membentuk kompleks inklusi dengan berbagai variasi molekul yang lain seperti asam lemak, vitamin, flavor dan lain sebagainya yang ditangkap oleh bagian dalam rongga (Otero, 1991). Komiyama dan Bender (1984) mengatakan


(9)

(10)

Jenis CD Unit Glukosa

Berat Molekul

Ukuran Molekul (A0) Kelarutan (Air) 250C

(g/100 ml)

[α] D20 (H2O. 1%) Diameter

Tinggi Dalam Luar

α 6 973 5,7 13,7 7 14,50 150.50

β 7 1135 7,8 15,3 7 1,85 162,50

ϒ 8 1297 9,5 16,9 7 23,20 117,40

Parameter α β ϒ

Jumlah unit glukosa 6 7 8

Berat molekul [g/mol] 972 1135 1297

Kelarutan dalam air pada suhu

ruang [g/100ml] 14,5 1,85 23,2

[α] D pada suhu 250C [0C] 150±0,5 162,5±0,5 177,4±0,5

Diameter rongga [pm] 470-530 600-680 750-830

Ketinggian torus [pm] 790±10 790±10 790±10

Diameter luar [pm] 1460±40 1540±40 1750±40

Perkiraan volume rongga

(106pm3) 174 262 427

Perkiraan volume rongga pada

mol siklodekstrin [ml] 104 1257 256

Perkiraan rongga pada 1g


(11)

Hidrolisis olen enzim α-amilase

dariAspergilus oryzae Diabaikan Rendah Cepat Entalpi larutan, DH0[kj mol-1] 32,1 34,8 32,4 Entropi larutan, DS0[JK-1mol-1] 57,8 49 61,5 Sumber : Madsen (2000)

Whistler et al., (1984) mengatakan bahwa produk siklodekstrin dipengaruhi oleh jumlah dalam pati. Siklodekstrin akan lebih banyak dihasilkan jika pati yang digunakan lebih banyak mengandung fraksi amilosa daripada fraksi amilopektin. Lee dan Kim (1991) mengatakan bahwa untuk meningkatkan konversi pati menjadi siklodekstrin dapat dilakukan dengan rekayasa genetik (teknik manipulasi gen) dan penambahan pelarut organik. Pelarut organik yang dapat digunakan seperti toluena, dekana, etanol, isopropanol, dan propanol. Meskipun demikian penggunaan siklodekstrin umumnya diperuntukkan untuk makanan, kosmetik, dan farmasi. Pembentukan siklodekstrin dari pati menggunakan enzim CGTase dari B. Circulan var alkalophilus yang ditambahkan dengan etanol menyebabkan peningkatan produk β-siklodekstrin dan α-siklodekstrin, sedangkan β-siklodekstrin secara perlahan-lahan menurun dengan peningkatan konsentrasi etanol (Mattson et al., 1991). Peningkatan produk siklodekstrin dengan penambahan pelarut organik akan menurunkan kompleks inklusi siklodekstrin dengan CGTase, karena kompleks dengan CGTase menghambat produksi siklodekstrin. Selain dengan pelarut organik, produksi siklodekstrin juga dapat ditingkatkan dengan penambahan surfaktan, polipropilen glikol (PPG) dan polietilen glikol (PEG).

Pada awalnya produk siklodekstrin belum banyak dimanfaatkan untuk keperluan makanan, karena harga jual yang dimilikinya cukup tinggi dengan produksi yang masih terbatas serta enzim ongkos produksi yang tergolong tinggi. Namun seiring dengan perkembangan zaman siklodekstrin telah diproduksi secara industri walaupun di Indonesia sendiri belum terdapat industri yang memproduksi siklodekstrin. Penggunaan siklodekstrin pada industri makanan yaitu :

1. Mengontrol pengeluaran flavor

Siklodekstrin dapat menstabilkan bahan-bahan volatil (mudah menguap) sehingga tidak terjadi pelepasan flavor yang prematur pada proses pengolahan pangan. Dengan demikian, secara tidak langsung siklodekstrin dapat mengontrol pengeluaran flavor.

2. Menghilangkan odor dan rasa (citarasa) yang tidak disukai

Siklodekstrin dapat mengurangi atau menghilangkan bau berbagai produk seperti ikan, daging kambing, bawang putih, ekstrak khamir, susu kedelai, lesitin dan beras lama. Siklodekstrin dapat juga menutupi rasa pahit dari jus buah jeruk dan anggur. Penutupan bau dan rasa yang tidak diinginkan bersifat efektif pada suhu rendah dan konsentrasi siklodekstrin yang tinggi.

3. Meningkatkan kestabilan emulsi

Siklodekstrin dapat menstabilkan emulsi dari minyak lemak, sehingga siklodekstrin dapat digunakan pada berbagai macam produk seperti salad, mayonaise telur, dan berbagai produk lainnya yang mengaplikasikan emulsi minyak dan air. Menurut Pszezola (1988) bahwa penambahan 1-3% β-siklodekstrin dapat menstabilkan emulsi pada mayonaise yang terbuat dari minyak makan.

4. Meningkatkan kekuatan pembusaan

Volume busa putih telur dapat ditingkatkan dengan menambahkan siklodekstrin. 5. Mengontrol warna

Zat warna alami seperti karatenoid dan flavoroid dapat distabilkan dengan kompleks siklodekstrin. Warna dapat diubah melalui proses kompleks siklodekstrin.

Siklodekstrin dalam pemanfaatannya dapat digunakan juga sebagai pelindung makanan dari proses oksidasi, reaksi akibat cahaya, dekomposisi panas, dan pengurangan kadar air akibat evaporasi. Kompleks kristal tersebut bersifat stabil, sehingga mampu meningkatkan kondisi proses penanganan dan penyimpanan produk. Selain itu kompleks siklodekstrin juga dapat digunakan untuk menyiapkan


(12)

Pada produk daging siklodekstrin dapat digunakan meningkatkan kadar air yang tinggal dan memperbaiki tekstur serta dapat digunakan pada pembuatan saos.

Oteroet al.,(1991) mengatakan bahwa selain untuk industri pangan, siklodekstrin juga dapat digunakan pada industri kosmetika, pestisida, farmasi dan digunakan pada beberapa proses yang melibatkan sel, stimulan pada produksi antibiotika dan meningkatkan produksi vaksin. Siklodekstrin dapat dimodifikasi secara kimiawi untuk keperluan yang lebih khusus. Siklodekstrin dapat dikembangkan dengan sifat yang berbeda dengan sifat awalnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengganti beberapa gugus hidroksil pada tepi-tepi molekul siklodekstrin (Pszezola, 1988).

D. ENZIM CGTase (Cyclodextrin Glycosil Transferase)

Siklodekstrin glikosiltransferase (EC.2.4.1.19 CGTase) merupakan katalisator konversi pati menjadi siklodekstrin dengan transglikosilasi intramolekul (reaksi siklisasi). Enzim CGTase digolongkan ke dalam enzim transferase (CGTase, EC. 2. 4. 1. 19), berperan dalam sintesis atau siklisasi dekstrin membentuk siklodekstrin dan mengkatalis pemindahan glikosil sehingga enzim tersebut digolongkan ke dalam enzim transferase (Kitahata, 1988).

Menurut Kitahata (1988) CGTase dapat mengkatalisis tiga jenis reaksi yaitu : 1. Transglikosilasi intramolekul

Transglikosilasi intramolekul adalah pemindahan gugus glukosil pada satu molekul di kedua ujung. Pembentukan siklik (siklodekstrin) dari maltooligosakarida rantai lurus untuk jumlah glukosil lebih dari 6 (maltoheksosa. G6) dilakukan proses transglikosilasi intramolekul dengan menggunakan bagian luar dari ikatan α-1,4 glikosida pada gula non pereduksi.

Pati (α, β, ϒ )-siklodekstrin 2. Transglikosilasi intermolekul

Transglikosilasi intermolekul adalah pemindahan gugus glukosa pada satu molekul dengan molekul lain. Molekul tersebut dapat sejenis (maltosa dengan maltosa) atau berbeda jenis (maltosa dengan maltriosa, siklodekstrin dengan maltosa), salah satu molekul berperan sebagai aseptor. Aseptor yang paling efektif pada aksi transfer intermolekul oleh CGTase adalah tipe piranisol yang sama konfigurasinya dengan glukopiranosa yaitu yang mempunyai gugus –OH (hidroksil) bebas pada C2-, C3- dan C4- seperti sorbose dan sukrosa. Dengan adanya aseptor yang cocok seperti glukosa atau sukrosa, pada residu glukosil yang ditransfer dari α-1,4-glukan atau siklodekstrin ke aseptor melalui reaksi perangkaian (coupling reaction)atau reaksi disproposionasi.

Pati + Sukrosa (sebagai aseptor) Maltooligosil-sukrosa 3. Reaksi hidrolisis pati

Reaksi hidrolisis pati adalah kemampuan untuk memecah ikatan α-D-1,4-glikosida pada suatu ikatan. Rantai panjang glikosida dilakukan secara acak, CGTase dapat melakukan aktivitas hidrolisis pada pati dan siklodekstrin yang akan menghasilkan hidrolisat berupa beberapa maltooligosakarida.

Pati

CGTase

Maltooligosakarida Hidrolisis

Siklodekstrin

Adanya transglikosilasi ini dapat memberikan sifat yang baru dari senyawa yang diglikosilasi, sebagai contoh glikosil asam askorbat akan stabil terhadap oksidasi, disebabkan oleh glikosilasi pada C2-OH dari asam askorbat. Transglikosilasi terhadap D-laktosa yang banyak


(13)

(14)

pada pH 6,0-6,5 dengan suhu 600C (Kainuma, 1984). Leeet al. (1992) mengatakan bahwa aktivitas optimum CGTase adalah antara pH 5,5-7,5 dengan suhu 600C.

Kitahata (1988) menjelaskan bahwa di dalam suatu media dengan sumber karbon adalah pati dengan fraksi amilosa dan amilopektin (tanpa aseptor), CGTase hanya akan mengkatalisis reaksi pembentukan siklodekstrin (siklisasi). Sebaliknya jika di dalam media juga terdapat G2 (maltosa) dan G3 (maltriosa), maka CGTase akan mengkatalisis transglikosasi intermolekul G2 dan G3 membentuk maltooligosakarida, selanjutnya siklodekstrin diproduksi dari maltooligosakarida. Sikodekstrin yang dihasilkan dari G2 dan G3 pada waktu tertentu dapat berkurang kembali , hal tersebut dikarenakan sifat dari G2 dan G3 sebagai aseptor menyebabkan siklodekstrin terdokomposisi.

E. ENZIM PENGHIDROLISIS

(α-amilase)

Enzim adalah molekul biopolimer yang merupakan protein, tersusun atas serangkaian asam amino dalam komposisi dan susunan rantai yang tetap dan teratur. Di dalam sel enzim memegang peranan dalam berbagai reaksi biokimia. Salah satunya diantaranya adalah enzim amilase yang dapat menghidrolisis pati, glikogen dan turunan polisakarida dengan jalan memecah rantai ikatan α-1,4 glikosidik. Berdasarkan bagian rantai yang diserang, amilase dapat dipisahkan ke dalam tiga grup. Pertama, α-amilase yang memecah ikatan di bagian dalam substrat sehingga disebut endoamilase. Kedua, β-amilase yang menghidrolisis unit paling ujung dari substrat. Ketiga, glukoamilase yang memecah unit glukosa yang ikatannya belum tereduksi (Kulp, 1975).

Enzim α-amilase dikenal dengan nama “dextrogenic amylase” karena hasil utama dari hidrolisisnya terhadap pati adalah dekstrin (Meyer, 1973). Enzim α-amilase akan menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik yang terdapat di dalam rantai amilosa dan amilopektin meskipun tidak dapat memecah ikatan α-1,6 glikosidik yang terdapat di dalam polimer bercabang (Fogarty, 1983).

Mikroba yang sudah umum digunakan untuk menghasilkan enzim amilase adalah bakteri Bacillusdan kapangAspergillus. Kedua mikroba dari genus tersebut mensekresikan beberapa enzim ekstraselular dalam jumlah yang relatif besar. Enzim amilase merupakan enzim ekstraselular, yaitu enzim yang dihasilkan dihasilkan didalam sel tetapi dikeluarkan ke medium fermentasi untuk membantu kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu untuk mengisolasi bakteri yang memproduksi enzim tertentu, diperlukan substrat yang dapat menginduksi produksi enzim tersebut oleh sel bakteri. Enzim jenis ini cocok diproduksi dalam skala besar karena dihasilkan dalam jumlah relatif banyak serta tidak terlalu sulit metode ekstraksinya.

Enzim α-amilase yang berasal dari bakteri memiliki berat molekul 96,900 untuk bentuk kristal. Walaupun demikian, ada dua fraksi yang diperoleh dari filtrasi gel (Sephadex), yaitu satu komponen yang bergerak lebih cepat memiliki berat molekul 50.000 dan komponen yang lebih lambat dengan berat molekul 100.000. Fraksi yang memiliki berat molekul 50.000 adalah monomer α -amilase. Komposisi enzim α-amilase juga dipengaruhi oleh asal enzim tersebut. Perbedaan komposisi dan struktur molekul α-amilase akan membedakan pola kerja dan sifat-sifat fisiko kimia enzim tersebut.

Pengukuran aktivitas α-amilase ditentukan dengan mengukur hasil degradasi pati, biasanya dari penurunan kadar pati yang terlarut atau dari kadar dekstrin dengan menggunakan substrat jenuh. Pemanfaatan substrat dapat diukur dengan pengurangan derajat pewarnaan yodium terhadap substrat. Bila dekstrin bereaksi terhadap yodium akan membentuk kompleks berwarna coklat. Selain itu, pengukuran aktivitas α-amilase juga dapat dilakukan dengan cara pengukuran viskositas dan jumlah pereduksi yang terbentuk (Winarno, 1983). Aktivitas enzim α-amilase terhadap sifat substrat berturut-turut adalah penurunan kekentalan, kenaikan grup-grup yang direduksi, perubahan sifat pengikatan substrat terhadap yodium dan merupakan rotasi optik. Aktivitas α-amilase digambarkan sebagai likufikasi, sakarifikasi, dan pembentukan dekstrin. Endoamilase yang penting dalam industri dapat dibedakan menjadi dua golongan. Pertama α-amilase thermostabil, terutama digunakan untuk proses


(15)

(16)

F.

PENINGKATAN SKALA (SCALE-UP)

Definisi scale-up atau peningkatan skala merupakan tindakan menggunakan hasil yang diperoleh dari laboratorium untuk mendesain prototype dan proses sebuah pilot plant untuk merancang dan membangun pabrik skala penuh atau memodifikasi pabrik yang sudah ada (Hulbert, 1998).

Langkah pertama dalam pengembangan sebuah produk pangan baru adalah mendefinisikan proses yang dibutuhkan untuk membuat produk. Dalam beberapa kasus, terdapat banyak produk yang telah diproduksi pada skala kecil dan para pengusaha menginginkan untuk memperbesar skala proses untuk menyediakan jumlah produksi yang lebih besar. Salah satu perangkat yang berguna dalam hal ini adalah pengembangan diagram aliran proses. Diagram ini menunjukkan laju produksi yang diinginkan dan materi yang dibutuhkan pada setiap tahapan proses. Kebutuhan peralatan ditunjukkan secara skematis pada diagram yang berguna bagi para ahli teknik dalam menghitung biaya dan menyeleksi serta mengukur peralatan untuk proses (Hulbert, 1998).

Langkah kedua adalah memecahkan masalah yang masih terdapat dalam proses peningkatan skala. Kebutuhan ini memerlukan uji coba terhadap peralatan penting di dalam laboratorium pilot plant. Berdasarkan proses dan tingkat produksi yang diinginkan, scale-up merupakan proses yang cukup sulit untuk diaplikasikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan percobaan-percobaan yang bersifat kontinyu. Percoban-percobaan ini dibutuhkan untuk menentukan parameter optimum untuk skala besar dan untuk menentukan desain peralatan yang dimodifikasi. Selain itu, percobaan juga dilakukan karena di dalam produk pangan sendiri terdapat interaksi kimia dan fisik yang bersifat kompleks (Scott, 2007). Oleh karena itu, pengetahuan dasar tentang interaksi kimia fisik diantara komponen produk penting untuk dipahami. Apabila tidak diperhatikan sifat kimia dan fisik, kemungkinan besar akan terjadi kerusakan produk terutama pada formulasi yang digunakan. Beberapa peralatan akan membantu dalam penentuan ukuran dan ciri-ciri peralatan yang dibutuhkan atau spesifikasi alat yang akan menjadi referensi untuk pembelian alat (Hulbert, 1998).

Untuk dapat melakukan peningkatan skala perlu adanya pengembangan produk dan servis yang terintegrasi. Diantaranya yaitu pengembangan produk (sumber dan formulasinya), menguji unit operasi, mengembangkan kinerja kerja dari spesifikasi alat, dan menentukan titik kritis proses. Produk pangan yang ditingkatkan skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma dan penampakan visual. Proses skala besar tidak akan menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, akan tetapi menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya (Scott, 2007).

Proses peningkatan skala membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan. Beberapa analisis tersebut diantaranya analisis terhadap kondisi operasi, kondisi desain dan proses optimum. Metode untuk melakukan proses peralihan akan dikembangkan dan diujicobakan sebagai kerja praktek. Data dan info-info yang berhubungan lainnya akan berguna untuk ketelitian proses yang dilakukan dalam skalapilot plant(Scott, 2007).

Tahappilot plantmerupakan tahap pertengahan penelitian atau pembuatan produk sebelum masuk ke dalam produksi lebih besar. Tahap pilot plant ini merupakan jembatan yang dapat membantu produksi skala besar karena skala produksi besar terlalu sulit dilakukan apabila mendesain proses mulai dari skala laboratorium. Tahap pilot plant dapat mengevaluasi hasil dari laboratorium dalam pembuatan produk, mengkoreksi dan mengembangkan proses. Selain itu, tahappilot plantjuga dapat menyediakan informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan dalam pengembangan proses skala besar (Harper, 2007).


(17)

G. PROSES PENCAMPURAN (MIXING)

1.

Pencampuran dan pengadukan

Menurut McCabe et al. (1985), keberhasilan operasi suatu proses pengolahan sering bergantung pada efektifnya pengadukan dan pencampuran zat cair. Istilah pengadukan dan pencampuran berbeda satu sama lain. Pengadukan (agitation) menunjukkan gerakan yang terinduksi menurut cara tertentu pada suatu bahan di dalam bejana, dimana gerakan itu biasanya mempunyai semacam pola sirkulasi. Untuk meningkatkan proses pencampuran umumnya diperlukan adanya pengadukan.

Menurut McCabeet al.(1985), tujuan pengadukan antara lain ialah : 1. Untuk membuat suspensi partikel zat padat

2. Untuk meramu zat cair yang mampu bercampur (miscible)

3. Untuk menyebarkan dispersi gas di dalam zat cair dalam bentuk gelembung-gelembung kecil.

4. Untuk menyebarkan zat cair yang tidak dapat bercampur dengan zat cair lain, sehingga membentuk emulsi atau suspensi butiran-butiran halus.

5. Untuk mempercepat perpindahan kalor antara zat cair dengan kumparan atau mantel kalor. Pencampuran (mixing), di lain pihak adalah peristiwa menyebarkan bahan-bahan secara acak, dimana bahan yang menyebar ke dalam bahan yang lain dan sebaliknya, sedang bahan-bahan itu sebelumnya terpisah dalam dua fase atau lebih. Selanjutnya menurut Bhatia et al. (1992), prosesmixingdapat dikategorikan menjadi proses suspensi, dispersi, emulsi, blending, dan pemompaan. Tabel 5 menunjukkan kategori kelas proses pencampuran secara lengkap.

Tabel 5. Kelas proses pencampuran (Mixing)

Proses Fisik Kelas Proses Kimiawi

Suspensi Liquid-solid Pelarutan

Dispersi Liquid-gas Absorpsi

Emulsi Immiscible liquids Ekstraksi

Blending Miscible liquids Reaksi

Pemompaan Fluid motion Tranfer panas

Sumber : Bhatiaet al.(1992).

2.

Impeller

Menurut McCabe et al. (1985), ada dua macam impeller pengaduk : jenis pertama membangkitkan arus sejajar dengan porosimpeller, dan yang kedua membangkitkan arus pada arah tangensial atau radial. Impeller jenis pertama disebut impeller aliran-aksial (axial-flow impeller), sedang yang kedua,impelleraliran radial (radial-flow impeller). Dari segi bentuknya, ada tiga jenisimpeller yaitupropeller(baling-baling), dayung (paddle), dan turbin. Dari jenis-jenisimpellertersebut, umumnya impellerturbin lebih efektif untuk jangkauan viskositas yang cukup luas. Impeller turbin pada cairan berviskositas rendah akan menimbulkan arus yang sangat deras yang berlangsung di keseluruhan bejana, mencapai kantong-kantong yang stagnan dan merusaknya.

3.

Rancangan Scale-Up Tangki Pencampuran


(18)

penempatannya, demikian pula mengenai perbandingan ukuran tangki/ bejana. Setiap keputusan mengenai pilihan itu berpengaruh langsung pada laju sirkulasi zat cair, pola kecepatan, dan daya yang digunakan. Akan tetapi tidak selalu mudah membuat tangki/ bejana besar yang secara geometrik serupa dengan bejana kecil. Disamping itu, walaupun bisa didapatkan keserupaan geometrik, keserupaan dinamik dan kinematik mungkin tidak bisa dicapai, sehingga hasil pada skala besar tidak selalu bisa diramalkan. Suatu pertimbangan yang sangat penting dalam merancang bejana atau tangki pencampuran adalah kebutuhan daya untuk mendorongimpeller. Sebagai titik tolak rancangan tangki pencampuran pada skala besar, dapat digunakan rasio tangki pencampuran denganimpeller.

Menurut McCabeet al.(1985), untuk menaksir daya yang diperlukan untuk memutar impellerpada kecepatan tertentu, diperlukan suatu korelasi empirik mengenai daya yaitu angka daya (Np). Dua alat pencampur yang mempunyai perbandingan geometri yang sama seluruhnya, tetapi berbeda ukuran, akan mempunyai faktor-faktor bentuk yang identik.

Tabel 6. Beberapa parameter dalam proses pencampuran

Parameter Kesetaraan Rumus

Bilangan aliran (flow number) Bilangan daya (power number) Bilangan Reynolds (Reynolds number)

Bilangan Froude (Froude number)

Rasio penting pada bejana denganimpeller yaitu faktor-faktorS1= Da/Dt, S2= E/ Da,

S3= L/ Da, S4= W/ Da, S5= J/ Dt,danS6= H/ Dt.Faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk meramalkan besarnya daya yang dibutuhkan impeller sesuai dengan ukuran tangki/ bejana pencampuran. Besarnya kebutuhan daya untuk mendorong impeller pada tangki pencampuran dapat diketahui dengan menggunakan kurva pada grafik hubunganNpvs NRe.


(19)

(20)

H. ANALISIS DIMENSIONAL

Banyak permasalahan teknik penting yang tidak dapat diselesaikan secara lengkap

dengan menggunakan teori maupun metode matematika. Permasalahan ini biasanya

berhubungan dengan aliran fluida, aliran panas, dan proses difusi. Salah satu metode yang

dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan dimana persamaan matematika tidak dapat

diturunkan lagi adalah dengan menggunakan data percobaan secara empiris (McCabe, 1993).

Dalam melakukan peningkatan skala pada suatu tahapan proses, seringkali kita harus

menganalisis berbagai angka yang mempunyai dimensi berbeda-beda seperti panjang,

putaran, waktu, dan sebagainya. Permasalahan yang akan dicari jawabannya dalam

peningkatan skala pun akan berupa angka yang mempunyai dimensi tertentu, seperti

diameter reaktor maupun tenaga. Oleh karena itu, peningkatan skala dapat dilakukan dengan

menggunakan salah satu metode yang dikenal dengan istilah analisis dimensional. Metode

ini menggunakan gugus nirmata (tidak berdimensi) sebagai parameter dalam rancang bangun

bioreaktor yang dijaga tetap selama peningkatan skala (

Loebel, 1978

).

Dimensi besaran fisis diwakili dengan simbol, misalnya M, L, T yang mewakili

massa, panjang dan waktu. Satuan dan dimensi suatu variabel fisika adalah dua hal berbeda.

Satuan besaran fisis didefinisikan dengan perjanjian, berhubungan dengan standar tertentu

(besaran panjang dapat memiliki satuan meter, kaki, inci, mil, ataupun mikrometer), namun

dimensi besaran panjang hanya satu, yaitu L. Dua satuan yang berbeda dapat dikonversikan

satu sama lain (1 m = 39,37 in; angka 39,37 ini disebut sebagai faktor konversi), sementara

tidak ada faktor konversi antar lambang dimensi.

Tabel 8. Dimensi dan satuan tujuh besaran dalam sistem SI

Besaran dasar

Dimensi

Satuan SI

Massa

M

kg

Panjang

L

m

Waktu

T

s

Suhu

Ɵ

K

Arus listrik

E

A

Intensitas cahaya

I

Cd

Jumlah zat

A

mol

I.

ANALISA FINANSIAL

Sutojo (1983) dan Kadariah et al. (1999) menyebutkan bahwa kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik dilakukan atas aspek-aspek tertentu, yaitu aspek teknis, aspek manajerial dan administratif, aspek organisasi, aspek pemasaran, aspek finansial, dan aspek ekonomi. Umar (2005) manambahkan bahwa kajian terhadap keadaan dan proses suatu pabrik juga memerlukan analisis terhadap aspek lingkungan, aspek legalitas, dan aspek sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut biasanya dianalisis dengan teknik-teknik tertentu dengan mempertimbangkan manfaat bagi indutri tersebut. Dalam penelitian ini hanya akan dikaji mengenai aspek finansial. Oleh karena itu akan lebih dititikberatkan pada finansial pembuatan usaha siklodekstrin.

Evaluasi aspek finansial dilakukan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan. Selain itu, juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana yang menguntungkan (Djamin, 1984). Aspek finansial dilakukan setelah selesai evaluasi aspek lainnya dalam rencana investasi proyek selesai dilaksanakan. Analisis finansial adalah perbandingan antara pengeluaran dengan


(21)

pemasukan suatu proyek dengan melihat dari sudut badan atau orang yang menanamkan modalnya dalam proyek tersebut memberikan sumbangan atau rencana yang positif dalam pembangunan ekonomi nasional (Kadariahet al,.1978).

Dari aspek finansial dapat diperoleh gambaran tentang struktur pemodalan bagi perusahaan yang mencakup seluruh kebutuhan modal untuk dapat melaksanakan aktivitas mulai dari perencanaan sampai pabrik beroperasi. Secara umum, biaya dikelompokkan menjadi biaya investasi dan biaya modal kerja. Biaya investasi meliputi pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, berbagai aset tetap, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek. Biaya kerja meliputi biaya produksi (bahan baku, tenaga kerja, overhead pabrik, dan lain-lain), biaya administrasi, biaya pemasaran, dan penyusutan. Kemudian dilakukan penilaian aliran dana yang diperlukan dan kapan dana tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jumlah waktu yang ditetapkan, serta apakah proyek tersebut menguntungkan atau tidak (Edris, 1993).

Modal investasi dalam analisis finansial dibagi menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal kerja. Modal tetap dipergunakan antara lain untuk pembiayaan kegiatan prainvestasi, pengadaan tanah, bangunan, mesin dan peralatan, serta biaya-biaya lain yang bersangkutan dengan pembangunan proyek, serta pengadaan dana modal tetap itu sendiri (Sutojo, 1996). Untuk menghindari salah perhitungan karena timbulnya hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya, maka ditambahkan biaya lain-lain atau biaya yang biasa disebut dengan biaya kontingensi. Nilai yang lazim digunakan dalam menghitung biaya kontingensi adalah sebesar 10% (Sutojo, 1996).

Penyusutan merupakan pengalokasian biaya investasi suatu proyek pada setiap tahun sepanjang umur proyek tersebut. Menurut De Garmo et al. (1994), metode yang sering digunakan adalah metode garis lurus dimana perhitungan penyusutan didasarkan pada asumsi bahwa penurunan nilai peralatan atau bangunan secara konstan selama umur pemakaian.

Menurut Gray et al. (1993) untuk mencari ukuran yang menyeluruh sebagai dasar penerimaan atau penolakan suatu proyek, telah dikembangkan berbagai cara yang dinamakan sebagai kriteria investasi. Kriteria investasi yang digunakan adalah Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Payback Period (PBP), dan analisis sensitivitas. Selain itu, diperlukan perhitungan biaya investasi dan kebutuhan modal kerja (Behrens dan Hawranek, 1991).


(22)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam proses produksi siklodekstrin adalah pati garut, enzim α -amilase, dan enzim CGTase yang diperoleh dari NOVO Enzyme Denmark. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah HCl, NaOH, Indikator pp, KI, I2, H2SO4, CH3COOH, Amilosa standar, Na2HPO4, K-tartarat, Aquades, Fenol, Buffer fosfat 0,2 M pH 6,0, Alumunium foil, D-glukosa, Siklodekstrin standar, Glukosa standar, Sodium Tiosulfat, Kertas saring whatman No. 41 larutan DNS.

Peralatan yang digunakan adalah timbangan, agitator, reaktor kapasitas 5 l dan reaktor kapasitas 25 l, Spray dryer, plastik pengemas dan tabung gas 3kg. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah neraca analitik, timbangan kasar, oven, thermometer, desikator, gelas piala, labu ukur, tabung ulir pipet, mikropipet, erlenmeyer, tanur, cawan porselin, spektrofotometer, refrigerator, HPLC (High Performance Liquid Chromatographi).

B. METODE PENELITIAN

1.

Penelitian Pendahuluan

1.1 Analisa Proksimat

Analisa proksimat pati garut yang dilakukan terdiri dari uji kadar air (Metode AOAC, 1995), kadar serat, kadar abu (Metode AOAC, 1995), kadar lemak, kadar protein, kadar pati (Metode Luff Schoorl), kadar amilosa (Metode IRRI) dan kadar amilopektin. Metode analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

1.2 Produksi Siklodekstrin Skala 5 Liter

Reaktor yang digunakan untuk produksi siklodekstrin pada skala 5 liter memiliki dimensi yaitu volume kerja 5 l, tinggi tangki (Ht) 189 mm, diameter impeller (Di) 117 mm, diameter tangki 216 mm, dan tinggi cairan (Zi) 137 mm. Jenis impeller yang digunakan yaitu propeller dengan 4 blade.

Produksi siklodekstrin ini berdasarkan pada penelitian Erianti (2004) yaitu penggunaan substrat sebesar 10% b/v dengan enzim α-amilase sebanyak 200 unit/ 100g pati dan enzim CGTase sebanyak 100 unit/ 100g pati. Proses produksi siklodekstrin terbagi menjadi dua, yakni likuifikasi dan siklisasi. Pada proses likuifikasi menggunakan suhu 900C dan putaran pengadukan 200 rpm selama 2 jam, sedangkan proses siklisasi menggunakan suhu 600C selama 4 jam.


(23)

Suspensi pati garut (10% b/v)

Enzim α-amilase (200 unit)

Enzim CGTase (100 unit) Likuifikasi

Siklisasi


(24)

(25)

=

(1 + ) Dengan Bt = keuntungan pada tahun ke- t

Ct = biaya pada tahun ke- t i = tingkat suku bunga (%)

t = periode investasi (t = 0,1,2,3,…,n) n = umur ekonomis proyek

Proyek dianggap layak dan dapat dilaksanakan apabila NPV > 0. Jika NPV < 0, maka proyek tidak layak dan tidak perlu dijalankan. Jika NPV sama dengan nol, berarti proyek tersebut mengembalikan persis sebesar opportunity costfaktor produksi modal.

2. Internal Rate of Return(IRR)

Internal Rate of Return atau arus pengembalian internal merupakan tingkat kemampuan proyek untuk menghasilkan keuntungan dan dapat dinyatakan sebagai tingkat suku bunga pinjaman (bank) yang menghasilkan nilai NPV aliran kas masuk sama dengan aliran kas keluar. Tujuan perhitungan IRR adalah mengetahui persentase keuntungan dari suatu proyek tiap tahunnya. Menurut Kadariahet al.(1999), rumus menghitung IRR adalah sebagai berikut :

= ( )+

( )

( ) ( )[( ) ( )]

Dengan NPV (+) = NPV bernilai positif NPV(-) = NPV bernilai negative

i(+) = suku bunga yang membuat NPV positif i(-) = suku bunga yang membuat NPV negative Proyek layak dijalankan bila nilai IRR besar atau sama dengan nilai suku bunga yang berlaku.

3. Net Benefit Cost Ratio(Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio merupakan angka perbandingan antara jumlah present value yang bernilai negatif (modal investasi). Perhitungan Net B/C dilakukan untuk melihat berapa kali lipat manfaat yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan (Grayet al.,1993). Formulasi perhitungan Net B/C adalah sebagai berikut :

= (1 + )

(1 + )

Jika Net B/C bernilai lebih dari satu, berarti NPV > 0 dan proyek layak dijalankan, sedangkan jika Net B/C kurang dari satu, maka proyek sebaliknya tidak dijalankan (Kadariahet al.,1999)


(26)

= 1

= +


(27)

berakibat terhadap investasi, maka dapat dikatakan bahwa keputusan untuk berinvestasi pada suatu proyek tidak sensitif terhadap unsur yang dimaksud. Seperti halnya Giatman (2006) yang mengungkapkan bahwa analisa sensitivitas dibutuhkan dalam rangka mengetahui sejauh mana dampak parameter-parameter investasi yang telah ditetapkan sebelumnya boleh berubah karena adanya faktor situasi dan kondisi selama umur investasi, sehingga perubahan tersebut hasilnya akan berpengaruh secara signifikan pada keputusan yang telah diambil.

Parameter-parameter investasi yang memerlukan analisa sensitivitas antara lain :

• Investasi

Benefit atau pendapatan

• Biaya atau pengeluaran

• Suku bunga (i)

Grayet al.(1993) menambahkan, analisa sensitivitas diperlukan apabila terjadi suatu kesalahan dalam menilai biaya atau manfaat serta untuk mengantisipasi kenungkinan terjadinya perubahan suatu unsur harga pada saat proyek tersebut dilaksanakan. Perhitungan kembali perlu dilaksanakan, mengingat proyeksi-proyeksi yang ada banyak mengandung unsur ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Dengan diketahuinya nilai-nilai sensitivitas dari masing-masing parameter suatu investasi memungkinkan dilakukannya tindakan-tindakan antisipatif di lapangan dengan cepat dan tepat.


(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

Karakteristik bahan baku yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis proksimat. Analisis proksimat pada pati garut meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat, kadar lemak, kadar protein, kadar pati, kadar amilosa, dan kadar amilopektin. Hasil analisis sifat kimia disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil analisis proksimat pati garut

Parameter Hasil Pengujian Laboratorium (%) (Erianti, 2004)

Hasil Pengujian Lab (%) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata

Kadar Air 7,78 4,06 3,65 3,85

Kadar Serat 1,96 0,82 1,24 1,03

Kadar Abu 0,44 0,15 0,32 0,24

Kadar Lemak 0,24 1,40 0,97 1,19

Kadar Protein 0,50 0,85 1,10 0,98

Kadar Pati 81,15 84,41 79,76 82,09

Kadar Amilosa 24,07 22,45 20,83 21,64

Kadar Amilopektin 74,70 76,64 77,86 77,25

Dari hasil analisis didapatkan kadar air pati garut sebesar 3,85 persen. Hasil ini tergolong rendah dan berada pada kisaran nilai yang telah ditentukan sebelumnya oleh SNI ISSN 1693-184X yakni kadar air yang diperbolehkan untuk pati garut komersial harus berada dibawah 16 %. Menurut Winarno (1997) kadar air minimum untuk mikroba dapat tumbuh adalah 14-15%. Hasil analisis kadar air pati garut yang digunakan untuk penelitian tergolong sangat kering. Kadar air ini nantinya akan berkorelasi terhadap umur simpan dari pati garut itu sendiri. Semakin rendah kadar air yang terkandung dalam pati garut maka umur simpan dari pati garut itu akan semakin lama.

Kadar abu suatu bahan merupakan unsur-unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Dari Tabel dapat dilihat kadar abu dari pati garut adalah 0,24 persen tidak jauh berbeda dari penelitian Erianti (2004) yaitu 0,44 persen. Hasil yang diperoleh ini masih memenuhi standar mutu pati garut komersial berdasarkan SII, yaitu kadar abu yang diperbolehkan sebesar 2 persen.

Kadar serat yang terkandung dalam pati garut berdasarkan penelitian sebesar 1,03 persen sedangkan pada penelitian sebelumnya sebesar 1,96 persen. Kadar serat yang terkandung pada pati garut ini tergolong besar jika dibandingkan dengan penelitian Richana et al, (1998) yaitu 0,13 dan Satyo (2005) yaitu 0,96 persen. Menurut Satyo (2005) besarnya kadar serat yang terkandung pada pati garut disebabkan pencucian yang kurang sempurna pada proses ekstraksi pati sehingga serat terbawa pada endapan pati. Namun kadar serat yang terkandung pada pati garut masih memenuhi standar mutu pati yang telah ditetapkan SII yaitu kurang dari 3 persen. Villamajor dan Jurkema (1996) menjelaskan bahwa pada saat umbi garut berumur kurang lebih 12 bulan kadar pati yang terkandung akan maksimal dan umbi menjadi lebih berserat.

Pengamatan terhadap kadar lemak dan kadar protein menunjukkan bahwa pati garut memiliki kandungan lemak dan protein yang cukup tinggi. Nilai kadar protein dan kadar lemak berturut-turut adalah 0,98 persen dan 1,19 persen. Hasil ini tergolong cukup tinggi apabila dibandingkan dengan


(29)

penelitian Erianti (2004) yaitu sebesar 0,50 persen untuk kadar protein dan 0,24 persen untuk kadar lemak. Erianti (2004) mengatakan bahwa kandungan lemak dalam pati dapat menganggu proses gelatinisasi karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Pati juga diharapkan memiliki kandungan protein yang rendah karena protein yang terkandung dapat menyebabkan viskositas pati menurun.

Pati garut sebagai bahan baku pembuatan siklodekstrin memiliki kandungan pati sebesar 82,09 persen. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Erianti (2004) yaitu sebesar 81,15 persen. Hasil ini lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian Rahardian (2003) sebesar 90,13 persen dan Murdiyati (2000) sebesar 83,19 persen. Hasil kandungan pati yang berbeda-beda ini disebabkan karena cara pengolahan umbi dengan menggunakan metode ekstraksi.

Hasil analisa kandungan amilosa pati garut yaitu sebesar 21,64 persen sedangkan untuk kandungan amilopektin sebesar 77,25 persen. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Erianti (2004) yaitu 24,07 persen untuk kandungan amilosa dan 74,70 persen untuk kandungan amilopektin. Namun hasil ini hampir sama dengan perolehan kadar amilosa pati garut Satin (2001) yaitu sebesar 21 persen, Villamajor dan Jurkema (1996) sebesar 20 persen. Kandungan amilosa merupakan kandungan yang paling mempengaruhi rendemen siklodekstrin nantinya, karena amilosa merupakan bahan dasar reaksi enzimatis. Selain itu, menurut Lee dan Kim (1991) siklodekstrin akan lebih banyak dihasilkan jika pati yang digunakan lebih banyak mengandung fraksi amilosa daripada fraksi amilopektin karena amilosa memiliki rantai lurus yang dihubungkan oleh ikatan α-1,4 glikosidik dengan percabangan yang lebih sedikit.

B. PRODUKSI SIKLODEKSTRIN SKALA 5 LITER

Produksi siklodekstrin skala 5 l dari pati garut dilakukan dalam kondisi optimum yaitu sesuai dengan penelitian Erianti (2004). Erianti (2004) menerangkan bahwa kondisi optimum untuk produksi siklodekstrin yaitu penggunaan substrat berupa pati garut sebanyak 10% b/v, enzim α-amilase sebanyak 200 unit/100g pati dan enzim CGTase sebanyak 100 unit/ 100g pati.

Produksi siklodekstrin melalui tiga tahapan yaitu tahap gelatinisasi, tahap likuifikasi, dan tahap siklisasi. Tahap gelatinisasi merupakan proses pengentalan larutan pati yang diakibatkan karena pemanasan. Dalam penelitian larutan pati garut akan mulai mengalami proses gelatinisasi pada suhu 680C dan mengalami gelatinisasi maksimum pada suhu 780C. Pada keadaan ini ukuran granula menjadi sangat besar yang akhirnya pecah dan viskositas meningkat. Kondisi ini membuat pati lebih mudah terhidrolisis untuk menghasilkan glukosa. Dalam penelitian ini menggunakan pati garut sebanyak 10% b/v. Penggunaan substrat akan berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi adalah suhu dimana granula pati mulai pecah dan kehilangan sifat birefringen. Penggunaan substrat akan berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan terkadang turun (Winarno, 1995). Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Pada pH yang terlalu tinggi pembentukan gel berlangsung cepat tetapi juga cepat menurun. Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk secara lambat dan apabila pemanasan diteruskan viskositas akan kembali turun.

Tahap selanjutnya adalah likuifikasi. Likuifikasi merupakan proses pencairan gel pati dengan menggunakan enzim yang menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau disebut dengan dekstrin. Dalam proses ini granula pati mula-mula tidak larut, dipanaskan dalam larutan air sampai mengembang dan pecah sehingga enzim dengan mudah menyerang rantai yang sudah rentan. Proses likuifikasi dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian Erianti (2004) yaitu dengan mencampurkan enzim α-amilase sebanyak 200 unit/100g pati ke dalam


(30)

147 g/L

170 g/L

122 g/L

79 g/L

99 g/L

61 g/L

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180

3 jam (ulangan 1) 4 jam (ulangan 1) 4 jam (ulangan 2)

Ju

m

lah

(

g

/L

)

Lama Proses

Total Gula Gula Pereduksi


(31)

siklodekstrin. Disamping itu, pembentukan siklodekstrin dipengaruhi oleh pembentukan gula total dan gula pereduksi. Semakin banyak gula total yang terbentuk maka siklodekstrin yang dihasilkan juga semakin banyak. Sedangkan gula pereduksi berbanding terbalik terhadap pembentukan siklodekstrin.

Penurunan kadar siklodekstrin dapat pula terjadi disebabkan terjadinya penghambatan oleh siklodekstrin yang terbentuk karena enzim CGTase tidak hanya memproduksi siklodekstrin tetapi juga mampu mendegradasi siklodekstrin bila terdapat ko-substrat seperti glukosa, maltosa dan sukrosa (Lee dan Kim, 1992). Hal ini pun sesuai dengan penjelasan Kitahata (1988) yang mangatakan bahwa jika dalam media terdapat aseptor (glukosa, maltosa, maltotriosa) maka CGTase pertama mengkatalisis transglikosilasi intermolekul maltosa dan maltotriosa membentuk maltooligosakarida kemudian baru terbentuk siklodekstrin. Namun siklodekstrin yang telah terbentuk dapat berkurang karena aseptor tersebut menyebabkan siklodekstrin terdekomposisi.

C. PERANCANGAN REAKTOR SKALA 25 LITER

Kajian peningkatan skala yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan kesamaan geometris dan analisis dimensional. Dengan menggunakan prosedur kesamaan geometris maka reaktor yang digunakan dalam peningkatan skala disesuaikan dengan rasio yang tetap. Peningkatan skala proses pencampuran dari skala laboratorium ke skala pilot plant merupakan proses penting dalam mendesain konfigurasi dan kondisi operasi yang optimal dalam skala industri. Analisis dimensional merupakan metode peningkatan skala yang digunakan untuk menghitung kecepatan impeller pada reaktor skala besar yang nantinya berkorelasi dengan perhitungan daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan impeller. Peningkatan skala dilakukan dengan mengacu pada hasil proses dari skala laboratorium, kemudian hasil tersebut digunakan untuk meningkatkan skala proses hingga ke skala industri dengan mengurangi kesulitan dalam skala proses yang lebih besar.

Tabel 10 menunjukkan spesifikasi bejana percobaan dan dimensiimpellermarine propeller dengan 4 blade. Berdasarkan ukuran tersebut dapat dimulai proses peningkatan skala. Besarnya daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan impeller dalam proses pencampuran dapat dihitung berdasarkan kurva yang terlihat pada Gambar 10 yaitu kurva hubungan antara Bilangan Daya (NP) dengan Bilangan Reynold (NRe) untukimpellerjenis marine.

Tabel 10. Spesifikasi bejana percobaan yang digunakan dalam proses dengan volume kerja 5 liter

Parameter Satuan Nilai

Volume Kerja (V) l 5

Tinggi Tangki (Ht) mm 189

Diameter Impeller (Di) mm 117

Diameter Tangki (Dt) mm 216

Tinggi Cairan (Zi) mm 137

Berdasarkan perhitungan maka didapatkan nilai NRe sebesar 12.302,89. Nilai tersebut digunakan untuk menentukan Bilangan Daya (NP). Bilangan Daya merupakan komponen yang diperlukan untuk menghitung besarnya daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan impeller. Berdasarkan perhitungan, maka daya yang dibutuhkan untuk menggerakkanimpellertersebut sebesar


(32)

Peningkatan skala proses pencampuran pada skala penuh/ industri memerlukan tangki pencampuran yang lebih besar. Peningkatan skala reaktor siklodekstrin ini didasarkan kesamaan geometri reaktor, jenis bahan dan proporsi bahan yang digunakan. Parameter kesamaan geometri reaktor meliputi jenis impeller, perbandingan diameter tangki (Dt) dan diameter impeller (Di). Perhitungan rancang bangun reaktor siklodekstrin terdapat pada Lampiran 2, sedangkan untuk gambar rancangan reaktor 25 l terdapat pada Lampiran 3. Hasil perhitungan rancang bangun reaktor siklodekstrin 25 l dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Rancang bangun reaktor skala produksi 25 l

Parameter Satuan Ukuran

Volume Kerja (V) l 25

Tinggi Tangki (Ht) mm 323

Diameter Impeller (Di) mm 200

Diameter Tangki (Dt) mm 370

Tinggi Cairan (Zi) mm 233

Densitas Siklodekstrin (p) Kg/m3 1,045 x 103

Viskositas Siklodekstrin (µ) cP 4

Kecepatan Putar Impeller (N) Rpm 140

Daya (Hp) Hp 7 x 10-7

Hasil perhitungan peningkatan skala pada skala pilot yaitu reaktor 25 l menunjukkan bahwa kebutuhan energi

7 x 10

-7

Hp

dengan kecepatan putar impeller 140 rpm. Penentuan kecepatan impeller pada reaktor skala 25 l ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis dimensional. Berdasarkan kesamaan geometri, reaktor dengan volume kerja 25 l ini memiliki diameter tangki 369 mm, tinggi tangki 323 mm, dan diameter impeller 200 mm. Dalam perhitungan energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan impeller reaktor skala 25 l menggunakan faktor koreksi. Hal ini disebabkan ketidaksesuaian antara grafik yang digunakan dengan kondisi nyata reaktor. Oleh karena itu, untuk meminimumkan kesalahan digunakan faktor koreksi. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 12. Rendemen siklodekstrin yang diperoleh

Volume Reaktor

Ulangan

Rendemen

Siklodekstrin (g/L)

5 Liter

1

71

2

61

25 Liter

1

72

2

66

Hasil pengamatan peningkatan skala dari skala laboratorium menjadi skala pilot menunjukkan bahwa rendemen yang dihasilkan pada skala pilot lebih besar bila dibandingkan rendemen skala laboratorium. Pada percobaan pembuatan siklodekstrin pada skala 25 l yang dilakukan sebanyak dua kali ulangan didapatkan hasil bahwa rendemen siklodekstrin yang dihasilkan berada pada rentang 66 – 72 g/L. Sementara itu, pada skala 5 liter, rendemen siklodekstrin yang


(33)

Lama I nkubasi ( jam)

T

o

ta

l

G

u

la

(g

/

L

)

4 3

2 160

140

120

100

80

60

40

20

0

86,3333 127,667


(34)

Lama I nkubasi ( jam)

K

a

d

a

r

G

u

la

P

e

re

d

u

k

s

i

(g

/

L

)

4 3

2 60

50

40

30

20

10

0

29,6667 59,6667


(35)

sebesar 60 g/l. Rentang rendemen siklodekstrin yang dihasilkan pada skala 25 l yaitu 60-72 g/l tidak jauh berbeda dengan rentang rendemen siklodekstrin yang dihasilkan pada skala 5 l yaitu 61-71 g/l. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode kesamaan geometris dan analisa dimensional dapat dilakukan perhitungan peningkatan skala reaktor produksi siklodekstrin dengan kapasitas 25 l. Hal ini disebabkan karena reaktor dengan kapasitas produksi 25 l dapat menghasilkan produk siklodekstrin yang tidak jauh berbeda dengan reaktor 5 l baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Untuk waktu yang diperlukan tahap siklisasi tergolong lebih cepat apabila dibandingkan dengan proses produksi siklodekstrin pada skala 5 l yaitu selama 4 jam. Hal ini dapat disebabkan kondisi reaktor yang sudah terkontrol dengan baik dan reaktor yang tertutup rapat sehingga tidak ada panas yang terbuang ke udara bebas.

Hasil penelitian ini berupa siklodekstrin kasar cair. Untuk mencapai bubuk siklodekstrin diperlukan proses pengeringan. Dalam penelitian ini proses pengeringan menggunakanspray dryer. Penggunaan spray dryer erat kaitannya dengan suhu dan keberlanjutan proses pengeringan yang digunakan. Berdasarkan penelitian suhu terbaik untuk mengeringkan siklodekstrin yaitu 81-1200C. Suhu ini harus tetap dipertahankan hingga akhir proses pengeringan. Peningkatan suhu akan menghasilkan bubuk siklodekstrin yang kering dan menempel pada permukaanspray dryersedangkan penurunan suhu akan mengakibatkan siklodekstrin tidak menjadi bubuk melainkan masih berupa cairan kental dan menempel pada dindingspray dryer.

E. IDENTIFIKASI SIKLODEKSTRIN

1. Densitas dan Viskositas

Karakterisasi siklodekstrin yang diukur dalam penelitian ini adalah densitas dan viskositas. Densitas atau yang biasa disebut sebagai massa jenis adalah pengukuran massa setiap satuan volume benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa setiap volumenya. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan densitas larutan siklodekstrin sebesar 1,0786 g/cm3. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan densitas air yaitu sebesar 1 g/cm3 yang digunakan untuk menghitung massa jenis relatif. Massa jenis berfungsi untuk menentukan zat karena setiap zat memiliki massa jenis yang berbeda. Satu zat seberapa besar massa dan volumenya akan memiliki massa jenis yang sama. Perhitungan densitas siklodekstrin dapat dilihat pada Lampiran 1.

Viskositas merupakan sebuah ukuran penolakan suatu fluida terhadap bahan bentuk di bawah tekanan shear. Biasa diterima sebagai “kekentalan”, atau penolakan terhadap penuangan. Data perhitungan viskositas dan grafik hubungan antara viskositas dan laju geser ditunjukkan pada Lampiran 1 dan Gambar 19.


(36)

0 5 10 15 20 25 30

0 10 20 30 40 50 60 70

Vi

sk

o

si

ta

s

(c

P

)


(37)

dihasilkan. Secara umum Total gula yang dihasilk menjadi rantai yang lebi pada struktur pati jika d pada penambahan kombi glikosidik dapat diputus glikosidik.

Parameter lain y pereduksi. Gula pereduk senyawa sederhana sepe pereduksi dapat menjadi CGTase. Secara umum g inkubasi. Peningkatan g proses ini molekul pati membentuk rantai molek menyebabkan peningkata Parameter dalam pati sisa. Penghitungan perubahan warna menja penelitian menunjukkan mengandung pati. Hal in memberikan reaksi perub

Penelitian ini m 25 Liter. Hasil analisa ren

Gambar 21. Gra de Dari gambar d berturut-turut adalah 71 dilakukan Erianti (2004)

54 56 58 60 62 64 66 68 70 72 Ulangan 1 5 Liter 71 g/L Ju m lah R e n d e m e n ( g /L )

um total gula meningkat seiring dengan bertambahnya ilkan dipengaruhi oleh enzim penghidrolisa dalam meme ebih pendek. Penggunaan enzim kombinasi lebih efektif dibandingkan dengan enzim tunggal Erianti (2004). Ha binasi enzim α-amilase dan pullulanase ikatan α-1,4 glik us sedangkan pada enzim α-amilase tidak mampu memu n yang menentukan dalam perhitungan rendemen siklodek uksi dapat terbentuk akibat aktivitas CGTase menghidrol perti glukosa atau maltooligosakarida yang lainnya. Pe di lebih besar jika siklodekstrin yang terbentuk dihidroli gula pereduksi mengalami peningkatan dengan semakin gula pereduksi terjadi karena peningkatan derajat hidr ati baik amilosa maupun amilopektin mengalami deg lekul yang lebih pendek. Komponen hidrolisat yang sem atan gula pereduksi.

lam perhitungan rendemen siklodekstrin yang juga dihitu an kadar pati sisa menggunakan metode iod yaitu m

jadi biru pada larutan siklodekstrin yang diteteskan la an nilai negatif, artinya bahwa larutan siklodekstr ini ditunjukkan dengan saat ditetesi larutan iod, larutan si

ubahan warna menjadi biru.

menghitung rendemen siklodekstrin dari reaktor skala 5 rendemen siklodekstrin dapat dilihat pada Gambar 21 ber

Grafik rendemen siklodekstrin dari reaktor skala produksi 5 dengan dua kali ulangan.

diatas dapat dilihat bahwa rendemen siklodekstrin p 71g/L dan 61 g/L. Hasil ini tidak jauh berbeda dari 4) yaitu 71,08 g/L. Hasil ini jauh lebih besar jika diban

Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

5 Liter 71 g/L 5 Liter 61 g/L 25 Liter 72 g/L 25 Liter 66 g/L

ya waktu inkubasi. mecah struktur pati tif memutus rantai Hal ini disebabkan likosidik dan α-1,6 mutus ikatan α-1,6 ekstrin adalah gula rolisis pati menjadi Pembentukan gula olisis kembali oleh kin lamanya waktu idrolisis pati. Pada egradasi, sehingga semakin bertambah itung adalah kadar melihat terjadinya larutan iod. Hasil strin sudah tidak siklodekstrin tidak 5 Liter dan reaktor

erikut.

si 5 l dan 25 l

pada reaktor 5 l ari penelitian yang bandingkan dengan 25 Liter


(38)

penelitian yang dilakukan Satyo (2005) yaitu sebesar 42 g/L. Perbedaan yang tidak terlalu jauh antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erianti (2004) menjadi dasar dilakukannya peningkatan skala reaktor. Rendemen siklodekstrin yang diperoleh pada reaktor hasil peningkatan skala berturut-turut sebesar 72 g/L dan 66 g/L. Hasil ini lebih besar jika dibandingkan dengan rendemen siklodekstrin pada skala 5 l. Hal ini disebabkan karena pada reaktor berskala 25 l suhu, kondisi dan kecepatan pengadukan dapat diatur dengan baik sehingga siklodekstrin yang dihasilkan pun maksimal. Dapat disimpulkan bahwa rendemen siklodekstrin pada skala 5 l terdapat pada rentang 61-71 g/l sedangkan rendemen siklodekstrin pada skala 25 l terdapat pada rentang 60-72 g/l.

3.

Komposisi Siklodekstrin

Siklodekstrin yang dihasilkan dapat diidentifikasi komposisinya (α, β, ϒ ) dengan menggunakan alat HPLC (High Peformance Liquid Chromatography). Analisis HPLC berupa grafik yang berisikan lama waktu dan juga jumlah zat yang terkandung (luas area). Menurut Erianti (2004)siklodekstrin akan terdeteksi pada menit ke 19 dengan luas area 331664 untuk α -siklodekstrin sedangkan β-siklodekstrin terdeteksi pada menit ke 21 dengan luas area 273985. Angka tersebut diperoleh dengan menggunakan siklodekstrin standar. ϒ -siklodekstrin belum dapat terdeteksi disebabkan tidak ada standar untuk ϒ -siklodekstrin sehingga sementara ini baru dapat dilakukan analisis terhadap α dan β-siklodekstrin. Luas area dari siklodekstrin ini nantinya akan dijadikan komponen dalam menghitung komposisi siklodekstrin yang diproduksi.

Tabel 13. Hasil pengujian siklodekstrin menggunakan HPLC Jenis Siklodekstrin

Hasil (%)

Ulangan 1 Ulangan 2

α siklodekstrin 39,27% 26,89%

β siklodekstrin 32,05% 44,13%

Berdasarkan pengujian analisis HPLC siklodekstrin yang dihasilkan pada reaktor 34,5 Liter terdiri dari 39,27% α-siklodekstrin dan 32,05% β-siklodekstrin. Sedangkan pada produksi ke dua siklodekstrin terdiri dari 26,89 % α-siklodekstrin dan 44,13 % β-siklodekstrin. Laga (2001) mendapatkan komposisi siklodekstrin dengan α-siklodekstrin sebesar 17,33% dan β -siklodekstrin sebesar 82,67 %. Perhitungan jumlah komposisi siklodekstrin terdapat pada Lampiran 5.

F.

ASPEK FINANSIAL

Tujuan menganalisa aspek finansial adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Dalam melakukan investasi diperlukan perhitungan kemungkinan keuntungan yang tinggi agar harapan untuk mendapatkan nilai lebih pada waktu mendatang dapat tercapai. Sebagai tolak ukur analisa finansial diperlukan parameter-parameter yang berasal dari analisa lainnya seperti kapasitas produksi, teknologi yang dipakai, pilihan peralatan, jumlah tenaga kerja, fasilitas pendukung dan proyeksi harga-harga.


(1)

F

ANALISIS KELAYAKAN USAHA

NPV (14%)

379.342

IRR

15%

Net B/C

1,02

PBP

3,39

tahun

40,7

bulan

7


(2)

80

Lampiran 15. Analisis Sensitivitas Kenaikan Biaya Variabel sebesar 5% dan Penurunan Pendapatan sebesar 3%

No

Uraian

Tahun

0

1

2

3

4

5

A

Arus Masuk

1. Total Penjualan

24.444.000

24.444.000

24.444.000

24.444.000

24.444.000

2. Modal

21.400.000

3. Nilai Sisa Proyek

240.000

Total Arus Masuk

21.400.000

24.444.000

24.444.000

24.444.000

24.444.000

24.684.000

Arus Masuk Untuk Menghitung IRR

24.444.000

24.444.000

24.444.000

24.444.000

24.684.000

B

Arus Keluar

1. Biaya Investasi

21.400.000

2. Biaya Variabel

17.912.160

17.912.160

17.912.160

17.912.160

17.912.160

3. Biaya Tetap

321.144

321.144

321.144

321.144

321.144

Total Arus Keluar

21.400.000

18.233.304

18.233.304

18.233.304

18.233.304

18.233.304

Arus Keluar Untuk Menghitung IRR

21.400.000

18.233.304

18.233.304

18.233.304

18.233.304

18.233.304

C

Arus Bersih

0

6.210.696

6.210.696

6.210.696

6.210.696

6.450.696

D

CASH FLOW UNTUK MENGHITUNG IRR

-21.400.000

6.210.696

6.210.696

6.210.696

6.210.696

6.450.696

Cummulative Cash Flow

-21.400.000

-15.189.304

-8.978.608

-2.767.912

3.442.784

9.893.480

Discount Factor (13%)

1

0,8772

0,7695

0,6750

0,5921

0,5194

Present Value

-21.400.000

5.447.979

4.778.929

4.192.043

3.677.231

3.350.289

E

Cummulative Present Value

-21.400.000

-15.952.021

-11.173.092

-6.981.049

-3.303.819

46.471

8


(3)

F

ANALISIS KELAYAKAN USAHA

NPV (14%)

46.471

IRR

14%

Net B/C

1,00

PBP

3,45

tahun

41,3

bulan

8


(4)

(5)

IMAM NUR PRATOMO. F34070115. Peningkatan Skala Produksi Siklodekstrin Dari Pati Garut. Di Bawah Bimbingan Ibu Erliza Noor. 2011.

RINGKASAN

Siklodekstrin merupakan salah satu jenis pati termodifikasi yang sangat dibutuhkan oleh industri-industri seperti industri pangan, industri kosmetik, dan industri farmasi. Siklodekstrin memiliki struktur molekul yang siklik berbentuk torus dengan bagian kulit luar struktur siklodekstrin bersifat hidrofilik sedangkan pada bagian dalam bersifat hidrofobik. Pati garut merupakan salah satu sumber pati yang cukup potensial di Indonesia karena umbi garut dapat dibududayakan dengan mudah. Selain itu juga karena pati garut belum termanfaatkan secara optimal sehingga pada penelitian ini digunakan pati garut sebagai bahan baku pembuatan siklodekstrin. Siklodekstrin berbahan baku pati garut telah diproduksi namun masih dalam skala labaratorium. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dikaji mengenai peningkatan skala produksi siklodekstrin pada skala 25 l dari pati garut. Pembuatan siklodekstrin ini, masih dalam skala pilot plant yang merupakan penjembatan antara laboratorium dengan skala besar atau pabrik.

Penelitian ini betujuan untuk merancang reaktor produksi siklodekstrin skala 25 l, mengidentifikasi produk siklodekstrin yang dihasilkan, dan menghitung finansial usaha siklodekstrin dalam rangka komersialisasi produk siklodekstrin. Berdasarkan penelitian terdahulu telah diperoleh kondisi optimum dalam pembuatan siklodekstrin yakni penggunaan substrat 10% (b/v), proses likuifikasi dengan agitasi 200 rpm, suhu 900C, selama 120 menit, dan α-amilase sebanyak 200 unit/ 100g pati, lalu dilanjutkan proses siklisasi dengan putaran 200 rpm, suhu 600C, selama 240 menit dan menggunakan enzim CGTase sebanyak 100 unit/ 100g pati.

Metode dalam penelitian ini dimulai dengan menganalisa proksimat pati garut sebagai bahan baku lalu memproduksi siklodekstrin dengan skala 5 l. Perancangan reaktor skala 25 l menggunakan metode pendekatan kesamaan geometris dan analisa dimensional. Adapun syarat untuk dilakukannya peningkatan skala adalah kesamaan sistem geometri, kesamaan bahan yang digunakan, dan kesamaan proporsi bahan. Setelah itu dilanjutkan dengan produksi siklodekstrin skala 25 l. Siklodekstrin yang dihasilkan dianalisis dan dibandingkan dengan siklodekstrin yang dihasilkan pada skala 5 l. Setelah itu, penelitian ini dilanjutkan dengan analisa finansial yang meliputiBreak Even Point, Net Present Value, Internal Rate of Return, Net Benefit Cost Ratio, Payback Period, dan analisa sensitivitas. Kriteria-kriteria ini digunakan untuk melihat kelayakan industri secara finansial.

Berdasarkan analisis proksimat pati garut memiliki kadar air 3,85%, kadar abu 0,24%, kadar serat 1,03%, kadar lemak 1,19%, kadar protein 0,98%, kadar pati 82,09%, kadar amilosa 21,64%, dan kadar amilopektin 77,25%. Hasil pengamatan peningkatan skala dari skalapilotmenunjukkan bahwa efisiensi rendemen siklodekstrin yang dihasilkan lebih besar dimana pada skala 25 l rendemen siklodekstrin yang dihasilkan sebesar 72 g/L sedangkan rendemen siklodekstrin pada skala 5 l sebesar 71 g/L. Hasil ini menunjukkan bahwa skala pilot dapat mempertahankan tingkat produktivitas dan kualitas produksi siklodekstrin. Dalam proses produksi siklodekstrin, rendemen optimal diperoleh saat inkubasi likuifikasi selama 1,5 jam atau 90 menit dan inkubasi proses siklisasi selama 3 jam atau 180 menit. Secara umum, pada skala pilot menghasilkan siklodekstrin yang lebih besar dari skala laboratorium.

Hasil perhitungan peningkatan skala dengan volume kerja reaktor 25 l yaitu tinggi tangki 323 mm, diameter impeller 200 mm, diameter tangki 370 mm, tinggi cairan 233 mm, densitas siklodekstrin 1,045 x 103 kg/m3, viskositas siklodekstrin 4 cP, kecepatan impeller 140 rpm, dan kebutuhan daya sebesar 7 x 10-7Hp.

Siklodekstrin yang dihasilkan dapat diidentifikasi komposisinya (α, β, ϒ ) dengan menggunakan alat HPLC. Hasil analisis HPLC berupa grafik yang berisikan lama waktu dan juga jumlah zat yang terkandung (luas area). Dari analisis HPLC dapat diketahui bahwa siklodekstrin yang


(6)

dihasilkan dengan menggunakan reaktor 25 l terdiri dari 39,27 % α-siklodekstrin dan 32,05 % β -siklodekstrin. Selain itu juga terdapat ulangan ke dua yakni siklodekstrin yang diproduksi terdiri dari 26,89 % α-siklodekstrin dan 44,13 % β-siklodekstrin. ϒ -siklodekstrin belum dapat terdeteksi disebabkan tidak ada standar untuk ϒ -siklodekstrin sehingga sementara ini baru dapat dilakukan

analisis terhadap α dan β-siklodekstrin.

Kajian terhadap keadaan dan prospek suatu pabrik dilakukan atas aspek-aspek tertentu, yaitu aspek teknis, aspek manajerial dan administratif, aspek organisasi, aspek pemasaran, aspek finansial, aspek ekonomi, aspek lingkungan, aspek legalitas, dan aspek sosial dan ekonomi. Aspek-aspek tersebut biasanya dianalisis dengan teknik-teknik tertentu dengan mempertimbangkan manfaat bagi indutri tersebut. Dalam penelitian ini hanya akan dikaji mengenai aspek finansial. Oleh karena itu akan lebih dititikberatkan pada finansial pembuatan usaha siklodekstrin. Tujuan menganalisa aspek finansial adalah untuk menentukan rencana investasi melalui perhitungan biaya dan manfaat yang diharapkan, dengan membandingkan antara pengeluaran dan pendapatan. Analisis kelayakan finansial proses produksi siklodekstrin dengan reaktor skala 25 l menghasilkan IRR 24 %, BEP 101,7 kg siklodekstrin atau Rp 14.242.928, NPV(14 %) Rp 5.570.161, PBP 2,74 tahun, dan Net B/C Ratio 1,26. Hasil ini menunjukkan bahwa industri siklodekstrin dengan skala 25 l layak secara finansial untuk dilaksanakan. Selain itu, dalam perhitungan analisis kalayakan finansial juga dilakukan analisis sensitivitas. Berdasarkan perhitungan, analisis sensitivitas terhadap perubahan biaya variabel sebanyak 3% belum berpengaruh terhadap kelayakan usaha, sedangkan perubahan biaya variabel sebesar 10% mengakibatkan usaha ini tidak layak dilaksanakan. Penurunan pendapatan juga merupakan faktor yang mempengaruhi sensitivitas usaha siklodekstrin. Penurunan pendapatan sebesar 5% dan 6% belum mengakibatkan usaha ini dikatakan tidak layak, namun penurunan pendapatan sebesar 6% merupakan batas minimum layak atau tidaknya usaha siklodekstrin ini.