BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Perkembangan Bursa Efek Indonesia
Bursa Efek Indonesia disingkat BEI, atau Indonesia Stock Exchange IDX merupakan bursa hasil penggabungan dari Bursa Efek Jakarta BEJ dengan Bursa
Efek Surabaya BES. Demi efektivitas operasional dan transaksi, Pemerintah memutuskan untuk menggabung Bursa Efek Jakarta sebagai pasar saham dengan
Bursa Efek Surabaya sebagai pasar obligasi dan derivatif. Bursa hasil penggabungan ini mulai beroperasi pada 1 Desember 2007 www.id.wikipedia.org
BEI menggunakan sistem perdagangan bernama Jakarta Automated Trading System JATS sejak 22 Mei 1995, menggantikan sistem manual yang digunakan
sebelumnya. Dengan otomasi, likuiditas perdagangan akan meningkat karena pelayanan dalam setiap order semakin cepat. Penyediaan informasi bertambah akurat
dan cepat serta meluas dan akan meningkatkan kepercayaan para pemodal. Bursa Efek Indonesia merupakan salah satu bursa saham yang dapat
memberikan peluang investasi dan sumber pembiayaan dalam upaya mendukung pembangunan ekonomi nasional. Bursa Efek Indonesia BEI juga berperan dalam
upaya mengembangkan pemodal lokal yang besar dan solid untuk menciptakan pasar modal Indonesia yang stabil. Dalam rangka memberikan informasi yang lebih
lengkap mengenai perkembangan bursa terhadap publik, Bursa Efek Indonesia BEI
40
telah menyebarkan data pergerakan harga saham melalui media cetak dan elektronik. Satu indikator pergerakan harga saham tersebut adalah indeks harga saham.
Visi BEI adalah menjadi bursa yang kompetitif dengan kredibilitas tingkat dunia. Sedangkan misinya adalah menjadi pilar ekonomi Indonesia, berorientasi
pasar, mentransformasi perusahaan, membangun institusi, dan memberikan jasa dan produk dengan kualitas terbaik.
PT. Efek Jakarta BEJ pertama kali berdiri pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, yang kemudian dibentuk ulang melalui Undang-Undang Darurat No. 13
tahun 1951, dan selanjutnya dipertegas oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 15 tahun 1952. Selama dua dasawarsa kemudian, BEJ mengalami pasang surut yang
ditandai pula oleh pemberhentian kegiatan sepanjang dekade 60-an dan awal 70-an. Pada tahun 1977, Pemerintah Indonesia menghidupkan kembali BEJ dengan
mencatatkan saham 13 perusahaan PMA. Namun demikian, baru sekitar akhir dekade 80-an dan awal 90-an, BEJ benar-benar berkembang menjadi bursa efek seperti yang
kita kenal sekarang. Dengan diberlakukannya Undang-UndangNo. 8 tahun 1995 tentang Pasar
Modal, peran BEJ sebagai salah satu Self Regulatory Organisation SRO Pasar Modal Indonesia semakin dikukuhkan. Sejak itu BEJ tumbuh pesat, berkat sejumlah
pencapaian di bidang teknologi perdagangan, diantaranya mulai dipakainya Jakarta Automated Trading System JATS pada tahun 1995, perdagangan tanpa warkat
tahun 2001 dan remote trading tahun 2004, serta pemberlakuan peraturan baru tentang pencatatan, perdagangan dan keanggotaan bursa.
Iklim investasi yang kondusif akibat rendahnya suku bunga deposito membawa peningkatan berarti untuk likuiditas perdagangan efek di tahun 2003,
sebagaimana tercermin pada peningkatan rata-rata volume perdagangan saham sebesar 38,4 menjadi 967 juta lembar saham dan rata-rata nilai perdagangan saham
menjadi Rp. 518 milyar atau meningkat 5,2 disbanding tahun 2002. Sementara dari segi kapitalisasi pasar juga mengalami peningkatan 71,5 menjadi Rp. 460,4 triliun.
Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang cukup baik dan didukung oleh situasi politik dan keamanan yang stabil, kinerja BEJ sepanjang tahun 2004 sangat
memuaskan. Tingkat kepercayaan pemodal terus meningkat dan semua indikator perdagangan mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hal tersebut ditunjukkan oleh
peningkatan rata-rata nilai transaksi perdagangan dari Rp. 518 milyar untuk tahun 2003 menjadi Rp. 1,024 triliun untuk tahun 2004 dan IHSG naik dari 691,895 pada
akhir 2003 menjadi 1.000,233 pada akhir 2004. Selain itu, kinerja keuangan juga mengalami pertumbuhan yang menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari
peningkatan laba bersih perusahaan dari Rp. 15,13 milyar untuk tahun 2003 menjadi Rp. 37,81 milyar untuk tahun 2004 atau meningkat sebesar 150.
Pada tahun 2005, Bursa Efek Jakarta berhasil mencapai pertumbuhan nilai kapitalisasi pasar serta indeks harga saham gabungan yang menggembirakan
sekalipun dihadapkan kepada kondisi makro-ekonomi yang kurang menguntungkan. Kapitalisasi pasar mencapai Rp 801,253 triliun, naik sebesar 17,84 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Indeks Harga Saham Gabungan mencapai 1.162,635 pada
hari perdagangan terakhir tahun 2005 atau naik 16,24 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Walaupun dihadapkan dengan peningkatan suku bunga, inflasi serta penurunan pertumbuhan PDB terutama pada semester kedua tahun 2005, BEJ
berhasil mempertahankan tingkat perdagangan yang menggembirakan sepanjang tahun.
IHSG mencapai pertumbuhan sebesar 16,24 dari 1.000,233 di akhir tahun 2004 menjadi 1.162,635 di akhir tahun 2005. Nilai kapitalisasi pasar pada 31
Desember 2005, mencapai Rp 801,253 triliun dibandingkan dengan Rp 679,949 triliun tahun sebelumnya.
Tahun 2005 merupakan tahun kelima dimana BEJ secara berturut-turut berhasil mencatat pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa indikator pasar
utama. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, volume transaksi tumbuh sebesar 198,72, IHSG naik sebesar 179,26, kapitalisasi pasar meningkat sebesar 208,62
dan nilai transaksi bertambah sebesar 230,69. Jika dibandingkan dengan penurunan kondisi ekonomi pada semester kedua
tahun 2005, pertumbuhan IHSG dan nilai transaksi saham yang pesat ini mencerminkan peningkatan kualitas pasar secara keseluruhan, penguatan sendi-sendi
fundamental, serta peningkatan kemampuan pasar untuk bertahan dalam kondisi makro ekonomi yang penuh tantangan.
Dari setiap sudut pandang, pertumbuhan tersebut sungguh menggembirakan. Suatu indikasi yang menggambarkan tingkat kemapaman maupun kesinambungan
pasar modal yang semakin baik. Tahun 2006 merupakan tahun yang penuh dengan tantangan untuk industri
pasar aham di Indonesia, terutama karena awal tahun 2006 dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan adanya dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak di dalam
negeri pada awal Oktober 2005. Meski demikian, berkat kerja keras semua pihak, pada tahun 2006 IHSG
berhasil mencatatkan pertumbuhan sebesar 55,30 dari 1.162,63 di akhir tahun 2005 menjadi 1.805,52 pada akhir tahun 2006. Kenaikan IHSG ini antara lain berasal dari
kenaikan frekuensi transaksi saham yang menggembirakan pada tahun 2006, yaitu naik 19,92 dari 4,01 juta transaksi pada tahun 2005 menjadi 4,81 juta transaksi pada
tahun 2006. Sebagai dampaknya, nilai perdagangan saham di BEJ juga mengalami pertumbuhan yang baik sebesar 9,78 dari Rp 406 triliun pada tahun 2005 menjadi
Rp 445,71 triliun pada tahun 2006. Peningkatan indikator-indikator penting ini menjadikan BEJ lebih aktif dan likuid selama tahun yang dilaporkan.
Tahun 2006 juga merupakan tahun kerberhasilan BEJ dalam penyediaan fasilitas perdagangan, dengan diperolehnya sertifikasi ISO 9001-2000 untuk
pengoperasian sistem perdagangan. Dengan sertifikasi ini, kiranya para pelaku pasar dapat meningkatkan kepercayaannya terhadap pelayanan BEJ sebagai fasilitator
perdagangan saham. Per akhir tahun 2006, seluruh AB aktif telah menggunakan fasilitas Remote Trading. Dengan menggunakan fasilitas Remote Trading, AB dapat
memasukkan pesanan nasabah langsung dari kantor pusat atau bahkan dari kantor cabang di daerah sehingga dapat melakukan perluasan akses pasar kepada
nasabahnya. Sampai dengan akhir 2006, 88 dari seluruh transaksi saham di BEJ telah dilakukan melalui sistem ini. Untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
human errors , pada tahun 2006 BEJ mengeluarkan peraturan perdagangan baru untuk
mendukung efektivitas system Remote Trading. Peraturan ini membatasi jumlah maksimum lembar saham yang dapat diinput pada setiap order entry.
Terkait dengan pengembangan produk baru, pada bulan Desember 2006, BEJ telah menyelesaikan peraturan perdagangan Exchange Traded Funds ETF,
peraturan ini telah disetujui oleh Bapepam-LK. Ditargetkan ETF sudah mulai diperdagangkan di BEJ pada tahun 2007. Mengantisipasi kebutuhan di masa yang
akan datang, salah satu prioritas BEJ adalah persiapan pelaksanaan Jakarta Automated Trading System
JATS enhancements. Stabilisasi perekonomian nasional yang mampu dipertahankan oleh
pemerintah selama tahun 2007 dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,30 di tahun 2007 mendorong terciptanya stabilisasi di Pasar Modal.
Selama tahun 2007, perekonomian Indonesia tidak mengalami gejolak yang berarti dan hal ini ditunjukkan dengan tingkat inflasi yang stabil yaitu 6,59 dan nilai
tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang ditutup pada Rp9.419, per satu Dolar AS kurs tengah Bank Indonesia, serta tingkat suku bunga Bank
Indonesia yang berada pada tingkat 8. Upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah tersebut mendorong para pelaku Pasar Modal baik itu Investor, Emiten maupun Anggota Bursa untuk melakukan kegiatan Pasar Modal secara produktif.
Stabilitas yang terjadi pada Pasar Modal ditunjukkan dengan IHSG pada tahun 2007 yang ditutup pada level 2.745,826 atau meningkat 52,08 dibandingkan
penutupan tahun 2006 pada level 1.805,523. Apabila dilihat dalam 2 dua tahun terakhir maka IHSG setiap tahunnya telah memberikan return melebihi 50. Pada
akhir tahun 2007, nilai Kapitalisasi Pasar untuk saham sebesar Rp1.988,33 triliun, obligasi korporasi sebesar Rp79,06 triliun dan USD105 juta, serta Surat Utang
Negara SUN sebesar Rp477,75 triliun. Pada akhir tahun 2006, nilai Kapitalisasi Pasar saham sebesar Rp1.249,11 triliun, obligasi korporasi sebesar Rp61,51 triliun
dan USD105 juta, serta SUN sebesar Rp418,75 triliun. Kinerja pasar yang mengalami peningkatan secara signifikan tersebut
mendorong pencapaian kinerja keuangan ke tingkat yang tertinggi dalam 5 lima tahun terakhir. Walaupun kinerja keuangan meningkat secara signifikan, namun
pengelolaan keuangan tetap selalu dilakukan secara efektif dan efisien serta berlandaskan pada Rencana Kerja Anggaran Tahunan RKAT yang telah disetujui
oleh RUPSLB serta Bapepam-LK. Dengan penggabungan BES ke dalam BEJ menjadi BEI pada tanggal 30 November 2007 yang menggunakan metode penyatuan
kepemilikan, maka penyajian laporan keuangan pada tahun 2007 merupakan laporan keuangan konsolidasi BEJ dan BES.
Tahun 2008 diawali dengan optimisme oleh para pelaku pasar bahwa perekonomian akan mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun 2007. Hal ini didasarkan data indikator ekonomi utama yang menunjukkan bahwa selama tahun 2007 perekonomian Indonesia tumbuh cukup besar. Di sisi
moneter, nilai tukar Rupiah stabil pada kisaran Rp9.000 hingga Rp9.400 dan tingkat suku bunga Bank Indonesia sebesar 8 pada akhir tahun 2007. Sementara di sisi
pasar modal, IHSG BEI ditutup pada level 2.745,826, meningkat 52,08 dibandingkan akhir tahun sebelumnya.
Pada triwulan I tahun 2008, optimisme pelaku pasar semakin meningkat didukung rata-rata nilai transaksi saham harian yang mencapai Rp5,57 triliun atau
mengalami pertumbuhan sebesar 119,27 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007. Kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat menguat di akhir triwulan I
tahun 2008 hingga mencapai Rp9.217, sedangkan tingkat suku bunga Bank Indonesia stabil di tingkat 8.
Pada triwulan II tahun 2008, kondisi di atas masih dapat dipertahankan dengan rata-rata nilai transaksi saham harian yang mencapai Rp5,72 triliun atau
mengalami peningkatan 33,03 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007 dan kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat di akhir triwulan II tahun 2008
mencapai Rp9.225. Namun, di sisi lain IHSG mengalami penurunan sebesar 14,45 dibandingkan dengan awal tahun 2008 ke level 2.349,105 dan tingkat suku bunga
Bank Indonesia mulai merangkak naik ke tingkat 8,50. Memasuki akhir triwulan III tahun 2008, krisis keuangan yang terjadi di
Amerika Serikat yang dimulai sejak akhir tahun 2007 telah memperburuk perekonomian Amerika Serikat secara keseluruhan dan berakibat pada timbulnya
krisis keuangan dunia termasuk Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari bangkrutnya salah satu bank investasi terkemuka di Amerika Serikat, jatuhnya indeks Dow Jones,
meningkatnya harga minyak dunia yang berdampak pada tingginya inflasi, yang pada akhirnya menyebabkan perekonomian dunia mengalami perlambatan pertumbuhan.
Di Indonesia, hal ini tercermin dari melemahnya kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat yang menembus level Rp9.416, peningkatan tingkat suku bunga
Bank Indonesia hingga 9,25, penurunan rata-rata nilai transaksi saham harian sebesar 9,46 dari Rp4,22 triliun di kuartal III tahun 2007 menjadi Rp3,82 triliun
pada periode yang sama tahun 2008. IHSG turun hingga level 1.832,507 atau mengalami penurunan sebesar 33,26 dari IHSG pada akhir tahun 2007.
Tahun 2008 ditutup dengan menurunnya berbagai indicator perekonomian dunia maupun Indonesia dibandingkan dengan tahun 2007. Pada akhir tahun 2008,
IHSG ditutup dengan penurunan sebesar 50,64 ke posisi 1.355,408; kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat ditutup di level Rp10.950 dan tingkat suku bunga
Bank Indonesia tetap di level 9,25. Walaupun demikian, rata-rata nilai transaksi harian di bursa pada tahun 2008
mencapai Rp4,44 triliun atau naik 3,90 dari Rp4,27 triliun pada tahun 2007. Secara umum kinerja keuangan konsolidasi PT Bursa Efek Indonesia dan Anak Perusahaan
selanjutnya disebut ‘Perusahaan’ yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Osman Bing Satrio Rekan member of Deloitte Touche Tohmatsu pada tahun
2008 dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2007.
Penurunan kinerja keuangan ini tercermin dari penurunan Pendapatan Usaha, Peningkatan Beban Usaha dan penurunan Penghasilan Lain-lain Perusahaan selama
tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2007. Khusus pada bagian Penghasilan Lain- lain, Perusahaan mengalami kerugian yang belum terealisasi atas investasi di reksa
dana yang signifikan sebagai akibat penurunan IHSG yang sangat tajam di tahun 2008 yang mencapai 50,64.
Namun demikian dengan menggunakan prinsip kehati-hatian di dalam melakukan pengelolaan keuangan, Perusahaan di tahun 2008 dapat menghindari
penurunan kinerja keuangan yang lebih tajam sehingga pada tahun 2008 Perusahaan berhasil mencatatkan laba bersih sebesar Rp232,44 miliar atau mengalami penurunan
sebesar 24,46 dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar Rp307,70 miliar.
4.1.2 Deskripsi Data Variabel Penelitian