Tokoh Penokohan Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

18 BAB IV ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP KUMPULAN CERPEN AH...GERIMIS ITU KARYA HIDAYAT BANJAR

4.1 Deskripsi Unsur-Unsur Intrinsik

4.1.1 Tokoh Penokohan

Dalam cerita fiksi sering dipergunakan istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter, secara bergantian dengan penunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah tokoh, menunjuk pada orangnya, pelaku cerita atau individu- individu yang mucul dalam cerita. Seperti ketika ada orang yang bertanya, “Siapakah tokoh utama dalam novel tersebut?” Atau “Berapa jumlah tokoh dalam cerita tersebut?” Penokohan sering disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan yang merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral pada individu tersebut. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita Stanton, 2007: 33; Nurgiyantoro, 1995: 165. Menurut Abrams 1997 penokohan adalah perwatakan, yaitu mengenai sifat, tabiat atau perangai tokoh yang terdapat dalam cerita atau drama. Penokohan dapat juga dikatakan sebagai proses penciptaan citra tokoh yang terdapat dalam sebuah karya sastra, pembaca cenderung mengklasifikasikan tokoh dengan tokoh protagonis dan antagonis Sudjiman, 1991: 161. Jadi, penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan watak tokoh-tokoh dalam cerita rekaan. Penciptaan citra atau karakter ini merupakan hasil imajinasi pengarang untuk dimunculkan dalam cerita sesuai dengan keadaan yang diinginkan. 18 Pengarang dalam kumpulan cerpen Ah...Gerimis Itu, melukiskan penokohan dengan teknik dramatik, yaitu menampilkan tokoh mirip drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Penokohan akan tampak pada percakapan yang dilakukan oleh tokoh, melalui tingkah laku tokoh, perasaan tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, atau melalui pelukisan fisik tokoh Nurgiyantoro, 1995: 198-211. Dalam cerpen Bom, pengarang menggambarkan tokoh Dayat sebagai sosok yang pintar, idealis, dan kritis dengan keadaan, melalui teknik cakapan dan tingkah laku. Teknik cakapan dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku menyarankan pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik Nurgiyantoro, 1995: 203. Sikap idealis tokoh Dayat digambarkan dengan teknik tingkah laku, seperti berikut ini: Telah tiga tahun Dayat mengangur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas, bukan pula karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak mau bermain-main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan pernah pula ke perusahaan itu, koneksinya mengatakan, “Yat, kalau kau tidak sanggup membayar empat retus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.” Halaman 27 Meski sakit hati karena tidak juga memiliki pekerjaan, Dayat tetap memegang teguh prinsip hidupnya, tidak mau melakukan kolusi. Sikap kritis tokoh Dayat dalam cerpen Bom digambarkan dengan teknik reaksi tokoh, yaitu reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap-tingkah-laku orang lain yang berupa rangsang dari luar diri tokoh. Seperti dalam kutipan berikut ini: 18 Hari itu, kantor PEMDA Pemerintah Daerah, kantor Depnaker Departemen tenaga kerja, Kantor Polda Polisi Daerah, Kantor PM Polisi Militer, dan kantor Kepala Kampung juga Kepala Lingkungan di mana tempat Dayat menetap, datang sepucuk surat cukup singkat isinya namun begitu mengejutkan. Halaman 28 Cerpen Ah...Gerimis Itu bercerita tentang tokoh Imah, wanita yang hidup dalam penyesalan. Kecintaannya terhadap sang suami yang meninggal dunia secara mendadak membuat Imah terus menyalahkan dirinya sebagai penyebab kematian suaminya. Penokohan Imah dilukiskan melalui teknik kesadaran, teknik yang menggambarkan tingkah laku batin tokoh, seperti berikut ini: Dalam temaramnya lampu teplok, Imah tadahkan tangan, mohon keampunan pada Khalik atas dosa-dosanya. Menurut Imah, dirinyalah sumber petaka. Dirinyalah penyebab sang suami pergi untuk selama-lamanya. Ya, suaminya menghadap sang Khalik ketika gerimis di ujung senja. Itulah sebabnya Imah jadi ngilu bila gerimis tiba. Halaman 42 Cerpen Opportunitis memiliki tujuh tokoh sederhana yang tidak memiliki nama, hanya inisial abjad A, B, C, D, E, F, dan G. Ketujuh tokoh tersebut memiliki watak yang sama, tidak bersyukur pada hidup dan terus tenggelam dalam penyesalan atas hidup yang mereka pilih. Ketidaksyukuran para tokoh digambarkan melalui teknik cakapan, seperti berikut ini: “Aikh...... alangkah nikmatnya bila aku hidup di kota, dimana kehidupan seakan tidak pernah berhenti. Siang, kita dapat menikmati keriuhan, malam, kita pun dapat menikmati hiburan-hiburan dari panggung kelas wahid sampai panggung kelas kambing. Dan juga hiburan-hiburan lain, sungguh menyenangkan. Alangkah baiknya jika dulu aku dilahirkan di kota. Aku tidak akan kesunyian begini rupa,” . . . . Halaman 62 Bapak Kepala Desa, sang tokoh utama dalam cerpen Kawin Undi, adalah seorang pemimpin yang loyal, begitu mencintai pekerjaan dan rakyatnya. Setiap kali alam menampakkan tanda ketidakwajaran Bapak Kepala Desa pun gelisah, takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada desa yang dicintainya. Sikap loyal Bapak Kepala Desa tergambar dalam cerpen melalui teknik cakapan berikut ini: 18 “Bukne, siapa lagi yang bakal……, sudah seminggu kudengar ayam jantan berkokok di saat senja akan berangkat malam,” bapak Kepala Desa mengeluarkan gelisahnya pada sang istri saat mereka menikmati angin senja di beranda rumah. Halaman 81 Bapak Kepala Desa juga seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya, memiliki wibawa dan dipatuhi. Tergambar melalui reaksi tokoh lain dalam cerpen Kawin Undi, berikut ini: Saudara-saudara, saya harap yang tidak berkepentingan sudilah untuk menunggu di luar.” Mendengar suara Bapak Kepala Desa, mereka pun bubar satu persatu. Anak-anak dan istri Kepala Desa kembali memasuki kamarnya masing-masing. Tinggallah dalam ruangan itu, Bapak Kepala Desa, Pak Bohim, Bu Bohim, dan Siti sebagai pesakitan. Halaman 85 Bapak Kepala Desa juga pemimpin yang adil dan bijaksana. Walaupun yang bersalah adalah anggota keluarganya sendiri, hukum tetap ditegakkan. “Sigit? Sigit anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban Siti. Ia serasa tak yakin. . . . Setelah menarik napas dalam-dalam, berpikir beberapa saat, barulah agak tenang sedikit perasaan Bapak Kepala Desa. Lalu Bapak Kepala Desa menyimpulkan malam ini juga harus diselesaikan. Maka ia pun menyuruh beberapa orang untuk ke kantor Kepala Desa dan sebahagian lagi disuruh untuk menjemput nama- nama yang dikatakan Siti. Halaman 86-87 Berbeda dengan cerpen lainnya, cerpen Alunan Biola Penghabisan menggunanakan tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya Altenbernd dan Lewis dalam Nurgiyantoro, 1995: 190. Dalam cerpen tersebut, Pak Karta sebagai tokoh utama, tersiksa dalam kerinduan mendalam akan masa perjuangan dan alunan biola yang selalu menemaninya ketika muda. Kerinduan yang tak tersalurkan membuat Pak Karta tidak bisa lepas dari sakaratul maut. Orang-orang di sekitar Pak Karta menduga Pak Karta memiliki ilmu hitam. Hingga akhirnya Brata, teman seperjuangan Pak Karta datang. Brata bercerita pada semua orang tentang kegagahan Pak Karta di medan juang, dan bagaimana perjuangannya untuk menghidupi keluarga setelah 18 kemerdekaan berhasil direbut. Setelah bercerita Brata memainkan biola kesayangan Pak Karta dan mengalunkan lagu Selendang Sutra. Pak Karta dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan adalah gambaran seorang pejuang secara umum yang tidak lagi dihargai setelah kemerdekaan berhasil direbut. Individualitas tokoh Pak Karta tidak digambarkan secara langsung oleh pengarang. Keadaan yang mengiringi cerita, cerita dari tokoh lain, sikap diam dan gerak-gerik mata Pak Karta, menunjukkan watak tokoh Pak Karta dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan. Seperti dalam kutipan berikut ini: Lelaki tua itu bercerita, bahwa ia temannya Pak Karta semasih muda. Dan segla kegemaran Pak Karta hampir tidak berbeda dengan kegemarannya. Pak Karta semasih muda adalah seorang pejuang, yang gagah berani, itu diketahui lelaki tua itu, karena ia juga seorang bekas pejuang. Ketika kemerdekaan telah direbut, nasib Pak Karta berubah, ia menjadi seorang tukang pangkas, . . . . Halaman 96 Ketimpangan kehidupan dari harapan yang telah diperjuangkan dengan pengorbanan keringat dan darah melalui pertempuran membuat Pak Karta tersiksa dalam sakaratul maut karena dibalut kerinduan masa lalu. Telah hampir seminggu pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga pak Karta telah sibuk. Sebahagian sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama tak ditemuinya. Halaman 94 Tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen Ah…Gerimis Itu karya Hidayat Banjar dilukiskan dengan teknik dramatik, baik melalui tingkah laku, kata-kata, kejadian- kejadian yang diceritakan, menunjukkan sifat dan pendirian masing-masing tokohnya. Dengan cara itu cerita akan menunjukkan keterkaitan yang erat antar berbagai unsur fiksi. Tidak ada pembagian tokoh antagonis dan protagonis dalam cerita, yang ada hanya tokoh sederhana, tokoh tipikal, dan tokoh utama. 18

4.1.2 Latar