18
tidak dapat ditolong. Tetapi kedatangan lelaki tua itu seakan membri harapan baru. Pak Karta menggerakkan tangannya seakan ingin meraba dan mencari sesuatu. Lelaki itu
menyadari akan hal itu. Ia dekatkan dirinya pada Pak Karta sambil berbisik, “Saya adalah Brata, Pak Karta. Teman seperjuanganmu.” Ia rapatkan badannya pada Pak Karta, sambil
ia terus gesek biola itu. Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tapi suaranya tidak terdengar. Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun
tersenyum. Namun senyuman mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. Halaman
97 – 98
Cerpen Opportunitis menggunakan sudut pandang campuran. Pengarang menggunakan teknik “dia” dan “aku” sekaligus dalam bercerita.
Teknik orang ketiga, digunakan pengarang dalam menceritakan kondisi tokoh. Pengarang ingin bercerita lebih banyak kepada pembaca tentang keadaan tokoh.
Pengarang juga menginginkan kebebasan dalam menggambarkan tokoh, sehingga pengarang kadangkala berperan sebagai pencerita tokoh, seperti berikut ini:
A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah, dan alang- alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Bila malam tiba, ia
tidak akan melihat cahaya lampu yang gemerlapan lazimnya kehidupan kota. Pada saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah yang selalu
mencekam perasaannya. Halaman 61
Namun ketika tokoh A, B, C, D, E, dan F mengeluhkan apa yang mereka rasakan,
pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama “aku”, seperti berikut ini: “Aku rasanya mau saja pulang kembali ke kampung. Tapi........, tapi aku malu pada
teman-teman dan keluarga. Ah........” Selalu saja B mengeluh seperti itu, tetapi anehnya, ia tetap menggelandang terus. Halaman 62
4.1.5 Gaya Bahasa
Bahasa sastra adalah bahasa khas Endraswara, 2003: 72. Khas karena bahasanya telah direkayasa dan dioles sedemikian rupa. Dari polesan itu
kemudian muncul gaya bahasa yang manis. Gaya bahasa harus didasari penuh oleh pengarang. Bukan hanya suatu kebetulan, gaya bahasa diciptakan oleh
pengarang demi keistimewaan karyanya, jika pengarang pandai bersilat bahasa,
18 kaya, dan mahir dalam menggunakan stilistika maka karyanya akan semakin
mempesona dan akan lebih berbobot. Stilstik merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama
pemakaian bahasa dalam sastra. Tuner dalam Pradopo, 2005: 161. Pradopo dalam Endraswara 2003: 72 menyatakan bahwa nilai seni sastra
ditentukan oleh gaya bahasanya. Gaya bahasa dapat dikatakan sebagai keahlian seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Jangkauan gaya bahasa sangat luas,
tidak hanya menyangkut masalah kata tetapi juga rangkaian dari kata-kata tersebut yang meliputi frasa, klausa, kalimat, dan wacana secara keseluruhan Keraf, 2006:
112 termasuk kemahiran pengarang dalam memilih ungkapan yang menentukan keberhasilan, keindahan, dan kemasuk akalan suatu karya yang merupakan hasil
ekspresi diri Sayuti, 2000: 110. Sejalan dengan Sayuti, Endraswara 2003: 73 juga menyatakan bahwa gaya bahasa merupakan seni yang dipengaruhi oleh
nurani. Melalui gaya bahasa sastrawan menuangkan idenya. Bagaimanapun perasaan saat menulis, jika menggunakan gaya bahasa, karya yang dihasilkan
akan semakin indah. Endraswara menambahkan bahwa bahasa memiliki pesan
keindahan dan sekaligus membawa makna. Penulis mengidentifikasi dan menemukan lima jenis gaya bahasa yang
digunakan pengarang kumpulan cerpen Ah... Gerimis Itu, Hidayat Banjar, dalam cerpen-cerpennya. Gaya bahasa tersebut adalah:
4.5.1 Hiperbola
Maulana 2008: 2 berpendapat bahwa hiperbola yaitu sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat dari pada kata. Keraf
18
2006: 135 berpendapat bahwa hiperbola yaitu semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan suatu hal.
Setelah dianalisis, penulis menemukan 17 data gaya bahasa hiperbola yang digunkan Hidayat Banjar dalam cerpen Bom, Ah... Gerimis Itu, Opportunitis,
Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan, yaitu: 1.
Maka oleh pihak berwenang diutuslah intelejen-intelejen yang benar- benar kualifait. Halaman 29
Pernyataan diutuslah intelejen-intelejen yang benar-benar kualifait dianggap berlebihan untuk menangkap seorangtokoh Dayat yang hanya
masyarakat biasa dan tidak pernah memiliki catatan kriminal selama hidupnya.
2. Orang-orang di warung itu pada melongo. Selama ini Dayat tidak pernah
berhubungan dengan kejahatan, tetapi kenapa berhubungan dengan gari- garian, mereka heran. Halaman 29
Kata melongo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti terbuka mulut karena heran. Pengarang terlalu berlebebihan dalam menggambarkan
keheranan. Orang-orang di warung itu, menggambarkan semua yang berada diwarung menunjukkan herannya sampai membuka mulut.
3. Dan bom itu tidak hanya ada di kampung kita ini saja. Di kampung-
kampung lain juga banyak berserakan. Halaman 31 Walaupun ada banyak sekali bom yang ada, tetapi penggunaan kata
berserakan sangat berlebihan. Seolah-olah bom itu jumlahnya tidak dapat dihitung dan tersebar dimana-mana seperti daun yang berguguran di
musim kemarau. 4.
Desa pantai tempatnya tinggal seolah-olah jadi mati. Pada hal di luar, nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan
gerimis. Halaman 41
18 Kalimat di atas termasuk hiperbola karena desa bukan makhluk yang
bernyawa yang bisa mati. Lagi pula tidak mungkin seorang nelayan tak pernah tahu akan gerimis karena seorang nelayan bisa merasakan hal-hal
yang terjadi di sekitanya. Sebagai makhluk hidup yang memiliki ciri menerima dan menanggapi rangsangan.
5. Di sebuah senja beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan
rumahnya karena tak tahan akan dinginnya gerimis. Halaman 42 Kalimat tak tahan akan dinginnya gerimis bermakna hiperbola karena
biasanya gerimis tidak memengaruhi aktivitas manusia. Dan gerimis hanya menimbulkan hawa sejuk, bukan hawa dingin yang menghalangi manusia
melakukan aktivitasnya. 6.
“Imah, malam ini abang tuangkan semua yang terkandung di dalam hati, Abang. . . .” Halaman 43
Bagimana mungkin apa yang ada di dalam hati bisa dituangkan di hadapan seseorang? Hati bukanlah benda yang bisa dibuka dan diambil atau
dikeluarkan isinya. 7.
“. . . Abang juga sebenarnya tak mau pisah sekejap pun dengan Imah” Halaman 44
Kata tak mau pisah sekejap pun sangat berlebihan, tidak mungkin dalam hidup ini kita tidak ada waktu untuk hal-hal privasi yang menyangkut
kebutuhan, seperti mandi, buang air besar atau kecil, bekerja, dan lain-lain yang mengharuskan kita tidak mau atau tidak bisa bersama orang yang
sangat kita cintai sekalipun. 8.
Di luar, gerimis masih bernyanyi menyayat-nyayat hati Imah. Halaman 47
18 Kalimat di atas termasuk hiperbola karena gerimis tidak bisa menyakiti
atau menyayat-nyayat hati layaknya manusia. 9.
A seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapai lumpur, tanah, dan alang-alang. Halaman 61
Meskipun hanya seorang petani, A juga punya kebutuhan dan kesenangan, bercengkrama dengan orang-orang misalnya. Jadi, dalam hidup bukan
hanya lumpur, tanah dan alang-alang yang dihadapi A. 10.
Siang, kita dapat melihat keriuhan, malam, kita pun dapat menikmati hiburan-hiburan dari panggung kelas wahid sampai panggung kelas
kambing. Halaman 62
Kambing tidak mengerti kelastingkatan dalam kehidupannya seperti manusia. Kambing tidak memiliki naluri kemanusiaan yang membutuhkan
hiburan, jadi tidak ada panggung kelas kambing. 11.
B seorang gelandangan yang sehari-hari hidupnya dari kekotoran. Baginya kejorokan bukan satu hal yang menjijikkan. Najis adalah teman akrabnya.
Halaman 62
Meskipun B seorang gelandangan, tidak akan mungkin B menjadikan najis sebagai teman akrabnya. Berlebihan sekali dalam menggambarkan hidup
seorang gelandangan. Kata hidupnya dari kekotoran, juga sangat berlebihan seolah-olah hidup seorang gelandangan sangat hina, tidak layak
untuk manusia. 12.
Siang yang terik saat mentari di ubun-ubun, di mana manusia duduk mengaso, menghindari kulit dari sengatan mentari. Halaman 63
Jika mentari berada di ubun-ubun manusia, menandakan hari telah kiamat dan tidak ada lagi kehidupan. Sekalipun dunia belum kiamat, jika
matahari berada sedekat itu, manusia akan terbakar kepanasan terkena
18 matahari. Penggambaran panas dengan kata mentari di ubun-ubun adalah
berlebihan. 13.
F, seorang politikus, hidupnya seharian dengan aturan-aturan formal. Dari cara berpakaian sampai gerak-gerik sangat terbatas sekali. Halaman 64
Di negara yang menjunjung asas demokrasi, sangat berlebihan jika seorang politikus memiliki ruang gerak yang terbatas. Di era modern ini seorang
politikus memiliki kebebasan dalam bersikap, bertutur, dan bergerak. 14.
Aku selalu saja ingin menciptakan nyawa bagi karya-karyaku. Halaman 65
Menciptakan nyawa bagi sebuah karya adalah keinginan yang sangat berlebihan, karena hanya tuhan yang mampu memberi nyawa pada
makhluk. 15.
Malam sunyi, angin pun seakan enggan bertiup. Halaman 83 Kalimat di atas bermakna hiperbola, karena seolah angin memiliki hasrat
seperti manusia. Ada kalanya ingin melakukan sesuatu, adakalanya malas melakukan sesuatu.
16. Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu bila hari telah gelap seolah
kehidupan tiada lagi. Orang-orang kampung itu mengurung dirinya di rumah. Halaman 83
Kata seolah kehidupan tiada lagi, berarti dunia telah kiamat. Penggambaran yang berlebihan. Ditambah lagi dengan mengurung dirinya
di rumah, manusia bukan seperti hewan peliharaan yang tinggal dalam kurungan.
17. Sorot matanya tetap menyala, seakan mencari sesuatu yang belum
diketemukannya. Halaman 94 Pandangan mata tidak seperti lampu atau api yang bisa dinyalakan.
Kalimat diatas menggunakan penggambaran yang berlebihan.
18
4.5.2 Personifikasi