18
tetap tajam. Mereka tidak mengetahui kalau Pak Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah suara yang biasa ia dengarkan sewaktu masih muda.
. . . . . . . . . Lelaki tua itu bercerita, bahwa ia temannya Pak Karta semasih muda. Dan segala
kegemaran Pak Karta hampir tidak berbeda dengan kegemarannya. Pak Karta semasih muda adalah seorang pejuang, yang gagah berani, itu diketahui lelaki tua itu, karena ia
juga seorang bekas pejuang. Setelah kemerdekaan berhasil direbut, nasib Pak Karta berubah, ia menjadi seorang tukang pangkas, sedang lelaki tua itu karena nasibnya baik,
ia memangku jabatan di pemerintahan. Halaman 96
Segala kerinduan yang diwakilkan oleh alunan suara biola, akhirnya terjawab. Pak Karta menghembuskan nafas terakhirnya setelah mendengar alunan musik lagu
kesayangannya, Selendang Sutra, dari biola kesayangannya pula. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut
mengalun musik “Selendang Sutra”. Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak.
. . . . . . . . Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tetapi suaranya tidak terdengar.
Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun tersenyum. Namun senyum mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta
kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia
mengucap dengan perlahan sekali tetapi pasti, “Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti. “Innalillahiwainnailaihi rojiuun” ujar sebahagian mereka.
“Alhamdulillah” ucap sebahagian lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelai tua itu. Halaman 97 – 98
Pak Karta adalah salah satu contoh potret pejuang kita saat ini. Bukan hanya tidak diperhatikan secara materi, tetapi juga susah mendapat pengakuan.
4.2 Hubungan Unsur-Unsur Intrinsik
4.2.1 Hubungan Tokoh Dengan Latar, Alur, Sudut Pandang, Gaya Bahasa, Tema, dan
Amanat.
Penokohan sebagai salah satu unsur fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan karya
yang berhasil, penokohan pasti berjalin harmonis dan saling melengkapi dengan
18
berbagai unsur yang lain. Misalnya dengan unsur alur dan tema, atau unsur latar, sudut pandang dan amanat Nurgiyantoro, 1995: 172.
Hubungan penokohan dan latar terlihat dalam penggambaran tokoh dalam cerepen Opportunitis. Keadaan tempat tinggal tokoh A, memperkuat bahwa A adalah
seorang petani. A adalah seorang petani kecil, sehari-hari ia hanya menghadapi lumpur, tanah, dan
alang-alang. Dengan rumah berdinding tepas, jauh dari kebisingan kota. Bila malam tiba ia tidak akan melihat cahaya lampu yang gemerlapan lazimnya kehidupan kota. Pada
saat hari berangkat gelap, dimana surya merondokkan dirinya, saat inilah yang selalu mencekam perasaannya. Halaman 61
Atau latar suasana yang memengaruhi perasaan tokoh, seperti yang tergambar dalam cerpen Ah... Gerimis Itu. Kedatangan gerimis, selalu menyiksa batin tokoh Imah
dengan perasaan bersalah. Tak tahu lagi ia sudah gerimis keberapa yang tiba pagi ini. Imah tak dapat
menghitungnya. Yang Imah tahu – bila gerimis tiba, hatinya ngilu, jiwanya jadi rawan. Gerimis membuat kesepiannya jadi panjang. Desa pantainya dimana ia tinggal
sepertinya jadi mati. Padahal di luar, nelayan dan anaknya tak pernah tahu akan gerimis, tak pernah hirau akan gerimis. Kebutuhan yang membelit bisa melupakan kondisi alam.
Halaman 41
Hubungan tokoh dan latar waktu juga digambarkan pengarang dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan. Selama tujuh hari Pak Karta tersiksa dalam sakaratul maut
karena belum rela meningggalkan dunia, sebelum rindunya terobati. Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah
sibuk. Sebahagian telah sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta
jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertanbah semakin kurus. Tapi sorot
matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama tak ditemuinya. Halaman 94
Dalam sebuah cerita, tokoh juga berperan dalam membawakan alur. Dalam cerpen Ah...Gerimis Itu adakalanya alur kembali ke masa lalu flash back, yang disajikan dengan
tokoh Imah terkenang pada kejadian yang telah berlalu, awal pertemuannya dengan Somad, suaminya.
18
Imah juga ingat saat-saat indah yang pernah singgah di hatinya. Di sebuah senja, beberapa orang pemuda numpang berteduh di emperan rumahnya karena tak tahan
akan dinginnya gerimis. Oleh abahnya, pemuda-pemuda itu di suruh masuk ke rumah. Halaman 42
Keterkaitan antara tokoh dan sudut pandang juga terjalin erat dalam cerpen-cerpen pada kumpulan cerpen Ah... Gerimis Itu karya Hidayat Banjar ini. Sebahagian besar cerita
dalam cerpen menggunakan sudut pandang orang ketiga, dan pengarang menggunakan nama dalam menampilkan tokoh cerita. Misalnya, dalam cerpen Bom berikut:
Telah tiga tahun Dayat menganggur. Ia menganggur bukan karena ia pemalas, bukan karena otaknya bodoh. Ia menganggur dikarenakan tidak maunya ia bermain-
main dengan uang persekot. Ia pernah melamar ke perusahaan ini dan pernah pula ke perusahaan itu, konrksinya mengtakan, “Yat, kalau kau tidak sanggup membayar empat
retus ribu ke atas, jangan harap kau dapat pekerjaan.” Sakit, sakit sekali hatinnya mendengar perkataan itu. . . . Halaman 27
Agar pembaca mendapat gambaran yang jelas mengenai tokoh yang berperan dalam cerita, biasanya pengarang memiliki gaya bahasa tersendiri. Seperti kecantikan
wajah tokoh Siti yang digambarkan dengan gaya bahasa simile. ............ Ya, memang kalau dilihat, Siti termasuk wanita yang cantik. Dengan muka
bulat telur, bentuk hidung dan bibir yang pas dengan raut wajah. Demikian juga dengan bentuk badannya, mampu memancing kelakian setiap lelaki yang memandangnya. Tak
mengherankan kalau hal itu pernah pula terlintas dalam benak Bapak Kepala Desa mendengar pengakuan Siti tadi. Halaman 86
Tokoh- tokoh cerita, khususnya tokoh utama, adalah pembawa dan pelaku cerita, dan penderita peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Dengan demikian, tokoh-tokoh
cerita inilah yang bertugas menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang melalui tingkah laku, pikiran, dan perasaan dan berbagai peristiwa yang dialami tokoh.
Nurgiyantoro, 1995: 75 Tema ketidaksyururan pada cerpen Opportunitis, digambarkan dalam ucapan dan
pikiran tokoh. Tokoh A, B, C, D, E, dan F dalam cerpen Opportunitis tidak bersyukur terhadap hidup yang ditetapkan oleh tuhan. Keseluruhan tokoh selalu menyesali atau
18
mengeluhkan keadaan yang mereka hadapi. Berikut adalah penyesalan yang dinyatakan tokoh B dalam cerpen:
“Seandainya dulu aku tidak meninggalkan kampungku, hidup dalam batas wajar saja, tidak mengimpikan kehidupan muluk, tidak mengimpikan cahaya-cahaya berbagai
warna dari lampu-lampu pertokoan yang selalu saja dihuni oleh orang kaya. Aku tidak akan hidup seperti ini menggelandang ke sana ke mari. Tidur di emperan toko dengan
beralaskan apa saja. Seandainya aku dulu tidak meninggalkan kampungku, mungkin aku akan bisa punya istri yang baik yang akan memperhatikanaku dan merawatku. Dan aku
akan mempunyai anak-anak yang manis pelanjut kehidupan dan keturunanku. Duh.......betapa bahagianya hari tuaku. Walau aku hanya punya rumah yang cukup
sederhana tapi aku bahagia, setidaknya aku bisa hidup tenang, tidak kedinginan begitu rupa.” Halaman 62
Sikap tokoh Sigit bersama keenam temannya yang mengakui perbuatan mesum mereka tanpa malu-malu dalam cerpen Kawin Undi, menunjukkan degradasi moral di
kalangan pemuda, yang merupakan tema dalam cerpen tersebut. Artinya, tema dan tokoh memiliki hubungan yang erat, seperti berikut:
“Nah, kalian semua, apakah kalian semua terlibat?” “Iiiya Pak, taaaapi kaaami tidakk memperrrkosa pak,” jawab mereka serempak.
“Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak
menjawab. “Kami membayar seratus lima puluh rupiah Pak sekali main,” suara koor dari
mereka. “Dan kami tidak hanya main di tegalan saja, tetapi juga di rumah Siti kalau orang
tuanya tidak ada,” sambung Bambang. Astaga pelacura kelas apaan. Halaman 88
Pada umunya, dalam sebuah cerita ada pesan moral yang ingin disampaikan pada
pembaca oleh pengarang. Pengarang dapat menyampaikan pesan moral secara langsung melalui seruan, saran, atau peringatan di akhir cerita. Biasanya, tokoh utama yang
bertugas menyampaikan pesan moral tersebut. Seperti dalam cerpen Bom, tokoh Dayat ditugasi pengarang untuk menyampaikan pesan amanat cerita melalui pidatonya pada
akhir cerita, seperti berikut ini: “Nah.........dengarkan baik-baik, dimana dan bagaimana bentuk bom itu. Saya telah
lama tamat dari SMA dan sampai sekarang menganggur. Saya bukan malas bekerja, dan juga bukan bodoh. Teman-teman tahu bukan, keadaan saya. Saya tidak bekerja
dikarenakan tidak mau bermain-main dengna persekot. Akibatnya sampai sekarang saya menganggur. Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihat di
18
kampung kita ini berapa banyak mereka pemuda-pemudanya yang pengangguran. Tidaklah itu bom yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak. Tidak saja
meledakkan daerah kita ini, tetapi juga daerah lain.” Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang
trelontar drai mulut mereka, tak pernah berpikir sejauh itu. Halaman 32 Persekot uang suap merupakan praktik korupsi yang merajalela di negara kita.
Praktik korupsi terutama memberikan uang pelicin uang suap untuk melancarkan segala urusan, telah dianggap hal yang lumrah. Dalam cerpen Bom, pengarang
menyampaikan kritik sosial, bahwa budaya suap kolusi dapat menghancurkan negara kita lebih dahsyat dari bom atom yang menghancurkan kota Hirosima dan Nagasaki di
Jepang. Dalam penyampaian amanat, pengarang membutuhkan tindak tokoh, karena tokoh dan amanat memiliki keterkaitan yang erat.
4.2.2 Hubungan Latar Dengan Alur, Sudut Pandang, Gaya Bahasa, Tema, dan