18
ketika ia masih dapat menikmati waktu senggang. Masa ketika ia masih memiliki kemenangan jiwa meski perang bergejolak.
Telah hampir seminggu Pak Karta terbaring di kasurnya. Keluarga Pak Karta telah sibuk. Sebahagian telah sibuk mengurusi dan menghitung segala harta kekayaan yang
dimiliki oleh Pak Karta dan sebahagian repot pula memikirkan apa penyebab Pak Karta jadi tersiksa begini rupa. Untuk berbicara saja Pak Karta telah sukar, jangankan untuk
makan dan minum. Sehingga tubuhnya yang kurus bertambah semakin kurus. Tapi sorot matanya tajam seakan ingin mencari sesuatu bentuk yang telah lama yang ditemuinya.
Halaman 94
Kerinduan Pak Karta akhirnya terobati dengan kedatangan Pak Brata teman
seperjuangannya. Pak Brata punya kesenangan yang sama dengan Pak Karta, sehingga ia tahu apa yang dicari dan dirindukan oleh Pak Karta.
Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut mengalun musik “Selendang Sutra.” Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak
Karta mulai bergerak. . . . Pak Karta menggerakkan tangannya seakan ingin meraba dan mencari sesuatu. Lelaki
tua itu menyadari akan hal itu. Ia dekatkan dirinya pada Pak Karta sambil berbisik, “Saya adalah Brata, Pak Karta, teman seperjuanganmu.” Ia rapatkan badannya pada Pak Karta,
sambil ia terus gesek biola itu. Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tetapi suaranya tidak terdengar. Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun
tersenyum. Namun senyum mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. Halaman
97 – 98
Setelah kerinduannya terobati, barulah Pak Karta merasa tenang dan dengan rela meninggalkan dunia, kembali pada Sang Pencipta.
Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia mengucap dengan perlahan sekali tetapi
pasti, “Lailahhaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti. “Innalillahiwinnailaihirojiun” ujar sebahgian mereka. “Alhamdulillah” ucap sebahagian
lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelaki tua itu. Halaman 98
4.1.7 Amanat
Amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran.
Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat Juhl
18 dalam Teeuw, 1984: 27. Sudjiman mengatakan bahwa dari sebuah karya sastra
adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Dan jika permasalahan yang diajukan
dalam sebuah cerita, juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, maka jalan keluarnya itulah yang disebut amanat Sudjiman, 1992: 52, 57 – 58.
Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara implisit ataupun secara eksplisit. Implisit, jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam
tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit, jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, dan
sebagainya. Pengarang menyampaikan amanat secara eksplisit dalam cerpen Bom dan
Oppotunitis, melalui seruan dan peringatan di akhir cerita. Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca disampaikan secara langsung.
Dalam hal ini pengarang tampak bersifat seperti menggurui pembaca, secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya.
Melalui cerpen Bom pengarang menyampaikan bahwa persekot telah menciptakan bom yang sangat dahsyat, yang setiap saat bisa meledak. Ledakan
pengangguran, ledakan ketidakadilan, ledakan penghambatan SDM, dan ledakan- ledakan lainnya yang lebih dahsyat, seperti berikut ini:
“Nah . . . . dengarkan baik-baik, dimana dan bagaimana bentuk bom itu. Saya telah lama tamat dari SMA dan sampai sekarang menganggur. Saya bukan malas bekerja, juga
bukan bodoh. Teman-teman tahu bukan, keadaan saya. Saya tidak bekerja dikarenakan tidak ingin bermain-main dengan persekot. Akibatnya sampai sekarang menganggur.
Persekotlah yang menciptakan bom yang sangat dahsyat itu. Lihat di kampung kita ini berapa banyak mereka pemuda-pemudanya yang pengangguran. Tidaklah itu bom-bom
yang sangat dahsyat yang setiap saat bisa meledak. Tidak saja meledakkan daerah kita ini, tetapi juga daerah lain.’
Mereka terperangah mendengar ucapan Dayat. Astaga, itulah ucapan yang terlontar dari mulut mereka, tak pernah berpikir sejauh itu. Halaman 32
18
Dalam cerpen Oppotunitis pengarang berpesan bahwa sesungguhnya hidup adalah untuk memikul beban, hidup untuk memikul tanggung jawab. Meskipun amanat
disampaikan secara langsung oleh pengarang melalui seruan kepada tokoh-tokoh di akhir cerita, namun sikap para tokoh yang tidak pernah bersyukur atas hidup yang
mereka dijalani juga mendukung dalam penyampaian amanat. “Hai........, A, B, C, dan lainnya dengarlah: sesungguhnya hidup adalah untuk
memikul beban, hidup adalah untuk memikul tanggung jawab. Tiada hidup yang tanpa beban, tiada hidup yang tanpa tanggung jawab. Oleh karena itu keinginan yang diluar
jangkauan katakanlah keingina ini itu, tidak lebih adalah sebuah sifat keaportunisan. Jika saja kamu menyandang gelar aportunis sejati, tidak beda kamu dengan seorang pecandu
narkotik kelas wahid, tidak beda kamu denga pelamun-pelamun abadi. Maukah kau seperti mereka?” Suara itu raib, mereka kembali terpental pada ruang kekinian.
Berhasilkah mereka mencapai keakanan??
Seperti cerita pada umumnya, cerpen Ah... Gerimis Itu, Kawin Undi, dan Alunan Biola Penghabisan memiliki pesan moral yang disampaikan secara implisit. Bentuk
penyampaian pesan moral bersifat tidak langsung, pengarang tidak menyampaikannya secara vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Pesan disampaikan lewat siratan
saja dan terserah pada penafsiran pembaca. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi
peristiwa dan konflik, baik tingkah laku yang terlihat dalam verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikiran dan perasaannya. Jika pembaca ingin memahami atau
menafsirkan pesan, harus berdasarkan cerita, sikap, dan tingkah laku para tokoh tersebut Nurgiyantoro, 1995: 340.
Cerpen Ah .. Gerimis Itu misalnya, pengarang ingin mengajarkan pembaca untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan. Hal tersebut tersirat dari peristiwa kematian
mendadak tokoh Somad karena melaksanakan keinginan Imah, istri yang dicintai, untuk mempersatukan kembali jempol yang telah diamputasi karena tersengat bisa ular. Imah
yang berpikir bahwa suaminya akan tampak lebih gagah dengan susunan jari yang
18
lengkap, maka tanpa pikir panjang segera menyatukan kembali jempol sang suami. Imah tidak mempertimbangkan dahulu, apakah bisa ular tersebut telah benar-benar hilang
dari potongan jempol, atau memang jempol tersebut telah bersih dari bisa ular. Akibatnya, berujung pada kematian Somad, sang suami, seperti berikut ini:
“Bang, mari Imah lengketkan kembali jempol ini di tangan Abang,” pinta Imah pada Somad. Somad pun mengulurkan tangannya. Tapi, begitu jempol itu bersatu lagi dengan
tangan Somad, Somad berteriak histeris. Tubuhnya kejang, matanya merah, dari seluruh pori-porinya keluar keringat.
Melihat hal itu, Imah jadi bingung, ia pun berteriak minta tolong. Dan begitu tetangga berdatangan, Somad sudah menghembuskan nafas untuk yang terakhir kali.
Dokter mengatakan – sesuai dengan hasil diagnosa, Somad mati keracunan bisa ular. Di luar, gerimis masih terus bernyanyi, menyayat-nyayat hati Imah. Halaman 46 – 47
Kritik sosial juga disampaikan dalam cerpen Kawin Undi. Pengarang ingin membuka cakrawala berpikir masyarakat tentang rendahnya rasa malu yang dimiliki oleh pemuda
masa sekarang ini. Mengakui kesalahan dengan sangat gampang tanpa rasa malu, dan tanpa rasa bersalah. Bahkan bangga pada kesalahan yang telah diperbuat, seperti
berikut ini: “Nah, kalian semua, apakah kalian semua terlibat.”
“Iiiiya Pak, taaaapi kaaami tidakk memperrrkosa pak,” jawab mereka serempak. “Kau dengar Siti, mereka tidak ada memperkosamu,” Siti hanya sesenggukan tidak
menjawab. “Kami membayar emapat ratus lima puluh rupiah Pak sekali main,” suara koor dari
mereka. “Dan kami tidak hanya main ditegalan saja, tetapi juga di rumah Siti kalau orang
tuanya tidak ada,” sambung Bambang. Astaga pelacuran kelas apaan. Setelah semua diinterogasi, maka dijumlahkan bahwa Siti telah 23 kali disetubuhi
oleh mereka. Masing-masing ada yang tiga kali, ada yang empat, dan ada yang dua kali. Anehnya mereka setuju dibuat undian, seperti halnya arisan, siapa yang mendapat
tulisan yang ditulis oleh tangan Siti, ialah yang akan jadi suami Siti. Kertas itu digulung sebanyak 23 gulungan sesuai dengan jumlah persetubuhan itu. Dan siapa yang empat
kali menyetubuhi, empat gulungan kertas pula yang ia ambil – sesuai dengan jumlah persetubuhan mereka dengan Siti.
Dengan hati berdebar-debar mereka membuka kertasnya masing-masing. “Hore. . .” teriak Sigit kegirangan. Ternyata ia yang berhasil mendapat tulisan yang
ditulis tangan oleh Siti. Sigit dan Siti berpandangan sejenak, lalu mereka berpelukan dengan mesra menunjukkan kesenangan mereka dan rasa kasih yang mungkin selama
ini terpendam. Ibu dan Bapak Bohim cerah wajahnya, Bapak Kepala Desa dan Ibu tak habis pikir. Halaman 88
18
Pengarang juga ingin menyampaikan bahwa siapa saja memiliki peluang untuk berbuat kesalahan. Tujuh pemuda yang bersetubuh dengan Siti dikenal sebagai pemuda
baik-baik, dan dari keluarga yang baik pula. Seperti sebuah peringatan bagi orang tua dalam mengawasi dan menanamkan pendidikan moral bagi anak, seperti kutipan
berikut: “Sigit? Sigit, anak saya ikut?” Sekali lagi Bapak Kepala Desa dikejutkan oleh jawaban
Siti. Ia serasa tak yakin. Nama-nama yang dikatakan Siti di atas dapat dikategorikan sebgai pemuda baik-baik saja adanya. Seperti Sarmin, bapaknya seorang guru mengaji di
langgar, Bambang, anak sederhana itu. Demikian juga dengan Tanto, maupun yang lain. Sigit pun ia tidak tahu sekali perilakunya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, berpikir
beberapa saat, barulah agak tenang sedikit perasaan Bapak Kepala Desa. Lalu Bapak Kepala Desa menyimpulkan malam ini juga harus diselesaikan. Halaman 86 – 87
Sebuah sindiran halus disampaikan bagi para orang tua yang merasa telah mendidik anaknya dengan baik, ketika pengarang menyebutkan bahwa anak Bapak Kepala Desa
yang begitu disegani dan dikenal sebagai kepala desa yang bijaksana terlibat dalam kemaksiatan tersebut. Mungkin sebagai orang tua, Bapak Kepala Desa merasa telah
cukup memberikan pendidikan agamanya. Tetapi memberi saja tanpa menanamkan, melihat, dan mengawasi hasil, belum cukup.
Dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan juga terkandung kritik sosial tentang bagaimana penghargaan kita terhadap para pejuang. Sering kali kita melihat, membaca,
dan mendengar di media-media, para pejuang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Tanpa penghargaan, tanpa santunan dan perhatian dari pemerintah atau masyarakat.
Pak Karta, tokoh dalam cerpen Alunan Biola Penghabisan, adalah pejuang yang tersiksa kerinduan saat sakaratul maut. Pak Karta begitu rindu masa mudanya karena hidup
masa tuanya sangat sulit. Masa muda yang disibukkan dengan perjuangan hidup dan mati, namun Pak Karta masih dapat menikmati hidup. Masih memiliki waktu luang untuk
menyalurkan hobinya menggesek biola kesayangannya. Pak Karta belum juga menghembuskan napasnya, namun tidak juga sehat kembali.
Ia tetap tersiksa, napasnya turun naik, denyut nadinya tidak teratur. Tapi sinar matanya
18
tetap tajam. Mereka tidak mengetahui kalau Pak Karta tengah mencari sesuatu. Ia mencari sebuah suara yang biasa ia dengarkan sewaktu masih muda.
. . . . . . . . . Lelaki tua itu bercerita, bahwa ia temannya Pak Karta semasih muda. Dan segala
kegemaran Pak Karta hampir tidak berbeda dengan kegemarannya. Pak Karta semasih muda adalah seorang pejuang, yang gagah berani, itu diketahui lelaki tua itu, karena ia
juga seorang bekas pejuang. Setelah kemerdekaan berhasil direbut, nasib Pak Karta berubah, ia menjadi seorang tukang pangkas, sedang lelaki tua itu karena nasibnya baik,
ia memangku jabatan di pemerintahan. Halaman 96
Segala kerinduan yang diwakilkan oleh alunan suara biola, akhirnya terjawab. Pak Karta menghembuskan nafas terakhirnya setelah mendengar alunan musik lagu
kesayangannya, Selendang Sutra, dari biola kesayangannya pula. Perlahan-lahan ia gesek senar biola. Perlahan sekali, dari gesekan tersebut
mengalun musik “Selendang Sutra”. Dengan serta merta mendengar alunan biola itu Pak Karta mulai bergerak.
. . . . . . . . Air mata Pak Karta menetes, mulutnya seakan bergerak tetapi suaranya tidak terdengar.
Pak Karta tersenyum, istrinya dan lelaki tua itu pun tersenyum. Namun senyum mereka seakan cemoohan bagi sebahagian keluarga Pak Karta yang mengharapkan harta
kekayaan Pak Karta yang tidak seberapa itu. Alunan biola semakin sendu, wajah Pak Karta kian teduh, matanya tidak lagi menyala dan liar. Dengan senyum di bibir ia
mengucap dengan perlahan sekali tetapi pasti, “Lailahaillallah Muhammadarrasulullah.” Denyut nadinya terhenti. “Innalillahiwainnailaihi rojiuun” ujar sebahagian mereka.
“Alhamdulillah” ucap sebahagian lagi. “Inilah kenyataan” tutur lelai tua itu. Halaman 97 – 98
Pak Karta adalah salah satu contoh potret pejuang kita saat ini. Bukan hanya tidak diperhatikan secara materi, tetapi juga susah mendapat pengakuan.
4.2 Hubungan Unsur-Unsur Intrinsik